Masih penasaran dengan Jakarta Undercover ?
Berikut bagian kedua 2nya Karnaval Malam karya
Moammar Emka
"Buku ini membangunkan banyak serigala yang sedang tidur, sekaligus menyadarkan seisi hutan akan bahaya." SLANK (Bim-Bim, Kaka, Abdee, Ivan & Ridho)
"Sukses! Begitulah fakta dari buku Jakarta Undercover.
Tidak saja dari oplah tapi itu juga terbukti dari pengalaman saya ikut "promo-tour" di bcrbagai daerah selalu mendapat respon yang luar biasa dari para pengunjung "talk-show". Schingga apa yang ingin disampaikan oleh buku ini, tercapai sudali. Semoga buku yang kc-2 ini bisa mendapat pencapaian yang sama bahkan lebih. Karena bagaimanapun masyarakat kita butuh "pengetahuan" yang berdasar pada fakta biar bisa berpikir secara realistis. Bagi saya, buku ini mengingatkan kita bahwa bagaimanapun seks yang digambarkan dalam buku ini tidak hanya sekedar "entertainment", meski memang setiap orang memiliki perbedaan dalam kapasitasnya memandang dan merealisasikannya.
Tetapi seks, bagi saya, tetaplah harus dipertanggungjawabkan, baik secara moral maupun agama. Kita bisa bahagia karena seks, tapi kita juga bisa hancur karena seks."
(CORNELIA AGATHA, aktris film & sinetron)
"Buku ini membuktikan bahwa fakta tidak berjenis kelamin. Fakta tidak kenal identitas dan tidak pernah memihak siapa-siapa. Fakta telah cukup untuk fakta itu sendiri. Buku ini bisa jadi potret fakta tentang dunia malam Jakarta yang perlu serius dircnungi isinya, tapi bisa juga jadi bacaan yang menghibur. Nggak percaya, baca aja!"
(ONCE, vokalis Dewa)
"Mengingat Emka adalah mengingat '4 kali waiting list' Jakarta Undercover 1di banyak toko buku terkemuka di ibukota. Kebalikan dari layaknya sebuah karya, penulisnya: si Emka—yang hidupnya lebih 'kampret' dari 'kampret' mana pun, jauh lebih gampang ditemukan di pusat-pusat perbelanjaan
an kafe-kafe trendsetter, ketimbang si buku itu sendiri. Tapi, sepertinya cukup sctimpal dengan kenikmatan membaca dan menganga akan realita Jakarta versi Emka. Membaca Emka adalah kembali mem'waiting-list'kan diri sesuai urutan senioritas di rumah. Itupun, menurut saya, masih seharga dengan imbalan bungee jumping masuk ke dalam aktivitas seksual Jakarta lewat cerita yang tak pernah (dan mungkin tak akan) terlakoni. Emka, sekali lagi, terlalu 'kampret' dibanding saya yang hanya 'kampret'.
Sekuel ini menawarkan kejutan-kejutan yang membuat banyak perlanyaan. Benarkah selama ini tiuggal di Jakarta? Apa benar saya sekota dengan Emka? Terimakasih untuk sebuah karya yang tidak biasa. Juga untuk ganjaran meletakkan komentar ini setelah tulisan 'the great ONCE'. Sekedar informasi, saya termuda ke-2 di rumali, 66tahun lebih muda dari ompung yang entail mengapa masih hobby membaca dan hanya 26 tahun lebih tua dari si Patsy, anjing puk kami."
(TAMARA GERALDINE, 29 th.)
"Nggak dibaca, penasaran. Dibaca, gue sibuk-sibuk neleponin Emka. Yang ini, apaan. Yang itu, apaan. Dan yang ini, gimana. Antara percaya dan nggak percaya, tapi itu kenyataan. Itu yang gue suka dari bukunya Emka. It's damn 'real' fantastic!" (RIA IRAWAN, aktiis film & sinetron)
"Bagi saya, apapun pendapat orang tentang Emka, apapun tulisannya, betapapun kontroversialnya, he is a real entrepreneur and marketer at the same time. Pintar membaca situasi yang sedang sangat padat paradoks seperti sekarang ini. Emka dengan jeli melihat peluang yang langka yaitu 'menembak' target market yang secara terbuka sering kali tidak mau mengakui bahwa mereka mempunyai kebutuhan akan informasi semacam ini. Kisah sukses buku ini juga membuktikan bahwa Buzz Marketing sesungguhnya adalah model pemasaran yang sangat efektif, asal kita tahu cara menggunakannya dengan tepat. Lewat buku ini, Emka juga menjalankan differentiation strategyyang tepat yaitu memaksa pembacanya untuk membuka topeng masing-masing.
Benar-benar suatu kasus pemasaran yang menarik untuk dikaji."
(HERMAWAN KARTAJAYA, sebagai pribadi)
"Betul kata orang, ibu kota bisa lebih kejam dari ibu tiri, ibu kota bisa lebih putih dari ibu Pek Tay, ibu kota bisa lebih rumpi dari ibu-ibu arisan. Ibu kota bisa lebih misterius dari ibu Kunti dan ibu kota bisa lebih 'anyir' dari ibu-ibu yang bikin telur asin. Itulah wajah Jakarta yang sangat multi dimensi, yang bisa membuat manusia jadi apa saja. Jadi suci atau jadi tai. Jadi terhormat atau jadi sesat. Jadi sebuah menara gading atau hanya seonggok daging.
Buku ini terlepas dari gayanya yang menggoda, tapi bisa membuat mata kita terbuka bahwa matahari Jakarta yang panas bisa membakar kita, tapi di sisi lain ada keremangan dan gaya hedonis yang bisa membakar nafsu kita dan itu yang lebih berbahaya.
Akhirnya sih terserah kita menyikapinya. Mau kabur atau melebur sampai hancur. Hiii, ngeri...!'' (IZZUR MUCHTAR, presenter)
"Buku Jakaita Undercover 'bener-bener' bikin semua orang buka mata. Bahwa ternyata Jakaita memang 'bener-bener' sudah kayak Las Vegas. Bedanya, selama ini nggak ada yang berani bicara buka-bukaan, hanya buku ini yang berani transparan dan blak-blakan."
(NOVIA ARDHANA, aktris sinetron)
"Dari lahir, gue udah hidup di Jakarta. Gue nggak nyangka bisnis liburan malam di sini udali begitu dahsyat. Gue kirain barang-barang impor aja yang laku. Nggak taunya, cewek impor juga laku keras jack!. Emang sih, buntut-buntutnya duit juga yang ngomong. Dari buku ini, gue jadi tau iaktanya.
Nah, kalo udah gini, jadi pengin nanya 'ketulusan' berapa harganya yah sekarang?" (RICKY JO, presenter/MC)
"Kalo diliat kenyataan yang ada di lapangan udah begitu 'obvious'-nya dunia prostitusi dan perjudian. Begitu juga dengan bisnis liburan lainnya yang semakin marak. Kalo baca dari buku ini, gue pikir sudah saatnya Indonesia punya 'sin city', di mana prostitusi dan perjudian adalah legal. Emang bisa?
Kenapa nggak. Toh, itu bakal ngasih pemasukan yang besar ke negara. Perputarannya kan gede banget. Setidaknya, koruptor nggak usah lagi makan duit rakyat. Makan aja tuh dari 'sin city'. Mari kita berhenti jadi orang munafik. Legalisasi aja prostitusi dan perjudian. Coz, wc 're living in material world, for sure!"
(EDI BROKOLI, a big fan of money/presenter)
PRAKATA PENULIS
SAYA tak pernah mcmperkirakan sebelumnya, kalau buku Jakarta Undercover (Sex 'n the city) mendapat sambutan hangat di tengah masyarakat. Saya bersyukur dan merasa beruntung karena berkat buku tersebut, saya bias berdialog dengan banyak orang. Tidak sembarang dialog—dan bagi saya ini sedikit mengejutkan, karena yang menjadi topik pembicaraan adalah persoalan seks dan seksualitas. Satu tema yang bagi sebagian bahkan mungkin banyak orang masih dianggap tabu —atau takut-takut, untuk membicarakannya.
Benar kata ujar-ujar, pengalaman adalah guru terbaik. Itu juga yang saya temukan dan pelajari ketika saya berdiskusi dengan banyak orang dengan pikiran yang berbeda-beda. Dari khalayak umum, cendekiawan sampai mahasiswa yang bergelut dengan bidang study yang berbedabeda.
Ketika misalnya saya diundang ke Yogyakarta dan berdiskusi dengan khalayak ramai di kampus Universitas Gadjah Mada (UGM), Institut Agama Islam Negeri (IAIN) Sunan Kalijaga dan sejumlah kampus lain seperti Univesitas Diponegoro (Undip) Semarang, Universitas Satya Wacana Salatiga, Universitas Airlangga (Unair) Surabaya, Universitas Parahyangan (Unpar) dan Universitas Islam (Unisba) Bandung, Universitas Jember (Unej) serta ke beberapa toko buku seperti di Gramedia dan Toga Mas, saya banyak menemukan pertanyaan menggelitik dan pengalamanpengalaman baru.
"Apa sih, misi dan tujuan diterbitkannya buku Jakarta Undercover (Sex 'n the city)? Mengapa fenomena seks yang diangkat? Mengapa pula masalah perilaku seks yang di mata masyarakat umum masih dianggap tabu itu diekspos habis-habisan? Apa tidak muncul ketakutan kalau pada akhirnya, buku Jakarta Undercovermenjadi sex-guide-tourdan memberi dampak negatif kepada masyarakat?"
Pertanyaan seperti itu, sebagian besar juga saya temukan ketika saya berdiskusi di beberapa kampus di Jakarta, seperti di Universitas Indonesia (UI), Universitas Atma Jaya, dan Universitas Islam Negeri (UIN)—yang dulunya bernama IAIN Syarif Hidayatullah, tempat saya berkuliah selama 4 tahunan.
Saya katakan, tujuan diterbitkannya buku Jakarta Undercover (Sex 'n the city) tidaklah muluk-muluk. Ya, apalagi kalau tidak untuk memberikan informasi kepada masyarakat bahwa ternyata ada lho realitas kehidupan seks seperti Nudies Party Bawah Tanah, Seks Sandwich Sashimi Girls, Melrose Place Hi-Call Girls, Seks Bulan Madu Pajero Goymig, Kencan Bule-Bule Impor dan sebagainya. Lalu, mengapa mesti masalah seks? Karena jarang—atau malah boleh dibilang, belum ada satu buku pun yang mengekspos tentang kehidupan seks di Jakarta secara tuntas dan terangterangan (baru belakangan mulai marak). Itu juga, mungkin, yang membuat persoalan-persoalan seks selalu menarik untuk dibicarakan. Dan satu lagi, seks sampai saat ini masih menjadi "makhluk ajaib" yang menggelitik minat orang untuk mengetahuinya meski dengan malu-malu.
Ihwal kemungkinan dijadikannya buku ini sebagai sex-guide-tour,itu terserah pembaca. Toh, saya sudah berusaha semaksimal mungkin untuk tidak menulis nama dan alamat secara blakblakan. Selain, secara tulisan, hanya isu dan tema saja yang saya "telanjangi", sementara seksnya sendiri, jauh dari kata "telanjang". Itulah mengapa, tidak ada satu tulisan pun yang mendeskripsikan "adegan seks". Saya percaya, pembaca mempunyai sensor memori yang bisa menilai dan menimbang tentang segala sesuatu yang mereka lihat, baca dan amati.
Yang tak kalah menarik, sejumlah pertanyaan tentang latar belakang saya yang besar di lingkungan agamis, juga tak luput dari pembahasan dan muncul ke permukaan. "Bagaimana dengan latar belakang Anda yang santri dan bertahun-tahun mendalami persoalan-persoalan keagamaan? Apa tidak terjadi konflik batin ketika harus menggauli 'dunia malam' lalu menuliskannya?
Juga ada pertanyaan tentang tema dan isi buku yang lebih banyak mengupas kalangan menengah atas dan sebagian besar lebih mengedepankan 'pelaku-pelaku' wanita sebagai obyek pembahasan?"
Bagi saya, beberapa pertanyaan di atas, sedikit banyak membuat saya berpikir sejenak dan bertanya-tanya pada diri saya sendiri. Latar belakang "kesantrian" saya, justru membuat saya terpacu untuk tahu lebih jauh tentang "dunia malam" yang memang tak pernah saya temukan sebelumnya.
Dunia yang saya jalani selama mengenyam pendidikan di Madrasah Ibtidaiyah (MI), Madrasah Tsanawiyah (MTs), Madrasah Aliyah (MA) lalu ke Institut Agama Islam Negeri (IAIN), tak ubahnya ibarat layar putih yang setiap saat selalu tampil dengan wajah yang sama. Padahal, layer dunia tak selamanya putih, tapi juga ada layer hitam yang terkembang di mata kita.
Dunia wartawan lah, yang pada akhirnya membuat mata saya bisa menemukan layar hitam itu. Dan terus terang, membuat saya tergoda untuk masuk dan mencari-cari tahu: ada apa di dalamnya(?). Salah satu hasilnya ya buku ini, yang saya harapkan (semoga) bisa menjadi informasi yang berguna buat masyarakat Paling tidak, masyarakat jadi "tahu" untuk kemudian bersamasama mencari-cari jalan pemecahannya. Klise memang, tapi itulah kenyataannya. Mari kita bertemu dulu di sebuah medan untuk berani berbicara tentang seks, lalu mendiskusikannya hingga terbentuk satu opini, untuk kemudian beraksi bersama.
Layar hitam tak selamanya buram dan menakutkan.
Tapi, ternyata ada sisi lain yang tidak saja sarat nilai kemanusiaan. Ketika saya banyak ertemu dan bergaul dengan sejumlali wanita "penjaja cinta", tak melulu dari mereka, motivasinya karena uang semata. Tapi ada juga yang melakukannya karena memperjuangkan sesuatu seperti apa yang ditempuh Vonnie, seorang "massage girl" yang bersedia memberikan jasa layanan cinta kilat dan untuk itu dia bisa mendapatkan Rp 500 ribu - Rp 1 juta untuk one short time,dan dengan uang itu dia bisa mengobatkan "anaknya" yang berusia 6 tahun, tapi hanya bisa tiduran layaknya bayi berumur 1-2 bulan. Belum lagi sisi-sisi lain dari cerita Lina, gadis belia berusia 17 tahun, yang terjerembab ke "dunia remangremang" Jakarta karena "dijual" orang tuanya.
Atau juga cerita tentang Lusi, hingga usianya menginjak 40 tahun, masih melakoni hidup sebagai pekerja seks komersial—belakangan mulai menjadi "mami". Semua itu, dia lakukan untuk menghidupi 3 orang anaknya. Lusi menjadi "single-parent" selama puluhan tahun.
Di sejumlah diskusi lain, juga ada yang bertanya dengan jeli tentang tokoh "saya" yang terdapat dalam setting dan alur cerita, dari judul ke judul. "Mengapa hampir di setiap cerita —meskipun tidak semua, tokoh 'saya' selalu terkesan menjadi orang yang sok moralis, malah cenderung munafik karena tak pemah ikut lebur dalam setiap peristiwa?"
Bahkan, Rieke Dyah Pitaloka dan Ayu Utami dengan nada sedikit jenaka bertanya tentang tokoh "saya" yang menurutnya mempunyai tiga teka-teki. Pertama, tokoh "saya" mungkin seorang homoseksual karena tidak tertarik dengan liukan maut seorang penari tangju (baca=tanggal baju). Kedua, tokoh "saya" mungkin impoten. Ketiga, tokoh "saya" mungkin terlalu tebal keimanannya sehingga tidak tergoda. Wah, muka saya sampai merah mendengarnya. Dengan tersipu, saya mengomentari "perlanyaan" Rieke dan Ayu tersebut dengan setengah bercanda. Tiga persangkaannya agak tidak tepat.
Yang (mungkin) benar adalah tidak melulu tokoh "saya" hanya sekedar mengamati. Tapi, lebih dari itu, tokoh "saya" kan juga ikut "nyemplung" ke lapangan secara langsung. Kalau ternyata di salah satu cerita, tokoh "saya" emoh diajak kencan dengan gadis cantik di dalam mobil Pajero Goyang misalnya (bahkan berada di depan bersama sopir), itu hanya bagian dari setting dan alur. Ada kalanya tokoh "saya" hanya sebagai pengamat yang baik, tapi ada kalanya pula tokoh "saya", mau tidak mau mesti menjadi pelakon atau bahkan sutradara yang baik.
Dalam beberapa kasus, saya mau tidak mau terkondisikan untuk "ikut" dalam beberapa peristiwa. Dalam kasus "nudies party" misalnya, syarat untuk bisa masuk, pertama-tama mesti menanggalkan baju. Ya, pada kasus itu, saya pun —mau tidak mau, menanggalkan baju. Logika sederhananya, bagaimana mungkin saya menuliskan fakta yang terjadi secara "telanjang", kalau saya tidak ada di dalam pesta itu.
Pertanyaan-pertanyaan yang hampir senada, ternyata juga saya temukan ketika saya diundang ke beberapa radio di Jakarta (Hardd ock
FM, Kosmopolitan, I- adio, MTV On Sky, Prambors, Female, "U" FM, "S" adio, adio One, M97FM& Smart FM), Surabaya (Colours, I Pro 2FM&. Suara Surabaya), Yogyakarta (Trijaya& Sonora), Malang (MAS FM) dan Bandung (Ardan, 99 FM, Oz, MGT, Hard ock FM dan ase).Atau ketika saya menjadi "bintang tamu" di beberapa acara televisi seperti dalam acara Halaman Depan dan Sensualdi Trans TV, Selamat Datang Pagi (SDP) di RCTI, Love & Life dan Midnight Live di Metro TV maupun di sejumlah tayangan infotainment sebut saja Kabar-Kabari dan Cek & icek di RCTI, KISSdi Indosiar, 99%dan Kroscek di Trans TV, Inside Celebritiesdi TV-7, Hot Shotdan Posterdi SCTV, BMon TV dan Jumpa Pers di Lativi serta Go Showdan Celebrity Update di TPI, yang nyaris menghiasi layar kaca, dari hari ke hari.
