Jumat, 19 Juli 2013

Jakarta Undercover 2: Karnaval Malam (4)

Karnaval IV: 
Hotel/Massage Tripel-X
"LESBIAN PACKAGE"
TENGAH MALAM
CARA baru untuk menjual kamar hotel. Pelayanan ekstra berbau seks setelah tengah malam, dan sexy massage, cocktail ladies show, hingga tol ful service ala lesbian package". Bebas dari diskon atau potongan tarif.
Ada tips menarik dari para traveller kalau ingin dapat tarif murah menginap di hotel. Checkin di atas jam 22.00 dengan meminta tarif khusus, petugas sejumlali hotel, kabarnya, dapat memberi potongan 50% lebih dari tarif resmi. Ini bukan tarif KKN, tapi memang kebijakan manajemen hotel yang tercatat dalam registrasi komputer. Itulah bagian strategi hotel untuk mengikat pelanggan dan memberikan pelayanan pada tamu.
Potongan tarif yang cukup besar tersebut biasanya diberikan kepada pelanggan yang punya mobilitas tinggi dan menggunakan hotel hanya untuk menumpang tidur, atau juga tamu-tamu transit, checkin tengah malam dan check-outpagi-pagi karena harus pergi ke kota lain.
"Sekarang malah ada sejumlah hotel dan apartemen yang memasang tarif transit resmi," ujar teman yang sering berurusan dengan mitra bisnis dari luar kota. Dia menyebut hotel RA, HM, WP dan MI di Jakarta Selatan,
Padahal, tarif transit yang dikenal sebagai "bobo-bobo enam jam" tersebut dulunya digunakan untuk motel yang identik dengan aktivitas miring, yaitu perselingkuhan seksual. Pertanyaannya, apakah tarif hotel tengah malam atau transit itu juga tidak disalahgunakan?
"Wah, kalau soal penggunaannya, itu kan tergantung pada masingmasing pribadinya," kata
teman. Tapi disebutkannya, memang ada hotel yang membiarkan praktek-praklek penyimpangan tersebut. Bahkan ada yang menyediakan fasilitasfasilitas yang mengarah pada hiburan syahwat.
"Malah ada paket lewat tengah malam," tambahnya seraya menyebut hotel RA, HM dan MI yang populer di kalangan pria petualang malam. Terutama hotel RA yang tak pernah sepi dari geliat nafsu laki-laki selama 24 jam.
PAKET SPESIAL.
Hotel RA bukanlah jenis hotel mewah yang punya jaringan dunia. Terletak di Jalan PG, Jakarta Selatan yang ramai, hotel berlantai lima ini merupakan hotel lokal kelas bintang tiga dengan tarif Rp 300.000 hingga Rp 500.000 untuk kamar deluxe hingga suite. Sebagai hotel yang relatif belum lama, beroperasi mulai lima taliun lain, bangunan eksterior dan interiornya termasuk di atas rata-rata dan bersih. Dengan lobi yang tak terlalu luas, lantai satu digunakan untuk inlormasi dan pelayanan tamu, collee shop dan restoran, outlet toko dan salon; sedangkan kamar-kamar yang jendelanya menghadap jalan atau perumahan penduduk ada di lantai tiga ke atas. Di lantai dua, sebagian digunakan untuk tempat fitnes, salon dan yang terbesar adalah pelayanan massage.Sedangkan di lantai bawah, satu lantai dengan parkir mobil, ada diskotek yang tidak terlalu besar, diskotek NA.
"Pelayanan massage-nya buka 24 jam," komentar Yudha, ketika kami masuk hotel pukul 22.30.
Kok tidak ada potongan tarif? Diskon khusus rupanya tidak berlaku di hotel ini, kecuali bagi member khusus, karenadi samping tarifnya berstandar rupiah menengah, sesuai hukum penawaran- pennintaan, tamu-tamunya cukup banyak, sehingga tingkat huniannya cukup tinggi, yang istilah teman di atas 100 persen. 
"Artinya, sejum- lah kamar, di malam libur, digunakan lebih sekali dalam satu hari," kata Yudha pula.
Memang, malam itu, meskipun bukan malam libur, suasana lobi cukup ramai. Mereka pada umumnya pria-pria muda, berusia 2.5 hingga 40 taliun, beberapa di antaranya wanita muda berusi 
20 hingga 30 tahunan. Pria-pria dan wanita itu ada yang duduk di kursi lobi, merokok dan berbincang, beberapa ke coffee shop, beberapa lagi naik atau turun tangga dan lilt. Yang turun, tentunya, menuju parkiran mobil untuk meninggalkan hotel, atau masuk ke diskotek. Sedang yang naik ke atas, tentu saja, menuju kamar untuk tidur, atau mampir ke health & fitnessdi lantai dua.