Yang membuat saya cukup terkejut adalah ketika saya diundang menjadi narasumber di acara Midnight Live di Metro TV, pada akhir September 2003. Selama satu setengah jam saya memaparkan tentang dinamika kehidupan malam Jakarta. Dan pada saat ada sesi interaktif dengan pemirsa, saya kaget karena ada sekitar 800 SMS dan 400 penelepon yang masuk hingga menyebabkan komputer "jump". Bagi saya, data ini tentu saja makin menegaskan, betapa banyak aspirasi masyarakat yang ingin tahu secara nyata soal kehidupan "remang-remang" di Jakarta. Meskipun sadari awal saya sudah memprediksi akan di"serbu" dengan aneka pertanyaan sulit dan tak disangka-sangka, tetap saja bagi saya dialog dengan publik itu memberi banyak masukan yang amat berarti. Tidak saja sebagai tambahan wawasan dan pengetahuan baru, tapi lebih dari itu, menjadi kritik membangun untuk membuat karya yang lebih baik dari sebelumnya.
Semua pertanyaan yang muncul, memang selalu ada jawabannya. Ada yang puas, ada pula yang belum atau malah tidak sama sekali. Hal itu saya pikir, alami. Makanya, ketika merampungkan Jakarta Undercover (Sex 'n the city)jauh sebelumnya saya sudah menyiapkan kelanjutannya.
Bukan apa-apa, realitas sosial—dalam hal ini kehidupan seks di Jakarta, seperti yang tergambar dalam buku Jakarta Undccover (Sex 'n the city), hanyalah seujung jari kelingking dari realitas kehidupan seks yang terjadi di Jakarta.
Selama hampir enam tahun, saya menggeluti "dunia malam"—bisa juga disebut dengan istilah "dunia abu-abu" atau "dunia remang-remang", realitas kehidupan seks yang saya temukan, begitu amat beragam. Dan rasa-rasanya—untuk yang satu ini saya yakin, tidak mungkin bisa membahasnya secara tuntas dan menyeluruh hanya dalam satu buku.
Buku Jakarta Vndercover-2 (Karnava Malam) ini menjadi pelengkap dari buku sebelumnya. Kalau dalam buku pertama, lebih banyak mengupas perilaku seks yang terjadi di kalangan menengah atas saja—dalam hal ini melibatkan dua tema besar: (1) seks industri yang diwakili sejumlah tempat hiburan elit yang menyuguhkan aneka menu seks sebagai main course-nya,(2) gaya hidup kalangan menengah atas yang terbiasa dengan perilaku seks bebas, maka dalam buku kedua ini bersifat lebih "menyeluruh"; dari realitas kehidupan seks yang terjadi dari kalangan bawah, menengah sampai atas, akan dikupas bab demi bab.
Harapan saya, buku kedua ini bisa menjawab sejumlah pertanyaan, komentar atau kritik yang terlontar sebelumnya. Lagi-lagi, mungkin tidak semua saran, pertanyaan dan kritik, bisa terjawab tuntas dalam buku Jakarta Undercover 2 (Karnaval Malam)ini. Makanya, jangan malu-malu — apalagi sungkan, untuk melontarkan kritik, saran dan pertanyaan. Ya, kepada siapa lagi saya bisa bertukar pikiran, kalau tidak salali satunya, kepada pembaca.
Berbeda dengan buku sebelumnya, isu dan tema dalam buku kedua ini, sebagian besar— hampir 80%, belum pernah dimuat di media apa pun. Sementara 20%-nya, secara tema pernah dimuat di beberapa media cetak seperti di majalah Male Emporium {ME) dan Djakarta. Akhirnya, buku ini
— lagi-lagi, bisa rampung karena bantuan dan dorongan sejumlah pihak. Untuk itu, saya mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada: Yang pertama, Allah SWT yang masih mengijinkan saya untuk menginjak bumi-Nya dan berkarya dengan segala karunia-Nya.
Yang kedua, terima kasih yang setulustulusnya kepada kedua orang tua saya, abah H. Markun dan ummi H. Musri'ah juga kakak-kakak (Muflihah, Minhaj <alm> & Mashfufah) dan adikadik saya (Nafisah & Mutammimah) yang senantiasa—dan tak kenal lelah, memberikan dukungan moral dan spirit dari waktu ke waktu.
Juga buat teman-teman terbaik saya: Aip Leurima: "tengkyu jaz", Janner "Tongclay" Siahaan: "tengkyu aa", Chris Luhulima, Kiki Susilo: "tengkyu co", Dodi Tri Widodo: "tengkyu Pak Dosen", Cornelia Agatha: "tengkyu darling", Echa-Kum-Kum: "tengkyu say", Sonny Lalwani, Rizal Mantovani, Abdee & SLANK-nya, Bebi Romeo dan Tommy F Avvuy: "tengkyu my man, tengkyu my brur" serta Garin Nugroho: "matursuwun yo mas". Juga buat Desmond J. Mahesa: "makasih ya bang untuk semuanya".
Untuk Susy "Sisi" Harlianti: makasih banget for afternoon teanya yang begitu santai dan membuat saya bisa tertawa, berpikir serius dan tertawa lagi.
Juga buat Hermawan Kertajaya bersama Mark Plus-nya: terima kasih untuk "buz on buz" marketing-nya.
Buat Ria Irawan, Aa Izzur, Teuku Ryan, Audy, Anya Dwinov, Vira Yuniar, Novia Ardhana, Dewi, Ricky Jo (my bro), Vicky Burki, Jose Purnomo, Lusy Rahmawati, Meisya Siregar, Happy Salma dan Edi Brokoli: terima kasih untuk dukungan, senyum dan candanya selama ini.
Tak lupa juga buat teman-teman di Gagas- Media & AgroMedia: bos Anton, bos Andi, kang Hikmat, kang Tanudi dan juga mas Julius (Galang Press), Pak johan dan mas Arif dari Toga Mas, saya sampaikan terima kasih lho atas kerja kerasnya sehingga buku saya bisa tetap eksis di pasaran.
Tak ketinggalan buat anak-anak Menteng dan anak-anak Gardu: Pak Rey & Devy, dik Miko, Lisa, Didit, "tante" April, Risa "yayang", (de) Silvi, mas Eko, Dedi Batak, (Pra) Susi, Popy, Melly Zamri, Jo Marcela, Ane J Goto, Gugun Gondrong, You Die, Weny, Wisnu "nyo", Wisnu Andhika, Luftan, Lena, Boy kecil, Boy gede, Morie, Satria, Dina Nirmala, Erwin, Richard, Edwin Abeng & Ririn, Jimmy, Reta, Dina "Chris" dan nama-nama lain yang tak sempat saya sebutkan satu per satu. "You're the best and all the best..!"
Terima kasih juga untuk Bang Paul dan Bang Fritz yang banyak memberikan pelajaran berharga bagaimana menerima dan memaknai "hidup". Untuk "neng" Ussy Sulistyawati, Jane Shalimar, Trie dan Tasya: "Good luck ya, semoga sukses mengejar impian."
Juga buat rekan-rekan penulis: FX Rudy Gunawan, Richard Oh, Djenar Maesa Ayu, Ayu Utami, Nova Riyanti Yusuf, Sitok Srengenge dan Fira Basuki, saya ucapkan "thanks banget" untuk diskusi dan obrolan yang meski santai tapi sarat makna itu.
Buat "gang" Boutique 21, Plaza Senayan: Herlan, Alice dan beberapa teman baik yang menjadi member-guest Grace, Fetty, Oge, Riri, Tejo "TTC" Edy Bogel, Peggy dan Iain-lain, yang setia duduk berjam-jam dengan berbagi cerita dan tawa. "Tengkyu ya ......!"
Ucapan terima kasih dengan timbangan yang sama, saya sampaikan buat Pak Mujimanto Asmotaruno (alm) dan "rekan-rekan" di majalah Male Emporium (Cintya, Dede dan Andriza,) dan I-Radio (Rafiq, Tony dan Untung D). Juga buat gang di Indigo (Pak Will, Ardy, Chris, Agung dan Ludy) yang pernah memberi kesempatan pada saya untuk menggarap liputan lifestyledi Silet,RCTI.
Saya ucapkan terima kasih juga buat Heriyadi H. Sobiran—Pemred majalah Popularyang selalu bersedia membukakan pintu lebarlebar untuk berkonsultasi tentang banyak hal, juga Dono Baswardono, mas Dadi Darmadi yang lagi "memeluk" buku di Harvard University, Baby Jim Aditya, Bung Gege dan Mami Di serta sejumlah nama lain yang rasanya terlalu panjang kalau disebutkan satu per satu.
Terakhir, buat rekan-rekan wartawan yang ada di media elektronik dan media cetak (koran, majalah, tabloid, tv dan radio) yang turut andil besar dalam mempromosikan buku Jakarta Undercover ke masyarakat luas, saya sampaikan terima kasih yang sebesar-besarnya. Hanya se-baris ucapan sederhana itu yang bisa saya berikan. Selamat berkarya!
Sebaris ucapan sederhana itu yang bisa saya berikan. Selamat berkarya!
Nama, tokoh dan tempat yang terdapat dalam buku ini, banyak yang disamarkan/diinisialkan. Apabila ada penyebutan nama, tokoh dan tempat dalam arti sebenarnya, semata-mata hanya demi kepentingan penulisan belaka tanpa adanya maksud dan lujuan untuk mencemarkan.
Terima kasih.
PENDAHULUAN KARNAVAL MALAM:
KETIKA KELAMIN
JADI LOGIKA (?)
KETIKA KELAMIN
JADI LOGIKA (?)
"KENAPA laki-laki rela menghamburkan uang jutaan rupiah demi mendapatkan kenikmatan sesaat?" Atau... "Kenapa pula tak sedikit wanita yang membelanjakan uangnya untuk mendapatkan kencan kilat di pelukan laki-laki 'penjaja cinta'?"
Sebuah pertanyaan yang muncul pada satu sore yang menyejukkan di pertengahan Juli 2003, ketika saya bersama dua teman baik saya; sebut saja Indra dan Lucky, tengah asyik menyeruput secangkir kopi panas di kafe Boutique 21 — tempat saya bersama teman-teman sering menikmati happy hoursatau afternoon ten,Plaza Senayan, Jakarta Selatan.
Ini, bukan kali pertama, kedua atau ketiga, kami biasa mengobrol santai ihwal perilaku seks yang terjadi di ibu kota. Tiap ada waktu senggang di kala sore, kami selalu kontak dan "janjian" nongkrong di Plaza Senayan.
Dua karib saya itu—Indra dan Lucky, termasuk "clubber mania" yang tak pernah lepas dari aktivitas dugem. Soal "road show" dari kafe ke kafe atau dari diskotek ke diskotek, sudah jadi makanan saban malam gaul — Rabu, Jumat dan Sabtu malam. Pantas memang, kalau sosok mereka sudah tak asing di kalangan "nite society" Jakarta. Sebutan yang pas buat mereka, bukan lagi "member guest" tapi "member face" karena wajahnya nyaris ada pada setiap malam-malam clubbing.
Saya termasuk yang rajin pergi "dugem" bersama mereka ke sejumlah kafe atau diskotek trendsetter.Sudah hampir tiga tahun terakhir ini, mereka menjadi teman setia selama melancong ke sejumlah tempat clubbing,tidak saja yang hanya menyuguhkan sajian suasana dan musik yang menggoda, tapi juga sering kali menyempatkan diri singgah ke sejumlah tempat hiburan yang menyediakan paket-paket "pelesir cinta".
Indra, berusia 30 tahun, sehari-hari menjadi manager promosi untuk sebuah perusahaan rokok merek internasional. Sementara Lucky, berusia 34 tahun, punya istri dan dikaruniai satu anak, mengelola sebuah restoran di kawasan Kemang, selain juga punya "bisnis pribadi" di bidang eksporimpor cengkeh dan kopi.
Uniknya, selama sekian taliun ber"tualang" bersama, tetap saja selalu muncul pembicaraan— boleh juga disebut "perdebatan", tentang perilaku seks yang kami temui bersama-sama. Misalnya ketika kami baru saja malamnya menonton ramerame pertunjukan penari tangju di private room sebuah karaoke elit di kawasan Hayam Wuruk, Jakarta Barat, sorenya kami punya cerita yang berbeda-beda.
"Gue rada jijik banget ketika Sisca memasukkan sebatang rokok ke kemaluannya. Gue terus terang langsung ilfil (ilang filing). Makanya, gue milih ngedeketin si Clara," tukas Indra.
"Ah, itu nggak ada apa-apanya dibanding ama striptis di Thailand yang berani memasukkan silet Gue malah jadi tertantang sebagai lakilaki," sahut Lucky.
"Gue malah nggak tahu mau ngapain lagi. Habisnya, gue udah keburu takjub duluan sih," saya menimpali, menahan senyum. Itu belum seberapa dibanding misalnya ketika saya mati-matian bertanya kepada Indra dan Lucky ihwal banyaknya laki-laki — termasuk mereka berdua, yang dalam semalam bisa menghabiskan Rp 5-10 juta untuk mendapatkan kenikmatan sesaat yang ditawarkan sejumlah tempat hiburan elit di Jakarta. Padahal, kalau dipikirpikir, hampir semua paket scks yang ditawarkaii sebenarnya hanyalah fantasi dan semu belaka. Ketika seorang laki-laki rela menghamburkan uang jutaan rupiah untuk mendapat pelayanan Seks Sandwich Sashimi Girls, Lulur Tripel-X atau Mandi Susu ditemani dua atau tiga gadis sekaligus, kenikmatan apa sebenarnya yang didapat?
"Untuk urusan seks, ukurannya tidak bias disamaratakan dengan misalnya membeli barangbarang mewah. Bagi gue, membeli fantasi atau nggak, yang penting bisa happy,bisa seneng. Itu saja," jawab Lucky.
"Gue setuju ama lo. Gue nggak tau mesti ke mana lagi mencari rekreasi untuk mencari kesenangan. Untung ada tempat-tempat hiburan yang menyediakan jasa pelayanan seks, macem-macem lagi bentuknya. Di situlah, gue bisa seneng-seneng. Ya, nggak?" timpal Indra sambil melirik ke arah Lucky.
"Lo berdua enak, punya duit banyak. Nah, gue?"
"All, lo kan tinggal ikut doang. Yang bayar kan, kita-kita juga. He..he....," Lucky dan Indra tertawa serentak. "Enak aja. Kan nggak tiap hari." Saya tertawa lepas. JAM sudah menunjuk angka 21.15 WIB, ketika akhirnya kami
memutuskan untuk hengkang dari Plaza Senayan. "Cabut yuk. Udah sepi. Mendingan kita ngobrol sambil nge-wine di lounge.Biar lebih asyik," ajak Indra.
Seperti biasa, pada Rabu malam, kami bertiga biasa mampir dulu di salah satu lounge di kawasan Taman Ria Senayan. Suasana lounge yang cozy ditemani red wine dan musik acid jazz yang melantun syahdu, membuat kami betah dan makin larut dalam obrolan seru.
"Eh, mumpung gue inget. Lo berdua saying nggak sih, keluar duit jutaan rupiali hanya untuk 'ngobrol' dengan Victoria, bule Uzbekistan itu?" saya membuka pembicaraan.
"Nggak lah. Ngapain juga sayang duit. Emang punya duit buat apa, kalau tidak buat dibelanjain. Ya, nggak," jawab Indra singkat.
"Lagipula, karena kita perginya ke tempat hiburan elit, jadinya memang mahal. Tapi, kan banyak juga tempat-tempat kencan yang murah meriah dan selalu ramai dikunjungi tamu. Ukurannya, bukan lagi duit. Tapi, keinginan," sergah Lucky menambahi.
Mungkin benar omongan Lucky. Yang mendasari orang pergi ber-"wisata birahi" pada akhirnya kembali pada keinginan masing-masing orang. Karena kebetulan, Indra dan Lucky punya duit, tentu punya selera yang berbeda. Dengan pola dan gaya bidupnya yang serba "borju" itu, rasanya memang pas kalau mereka lebih suka menghabiskan waktu untuk mencari teman kencan di tempat hiburan elit, kalau tidak ke klub yang isinya rata-rata "member guest", ya ke karaoke yang punya private room dengan privacydan pelayanan yang oke punya.
"Kalau dipikir-pikir kepuasan macam apa yang lo dapet, dengan membeli paket-paket seks yang sebenarnya lebih banyak menawarkan fantasi itu?"
"Serius nih nanyanya? Lo nggak tahu, atau pura-pura?" sindir Lucky sambil melirik ke arah saya. "Boleh dong, kita tukar pikiran. Biar sedikit serius gitu, he he..." timpal saya.
"Justru kenikmatan seks itu terletak pada fantasinya, game-nya.. Coba waktu kita makan daging sushi dengan nampan wanita telanjang atau waktu kita "dikerjain" gadis-gadis "no hand service" atau "mandi susu" ditemani tiga gadis sekaligus, seru kan. Dan yang jelas, beda dari yang lain. Kalau cuma pengin seks kilat yang standar, wah, itu nggak ada seninya. Kuno," jawab Lucky.
Sementara itu, Indra yang duduk sambil mengembuskan asap rokok Marlboro Light-nya hanya menganggukkan kepala. Di tengah seru-serunya kami berbincang,muncul salah seorang karib wanita saya—sebut saja Wanda, yang sering ikut menemani saya clubbing ke sejumlah kafe trendsetter. Seharisehari, Wanda bekerja sebagai marketing manage di sebuah hotel bintang empat di Jakarta.
Wanita lajang yang berusia 27 tahun dan sering dugem ke sejumlah tempat untuk sosialisasi itu, datang bersama seorang laki-laki. Begitu melihat ke meja kami, Wanda langsung menghampiri.
"Bosen deh, ketemu lo melulu. Lagi ngobrol serius ya?" tanya Wanda. "Nggak, kita lagi iseng ngobrol soal seks. Mau gabung nggak?" ajak saya. "Wah, seru dong. Boleh deh. Emang lagi ngomongin apa?" sambung Wanda.
"Nah, kalau kata Lucky dan Indra, tak masalah "jajan" dengan uang jutaan rupiah untuk mendapatkan kenikmatan seks meskipun mereka sadar kalau sebenarnya hanya membeli fantasi," ujar saya menyimpulkan.
"Sah-sah saja. Dan menurut gue, bukannya memang begitu tipikal laki-laki yang hobi pesta, hura-hura dan jajan. Nggak cuma India ama Lucky aja. Apa lo juga begitu?" tanya Wanda sambil mencubit lengan saya.
"Bisa aja lo. Terus, ada nggak sih tementemen lo yang perempuan yang juga seneng jajan, beli laki-laki?" goda saya.
"Jangan salali. Banyak kok perempuan yang pergi ke klub-klub nyari laki. Kalau nggak gitu, ya pesan gigolo secara pribadi," jawab Wanda dengan kalimat lugas.
"Siapa aja sih? Temen lo kan banyak," goda Lucky.
"Ya, ada lah. Lo tahu nggak si Mirna, salah satu gang arisan gue. Dia rajin pergi ke gymdi kawasan Kebayoran Baru. Bukan mau olahraga, tapi ambil laki-laki yang bisa dibayar untuk kencan semalam," jelas Wanda.
"Belum lagi, beberapa temen gue yang sering bikin arisan dengan piala laki-laki. Setiap bulan. Kaget nggak lo?" sambung Wanda. "Ngapain susah-susah. Bilang ama teman lo itu, kenapa nggak gue aja. Gue siap kok jadi "piala"-nya. Gratis lagi," ujar Lucky sambil tertawa. "Emang lo mau ama Mirna yang sudah STW itu? Hayoooo," ledek Wanda. "Wah, sudah setengah tua ya? Nggak jadi deh kalau gitu," sergah Lucky buru-buru. "Lo sendiri gimana, Wanda? Sering 'jajan' juga nggak? He...he...," Lucky balik bertanya.
"Gue sih yang asyik-asyik aja. Masak, gadis secantik ini harus 'beli' laki. Sekali lirik, pasti banyak laki-laki yang mau. Puas lo," jawab Wanda percaya diri sembari tersenyum genit.
"Oh, jadi lo lebih suka having sex, tapi nggak mau yang pakai bayar?" tanya saya.
"Ya, iya lah. Gampang kok nyari pasangan untuk kencan semalam. Tinggal ke kafe, lirik kiri kanan, ada yang ganteng, senyum dikit, kenalan, minum bareng, beres deh. Tinggal check in,"tukas Wanda dengan kalimat mengalir.
MALAM terus beranjak. Entah sudah berapa gelas jack daniel on the rock yang kami habiskan. Ah, minum alkohol di kale, rasanya memang sudali jadi social-life sendiri dan menjadi "teman setia" yang tak pernah rewel. Sekitar pukul 22.00 WIB, kami berpisah. Indra dan Lucky katanya ada acara dinner bareng keluarga, sementara saya memilih untuk clubbing.
Persoalan seks memang misterius, semisterius alasan laki-laki yang terbiasa "jajan" ke sejumlah tempat pelesir cinta. Menarikiiya, para lelaki yang doyan jajan itu, rata-rata mempunyai latar belakang yang berbeda. Tapi kebanyakan yang pergi ke tempat hiburan elit, ya punya usaha yang sukses atau dasarnya memang sudah punya banyak duit.
Dengan latar belakang seperti itu, ternyata dari hari ke hari, mereka inilah yang menjadi "tamu setia" yang rela membelanjakan uang dalam jumlah besar. Sementara para lelaki yang juga doyan jajan ke sejumlali tempat pelesir cinta untuk kalangan kelas bawah-menengah pun, tak kalah ramainya. Malah, jumlahnya lebih banyak.
Mudah ditebak, kalau di salah satu panti pijat "langsung enak" di kawasan Grogol, sebut saja MDK, yang mempunyai tenaga gadis pemijat tak kurang dari 200 orang itu, dari pukul 14.00 WIB sampai pukul 03.00 WIB dini hari, tak pernah sepi pengunjung. Dengan hanya bermodal tak kurang dari Rp 200 ribu, tamu bisa mendapatkan pelayanan "pijat langsung enak", sudah termasuk biaya kamar dan minuman ringan.
Atau berapa banyak laki-laki yang saban malam memboking gadisgadis pekerja seks komersial yang mangkal di kawasan Monas, sekitar Bulungan, Jakarta Selatan, kawasan Taman Sari dan Hayam Wuruk, Jakarta Barat serta sejumlali tempat lainnya.
Menariknya lagi, ternyata tidak hanya lakilaki yang doyan "jajan" atau terbiasa dengan pestapesta yang sarat dengan nuansa seks, tapi banyak wanita yang melakukan "pelesir cinta" mencari laki-laki yang bisa diboking untuk kencan. Ada wanita yang meng-ordergigolo via germo, ada juga yang langsung mendatangi sejumlah salon dan "rumah cinta" yang menyediakan laki-laki pekerja seks komersial. Makanya, saya menggunakan istilah karnaval untuk memberi identitas aktivitas mereka itu. Karnaval dalam pengertian sederhananya, menjadi simbol perayaan sebagian orang yang tak lagi peduli dengan identitas, pangkat, jabatan, usia, jenis kelamin dan sebagainya. Karnaval menjadi idiom kebebasan orang untuk berekspresi, melakukan segala aktivitas yang mereka inginkan. Sementara malam sendiri menjadi satu simboi perbuatan yang mengarah pada aktivitas "abu-abu" yang di mata banyak orang lepas dari tatanan nilai kelaziman dan berujung negatif.
Sebenarnya, tenia Karnaval Malam ini secara sederhana ingin memberikan ilustrasi tentang bagaimana sebuah komunitas, baik laki-laki maupun wanita, yang secara beramai-ramai melancong ke sejumlali tempat "pelesir cinta" atau dengan gembiranya menciptakan pesta-pesta pribadi yang ujung-ujungnya bermuara pada pelampiasan seks semata. Atau dalam bahasa yang sedikit ekslrim, tenia Karnaval Malam ini ingin memberikan gambaran secara terbuka tentang bagaimana laki-laki dan wanita melakukan "parade seks" secara massal.
Dalam kondisi seperti itu, betapa banyak laki-laki dan wanita yang pada akhirnya menjadikan seks sebagai akhir dari semua. Seks menjadi puncak dari segalanya. Orgasme seolah-olah tinggal salu-satunya harapan unluk meraih puncak rekreasi dan kesenangan. Akhirnya, yang terjadi adalah betapa banyak laki-laki dan wanita—entah mereka yang orientasi seksnya cenderung heteroseksual, transeksual, bomoseksual sampai lesbian, pada akhirnya terjebak dan lerperangkap dengan logika kelaminnya.
Mereka tak lagi berpikir dengan akal sehatnya, tapi menggunakan kelamin sebagai pijakan berpikir. Jadinya? Ya, uang, keluarga, jabatan, nama baik dan Iain-lain, bukan lagi menjadi persoalan besar. Yang penting bisa senang-senang dan mereguk kenikmatan hidup sepuas-puasnya. Dan bagi mereka yang menjadikan "seks" sebagai pekerjaan, yang penting bisa mengeruk uang sebanyak- banyaknya.
Logika kelamin inilah, yang pada akhirnya membuat tempat-tempat pelesir cinta tak pernah sepi. Saban hari tempat-tempat seperti klub, karaoke, panti pijat, salon, hotel, sauna, rumah cinta dan Iain-lain yang semuanya berlabel tripel-X dengan menawarkan aneka pelayanan seksual, selalu dipenuhi desah napas mcmburu dan berakhir di ranjang tak bertuan. Begitu gampangnya menemukan tempat-tempat itu, sehingga orang tak perlu lagi bersusah payah mencari "teman kencan" untuk sejam atau semalaman.
Pijat seks dengan aneka menu spesial, dari "pijat dada super", "pussy-service" sampai "mandi kucing" tersebar di tiap sudut kota. Karaoke dengan paket-paket seks menggoda, dari striptis sampai "kencan kilat" dengan lady escort pribumi dan luar negeri menghias di gedunggedung mewah. Hotel-hotel dengan kasur yang nyaman, setiap saat tak lepas dengan paket "selimut hidup".
Salon dan apartemen pun, tak luput memanaskan udara siang dan malam dengan aktivitas seks yang menggebu-gebu. Belum lagi, hadirnya beberapa komunitas yang rajin membuat pesta-pesta seks, makin meng-"abu-abu"kan wajah Jakarta.
Dari menit ke menit, orang-orang ber-karnavalmalam seolah tanpa kenal lelah dengan menjadi tamu setia unluk mereguk kenikmatan duniawi. Pantas memang, kalau industri seks di Jakarta, seperti tak lekang ditelan waktu. Meski badai krisis tak jua surut, tctap saja banyak pria dan wanita yang "berwisata birahi"; menghamburkan uang demi mencapai "orgasme", walau hanya sesaat! Tidak saja "wisata birahi" itu berlangsung di dalam ruang publik, tapi di wilayahwilayah pribadi pun, tak kalah dahsyatnya.
Saya mengibaratkan realitas kehidupan malam Jakarta ini dalam satu kalimat sedcrhana: di depan mata ada panti pijat plus, di samping kiri ada sauna plus, di samping kanan ada karaoke plus dan di belakang ada salon plus.
Buku ini, lagi-lagi saya tegaskan, adalah sebuah potret tentang realitas kehidupan yang ada dan terjadi di sekitar kita. Judul Jakarta Undercover sendiri kalau disingkat menjadi JUC (baca: J, u see). Arti tegasnya kira-kira begini: "Ini lho Jakarta, lo liat deh!!!"
DAFTAR ISI
Prakata Penulis
Pendahuluan:
Karnaval Malam: Kelika Kelamin Jadi Logika (?)
Pendahuluan:
Karnaval Malam: Kelika Kelamin Jadi Logika (?)
Daftar Isi:
Karnaval I: Club One-Stop-Sextainment
1. Blue Sauna Eropa Timur
Karnaval I: Club One-Stop-Sextainment
1. Blue Sauna Eropa Timur
2. "Afternoon Sex" China Girls
3. "Tangju" & "Hand-roll" Service after Lunch
4. Seks & Surga Gedhek "3 Nite Party"
5. "Mount Blow" Service & Loly Thai
6. Hottest Club, Nude Hostess
Karnaval II: Private/Sex Party
1. Erotic Nurses Party, Girls No Bra & Sexy Boys Dancer
2. Pesta Tanggal Separuh Baju
3. "Guys Trophy" Klub Arisan Seks
4. Striptis "Threesome": Private Live Show
5. Swing Partner Party Klub "Casa Rosso"
Karnaval III: Sex Community/Sex Commodity
1. "Love House" Gadis-Gadis Kawanua
2. Gay Nite & Lesbian Society
3. "One Nile Stand" Gadis-Gadis Mickey Mouse
4. Gigolo All the Nite, Gigolo All In
5. Bursa Seks Cewek-Cewek Impor
6. Bisnis Basah "Wisata Birahi"
Karnaval IV: Hotel/Massage Tripel-X
1. lesbian Package Tengah Malam
2. "Dobel Pintu" Girls Package
3. "Super Massage" Mandi Kucing
4. Pijat Dada Super 36 B
5. "Massage Boys" Punya Sclera
6. Layanan Luar Dalam "Massage Teenagers"
7. "Cocktail Girls" V-VIP Room
Epilog (tanpa penghabisan): Never Ending Story
Karnaval I: Club One-Stop-Sextainment
BLUE SAUNA
EROPA TIMUR
SEJUMLAH tempat kebugaran di Jakarta yang bertarget market kalangan elit, tidak hanya menggunakan jasa wanita lokal tapi juga menggunakan wanitawanita Eropa Timur sebagai jualan utama.
Semua bermula dari keisengan. Dan keisengan itu dipicu oleh Chandra. Pria berumur 35 tahun yang sehari-sehari mengomandani sebuah biro iklan yang berkantor di kawasan Gatot Subroto itu, dengan cerewetnya menantang Riko untuk bertualang dengan gadis-gadis dari Eropa Timur.
Menjelang malam, saya, Chandra dan Riko tengah menikmati after-hours di Hard Rock Cafe, Jl Thamrin, Jakarta Pusat. Kebetulan, Chandra baru saja ada meeting dengan klien di sekitar Sudirman, sementara Riko baru selesai fitnes di sekitar Menteng dan saya memang kebetulan lagi berada di sekitar Cikini ketika Chandra dan Riko mengajak minum-minum sambil menunggu
jam-jam macet. Kami bertemu di HRC sekitar pukul 17.30 WIB. Pada jam ini, lalu lintas memang tak kenal ampun. Di mana-mana pasti terjadi kemacetan.
Apalagi Chandra yang rumahnya berada di Bintaro sementara Riko di Cibubur, pastinya bakal kelamaan berada di dalam mobil karena biasanya lalu lintas, baik jalan biasa maupun tol, macet parah.
"Kita ngebir sore-sore. Daripada gue tua di jalan," ceplos Chandra begitu bergabung di meja saya. Riko muncul sepuluh menit kemudian dengan masih mengenakan celana sport-nya.
"Gue mau minum OBS1. Lo berdua mau ngebir aja."
"Siiiip, dah."
Seorang pramusaji mengantar minuman pesanan kami. Belum lagi live music karena masih sore. Hanya ada suara musik yang diusung DJ melantun syahdu di langit Jakarta yang mulai menghitam tertutup awan senja.
"Katanya lo mo tau banget soal cewek Eropa Timur yang ada di sauna MS. Boongan apa betulan?" pancing saya. "Mau bukti. Nggak mungkin dong, dipanggil ke sini. Mending kita ke sana aja. Masak gue boong," sergah Riko. Setelah hampir satu jam kami asyik menghabiskan beberapa gelas minuman di HRC, akhirnya kami memutuskan untuk hengkang. Sayangnya, saya mesti siaran dulu sekitar satu jam, jadi terpaksa saya berangkat menyusul. "Lo boking duluan, gue nyusul. Biasalah, gue mesti siaran bentar. Swear,gue pasti datang," tegas saya. "Ok. Beneran ya. Awas lo nggak nyusul," sergah Riko.
1 OBS: sejenis minuman yang bisa dijumpai di sejumlah tempat hiburan, terdiri dari campuran 13 jenis minuman beralkohol. Biasanya sering disingkat Orang Bisa Senang (OBS).
Kami pun berpisah di pelataran parkir. Mobil Riko ditinggal dan dia memilih berangkat dengan Chandra yang masih saja setia dengan Terano hitamnya.
SAYA tiba di MS sekitar pukul 21.00 WIB. Ketika saya telepon via ponsel, Chandra mengatakan sudah "stand by" dengan Riko di dalam ruangan "home theatre". Saya langsung memarkir mobil di depan gedung MS yang tampak mentereng.
MS sendiri berada di antara bangunan yang dijadikan sebagai restoran dan pertokoan. MS memang tampak lebih mentereng dan jauh lebih besar dibanding bangunan di sekitar. Bagaimana tidak? Gedung MS itu, kabarnya, dibangun dengan menggabungkan 10 ruko sekaligus menjadi satu. Pantas memang kalau MS tampak mewah, dari luas sampai interior bangunan gedung. Letaknya persis berada di seberang sebuah mal perbelanjaan yang menyediakan aneka keperluan seharihari.
Saya langsung menuju ruangan "home theatre". Di pintu masuk, saya disambut dua resepsionis wanita yang dengan ramah menyilakan saya masuk. Sebelum sampai di ruangan karaoke, saya melintasi sebuah lobby yang dilengkapi sarana restoran. Restoran itu tampak ramai oleh tamu laki-laki dan wanita. Biasanya, di resto inilah sejumlah tamu memilih menghabiskan waktu dengan sekedar minum-minum dan menikmati hidangan yang tersedia sambil menunggu teman, order ruangan karena "waiting list" sampai sekedar cuci mata memelotoli sejumlah LC cantik yang mondar-mandir.
Saya diantar seorang pramusaji menuju ruangan yang ditempati Chandra. Ruangan karaoke yang tersedia di MS ada di semua lantai. MS scndiri bangunannya terdiri dari empat lantai. Rupanya, Chandra menempati ruangan "home theatre'' yang berada di lantai dua. Di MS sendiri fasilitas yang diberikan adalah home theatre,sauna dan shiat-su.
"Lama bener. Mampir ke mana dulu lo?" tanya Chandra begitu melihat saya masuk ruangan.
Saya pikir, MS itu adalali sebuah klub malam yang di dalamnya ada fasilitas disko, karaoke atau resto. Tapi, ternyata MS lebih pas disebut sebagai klub kebugaran dan rileksasi.
Ruangan di "home theater" itu tersebut sedikit lemaram. Sebuali layar besar berada di tengah, nyaris menempel pada dinding. Alunan merdu lagu My Way baru saja berakhir dan berganti dengan lagu No Me Ames. Chandra bersama Riko duduk santai di sofa hitam. Di atas meja terhidang sebotol Jack Daniels atau biasa disebut "jackdi" lengkap dengan Coca Cola dan es batu. Juga ada beberapa piring makanan kecil dan dua piring besar buah-buahan segar. Rupanya, Chandra dan Riko sudah menghabiskan setidaknya lima sampai enam buah lagu. Makanya, begitu saya datang, Chandra sudah bersiap-siap mencari penghangat dan pemanas suasana.