Diskotek NA tidak terlalu besar. Dalam suasana lampu yang temaram, kepengapan asap rokok dan debum musik house yang keras langsung menyergap begilu masuk pintu yang setengah tertutup. Dan seperti diskotek lainnya, di sini adalah tempat untuk melepas beban harian, meraba dan mencari kehidupan maya yang hingar bingar dan samar. Sementara sebagian pengunjung, pria dan wanita menggoyang tubuh mengikuti irama musik, sebagian duduk seraya menggoyangkan kepala dan sesekali menghirup minuman, sebagian lagi berdiri berdesakan larut dalam keliaran debamdentam suara. Di sini batas gender nyaris samar, kecuali bentuk fisik. Bahkan sejumlah wanita, dengan dandanannya yang menampakkan sensualitas tubuh sepcrti menggoda.
Scorang wanita separuh baya mcndekati kami, seraya membisikkan sesuatu. Ternyata, menurut Yudha, ia adalah seorang Mami yang menawarkan teman.
"Mau yang mana, tinggal bilang," katanya di antara suara musik memekakkan telinga. Malam boleh berubah, tapi suasana diskotek tak berubah. Satu dua saja yang keluar ruangan, tapi satu dua juga yang masuk. Mereka asyik dengan musik disko dan dunianya. Dan satu tambahan lagi, yang tidak berubah, tempat hiburan malam senantiasa lekat dengan aroma wanita. Sejumlah pengunjung wanita tidak semata menikmati musik dan melepas beban, tapi mencari nafkah dengan menjual jasa fisiknya untuk menemani dan menghibur pria-pria yang menafikan dosa.
Lewat pukul satu ketika kami naik ke kamar. Dari lantai lima, jalanan yang pagi dan sore padat merayap kini sudah lengang. Satu dua mobil masih meluncur, sementara di kejauhan Jakarta, tampak kerlapkerlip lampu dengan membentuk deretan ke atas mengikuti bentuk gedung-gedung jangkung. Tiba-tiba saja, terdengar ketukan pintu. Seorang wanita muda tersenyum ramah. Ia mengenakan baju seragam perawat biru muda, berusia 25 tahunan, berambut lurus hingga pundak, tidak begitu cantik, tapi cukup menarik. Tubuhnya berisi, kulitnya putih bersih, make-uptipis, sehingga terkesan santun.
"Malam amat Mas order-nya? Baru balik dari diskotek ya?" tanyanya datar. Seraya menghampiri tempat tidur, ia memperkenalkan diri. "Saya Nina, dari Bandung."
Kami segera sadar, rupanya, Yudha yang meminta ke Fitness & Parlourdi RA untuk dikirim pemijat.
"Jadi mau dipijat atau mau diapain nih?"
Nina menyambung tanpa basa-basi, to the point.Terus terang, bagi yang tidak biasa, terasa vulgar dan mengejutkan. Kalau dialog diteruskan, barangkali mirip buku stensilan karangan Any Arrow yang dijual setengah gelap di kaki lima. Tapi itulali, yang ditawarkan wanita yang resminya adalah karyawati "sehat kebugaran" yang dinas hingga malam hari. Bahkan, ketika tawaran tidak langsung ditanggapi, segera menyusul tawaran lain, seperti two-in-one service, cocktail girl, dan lesbian package!.
Tawaran-tawaran yang mengundang rasa penasaran tersebut, tampaknya, memang tak jauh dari apa yang disebut hiburan miring spesial untuk laki-laki. Cocktail Girl, misalnya, tak jauh dari pelayanan seorang wanita atau lebili yang basisnya adalah massage, tapi karena ingin mendapatkan pendapatan lebih juga bersedia melakukan pijat syahwat hingga oral, tapi tidak berhubungan intim karena istilah dan standar tarifnya berbeda. "Lesbian Package" adalah pelayanan erotis dua wanita yang tujuannya, tidak lain untuk membangkitkan syahwat laki-laki yang ujungnya adalah two-in-one servicealias bercinta dengan dua wanita. Ada juga tawaran pertunjukan tarian erotis yang biasanya ada di karaoke atau bar. Tarian tanggal baju tersebut dapat dengan mudah dipindahkan ke kamar-kamar, sehingga privacy-nya lebih terjaga dan kemungkinan bisa ditindaklanjuti
dengan aktivitas yang lain.  Transaksi seks, itulah pada akhirnya muara ])elayanan spesial hotel tengah malam hotel RA tersebut. Pelayanan yang sebenarnya terpisah dari
fungsi dan tugas hotel sebagai tempat istirahat dan menginap, tapi pada kenyataannya begitu terbuka dan cenderung demonstratif.