"Lo berdua pacaran ya. Mana wanitanya? Katanya lo member-nya. sini. Garing2 nih suasananya," ledek saya. "Sabar dong. Gue kan nungguin lo," balas Riko.
2 Istilah "garing" sering digunakan anak-anak gaul di Jakarta untuk mengekspresikan sesuatu yang bersifat basi dan tidak mengasyikkan.
Tanpa banyak basa-basi Chandra dan Riko langsung memanggil pramusaji yang bertugas. Tapi saya lebih dulu punya permintaan. Menurut saya, kalau wanila escort-nyapribumi, sudah bosan. Makanya, mesti yang lain, ya apalagi kalau bukan gadis-gadis dari Eropa Timur itu.
"Lo tenang aja. Kita pesan satu-satu. Chan, lo pesan sekarang dong," ceplos Riko disambut dengan tawa Chandra.
Untuk beberapa saat lamanya, Chandra keluar ruangan meninggalkan kami. Saya tak heran, sebagai sosok yang sehari-hari menggeluti bisnis advertising yang sudah lama mengenal dunia dugem Jakarta, Chandra tentu saja mengenal dengan baik "orang-orang" di MS. Dari tingkat staf, manager sampai owner. Hanya butuh waktu tak lebih dari 10 menit, Chandra sudah kembali ke tempat duduknya. Bibirnya menyungging senyum senang. Dengan langkah lebar, Chandra memandang ke kami dan bersantai di sofa. Chandra langsung meneguk segelas jackdie dengan Coca-Cola dan es batu. Tentu saja, Chandra tak mau minum sendirian, dia mengajak kami ber-toastbersama.
Kami akhirnya meminta operator untuk memutar lagu-lagu berirama slow. Hanya sekali dua kali, saya menyempatkan diri menyanyikan lagu Indonesia yang lagi populer. Dari pintu masuk muncul seorang wanita berpakaian rapi. Umumya sekitar 40 tahun lebih. Di dada sebelah kanan, tertulis namanya: Lili. Dia menghampiri kami yang masih saja asyik minum-minum.
"Pak Chandra, mau milih di sini atau ke ruang display ataumau lihat foto aja?" tanya Lili.
Oh, rupanya Lili ini menjadi salah satu koordinator gadis-gadis Eropa Timur di karaoke MS. Menurut Lili, malam itu, stok paling banyak adalah gadis Uzbekistan, Filipina, Thailand dan tentu saja, gadis-gadis lokal. Gadis asal Tajikistan ada sekitar tiga orang, sementara dari Rusia ada dua orang.
"Saya bawa langsung ke sini saja ya Pak Candra, Pak Riko." "Iya, Mami Li. Bawa ke sini aja. Sama aja kan. Yang Uzbek, Tajikistan sama Rusianya saja," sergah Riko.
Untuk sesaat saya kembali mengamati keadaan "home theatre". Hanya ada sofa dan meja lalu kamar mandi. Nah, bagaimana mungkin ada kencan seks kalau ruangan tidak menyediakan fasilitas kamar tidur.
"Kencan seks-nya bukan di sini. Tapi di lantai tiga. Kan judulnya kita ini mau shiat-su atau sauna," jelas Riko dengan bersemangat.
Ternyata, home theatre itu bagi sebagian tamu di MS dijadikan sebagai tempat untuk memilih gadis pemijat yang akan menemani di kamar atau di sauna. Jam di dinding sudah menunjuk pukul 21.45 WIB, di ruangan karaoke ada sekitar lima gadis Uzbek, dua dari Tajikistan dan dua lagi dari Rusia. Mereka berdiri di depan kami sambil menebar senyum. Kemudian mereka mengenalkan diri satu per satu. Buat saya, ini pemandangan yang menakjubkan karena mereka, terus terang, punya wajah cantik dan badan seksi. Saya bingung, mana yang Uzbek, mana yang
Rusia atau mana yang berasal dari Tajikistan. Habis, semuanya tidak ada bedanya. Baik dari warna kulit, rambut, postur tubuh dan gaya bicaranya. Mau nggak mau, saya hanya berulang kali bertanya sama Riko. Kata Riko, dari mana saja sama, yang penting judul besarnya satu: Eropa Timur.
"Udah lah. Sama aja kan. Uzbek kek, Tajikistan kek atau Rusia, sama-sama cantiknya kan. Udah, pilih aja satu yang paling oke," ceplos Riko enteng.
Beruntung di antara gadis-gadis itu ada yang berambut sedikit agak kehitaman. Dan buat saya, gadis itu yang paling menarik. Postur tubuhnya di atas 170 cm, badan agak sintal dan tidak terlalu kutilang (kurus, tinggi dan langsing). Chandra dan Riko, rupanya lebih suka dengan dua gadis yang berambut blonde. Gadis yang bersama saya itu mengaku bernama Zena. Sementara yang dua lainnya bernama Alisa dan Yala. Zena mengaku asli dari Rusia, sementara Alisa dan Yala sama berasal dari Uzbekistan.
Selain memiliki rambut agak kehitaman, ternyata Zena memiliki bentuk bibir yang sering diibaratkan orang dengan delima yang sedang merekah. Gaya bicaranya enak, murah senyum dan ramah. Sementara Alisa berambut pirang lurus, tinggi semampai dan bermata agak bulat.
Wajahnya berbentuk oval dengan bibir tipis berlapiskan lipstik merah. Yala sendiri berambut merah kecokelatan. Rambutnya dibiarkan terurai. Badannya sedikit berisi, bahkan lebih pas disebut sintal. Sekilas tidak beda jauh dengan Zena. Tidak setinggi Alisa tapi mempunyai badan seksi. Baju ketat melekat dengan belahan V yang dikenakan Yala, kelihatan serasi dan jelas memperlihatkan sex appeal-nya yang pasti menggoda setiap mata lelaki. Zena juga tak kalah seksinya dengan baju celana jins dan kaos ketat pendek yang memperlihatkan bagian pusarnya.
Kami akhirnya memutuskan untuk bersantai dulu di home theatre sebelum memutuskan untuk ber-sauna atau pijat shiat-su. Setelah untuk beberapa saat lamanya bercakap dengan mereka, saya baru sadar, kalau sedari awal mengobrol, Zena, Alisa dan Yala, selalu menggunakan bahasa Inggris. Dialeknya tampak terdengar aneh di telinga saya. Dan terus terang, soal dialek ini membuat saya susah payah mencoba memahami apa yang mereka ucapkan.
Beruntung di "home theatre" itu, aktivitas yang terjadi pada akhirnya hanya sekedar minum, ngobrol seperlunya dan menyanyi ramerame. Uniknya, para gadis dari Eropa Tirnur ini pun tidak jago bernyanyi. Zena misalnya dua kali menyanyikan lagu Zombie, sementara Alisa dan Yala dengan fals-nya mencoba menyanyikan lagu Desperado.
BLUE SAUNA, BLUE SHIATSU.
Perlahan tapi pasti, suasana tambah hangat dan merambat panas. Berulang kali, kami saling bertoast ber-sama. Tiga-empat gelas minuman tertenggak habis dalam hitungan menit. Kurang dari satu jam, kami sudah kerasukan hawa alkohol yang mulai terasa panas di perut. Wajah Zena, Alisa dan Yala pun tampak mulai memerah. Makanya, Chandra dan Riko segera mengajak ke kamar shiat-su.
"Gue udah lumayan berat nih. Gue duluan shiat-su ya," ucap Riko dan langsung mengajak Yala pergi. Chandra dan saya pun segera menyusul lima menit kemudian.
Betul juga apa yang dikatakan Riko. Kalau terlalu lama di "home theatre", pastinya aktivitas minum-minum akan berlanjut terus. Sementara jam Guess di lengan kiri saya sudah menunjuk pukul sepuluh lewat lima menit.
"Ntar gue mesti pulang ke rumah. Bini gue lo tau sendiri cerewetnya minta ampun," kilah Chandra yang sudah berumah tangga selama empat tahun dan dikaruniai satu orang putra yang masih bersekolah di kelas 2 SD.
Chandra sudah memesan ruangan kelas VIP di lantai satu. Rupanya, kamar VIP ini selain beriungsi sebagai ruangan untuk ber-shiat-su juga dilengkapi kolam sauna. Tentu saja bukan kolam sauna yang biasa dipakai bersama tamu-tamu lainnya, tapi "private-sauna". Saya baru sadar kalau ternyata di MS juga disediakan fasilitas "privatesauna" untuk para tamu yang menginginkan pelayanan "nafsi-nafsi". Ya, adanya di kamar kelas VIP itu tadi.
Kamar yaiig kami tempati, letaknya saling berdekatan. Chandra dan Riko malah berada berdampingan di lorong sebelah kiri dan hanya dipisahkan oleh satu kamar. Sementara saya sendiri berada di deretan tengah, di lorong sebelah kanan. Kamar-kamar itu tidak ada namanya,hanya ada nomor unit yang menggantung di depan pintu.
Kamar VIP yang saya tempati luasnya sekitar 4x6 meter persegi. Dengan fasilitas sebuah ranjang, dua kursi, satu meja yang dilengkapi kaca cermin dan laci besar—untuk menyimpan sprei, handuk dan kimono, serta ada kamar mandi yang di dalamnya ada kolam mini untuk ber-sauna. Hawa sejuk AC mestinya bisa membuat suasana di dalam kamar terasa nyaman dan mengenakkan, sedikit terganggu dengan uap hangat yang keluar dari kolam sauna.
Zena sudah mempersiapkan segala sesuatunya. Ranjang sudah dilapisi sprei warna putih. Sementara handuk dan kimono sudah diletakkan di atas meja. Zena tampak tidak terburu-buru. Malah, dia minta ijin untuk menyalakan sebatang rokok Virginia Slim. Zena duduk di kursi sementara saya memilih bersantai di atas kasur. Landman musik terdengar lamatlamat dari speakeryang ditempatkan di dinding kamar.
"Mandi dulu ya. Abis mandi, baru 'mandi' yang lain," ujar Zena manja dengan bahasa Inggris terbata-bata dan beberapa kali lebih sering menggunakan bahasa isyarat. Zena menggandeng saya ke kolam sauna. Tanpa banyak kata, dia pun dengan cekatan melepas baju di badan saya, satu per satu dan menggantungnya. Zena pun tak ketinggalan, ikut melepaskan bajunya.
Pesta pun segera dimulai. Di kolam sauna itu, Zena tak ubahnya seorang perawat bayi yang baik dan cekatan. Meski tidak ikut mandi seratus persen, Zena yang hanya membalut tubuhnya dengan handuk warna putih itu, membantu menggosok punggung, mengelus, menggoda dengan cubitan dan segala bentuk pelayanan yang mengasyikkan. Prosesi "mandi" ini, berjalan sekitar lima belas menit.
"Oke. Sekarang keringkan badan dan langsung tiduran di kasur ya," ujar Zena dengan senyum penuh canda.
Tiba gilirannya untuk pijat shiat-su. Jangan berharap banyak untuk mendapatkan pelayanan pijat khas Jepang ini bersama Zena. Tentu saja, tidak ada urusan "pijat-memijat" dalam arti sebenarnya. Yang ada hanya "pijat" dalam arti kencan seks, one short time,lain tidak.
Menariknya, sebelum tahapan kencan seks dimulai, lebih dulu dia menyiapkan kondom yang dia keluarkan dari balik kantung celananya. Kondom itu, akunya, memang sengaja dia bawa sendiri, meskipun di MS ada "office boy" yang nyambi jualan kondom. Zena bahkan menolak menggunakan kondom yang dibawa oleh tamunya.
"No condom, no sex!"Begitulah kalimat tegas yang dikatakan Zena ke setiap tamu yang membokingnya. Dia lebih merasa aman dan nyaman membawa kondom sendiri, daripada yang dibawa tamu.
"Buat aku, safe sex itu nomor satu. Kalau sakit, sudah obatnya susah, mahal lagi," tegas Zena.
Tidak pada waktu terjadi "intercourse" saja Zena mewajibkan tamunya mengenakan kondom, tapi untuk "sex-oral" pun, tamu laki-laki wajib mengenakan kondom. Rupanya, Zena cukup mafhum tentang proses virus penyakit kelamin yang tidak hanya bisa menular melalui hubungan intim tapi dari mulut atau "persentuhan" yang lain. Kencan seks yang diberikan Zena dan kawankawannya dari Eropa Timur, dalam pelayanan, tentu tidak jauh berbeda dengan yang diberikan para "massage girls" yang tersebar di sejumlah tempat pijat plus. Tak ada pijat urat, yang ada hanya pijat aurat. Dalam hal pelayanan mungkin boleh sama, tapi dalam hal tarif, jelas berbeda. Untuk mendapatkan kencan seks plus pelayanan di VIP yang ada "private sauna"nya itu, paling tidak mesti keluar biaya sebesar Rp 2 juta. Itu angka minimal. Rp 1,5 juta untuk seorang Zena, sisanya untuk ruangan VIP-nya. Minuman dan makanan? Paling tidak, untuk makan dan minum harus keluar duit lagi sekitar Rp 200-300 ribuan, tergantung makan dan minumnya apa. Kalau Chandra dan Riko memesan sebotol chivaz vodka dan black lable, berarti itu membutuhkan biaya sekitar Rp 600-700 ribu hanya untuk minuman. Tip untuk Zena? Bisa direka-reka sekitar Rp 300-500 ribu. Itu pun angka terendahnya. Sementara untuk gadis lokalnya, diperlukan biaya sekitar Rp 1 juta untuk mendapatkan kencan seks. Itu pun sudah termasuk biaya kamarnya.
Mahal memang. Tapi, biarpun mahal, MS tak pernah sepi dari serbuan tamu. Dari pukul dua siang sampai sebelas malam, tamu silih berganti memasuki puluhan kamar yang tersedia dengan ditemani gadisgadis Eropa Timur, Cina, Filipina sampai lokal yang punya wajah cantik dan berbadan seksi. Begitu seterusnya. Hanya ranjang dan kolam sauna di MS yang menjadi saksi bisu waktu demi waktu.
"AFTERNOON SEX"
CHINA GIRLS
CHINA GIRLS
SEBUAH "place of massage" yang ramai pada siang hingga sore hari. Menu populemya: gadis-gadis Cina dan ABG.
Tidak biasanya, siang itu saya melajukan mobil menuju arah Monas, kalau bukan karena telepon Ronny yang berdering membuyarkan tidur siang saya. Sebenarnya, saya tak begitu kaget dengan kebiasaan Ronny yang suka dengan rencana dadakan. Hanya saja, memang sedikit aneh saja kalau di siang bolong itu Ronny mengajak saya berwisata kota. Tempat yang kami tuju sebenarnya adalah klub TSC.
Ini juga bukan kali pertama, saya dan Ronny jalan bareng. Boleh dibilang, dalam seminggu minimal tiga kali kita bertemu. Sekedar nongkrong di kafe mal pada saal afternoon teaatau clubbingke sejumlah disko-disko Trendsetter.Tidak hanya itu, kalau lagi kumat sifat "nakalnya", Ronny tak segan-segan mengajak keliling ke sejumlah tempat hiburan malam plus-plus.
Seperti dua malam sebelumnya, kami baru saja mampir ke BC bar di kawasan Thamrin dan menghabiskan malam dengan berdisko, tiba-tiba saja pada pukul 02.00 dini hari, Ronnydengan cueknya menarik tangan saya dan langsung mengajak pergi ke sebuah karaoke di kawasan Kelapa Gading.
"Temen-temen gue pada karaoke. Sewa striptis. Ikut aja lo. Nggak boleh nolak," tukasnya. Dan benar saja, tak kurang dari satu jam, kami sudah bernyanyi-nyanyi di karaoke hingga pukul 05.00 WIB.
AFTERNOON SEX.
Pukul dua siang, kami melajukan mobil ke arah Mabes3 alias Mangga Besar. Saya janjian ketemu Ronny di sekitar Thamrin. Lantaran Ronny juga membawa mobil, mobil saya tinggalkan di pelataran parkir Sarinah Building, Jakarta Pusat. Lima belas menit kemudian, Ronny muncul dengan mobil Cheerokee warna hitam yang menjadi "andalan" sehari-hari.
Pria berbadan kurus, berambut lurus dan berusia 30 tahun itu, sehari-hari mengelola sebuah usaha di bidang onderdil mobil yang berkantor di kawasan Fatmawau, Jakarta Selatan. Dengan baju khasnya: kaos oblong, celana jins dan sepatu sport, Ronny membuka kaca jendela mobilnya dan berteriak memanggil saya yang asyik mengisap sebatang rokok, tak jauh dari kios kaki lima.
" langsung cabut aja yuk. Mobil lo parkir di sini aja."
"Kita mau ke mana sih?"
"Ke TSC. Kan kita pernah ke sana, beberapa bulan lalu," jawab Ronny yang langsung tancap gas. "Ngomong kek dari tadi. Gue pikir mau ke mana."
Dari arah Thamrin, mobil melaju lurus ke arali Mabes. Rupanya, Ronny lagi kangen dengan sebuab panti pijat plus yang ada di kawasan yang tak pernah mati selama 24 jam penub itu. Panti berinisial TSC yang sudah cukup lama menjadi salah satu tempat pelesir cinta yang selalu ramai dikunjungi para laki-laki yang ingin menuntaskan hasrat biologisnya.
Begitu masuk kawasan Mabes, kami berbelok ke sebuah kawasan bernama LKSR. Kawasan atau lebih pasnya disebut sebagai kompleks ini, sudab tak asing bagi warga Jakarta. Di sini, menjadi "pasar gado-gado" yang dihuni aneka toko, diskotek, panti pijat, sauna, salon, hotel sampai mal.
Tak perlu repot-repot mencari panti TSC, karena sebelumnya kami sudah pernah mampir. Tempatnya berada satu bangunan dengan mal di LKSR. Makanya, kami langsung membawa mobil masuk ke pelataran parkir mal di lantai 4, persis berada di depan sebuah diskotekkaraoke.
"Kita lewat mana ya? Gue rada lupa." "Tinggal turun satu lantai, lewat tangga. Payah lo all. Masak lupa," sergah Ronny.
3 Istilah Mabes sangat populer bagi sebagian masyarakat Jakarta, terutama yang terbiasa dengan "nite life"-nya. Malah, banyak orang lebih sering menyebut Mabes dibanding Mangga Besar. Mabes sendiri sudah tak asing lagi terkenal sebagai satu
kawasan yang menjadi sentral tempat-tempat hiburan, siang dan malam.
Panti TSC sudah ada di depan mata ketika kami sampai di tangga ujung. Sebenarnya, TSC bukan murni panti pijat. Sebutan yang tepat adalah kafe-resto. Ruangan utama TSC tak ubahnya seperti kafe yang di dalamnya terdapat panggung, bar dan meja-kursi serba bulat dengan pencahayaan nyaris remang-remang. Tak heran, meski suasana di luar masih terang benderang, di dalam TSC tak ubahnya seperti malam. Musikmusik disko yang terus mengalun tak ada henti, menambah suasana jadi semarak. Para pramusaji sibuk hilir mudik melayani pesanan para tamu.
Hampir jam tiga sore, kami memilih duduk di kursi tak jauh dari bar. Suasana tampak ramai. Pemandangan paling menarik yang kami temukan, tentu saja, banyaknya gadis-gadis berkeliaran di ruangan kafe. Malah, jumlahnya jauh lebih banyak dibanding tamu laki-lakinya.
"Long Island4 satu. Bir-nya satu." Ronny langsung memesan minuman kepada seorang pramusaji laki-laki berseragam warna ungu.
"Kita santai aja. Biar nggak salah pilih cewek," Ronny berbicara sambil mendekatkan mulutnya ke telinga saya. Maklum, suara musiknya lumayan gaduh.
Sebagian dari "gadis kencan" yang belum mendapatkan tamu, memilih duduk bergerombol di kursi panjang tak jauh dari pintu masuk. Mereka yang sudah diboking, asyik menemani tamunya bercengkerama sambil minum-minum. Sementara para "mami" sibuk menawarkan "anak didik"nya ke sejumlah tamu laki-laki yang belum juga mendapatkan pasangan kencan. Inilah prosesi pilih-memilih berlangsung.
Beberapa menit berlalu, di panggung sudah siap sedia para personil band. Lagu pertama, My Way yang dinyanyikan dengan berduet, terlewat sudah. Seorang "mami" menghampiri kami yang tengah asyik menikmati lagu dan menyeruput minuman.
Yang menarik dari TSC dibanding tempat tempat lain yang juga menawarkan pelayanan seks serupa adalah soal jam operasional pelayanan.
TSC selama ini memang dikenal karena hanya ramai pada siang dan sore hari. Sementara malamnya, TSC memilih tutup lebih awal, tak lebih dari jam 9 malam. Di atas jam itu, stok gadis kencan yang tersedia relatif lebih sedikit dan tidak banyak pilihan. Padahal, sejumlah panti pijat plus yang tersebar di kawasan Kota dan Mabes selain ada yang buka selama 24 jam, kebanyakan tutup di atas jam 11 malam. Makanya,
tak perlu heran kalau sore-sore "live music" yang biasanya kebanyakan bisa ditemukan pada malam hari di sejumlah tempat hiburan, sudah ada di TSC. "Brand image" TSC sebagai tempat pelesir cinta yang hanya ramai pada siang dan sore hari itu, sudah bertahun-tahun melekat di telinga para laki-laki hidung belang.
Tidak hanya itu, faktor lain yang membuat TSC selalu ramai adalah karena menu gadis-gadis Cina dan ABG alias "anak baru gede" selalu tersedia.
4 Sejenis minuman cocktailberalkohol. Terdiri dari campuran gin, vodka,tequila, bacardi (white nun), triple sec, sweet sour dan coke.Di kalangan bartender terkenal juga dengan sebutan "5 Putih".
Yang satu ini, menjadi daya tarik tersendiri yang luar biasa. Tak perlu repot mengidentifikasi mereka. Karena setiap saat, para tamu bisa dengan leluasa mengamati gerak-gerak mereka dari ujung rambut sampai ujung kaki. Kalau masih belum yakin juga, tinggal bertanya detail pada "mami"-nya.
"Lo mau yang Cina atau yang berdada besar. Kan gue tahu banget, yang 36 B itu selera lo abis. Ha...ha...ha...," ledek Ronny dengan terbahak. "Kalo gue, lo tau selera gue," sambung pria yang sebenarnya sudah beristri tapi mengaku lagi pisah ranjang.
"Ya. Lo maunya pasti cewek Cina."
"He, he, he...tau aja lo."
GADIS CINA & ABG.
Para "gadis kencan" yang tersedia di TSC memang amat beragam. Tapi yang paling menjadi incaran sejumlah tamu yang datang, ya itu tadi, apalagi kalau bukan gadis Cina dan ABG-nya.
Suasana makin ramai. Sudah hampir setengah jam, panggung terisi dengan aksi para penyanyi. Mami membawa dua orang yang menjadi pilihan kami. Seperti biasa, daripada susah memicingkanmata, melirik kiri kanan, mencari-cari gadis kencan yang paling oke, mendingan langsung order saja pada mami. Gadis pertama mengenalkan diri sebagai Alin. Sementara gadis kedua bernama Yenny.
Alin berusia sekitar 20 tahun dengan tinggi 162 cm, berbadan agak langsing, rambut hitam lurus di bawah pundak dan bermata sipit Yenny, terus terang, berbadan agak sedikit berisi, dengan tinggi badan tak lebih 160 cm, bermata bulat dengan rambut sedikit ikal yang dicat kecokelatan. Mudah ditebak, Alin seperti yang diinginkan Ronnyadalah gadis Cina keturunan. Berbeda dengan Yenny yang katanya mengaku asli dari Jakarta.
Alin mengaku bekerja di TSC sudah 9 bulan di bawah naungan Mami San. Yenny sendiri statusnya adalah gadis "freelancer" yang kerjanya tidak terikat dengan jam kerja. Memang, selain terdapat puluhan gadis kencan yang statusnya pekerja tetap, di TSC juga banyak dilaroni gadis"freelancer". Jumlahnya hanya beberapa orangdan jalur masuknya tetap di bawah kontrol paramami. Di TSC sendiri, ada tiga mami tetap yang membawahi tak kurang dari 25 orang gadis.
"Alin dijamin oke seivice-nya. Yenny juga nggak kalah lho," bisik Mami San kepada kami.
Biasalah, para mami memang sering menonjolkan "anak didik"nya dengan berbagai pujian. Namanya juga jualan, mami tak ubahnya seorang salesgirlyang mesti mempromosikan barang dagangannya dengan jitu dan strategis.
"Tambah lagi minumnya, Bang." Alin membuka pembicaraan dengan menawarkan minum. Nada suaranya terdengar ramah dan sikapnya yang sedikit malu-malu itu, malah membuat Ronny jadi blingsatan.
"Bang, aku boleh pesen Black Label coke?" Giliran Yenny yang dengan spontan memesan minuman kebangsaannya itu begitu kami mengiyakan. "Black Label coke, dobel. Satu ya," ordernya kepada pramusaji wanita yang berdiri tak jauh dari meja kami.
Sementara di atas panggung, para penyanyi masih saja melantunkan lagu-lagu yang diminta sejumlah tamu, kami mulai terlibat pembicaraan ringan dengan Alin dan Yenny. Selama kurang dari lima belas menit, kami mendengar cerita Alin yang dengan terus terang mengatakan, belum pemah pergi ke "tanah leluhur"nya meski dia berdarah Cina. Katanya, dia lahir dan besar di Jakarta. Orang tuanya sehari-hari mengelola sebuah toko kecil.
Yenny sendiri tanpa malu bercerita kalau pernah mengikuti beberapa casting untuk iklan, klip dan sinetron. Beberapa kali pernah kebagian peran figuran di beberapa sinetron. Meskipun hanya numpang lewat, dengan nada penuh percaya diri, Yenny bercerita panjang lebar ihwal pekerjaan sampingannya itu.
"Namanya juga usaha. Itung-itung cari pengalaman," tukas gadis yang dalam seminggu biasanya hanya 3-4 kali "mampir" ke TSC, bekerja paruh waktu, sekitar 3-4 jam-an.
Ronny yang tampak mulai enjoydengan Alin, tak mau berlama-lama lagi. Keduanya memutuskan untuk segera menyelesaikan transaksi. Alin mengajak Ronny hengkang dan berjalan menuju ke arah pintu masuk. Di sebelah kanan, selain terdapat toilet, temyata juga ada satu pintu lagi. Pintu itulah yang menjadi akses masuk menuju ruangan yang di dalamnya ada sedikitnya 10-15 kamar.
"Kalau lagi rame, biasanya ngantri. Nunggu komando dari Mami dulu, baru bisa masuk," jelas Yenny.
Beruntung sore itu, tamu yang datang ke TSC tidak terlalu ramai. Biasanya, kalau hari Sabtu dan Minggu, kamar yang tersedia sering kali "over-load". Jadi tamu harus sabar menunggu giliran.
TIDAK ada pelayanan pijat spesial yang ditawarkan di TSC. Yang ada hanya transaksi seks belaka, lain tidak. Menu gadis Cina dan ABG-lah, yang akhirnya menjadi daya jual utama yang menarik tamu untuk ber-"wisata birahi", one short time.Lagi pula, dari sisi harga sangat terjangkau oleh kantong-kantong laki-laki yang sebulan ratarata bergaji di atas Rp 2 juta.
"Sewa kamarnya Rp 50 ribu, langsung dibayar di kasir. Untuk ceweknya Rp 200 ribu, belum termasuk tip," ccplos Yenny. Jadi, kalau dihitung-hitung, untuk mendapatkan kencan sejaman dengan gadis-gadis TSC, setidaknya butuh modal sekitar Rp 400-500 ribu.
Maklum, sebelum sampai pada tahap transaksi seks, setiap tamu mau tidak mau meski menunggu paling tidak setengah jam. Dan rasanya tidak mungkin kalau selama dalam proses menunggu itu hanya diam duduk bengong di kursi tanpa memesan minum. Belum lagi, kalau gadis kencan yang di"boking" juga rajin order minuman beralkohol.
"Masuk yuk, Bang. Biar temannya nggak lama nunggu kalo udah kelar," ajak Yenny. Sore pun berlalu dengan cepatnya. Kalau sebagian orang Jakarta ada yang menghabiskan sore dengan menikmati afternoon tea atau coffee time di kafe kafe mal, di TSC puluhan laki-laki terlena dalam hangatnya pelukan gadis-gadis seksi dengan pelayanan afternoon sex-nya.
"TANGJU" & "HAND-ROLL"
SERVICE AFTER LUNCH
SERVICE AFTER LUNCH
SEBUAH klub menggelar pertunjukan penari tangju di siang bolong, di ruang pribadi. Pengunjungnya, sebagian besar orang kantoran. "Sex after lunch". Istilah yang juga popular dengan sebutan Bobo-Bobo Siang (BBS) ini, bagi sebagian komunitas masyarakat urban di Jakarta, sudah jadi tren yang mewabah. Tidak saja di kalangan esmud laki-laki tapi juga wanita. Dalam praktiknya, sex alter lunchitu tidak melulu menjadi perilaku yang melibatkan hubungan personal, entah terlibat dengan teman sekantor atau kencan dengan selingkuhan pada saat jeda jam makan siang.
Dalam skala yang lebih luas, sex after lunch bagi sebagian laki-laki yang terbiasa dengan faham ini, ternyata melebar pada kecenderungan untuk mengaktualisasikan sex after lunch dalam bentuk "jajan" atau pelesir ke tempat-tempat liburan plus.
Sudah jadi rahasia umum sebenarnya, kalau sejumlah tempat hiburan plus yang tersebar di tiap sudut Jakarta, beberapa di antaranya letaknya berada di antara gedung-gedung perkantoran. Tidak saja berdampingan, tapi ada juga yang menyatu dalam satu gedung.
Tak heran memang, kalau tempat pelesir cinta di Jakarta sekarang ini, telah hadir di tengahtengah ruang publik, dalam pengertian yang seluas- luasnya. Kata orang, di tiap sudut kota Jakarta, telah hadir tempattempat pelesir cinta. Begitu mudahnya sampai-sampai ada yang bilang jalan ke kiri ada striptis, jalan ke kanan ada "massage plus", putar balik, eh... ada karaoke dengan lady escort-nya yang siap dengan layanan seks, dan maju ke depan, ada hotel plus, sauna plus dan sebagainya.
Beberapa tempat pelesir cinta ini, tidak semua menjalankan operasinya di waktu malam saja, tapi ada juga yang buka di siang bolong. Tamu yang datang, meskipun tidak seramai di waktu malam, tetap menggeliatkan siang Jakarta yang sudah panas. Di sejumlah tempat hiburan yang menawarkan jasa pelayanan seks, berceceran keringat di ruang tertutup, seperti yang terjadi di klub KB, ketika siang menjemput dan puluhan laki-laki berpacu dengan menu makan siangnya sambil melahap aneka menu pilihan dari lokal sampai Eropa, di tengah-tengah ruangan meliuk penari-penari tangju (tanggal baju)5 yang setiap saat menunjukkan aksi-aksi panas dan siap menerkam kliennya dengan aneka "service" yang amat beragam; dari oral seks, "hand service", "hand roll" sampai layanan "intercourse" (persetubuhan).
PELAYANAN GADO-GADO.
Klub KB sebenarnya terkenal sebagai tempat hiburan gado-gado yang memadukan sarana biliar, kafe, music lounge dan karaoke. Sejak beroperasi sekitar tahun 1997, KB lebih populer sebagai kafe. Klub yang berada di bilangan Sudirman itu selama hampir kurang lebih 6 tahun beroperasi, tak pernah sepi dari geliat napas manusia yang haus akan refreshing dan rekreasi.
5 Islilah penari tangju ini sering saya gunakan tiap kali menulis kolom Nitelife dari
tahun 2002-2003 di majalah Male Emporium (ME), yang artinya sama dengan penari
slriplis.
Bagi saya sendiri, berada di klub KB terasa begitu menyenangkan, dan rasa-rasanya enggan untuk meninggalkan tempat yang menyediakan aneka fasilitas hiburan tersebut. Di KB ada beberapa fasilitas yang bisa dinikmati para tamu; dari biliar, kafe, lounge sampai karaoke.
Sudah lebih dari 2 tahunan ini, saya selalu menyempatkan diri mampir di klub KB. Entah sckedar menjalani rutinitas nongkrong bersama scjumlah teman dengan bermain biliar sampai menikmati sajian live music yang ada di kafe. Pada malam-malam gaul, KB memang sering dijadikan sebagai ajang transit sebelum akhirnya melanjutkan clubbing ke sejumlah kafe-diskotek trendsetter. Tak heran, kalau pada Rabu, Jumat dan Sabtu malam, KB selalu ramai pada pukul 21.00 WIB sampai 00.00 WIB.
Tengok saja ketika malam mulai menjemput, Di arena biliar, puluhan tamu laki-laki dan wanita saling asyik menyodok bola demi bola. Candatawa menyeruak di antara lantunan musik-musik disko. Puluhan wasit dan pramusaji hilir mudik di sekitar meja yang jumlahnya lebih dari 40 buah itu. Cahaya lampu yang tergantung di atas meja biliar, membias menerangi ruangan yang dialasi karpet warna cokelat tua itu.
Sementara di kafe yang letaknya berada di samping ruang lobby, terdengar lagu-lagu yang dibawakan "home-band''; dari lagu mancanegara sampai lokal. Pada hari biasa, kafe tersebut memang tidak terlalu ramai. Biasanya pada Jumatdan Sabtu malam, baru tampak geliat keramaiannya. Suasana di kafe itu, tampak sedikit berbeda dengan apa yang terjadi di music lounge yang berada di lantai dua. Di area music lounge, sekitar pukul 20.15 WIB malam itu, tampak puluhan laki-laki tengah asyik duduk santai ditemani pasangan wanitanya. Lagu-lagu berirama latin, melantun detik demi detik. Di sebuah sola panjang warna hitam, puluhan wanita dengan dandanan seksi duduk santai sambil terus mengamati tiap ada tamu laki-laki yang datang. Di music lounge, nyaris selalu ramai pada malam hari.
Di area ini, para tamu bisa ber-rendezvous dengan sejumlah lady-escort (LC); sekedar berkenalan,bercakap ringan sampai menenggak beberapa gelas minuman sebelum akhirnya berlanjut ke ruang karaoke. Dengan bebas, setiap tamu bisa memelototi puluhan LC yang duduk santai di sofa panjang dan menebar pesonanya. Beberapa staf, mami atau papi di klub KB yang bertugas dan stand-bydi sekitar ruangan, akan memberikan pelayanan ramah.
Malam itu, saya bersama dua teman saya, sebut saja Raymond, 33 tahun dan Zack, 28 tahun (keduanya bukan nama sebenarnya). Cukup lama saya kenal mereka dan sering kali kami menghabiskan waktu di klub KB. Paling sering, kami lebih suka berada di arena biliar; sekedar iseng sambil menunggu saat-saat jam "clubbing" ditabuh sampai taruhan kecilkecilan. Lagi pula, area biliar yang luas dan saban malam tak pernah sepi itu memang mengasyikkan sebagai ajang nongkrong.
Nah, sesekali ketika punya hajalan atau ingin mencari sensasi rekreasi yang yang berbeda, beberapa teman memilih karaoke sebagai pelabuhan terakhir. Seperti malam itu, di penghujung Januari 2003, kami yang sudah bosan menyodok bola biliar selama 1 jam-an, akhirnya sepakat untuk naik ke lantai tiga.
"Ke karaoke aja yuk. Boring nih nyodok bola melulu, mending nyodok yang lain," seloroh Raymond.
Kami pun menuju ke lantai atas setelah membereskan tagihan meja. Kami berjalan menuju pintu keluar yang letaknya berada di samping bar. Pintu keluar itu tertutup tirai hitam panjang. Begitu terbuka, akan terhampar pemandangan ruang lobby yang lumayan besar. Dua resepsionis di bawah siraman lampu terang memasang senyum manisnya; menyambut tiap tamu yang datang. Di samping kiri terdapat arena biliar lagi khusus tamu VIP, sementara di samping kanan terlihat dua penyanyi wanita tengah beraksi di atas panggung. Beberapa tamu ikut bergoyang di depan panggung.
"Mau mampir ke kafe dulu atau langsung ke karaoke?" tanya Zack.
"Di kafe mau 'nyodok' apaan. Entar lama lagi. Langsung ke karaoke aja," tegas Raymond.
TANGJU MALAM & SIANG.
Kami berjalan menaiki tangga dari besi. Suasana sedikit temaram. Musik yang diusung DJ masih saja terdengar mengisi seisi ruangan. Baru ketika kami sampai di lantai dua, musik hanya terdengar lamat-lamat. Kami disambut pramusaji laki-laki yang menyilakan kami menempati kursi di ruang loungeyang kosong. Seperti yang digambarkan di atas, di lounge inilah kami bisa bersaiitai sejenak sambil melihat-lihat sejumlah LC yang ingin dikencani sambil menikmati sajian live music. Kami hanya sejenak duduk sambil menunggu ruangan karaoke yang kami order. Setelah satu lagu berlalu, kami pun segera beranjak. Ruangan karaoke sudah tersedia dan siap ditempati.
Kami memasuki lorong ruangan memanjang dengan cahaya temaram. Dinding ruangan bercat biru menyatu dengan caliaya bias lampu neon yang redup. Di kiri kanan terdapat kamar-kamar karaoke yang tertutup rapat Beberapa pramusaji tampak stand-by menunggu order. Ruangan- ruangaii itu masing-masing bertuliskan nama-nama jenis aliran musik. Kami menempati ruangan "Classic Rock" yang letaknya berada di paling ujung. Biasalah, pada jam 19.00-23.00 WIB, apalagi malam Sabtu, karaoke di KB selalu ramai.
"Silakan, Bos. Pak Kus bentar lagi ke sini," ucap pramusaji yang mengantar kami. Yang dimaksud dengan Pak Kus adalah salah seorang asisten manager di karaoke yang juga merangkap sebagai "papi"6 yang biasa mengatur para LC dan stripper.Kami lumayan kenal baik dengan Pak Kus yang hampir tiga setengah tahun bekerja di klub KB. Tentunya, Pak Kus mengawali karirnya udak langsung menjadi asisten manager tapi dimulai dengan menjadi staf biasa. Selain bertanggung jawab terhadap operasional karaoke, sehari-hari Pak Kus juga sekaligus menjadi "perantara" bagi sejumlah tamu langganan yang ingin memboking LC atau penari. Lewat Pak Kus ini, tamu langganan tak perlu lagi mondar-mandir.
Seperti juga malam itu, kami tak perlu lamalama memilih LC atau penari yang oke punya, karena Pak Kus selalu memberi pilihan terbaik untuk tamu-tamu langganannya. Biasanya, untuk modus operandi boking, tamu dibiarkan memilih LC di ruang lounge, kalau tidak begitu, tamu dipersilakan menyeleksi gadis kencannya langsung di ruang karaoke. Mami atau papi yangbertugas akan membawa sekitar 5-10 LC atau penari ke ruang karaoke secara bersamaan. Setelah sejenak ber"pose" selama kurang lebih 5-10 menit dan tamu sudah dapat pilihan, mereka akan bubar secara bergantian. Salah satu, dua atau tiga dari mereka yang terpilih, nantinya akan dihubungi mami atau papi.
Selama kurang lebih 15 menit, kami bersantai sambil iseng-iseng berkaraoke. Kami memesan beberapa gelas bir putih dan vodka orange serta beberapa makanan kecil untuk cemilan.
Ruangaii Classic Rock itu layaknya karaoke kebanyakan. Ada sofa memanjang yang bisa menampung 10-20 orang dan dua meja. Sebuah TV ukuran 29 inci dilengkapi dengan dua microphone dan dua sound system yang menempel di dinding sudut kanan dan kiri. lampu bisa distel redup atau terang sekalipun.
Ketika melewati lorong, sesekali kami mendengar musik berdebam di beberapa ruang karaoke. Maklum, selain menjadi ajang untuk bersantai sambil menyanyi ditemani LC cantik dan seksi, di ruang karaoke tersebut biasanya juga dipakai untuk pesta triping. Dan yang paling populer adalah pesta dengan menonton penaripenari tangju.
"Selamat malam, Bos. Lita dan Icha sudah siap," Pak Kus muncul dari pintu masuk.
"Bawa masuk aja, Pak Kus," pinta Raymond.
Lita dan Icha muncul dengan senyum ramahnya. Lita mengenakan baju terusan warna hitam yang melekat di tubuh, berusia sekitar 25 tahun. Rambut pendek seleher dengan kulit putih. Sementara Icha yang bertinggi 168 cm, badannya sedikit lebih berisi dengan rambut lurus sebahu. Mengenakan rok mini dipadu dengan jaket kulit warna hitam dan baju dalaman "u can see" warna abu-abu. Usianya kami taksir tak lebih dari 22 tahun, berkulit kuning langsat dan bennata sedikit sipil Mereka memoles wajahnya dengan make-upyang tidak terlalu menor. Bau harum menebar dari tubuh mereka.
"Malam, Mas Ray. Udah lama nggak ama kita. Ke mana aja?" Icha menyapa ramah dengan senyumnya yang khas dan langsung menggelendot manja di bahu Raymond. Lita pun langsung menghenyakkan pantatnya di sofa empuk. Sesi ramali tamah itu berjalan sekitar 15-20 menit diselingi canda tawa dan minum-minum.
Lampu di ruang karaoke masih menyala sedikit terang. Ketika jarum jam menunjuk pukul 21.10 WIB, Icha dan Lita menghambur ke kamar mandi. Dengan santai mereka yang mengaku sudah satu tahun lebih bekerja di klub KB itu, masih saja mengulum senyum manisnya.
"Kita mulai aja ya. Kami ganti baju dulu, OK," suara Icha terdengar manja berbaur di antara musik yang mengalun. Ruang karaoke yang mestinya menjadi tempat untuk bersantai sambil menyanyi itu, nyaris hanya jadi pajangan. Kami hanya sesekali menyanyi, selebihnya terisi dengan canda tawa, kencan, minum-minum dan yang pasti, menonton pertunjukan tarian tangju.
Dari kamar mandi, Icha dan Lita muncul dengan busana seksinya. Icha hanya mengenakan baju yang menutup bagian dada dan bagian paling vital dari tubuhnya, sementara Lita menutup bagian bawahnya dengan kain.
(i Di lentpal liburan malam dan sejumlah tempat untuk pelesir cinta seperti panti pijat, rumah penampungan, salon, sauna dan lain-lain, germo atau broker seringkali disebut papi (laki-laki) atau mami (wanita).
Lampu di ruangan berubah temaram. Layar TV yang tadinya masih merelay lagu-lagu favorit berubah menjadi tontonan sensasional dengan gadis-gadis yang menari sensual tanpa busana. Musik disko menghentak. Icha dan Lita segera beraksi. Gampang dibayangkan, aksi tarian tangju mereka dimulai dari mempreteli satu per satu baju yang melekat di lubuh mereka sampai akliimya tak bersisa sedikit pun.
Masih dengan goyang dan senyum penuh goda, pada sesi berikutnya, mereka mulai merangsuk maju mendekati kami. Icha mulai mendekati Raymond dan langsung menyuguhkan badannya sebagai bulanbulanan. Sementara Lita pun tak ketinggalan ikut beraksi dengan gaya yang sama. Malah, berulang-ulang dengan sikap penuh goda dan genit, mereka mulai memainkan atraksinya. Kadang tangannya menjamah ke sekujur tubuh, kadang badannya.
Bisa dibayangkan pemandangan yang terjadi. Dalam keadaan telanjang dan mulai mengalirkan keringat, mereka, maaf, begitu entengnya, secara tidak bersamaan mulai membuka celana Ray dan Zack. Sementara saya yang juga duduk di sofa yang sama, tak luput dari "sergapan" mereka berdua. Inilah tahapan untuk menarik tip. Tarian tangju itu paling banter hanya berlangsung sekitar 20 menitan, selebihnya adalah atraksi yang semua menjurus ke aktivitas seksual. Icha dan Lita meremas, mencubit, mencium dan menggoda tamunya untuk mengeluarkan tip sebanyak-banyaknya.
"Nggak usah malu. Cuek aja," ujar Icha sambil tersenyum ketika ia menghenyakkan tubuhnya di atas paha Ray dan dengan santainya mulai membuka kancing baju pria yang malam itu tampak tenang-tenang saja sambil tertawa geli.
"Terserah lo. Gue mau lo apain," jawab Ray, singkat.
"Tapi nggak lupa tip-nya dong, Bos," rayu Icha.
"Itu sih, gampang," sergah Ray.
Saya dan Zack yang duduk di sebelah Ray, juga mendapat perlakuan serupa dari Lita. Yang terjadi kemudian, mudah ditebak. Pertunjukan tarian tangju itu ujung-ujungnya diwarnai aneka ragam polah tingkah yang sarat dengan nuansa seksual. Icha dan Lita dalam prakteknya, selain memberikan suguhan tarian tangju juga memberikan "kencan" yang lain seperti "no hand service", "oral sex", "hand roll service" sampai "kencan semalam". "Hand roll service" yang diberikan sejumlah penari tangju di klub KB, prosesinya lebih kepada pelayanan seks dengan menggunakan atraksi tangan. Bayangkan saja bagaimana ketika seorang pemain basket memutar dan memainkan bola di lapangan untuk sebuah eksebisi.
Istilah "hand roll" ini juga mengingatkan saya dengan salah satu menu makan Jepang yang terdiri dari rumput laut, nasi, telur ikan dan sayursayuran. Cara pembuatannya dengan digulunggulung hingga membentuk bulat telur memanjang.
Musik housemasih saja berdebam di seluruh ruangan. Sudah hampir 2 jam-an kami menikmati aneka pelayanan yang disajikan penari tangju. Ray dan Zack akhirnya sepakat untuk segera beranjak dari ruang karaoke.
"Cabut yuk. Kita dugem aja." Ray menghabiskan segelas vodka orange-nya dan membereskan tagihan yang dibawa seorang pramusaji. Icha dan Lita tampak berbinar. Kali ini, mereka sudah berganti kostum semula. Bau harum masih menebar dari tubuh mereka.
"Nggak ngajak kita, Bos," Icha merajuk manja.
"Ntar deh, aku telepon kalo kita berubah pikiran," jawab Ray singkat. "Handphone aktif 24 jam, kan?" kali ini Zack ikut dalam pembicaraan.
"Pastinya dong. Ditnnggu lho teleponnya," Icha dan Lita berucap hampir serempak. Di kertas bon tertera angka Rp 2.300.000,-. Dengan perincian: tiga jam (minimal order) sewa ruang karaoke Rp 625ribu, F&B {food & beverages) Rp 975 ribu dan entertainment (maksudnya 2 penari tangju) Rp 700 ribu.
Biaya itu tentu saja belum tennasuk beberapa lembar ratusan ribu rupiah yang sudah berada di tangan Icha dan Lita sebagai tip. Biasanya, untukpelayanan "hand roll service" saja, minimal mereka mematok tip sekitar Rp 200 ribu.
Dalam perjalanan menuju parkir, kami kembali melewati beberapa ruang karaoke yang tampaknya masih dihuni puluhan tamu. Kami sejenak saling melirik dan tersenyum bersama. Dalam hati, saya menebak-nebak apa yang terjadi di sejumlah ruang karaoke tersebut, pasunya tidak jauh berbeda dengan apa yang barusan kami alami.
"Kira-kira mereka ngapain ya di dalam?" Zack iseng bertanya. "Mungkin lagi 'halo-halo bandung'7 atau lagi di 'karaoke' kali, ha...ha...," jawab Ray sambil terbahak.
Ternyata, tidak saja pada malam hari KB dipenuhi tamu-tamu yang haus hiburan. Pada siang hari pun, banyak orang yang ingin menghabiskan suasana gerah dengan bersantai sejenak di ruang karaoke ditemani LC cantik atau penari tangju.
Tengok saja, suatu waktu ketika jam makan siang tiba. Lokasi KB yang memang berdekatan dengan pusat niaga dan pcrkantoran, tak luput dari serbuan sejumlah laki-laki kantoran yang ingin menikmati makan siang dengan menu seks yang biasa disebut "hand service". makanan yang berbeda. Bukan sembarang makanan, karena menu utamanya ya itu tadi, penari tangju; minimal makan siangnya ditemani LC-LC yang cantik dan molek.
7 Islilah ini kerap digunakan untuk mengidentifikasikan satu bentuk aktivitas
SEKS & SURGA GEDHEK
"3 NITE PARTY"
"3 NITE PARTY"
SEBUAH nite-clubdengan bangunan megah. Tidak saja menyediakan tempat disko untuk menggauli malam hingga siang menjemput, tapi juga ada paket seks yang ditawarkan dari lantai ke lantai. Dentuman musik house terus saja mengentak di lantai empat. Ratusan pasang mata larut dalam irama yang berdentum. Seolah tak peduli dengan suara musik yang meraung-raung memekakkan telinga, ratusan orang itu terus saja bergoyang dan goyang. Padahal, jam sudah menunjuk pukul 04.00 WTB dini hari. Tapi, suasana meriah tak jua surut.
Dengan sedikit menahan kantuk, saya masih saja penasaran ingin tahu sampai kapan "pesta dini hari itu" akan berakhir. Saya datang pas malam Sabtu sekitar pukul 01.00 WIB. Selama hampir tiga jam, saya bertahan di lantai empat sambil terus menyeruput segelas bir dingin.
"Wah, lo mo nungguin sampe bubar? Dijamin nggak bakal kual. Pestanya baru bubar Senin pagi atau siang," ujar Benny, yang menjadi teman "jalan" saya malam itu.
"Mereka sih enak karena pake pil setan. Kalau lo nggak 'nelen', mending cabut sekarang," sambung Benny.
Terus terang, sebenamya saya pun "ngeh" kalau party mania yang memenuhi area dance floor itu,rata-rata menggunakan "ecstasy" sebagai "santapan utama". Menjadi semacam vitamin untuk menambah stamina dan daya tahan tubuh. Hanya saja, saya tetap tak habis pikir, kalau mereka bisa tahan menggauli malam selama tiga hari berturut-turut tanpa henti.
"Ben, mending muter-muter yuk ke lantai tiga. Kan ada live music dan bisa melihat cewekcewek cantik. Gue boringdi sini," ajak saya. "Jam segini sih sudah tutup. Mendingan kita balik duluan aja. Minggu depan, kita balik lagi," tukas Benny.
Dan benar saja, minggu depannya saya dan Benny memang balik lagi ke klub SD. Malam itu, kami datang sekitar pukul 23.00 WIB. Klub SD selama hampir tiga tahun terakhir, memang menjadi salah satu tempat hiburan yang boleh dibilang saat ini tengah jadi "ajang gaul" bagi komunitas parly di Jakarta. Tempat hiburan dengan konsep one-stop entertainment itu, sudah cukup lama menjadi diskotek trendsetter bagi sebagian kalangan clubber Jakarta. Tidak hanya, mereka yang tinggal di Jakarta Barat, tapi juga anak-anak gaul dari Jakarta Selatan, Pusat bahkan Timur dan Utara.
Kali pertama saya berkunjung ke SD, kirakira dua tahun lalu. Waktu itu, saya hanya seberbar melihat-lihat keadaan. Jadi, maklum kalau petualangan saya belum tuntas. Beberapa informasi yang saya dapal tentang aneka pelayanan plus yang bisa didapat di klub SD itu pun, belum secara keseluruhan saya dapat, sampai akhirnya awal Mei 2003 lalu, saya datang bersama Benny.
THREE NITE PARTY.
Kami sampai sekitar pukul 23.30 WIB. Tak susah menemukan lokasi SD yang berdekatan dengan jalan utama di kawasan Kota. Dari sebuah perempatan besar, kami memutar balik lalu belok ke kanan, ke sebuah gedung bertingkat yang tak pernah sepi dari geliat pedagang dan mobilmobil yang berseliweran. Di sekitar SD juga terdapat sejumlah panti pijat dan diskotek, yang saban malam juga tak pernah sepi dari polah tingkah manusia malam.
Di pelataran parkir, mobil rapi padat berjajar. Di depan pintu masuk, pctugas valet hilir mudik mcngantar mobil tamu. Beberapa gadis dengan dandanan seksi, tampak berdiri mejeng sambilmengulum senyum. Ada juga yang tengah menunggu mobil jemputan.
Kami berjalan perlaban, setelah sejenak menyerahkan kunci mobil ke petugas valet. Untuk sejenak, saya mengamati keadaan sekeliling. Beberapa warung kaki lima yang ada di depaii SD tampak ramai. Sejumlah pasangan laki-laki dan wanita asyik menikmati aneka sajian makanan.
Tak sampai lima menit, kami memasuki ruangan di lantai satu. Pemandangan pertama yang kami temukan adalah sebuah restoran yang ramai oleh tamu. Restoran dengan cahaya lampu temaram itu, di tiap mejanya terisi oleh sejumlah pasangan yang tengah asyik berbicara. Ada juga yang memanfaatkan keremangan untuk bermesraan kecil; sekedar memanfaatkan suasana. Ada juga yang tengah lahap menyantap hidangan. Di samping restoran, terdapat arena untuk bermainbiliar. Suasana lumayan ramai. Di beberapa mcja,tampak puluhan orang asyik menyodok bola, sementara musik melantun memenuhi ruangan.
"Naik ke lantai atas aja yuk. Di sini, nggak ada yang istimewa," ujar Benny.
"Siapa bilang. Kalau mau suasana sepi, ya di sini ajang paling enak untuk ngobrol ama pasangan kencan," timpal saya sambil terus berjalan menuju lilt. Saya sebenarnya sudah udak begitu asing dengan aneka pelayanan yang disediakan di setiap lantai di SD. Masing-masing lantai memang mempunyai fasilitas dan pelayanan yang berbeda. Sebagai klub yang populer dengan layanan one-slop entertainment-nya, SD memang mempunyai paket hiburan yang beraneka ragam di setiap lantainya.
Di lantai dua, tamu bisa menikmati fasilitas karaoke dan sauna. Tentu saja, dua pelayananini, di hampir tiap sudut Jakarta bisa ditemukan dan mudah didapat. Tapi bedanya, fasilitas di lantai dua ini, tidak hanya karaoke atau sauna biasa, yang isinya hanya sebagai tempat bernyanyi atau sekedar mandi air uap. Lebih dari itu, di karaoke tamu bisa memesan "lady escort" atau penari striptis. Sementara di tempat sauna, tamu juga bisa melakukan hal yang sama.
"Mau pesta pribadi juga tak masalah. Tinggal pesan ruangan suite yang luas dan nyaman," tambah Benny sambil mengisap rokok putihnya. Sementara di lantai tiga, terdapat area music lounge yang saban malam, dari pukul 22.00 WIB-01.00 WIB selalu ada live music. Di area music lounge ini, saban malam selalu dipadati wanita-wanita cantik. Jangan heran, kalau pemandangan yang ada, lebih banyak wanitanya daripada laki-lakinya.
Dan menariknya, hampir semua wanita yang memadati ruangan music lounge ini bisa diajak _ kencan short time. Maklum, mereka ini memang gadis-gadis "kencan" yang disiapkan untuk menarik amu. Mereka dibiarkan ber-shoppingmal Begitu ada tamu laki-laki datang, para mami akan sibuk menawarkan para "anak didik"nya. Tak perlu repot-repot mencari tempat kencan, karena di sebelah music lounge sudah ada puluhan kamar yang siap sedia. Kamar yang disediakan, standarnya tak kalah dari kamar-kamar yang terdapat di hotel berbintang tiga. Transaksi one short time di tempat, jauh lebih murah dibanding transaksi kencan di luar; entah di hotel, apartemen atau rumah pribadi.
"Banyak yang menyebut seks paket hemat. Dengan modal Rp 300an ribu sudali bisa mendapatkan layanan cinta kilat," sergah Benny.
Ketika kami akhirnya naik ke lantai empat, jam sudah menunjuk pukul sekitar pukul 01.00 WIB dini hari. Musik di lantai empat mengentak keras. Ratusan orang tampak asyik dan kliusyuk bergoyang di lantai disko. Suasana lampu cen- derung gelap dan hanya sinar-sinar lampu laser warna-warni yang berulang-ulang menyebar ke seluruh ruangan. Sementara di meja-meja, tarnpak juga puluhan orang, laki-laki dan wanita, larut dalam irama musik yang terus menusuk ke telinga.
Di lantai empat inilah, ratusan orang saban malam menghabiskan waktu untuk menikmati "surga gedhek". Selama sekian puluh menit, saya bcrsama Benny keliling ruangan, sebagian besar pemandangan yang saya dapati adalah larutnya ratusan orang dalam musik. Ada yang dengan sangat heboh menggerak-gerakkan semua badannya, ada yang cuma memilih menggoyangkan kepalanya, seolah enggan diganggu ke"sendirian" nya, ada juga beberapa orang yang memilih untuk rileks di tempat duduknya tapi sambil terus bergoyang perlahan.
Klub SD ini memang terkenal dengan "three nite party"-nya. Jadi, pada hari Jumat hingga Senin pagi atau siang, SD buka terus tanpa tutup. Dan ratusan orang tak juga lelah menikmati pesta dari malam ke malam, seolah tanpa lelah. Kenikmatan "surga gedhek" yang menjadi suguhan utama, tampaknya selalu menjadi incaran para "gedhek mania" yang ingin larut di alam maya selama tiga malam, tanpa henti. Ya, apalagi menu utamanya kalau bukan ecstasyatau populer dengan sebutan "inex"8. Yang satu ini, bagi para triper mania,menjadi suplemen wajib untuk menemani mereka ajojing sampai tiga malam berturut-turut
SEKS DINI HARI. Kami sampai di depan sebuah bar, tak jauh dari pintu masuk. Di sekitarnya terdapat sola panjang yang dipadati sejumlah wanita cantik.
"Selamat malam, Mas. Ada yang baru Iho. Mami panggilin, ya?" Terdengar seorang ibu mengenakan baju layaknya staf kantoran menghampiri kami. Tentu saja, kami tidak begitu kaget karena sebelumnya kami juga mendapat tawaran yang sama ketika beberapa kali mampir ke klub SD.
Ecstasy atau inex ini mempunyai nama dan warna yang beraneka ragam. Nama dan warna itu juga menentukau kualitas inex itu sendiri. Sejumlah nama sekarang ini lagi tren di kalangan triper mania antara lain Playboy, Black Heart, Optic, Butterfly, Padi Kapas, Pink Lady dan sebagainya. Playboy misalnya berwama pink dan bergambar kelinci terkenal dengan efeknya yang bisa membuat orang tidak bisa tidur. Black Heart terkenal sebagai inex paling kuat dan tahan lama di antara merekmerek lainnya.
Sementara Optic yang berwama putih kusam punya keistimewaan: sehabis ondan kecapean, para triper biasanya langsung dirasuki rasa lapar yang menggigit Harga rata-rata untuk satu pil ecstasysekitar Rp 100 ribu ke atas.
Khusus untuk tipe "nomor satu" seperti Black Heart, harganya bisa mencapai Rp 300-400 ribu untuk satu butir. Kami akhirnya memilih duduk di bar. Dan mami memanggil beberapa "anak didik"-nya. Di sinilah, ajang transaksi seks terjadi. Puluhan wanita yang memadati sofa dan sebagian lagi tampak melingkari area bar adalali gadis-gadis kencan yang setiap saat bisa diajak mereguk "cinta semalam". Tentu saja, di lantai empat ini, secara harga lebih mahal dibanding dengan yang ada di lantai tiga. Memang, modus operandinya sama. Hanya saja, jam operasional di lantai empat bisa sampai pukul. 05.00 WIB pagi, sementara di lantai tiga hanya sampai pukul 02.00 WIB.
Satu per satu, mami menggiring "anak didik"- nya. Mereka rata-rata mengenakan busana bebas tapi trendy.Ada yang memilih rok mini, celana ketat sampai baju tak berlengan. Begitu kami tak begitu berselera, mami akan segera memanggil gadis berikutnya, sampai akhirnya kami merasa "sreg" dengan gadis yang dikenalkan. Di bar, dua gadis yang menemani kami mulai mengenalkan diri dengan membuka obrolan ringan. Pembicaraan biasanya tak berlangsung lama, karena suara musik house terlalu pekak di telinga. Di sejumlah bar tampak beberapa gadis kencan tengah asyik berbasa-basi dengan tamu laki-lakinya. Lalu, ada sejumlah pasangan yang langsung naik ke lantai 5. Tidak ada lift, hanya ada tangga untuk naik.
Di lantai lima ini, atau populer dengan sebutan lantai "empat setengah", tersedia fasilitas kamar-kamar untuk menyelesaikan transaksi cinta, one short time! Dari kamar standar sampai kamar VIP yang dilengkapi dengan fasilitas untuk berkaraoke.
"Kita mau ngapain nih sekarang. Mau karaoke, massage atau triping?" Suara Benny mengagetkan saya.
"Enaknya ngapain ya? Karaoke kan udah tutup. Ikut pesta tiga malem, kayaknya gue nggak sanggup deh. Mendingan kita massage aja yuk. Sejam dua jam-an, baru kita cabut."
Lantaran sudah pagi, kami udak bisa langsung melalui tangga yang ada di area dance floo menuju lantai lima. Maklum, tangga tersebut biasanya beroperasi dari siang hingga pukul 02.00 WIB. Lewat jam itu, tamu mesti melalui tangga khusus yang letaknya berdampingan dengan pintu masuk, dekat resepsionis.
Tak ada lift. Yang ada memang tangga darurat. Begitu tiba di ujung tangga, kami bertemu dengan sebuah ruangan besar yang di kiri-kanannya berisi kamar-kamar yang berderet.
"Mau kamar biasa atau yang VIP, Bos?" Seorang resepsionis menyambut kami dan memberikan alternatif pilihan kamar. "Yang biasa Rp 2.50 ribu, kamar VIP-nya Rp 275 ribu," sambung resepsionis wanita paruh baya itu.
Harga Rp 250 atau Rp 275 ribu, tentu saja sudah termasuk kamar plus "gadis kencan". Semua pembayaran diiakukan di kasir. Cash boleh, pakai kartu kredit pun tidak masalah. Soal tips, itu menjadi urusan masing-masing tamu dengan gadis kencan di kamar tidur. Tamu yang memilih "safe sex" tinggal memesan kondom pada para petugas kamar yang "stand-by" setiap saat.
Ruangan kamar VIP itu layaknya sebuah kamar di hotel bintang tiga atau empat. Hanyaluasnya tak sebesar kamar hotel. Di samping pintu, terdapat TV 24 inci lengkap dengan peralatan audio untuk berkaraoke. Ada satu sofa panjang dan meja mini. Sebuali tempat tidur dengan bed cover warna putih menjadi perabotan utama. Persis di samping ranjang, ada kaca cermin yang menghias separuh tembok. Wow, bisa dibayangkan, setiap tamu bisa setiap menit berkaca, menonton aksinya sendiri.
"Mau bersih-bersih dulu, Mas? Atau mau langsung?" Mercy—sebut saja begitu, yang men-jadi gadis kencan saya pagi itu, bcrusia 23 tahun,kulit kuning langsat, rambut lurus sebahu asalSubang, menyilakan saya ke shower untuk membersihkan badan. Tak lama, ia pun menyusul masuk dan mulai membasahi badannya dengan air hangat. Mercy banya mengenakan handuk putih di badannya dan segera berbaring manja di kasur.
Prosesi itu berjalan tak lebih dari 10 menit. Lalu tahapan berikutnya adalah seks foreplay Seperli biasanya, para gadis kencan di SD ratarata memang memulai prosesi kencan seks dengan "pemanasan"; dari sexy message—menggerakkan jemari lentik ke sekujur badan, oral sexsampai "mandi-kucing". Lalu, ketika semua prosesi itu dirasa cukup, sampailab pada tabapan eksekusi "full service". Pagi itu berlalu layaknya drama cinta berdurasi satu jam dengan happy-endingstory.
Entah siapa yang bahagia, saya juga tidak bisa memastikan. Mungkin Mercy bahagia karena bisa uang sakunya bertambah, walaupun Cuma Rp 100-150 ribu. Atau mungkin tamu laki-laki yang baliagia karena hasrat biologisnya tersalurkan dan tidak tersumbat di kepala.
"MOUNT BLOW" SERVICE
& LOLY THAI
& LOLY THAI
LAYANAN "oral sex" dengan variasi baru ala gadis-gadis Macau.
"AKU datang dari Macau. Sudah enam bulan aku bekerja di siiii. Laki-laki Indonesia baik-baik ya. Aku jarang melayani tamu yang kasar. Kebanyakan kalau minta sesuatu, mereka bilang dengan sopan."
Kalimat itu meluncur dari bibir tipis seorang gadis berwajah oval dengan kulit putih susu. Namanya Amoy—sebut saja begitu. Gadis berambut lurus panjang dan bertinggi lebih dari 168 cm itu, berbicara dengan bahasa Inggris yang patah-patah. Malam itu, dia santai di atas sofa krem sambil sesekali mencomot hidangan buahbuahan segar dan dingin yang tersedia di meja kaca. Cahaya lampu menyala temaram. Hanya bias kemuning yang menerangi seluruh ruangan. Bibir tipis Amoy masih saja berucap dengan suara perlahan.
"Aku betah kerja di sini. Tapi, aku kesulitan untuk berkomunikasi. Bahasa Inggrisku payah. Dan itu sering kali membuat aku nggak bisa ngobrol banyak dengan tamu. Padahal, aku kan seneng ngobrol, bagi-bagi cerita."
Di ruangan itu, Amoy memang bicara sendiri. Ada Doni, teman saya, lalu Loly, gadis kcncaii asli Thailand yang menjadi pasangan Doni dan terakhir, saya sendiri. Hampir setengah jam, saya dan Doni bersantai di ruang karaoke ditemani Amoy dan Loly.
Prosesi basa-basi dengan percakapan ringan itu hanya berlangsung sekitar lima belas menit. Maklum, terns terang, saya merasa kesulitan berkomunikasi dengan Amoy lantaran dialek bahasa Inggrisnya yang gagap. Amoy hanya fasih berbahasa Mandarin. Baliasa Indonesia pun hanya tabu beberapa kalimat umum seperti terima kasih, selamat malam, selamat siang. Itu itu saja. Amoy pun hanya hafal lagu-lagu Mandarin, sementara lagu Indonesia yang dia bisa nyanyikan paling satu sampai dua lagu saja.
"Aku memang diwajibkan tahu satu atau dua lagu Indonesia. Yang paling aku hafal cuma lagunya Nike Ardila," tukas Amoy sambil tersipu.
Pantas, malam itu, Amoy tampak "terbiasa" mendendangkan lagu Bintang Kehidupan-nya. Nike Ardila (alm), meskipun logat Melayunya masih aneh di telinga saya.
Doni yang duduk tak jauh dari saya, rupanya tengah asyik dengan pasangannya, Loly. Saya tidak tahu persis apakah Loly itu nama aslinya. Tapi yang jelas, Loly ini adalah salah satu primadona gadis Thai yang ada di klub CI. Gadis asli Thailand yang punya postur tubuh tinggi semampai ini memang bak seorang model. Dengan tinggi 172 cm, tubuh ramping, paras cantik, kulit putih dengan stelan jins dan kaos ketat, rasa-rasanya memang pantas Loly disebut primadona.
Selang beberapa menit kemudian, Doni pamit untuk masuk kamar lebih dulu. Saya hanya tersenyum dan mengiyakan. Setelah Doni dan Loly menghilang di balik pintu, tinggal saya dan Amoy duduk berdekatan di sola.
"Mau dimulai sekarang?" tanya Amoy, dan saya mengangguk pelan. Amoy lalu memencet tombol putih yang menempel di dinding, memanggil waiter.
Waiter laki-laki masuk. Amoy memesan sesuatu. Sambil menunggu, saya iseng menyanyikan lagu dangdut Benang Biru-nya. Meggy Z. Lagu usai, waiter masuk membawa dua gelas minuman. Gelas pertama berisi teh ginseng setengah panas, gelas kedua berisi air putih dengan es batu. Rupanya, inilah awal proses "mount blow" service,sebuah pelayanan oral sex dengan menggunakan teh ginseng dan air dingin. Amoy lalu mulai tahapan paket seks "mount blow". Detikdetik itu berlangsung mendebarkan. Teh ginseng menjadi air pembuka yang direguk Amoy untuk memulai "service"-nya. Lalu, ketika sudah mau mendekati tahapan klimaks, Amoy segera mereguk air dingin dan menuntaskan segalanya.
Tuntas, tas, tas...!
LAMPU merah menyala mendadak. Spontan, rem mobil saya injak dalam-dalam. Lamunan saya pun bubar. Malam itu, baru pukul sembilan malam lewat. Saya memang sedang dalam perjalanan menuju klub CI, janjian dengan saliabat saya, Leo. Pantas saja, selama dalam perjalanan, saya jadi mengingat kembali peristiwa sebulan lalu, ketika saya untuk kali kesekian menghabiskan malam di klub CI. Pantas, saya sampaisampai tidak begitu fokus dengan jalan raya yang masih ramai oleh aneka mobil yang saling susul meski berjalan merayap.
Anda tentu masih ingat dengan klub CI yang mempunyai paket seks bule-bule impor, terutama wanita-wanita bulenya yang diimpor dari Uzbe- kistan dan Rusia? Oh, ternyata, yang membuat CI saat ini menjadi trendsetterdan laris manis tidak hanya paket itu. Ada dua paket seks lagi, yang menjadi incaran sejumlah laki-laki petualang malam.
"Di CI nggak cuman bule-bule impornya yang terkenal. Tapi masih ada 2 paket seks lagi yang diuber laki-laki," ujar Leo, 33 tahun, Ini kunjungan saya yang kelima kali ke klub CI. Berawal dari pertemuan saya dengan salah satu pengusaha muda, sebut saja Leo, 33 tahun - bukan namanya sebenarnya, yang punya usaha di bidang ekspor-impor barangbarang elektronik.
Kali ini, kami sengaja datang berdua karena sudah hampir 2 bulan, Leo tak menyambangi klub CI. Saat ini, klub CI boleh dibilang tengah menjadi trendsetterdan saban malam selalu tak pernah sepi dari serbuan puluhan laki-laki berduit yang ingin mencoba ber-"wisata birahi", one, two atau three short time.
Dan dalam beberapa bulan terakhir, nama CI memang tengah meroket karena paket-paket seks yang ditawarkan sangat variauf dan bagi lakilaki petualang mempunyai ciri yang lain dari paket seks yang pernah ada.
THREE SEX SERVICE.
Sekitar pukul 22.00 WIB, saya janjian bertemu Leo di resto Cina di klub CI. Tak perlu susah mencari lokasinya karena CI berada di satu kawasan bisnis. Gedungnya berada di tengah-tengah pusat perniagaan. Selain itu, gedung CI juga diapit gedung bertingkat yang dijadikan kantor sebuah bank kenamaan.
Di siang hari, area di sekitar CI sangat ramai karena dipenuhi orang-orang yang berbelanja dan bekerja kantoran. Bagi orang awam pun, sebenarnya tak begitu susah menemukan CI. Maklum, di sekitar kawasan Kota dan ManggaBesar, CI termasuk dalam jajaran tempat hiburan yang namanya masuk tingkat atas.
Saya tiba di CI sekitar pukul 22.30 WIB. Leo sudah menunggu di resto Cina yang didesain secara terbuka. Restoran itu tampak ramai oleh tamu laki-laki dan wanita. Pemandangan tersebut pasti akan ditemui setiap tamu yang ingin masuk ke diskotek ataupun karaoke. Yang menarik, di restoran tersebut, tampak jelas puluhan wanita cantik dengan busana seksi duduk bergerombol.
Ada yang asyik berbincang, ada juga yang hanya duduk santai sambil mata mereka tak hentihenti mengamati tamu yang masuk. Sambil makan dan minum, kami bisa melihat pemandangan gadis-gadis cantik— banyak yang berdandan super seksi, dari jarak dekat.
Tak lama, kami menuju ke ruang karaoke. Ruangan karaoke terletak tak jauh dari resto Cina, sebelum pintu masuk ke diskotek. Kami disambut resepsionis dan diantar ke ruangan. Ruangan VIP tersebut sedikit temaram. Di tengah terdapat sofa krem dan meja kaca. Di depannya, ada TV ukuran 29 inci. Di samping TV terdapat sebuah kamar tidur eksklusif layaknya di hotelhotel berbintang empat Sebuah kamar mandi luxterletak tak jauh dari kamar tidur. Hawa dingin menyebar ke setiap sudut ruangan dan membuat ruangan menjadi sejuk dan nyaman. Kami memesan sebotol Jack Daniels lengkap dengan Coca Cola dan es batu. Juga beberapapiling makanan kecil dan dua piring besar buahbuahan segar. Seorang mami lalu masuk dan langsung menawarkan aneka pelayanan yang bisa diberikan dan dinikmati di ruangan karaoke.
Yang pertama, tentu saja tawaran paling standar yakni gadis-gadis striptis. Paket yang satu ini, ada dua kategori: lokal dan non-lokal. Artinya,
penari striptis ada yang asli pribumi, tapi bisa juga memesan yang dari luar negeri. Kebanyakan memang penari striptis yang saban malam menghangatkan ruangan karaoke di CI adalah gadis-gadis pribumi dengan tarif Rp 350 ribu untuk satu jam pertunjukan. Tapi, adajuga striptis dari Thailand atau Filipina, tapi harganya jauh lebih mahal karena di atas Rp 1 juta untuk sekali pertunjukan.
Para penari striptis ini, dalam praktiknya tidak hanya menyuguhkan tarian syahwat belaka, tapi pelayanan seksual pun, dengan sangat terbuka mereka terima.
"Justru dari kencan seks itu, mereka dapat tips yang besar. Biasanya sekali kencan di tempat, sekitar Rp 500 ribu sampai Rp 1 juta," tukas Leo membisiki saya.
Paket kedua yang ditawarkan mami pada kami adalah "lady escort". Sama seperti paket striptis, para lady escortatau lebih sering disingkat LC ini tidak hanya terdiri dari wanitawanita pribumi tapi juga ada dari Thailand, Filipina, Taiwan dan sebagainya. Tentu saja masing-masing mempunyai tarif yang berbeda.
Yang menarik, sebagian besar LC ini rata-rata bisa melayani transaksi kencan semalam. Malah, paket seks yang ditawarkan amat beragam. Untuk gadisgadis dari Macau misalnya, salah satu layanan seksnya selain kencan semalam atau one short time,yang populer adalali "Mount Blow Service".
Rina, yang selama ini menjadi "orang kepercayaan" Dino dan Leo ketika mereka mampir ke klub CI. Sementara paket seks ketiga adalah kencan bersama bule-bule impor. Para wanita cantik ini, kebanyakan datang dari Uzbekistan dan Rusia.
Ada juga bcberapa yang didatangkan langsung dari Amerika dan Spanyol. Yang tak kalah banyak adalali gadis-gadis kencan yang langsung didatangkan dari Filipina, Thailand atau Taiwan.
Paket ketiga ini, sekarang ini tengah menjadi tren di kalangan lakilaki petualang. Maklum, CI mungkin klub pertama yang memelopori adanya paket cinta semalam dengan wanita-wanita bule.
Jangan berharap para bule ini jago menari layaknya penari striptis. Karena mereka kebanyakan memang hanya menjamu dan melayani tamu untuk akhirnya berlabuh di ranjang cinta. Meski sedikit kesulitan dalam hal komunikasi, mereka ini sangat profesional menemani tamu selama tiga jam kencan.
Untuk mendapatkan paket ketiga ini, transaksi untuk three short time-nya sebesar Rp 3,5 juta. Jadi, selama tiga jam, para bule cantik ini akan menemani tamu di ruang karaoke. Dan transaksi akan berakhir di ranjang cinta yang sudah siap sedia. Para bule cantik ini pun bisa di-order untuk transaksi seks di luar. Hanya saja, yang bisa melakukan itu kalangan member guest saja, atau paling tidak, tamu yang sudah dikenal dan menjadi "member face"9.
"Enaknya di CI, fasilitas kamar karaokenya serba lengkap dan eksklusif. Sampai kamar tidur pun juga tersedia. He..he..," ujar Leo sambil meninju pundak saya.
Selain karaoke yang buka 24 jam dan dilengkapi dengan aneka paket seks yang amat beragam itu, klub CI juga dilengkapi dengan arena diskotek yang saban malam hingar-bingar dengan musik-musik house. Pada malam weekend,ratusan orang tumpah di dancefloordan memenuhi rungan VIP untuk mereguk kenikmatan malam dengan larut dalam pengaruh "ecstasy". Pada saat tertentu, di ruang diskotek ini juga kerap digelar acara-acara spesial; dari pemilihan Ratu Lingerie, Clubber Party dengan para DJ kenamaan sampai "live-show" dengan penari-penari seksi.
9 Soal "member guest" & "member face" ini pembahasan detailnya ada dalam bab Kencan Bule-Bule Impor halaman 466- 470, Jakarta Undercover 1 (Sex 'n the city).
HOTTEST CLUB
NUDE HOSTESS
NUDE HOSTESS
SEBUAH klub mewah dan terluas di Jakarta. Menjadi tempat persinggahan paling nyaman untuk rileksasi dan mendapatkan suguhan hiburan malam terlengkap. ALL U CAN GET, ALL U CAN "EAT".
Bukan saja makanan biasa, tapi juga "makanan" dengan menu gadis-gadis "cungkok" yang seksi. "Mau ruangan tipe apa, Pak?" tanya resepsionis wanita benama Tina yang berseragam biru muda.
"Saya mau ruangan deluxesaja."
"Mau karaoke atau massage-spa,Pak?"
"Massagesama spa."
"Massage girls-nya.sudah dapat, Pak?"
"Belum tuh. Dari parkir, langsung ketemu
Mbak Tina," sergah saya, bercanda.
"Oke. Nanti diantar ke ruang display oleh GRO {guest relation officer). Bapak bisa langsung pilih sendiri. Lokal ada, cungkok juga ada. Mau yang impor juga tersedia," jelas Tina, untuk kesekian kali, dengan senyum ramah.
Dialog ini bukan terjadi di sebuah hotel, tapi di sebuah klub dengan bangunan mewah dan memiliki luas lebih dari satu hektar. Resepsionis Tina tampak piawai melayani setiap tamu yang datang. Dengan nada bicaranya yang lancar dan sangat teratur, Tina tak ubahnya seorang "public relations" yang tengah membeberkan dan mempromosikan keistimewaan yang dimiliki klubnya. Saya sengaja datang ke klub berinisial CG itu, karena penasaran dengan cerita sejumlah teman.
Menurut mereka, klub CG yang baru sekitar 6-8 bulan beroperasi itu sekarang menjadi paling besar dan paling mewah di Jakarta, bahkan di seluruh Indonesia. Tidak saja karena memiliki luas bangunan yang dibangun di atas tanah lebih dari satu hektar, tapi juga mempunyai aneka fasilitas dan pelayanan yang super-lengkap. Ibaratnya, apa saja yang Anda mau, pasti tersedia. Segala pelayanan untuk rileksasi dan sarana hiburan untuk merenggangkan otot-otot tegang sampai stres, disediakan di klub CG.
Lantaran beberapa teman sedang sibuk dengan pacar dan istrinya masing-masing—ada yang lagi nonton di bioskop, dinner sampai acara keluarga, pada Sabtu malam itu sekitar pukul delapan malam, saya berangkat seorang diri. Hitung-hitung "jomblo" ini, sekalian saja isengiseng "killing time" dengan menyambangi klub CG.
Lokasi CG sangat mudah ditemukan karena berada di pusat perdagangan paling padat di Jakarta. Dari arah Sudirman—saya tinggal di sekitar Senopati, Jakarta Selatan, saya tinggal melajukan mobil lurus ke arah Kota, di sekitar Glodok. Di sebuah kawasan perdagangan, yang di kiri maupun di kanan jalan penuh dengan bangunan-bangunan pertokoan, saya mengambil arah "memutar-balik". Sekitar 30 meter kemudian, saya mengambil ke kiri, masuk ke komplek perdagangan, yang tidak saja dipadati puluhan toko elektronik tapi juga beberapa kafe, resto dan diskotek.
PRESIDENT SUITE.
Setelah parkir mobil di depan gedung CG, saya naik lift menuju lantai tiga. Di lantai itulah tersedia pelayanan health club, spa dan tentu saja massage. Pelayanan yang sama juga bisa didapatkan di lantai lima. Begitu keluar lift, saya menuju meja resepsionis dan bertemu dengan Tina. Seorang GRO wanita, bernama Yanty, mengantar saya menuju ruang display. Ruangan itu tak ubahnya seperti ruang kaca atau studio yang biasa digunakan sejumlah tempat hiburan untuk memamerkan koleksi "gadis kencan"-nya.
"Mau gadis yang lokal atau cungkok, Pak?" tanya Yanty.
"Yang cungkok juga boleh. Memang harganya beda?"
"Jelas beda dong. Made in dalam negeri sama barang impor, pastinya mahal barang impor kan." "It's OK. Atur aja deh." Lalu, oleh Yanty saya diajak melihat ruangan display yang di
dalamnya ada sekitar 30 gadis "cungkok". Cungkok adalah sebutan lain gadisgadis Mandarin. Sebenarnya, saya bisa langsung memilih mereka di ruangan superior yang saya pesan, tapi biar banyak pilihan, saya memilih turun langsung ke ruang display.Dan benar saja, saya malah jadi bingung mau pilih yang mana. Maklum, gadis cungkok rata-rata memiliki wajah, warna kulit dan postur tubuh yang tidak jauh berbeda. Makanya, saya rneminta Yanty untuk mencarikan yang paling enak diajak mengobrol, ramah dan tidak "judes".
Yanty akhirnya memilih gadis bemama Caroline. Bertubuh tidak terlalu langsing, berkulit putih bersih dan rambut lurus di bawah pundak. Malam itu, Caroline mengenakan "sack dress" warna hijau muda dengan sepatu hak tinggi. Tak tampak kesan kalau Caroline seorang hostes yang biasa bertugas sebagai peneman tamu sekaligus memberikan pelayanan massage.
Sebelum sampai di ruangan tipe deluxe yang gaya boking, terlebih dulu saya melintasi puluhan kamar yang ada di area healtli clubdan spa. Begitu mewah dan elegan dengan konsep bangunan serba modern dan serba baru. Perlengkapan yang digunakan serba modem untuk menyegarkan tubuh dengan membakar kalori dan membentuk tubuh ideal. Mau berendam di air panas, hangat sampai dingin, ruang sauna dan mandi uap, semua tersedia.
Begitu masuk kamar deluxe,tak ada bedanya dengan masuk kamar hotel bintang empat dengan tipe yang sama. Di klub setidaknya ada 50 kamar mewah untuk massagedan spa.
Nah, kamar tipe deluxe seperti yang saya boking, jumlahnya ada sekitar 40 buah. Kamar , ini dilengkapi satu ranjang untuk pijat yang nyaman dan whirpool sendiri. Caroline atau biasa dipanggil Olin yang menjadi pasangan kencan saya malam itu, dengan santai dan cekatan mempersiapkan segala sesuatunya. Dari merapikan ranjang sampai menyiapkan peralatan untuk mandi.
Beberapa teman yang pernah merasakan pelayanan di CG mengatakan, para massage girls atau hostes yang bekerja di CG, kebanyakan bisa memberikan "nude service" ketika menjalankan tugasnya. Jadi prosesi massage dilakukan dengan sama-sama telanjang. Hanya sebatas itu? Tentu tidak. Untuk paket "nude massage" itu, tarifnya sekitar Rp 750 ++ ribu sudah termasuk kamar tipe deluxe tapi belum termasuk tip dan makanan serta minuman. Nah, untuk melanjutkan sampai pada tahapan "kencan seks", tentu saja ada tarif nego antara tamu dengan hostes-nya.
"Biasanya sih nggak lebih dari Rp 1 juta," tukas Heru, sebut saja begitu, teman saya yang pernah tiga kali menyambangi klub CG. Memang sih, kalau dipikir-pikir, dari prosesi "nude massage", di sebuah ruang tertutup yang sangat nyaman dan meninabobokan itu, rasarasanya memang tidak mungkin hanya sampai berhenti pada pelayanan rileksasi belaka. Yang sudah-sudah, dari rileksasi "nude massage" itu, ujungujungnya berakhir di transaksi seks juga.
"Dua orang sama-sama telanjang di dalam kamar tertutup, ber-AC, nggak mungkin dong cuma mau berdingin-dingin ria. Yang ada mah, masuk angin," ceplos Heru ketika saya tanya ihwal "nude massage" itu.
Setelah satu jam, pelayanan "nude massage" itu berakliir. Saya kembali lagi ke meja resepsionis. Melihat klub CG saya jadi ingin tahu lebih banyak: ada apa di klub yang lebih pas disebut sebagai one stop entertainmentdan one stop sextainmentitu.
Oleh Yanty, saya diajak melihat ruang president suite.Terus terang, ruangan ini membuat saya terbengong-bengong. Bagaimana tidak? Ruangan bertipe president suite dengan nama JW misalnya dilengkapi dengan sarana dan fasilitas serba mewah. Ruangan ini bisa menampung sekitar 50 orang lebih. Dua buah sofa melingkar dengan tiga layar monitor besar berada di tengah ruangan. Di dalamnya ada juga ruang makan yang juga dilengkapi dengan dua pesawat TV dengan akses saluran dalam dan luar negeri. Ruangan ini juga memiliki kamar tidur luxdengan shower-nya dan private DJ dan mempunyai akses langsung ke arena diskotek yang berada di ruangan utama dan bisa menampung sekitar 3.000 tamu. Di atas diskotek tersedia 12 balkon yang menjadi sarana private bagi tamu yang ingin disko bersama gang tanpa harus berbaur dengan banyak tamu di dancetloor.
President suite memiliki fasilitas terlengkap, dari mini bar, sofa untuk refleksi, sauna, whirlpool, showerdan pesawat TV 29 inci. Ada juga ruang untuk aqua theraphyyang dilengkapi dengan bathtubdanTV 21 inci dan sebuah kafe lengkap dengan sofa untuk pijat refleksi, layer lebar serta sebuah bar. Bisa dibayangkan kalau pada satu kesempatan saya bisa menggelar "private party" di ruangan itu. Segalanya sudah tersedia. Dari menu makanan, miuuman sampai paket "gadis kencan"-nya.
"Banyak pengusaha dan pejabat, sering pake ruangan president suiteini untuk private party"tukas Yanty.
Ternyata, klub CG benar-benar super lengkap. Dari president suite itu, saya berkeliling lagi melongok aneka fasilitas yang ada di klub CG. Ada lounge untuk mendengarkan musik-musik secara "live" dengan kapasitas untuk 100 orang lebih. Di tengah ruangan ada air mancur berhiaskan patung naga. Sangat eksotis.
Ada juga ruangan wine cellar bagi tamu yang menyukai anggur pilihan dan terbaik serta tentu saja aneka macam cerutu. Yang tak kalah menariknya, klub CG juga memiliki fasilitas karaoke dengan aneka macam ruangan yang ditata dengan aneka ragam interior. Sedikitnya ada sekitar 30 ruangan karaoke yang masing-masing dibagi dalam kelas yang berbeda, dari kelas standar, superior, VIP sampai suite.Tipe-tipe ruangan ini meng-ingatkan saya pada tipe kamar yang ada di hotelhotel.
Ruangan karaoke itu diberi nama sesuai dengan gaya interiornya. Submarine misalnya merupakan ruangan bertipe superior yang dilengkapi dengan meja makan dan kamar mandi sendiri. Gaya interiornya tak ubahnya seperti berada di dalam kapal. Ruangan ini paling tidak muat untuk 10-15 orang. Ada juga ruangan bernuansa Oriental dengan gaya interior serba Cina. Ruangan tipe suite dilcngkapi dengan gazebo dengan satu set meja makan, toilet dan sebuah kamar rileksasi yang sangat "private" dan bisa menampung setidaknya 25-30 orang. Setiap ruang karaoke dilengkapi dua TV layar lebar dilengkapi remote control.Jadi tamu bisa secara otomatis memilih lagu, mengecilkan dan membesarkan suara dan sebagainya.
"Pokoknya, all u can gel Semua deh ada di sini," ujar Yanty menirukan slogan acara Campur-Campurdi ANTV. Lewat pukul 22.00 WIB, saya keluar dari area klub CG dan menuju Gardu Biliar di kawasan Taman Ria Senayan bergabung dengan sejumlah anak-anak gaul yang siap "clubbing".
Tidak ada komentar:
Posting Komentar