GM 24 JAM.
Tentu saja, pihak hotel mengelak terlibat dalam pelayanan spesial tersebut. Berbagai fasilitas hiburan dan kebugaran seperti bar & restoran, diskotek, karaoke dan massage dianggapnya sebagai fasilitas standar sebuah hotel yang dikelola oleh pihak lain. Menunjuk ketentuan hotel — yang standarnya melarang adanya barang terlarang, tindak asusila dan kegiatan yang membahayakan, segala aktivitas di luar ketentuan tersebut dianggapnya sebagai tanggung jawab tamu. "Jadi, kalau ada hal yang macam-macam, itu bukan tanggung jawab hotel. Kita kan tak mungkin memeriksa satu persatu karena itu bisa mengganggu privacy mereka," kilah eksekutif hotel tersebut.
Sikap pihak hotel yang tidak mau ikut campur urusan tamu dan mitra bisnisnya memang dimanfaatkan dengan baik oleh para pihak yang ingin mengeruk kantong para tamu. Diskotek dan karaoke di sini, misalnya, tak lagi sekedar untuk bersantai menikmati kegembiraan dan musik, tapi juga mengarah pada perdagangan jasa liburan seks. Pelayanan massage di hotel RA malali secara terang-terangan membuka "jam prakteknya" dari pukul 09.00 sampai dengan 03.00 WIB yang terbagi dalam tiga bagian waktu. Jam kerja hingga lewat tengah malam ini, tentu saja, mengundang rasa penasaran dan pertanyaan; sementara pelayanan siang hari pun tetap mcngundang tanya. Menurut Yudha, masuk ke 8 kamar VIP yang tertutup tirai plastik rangkap clan bertarif 90 ribu rupiah per jam hanya dengan wanita cantik dan tampil seksi bukan hanya bisa lerjadi apa saja, tapi lebih dipastikan berakhir dengan transaksi seks. Apalagi, tentunya, pelayanan pijat yang ditawarkan ke kamar-kamar selewat tengah malam. Jadinya, ya seperti yang telah disebut, ada paket sexy service, body massage, cocktail girl, lull service atau apa saja.
"Yang menarik, GM di sini siap 24 jam," kata Yudha pula.
GM adalah istilah untuk penghubung antara tamu dengan obyek dan bentuk penawaran pelayanan. Mereka adalah "mami" yang menjadi koordinator wanita penghibur di karaoke dan kadang nongkrong di diskotek dan bar. Tugasnya untuk memudahkan transaksi dengan tamu dan mengurangi persaingan terbuka yang bisa berakibat pada persaingan tarif. Tarif pelayanan wanita penghibur sebenarnya tak ada yang pasti. Dengan dalih klasilikasi usia dan tampilan, maka ada perbedaan tarif tersebut. Untuk wanita yang sudah lebih berusia dan pelayanan standar, misalnya, tarifnya berkisar 300 hingga 500 ribu rupiah, satu hingga tiga jam. Sedangkan untuk yang kelas primadona, bisa 500 ribu hingga satu juta rupiah.
"Yang tarifnya segitu, kebanyakan LC karaoke yang ada di basement Tapi cuma sampai jam dua bukanya, " ujar Yudha.
Tapi di luar tarif resmi tersebut, biasanya, pihak wanitanya mengajukan tambahan yang disebut tips. Nah, namanya tips, bergantung kedua belah pihak. Sejumlah wanita, mengaitkan jenis pelayanan, bisa saja niemberikan ad charge yang cukup besar. Demi menggelembungkan tips itulah mereka menawarkan berbagai pelayanan ekstra seperti "catty service" atau "pussy bath", "two-inone", "lesbi show" dan beberapa lagi yang sudali disebut.
Meskipun begitu, boleh jadi, karena jumlah pencari nafkah lewat jalan setan itu cukup besar, tingkat persaingan tak bisa dihindarkan. Diamdiam, mereka tidak banya menggunakan jasa GM, tapi juga petugas keamanan, bell boy,dan juga sesama teman. Dengan motif mendapatkan tips yang lumayan, petugas keamanan atau petugas hotel sering kali, tanpa sungkan, menawari paket spesial tengah malam itu kepada tamu pria yang sendirian atau rombongan (pria).
Alhasil, di hotel ini pelayanan GM tersebut praktis berlangsung scpanjang waktu, 24 jam penuh. Sementara, untuk pelayanan massage, meskipun resminya buka dari jam 09.00 pagi hingga 03.00 dim hari, tapi sekiranya ada permintaan di luar jam tersebut, tampaknya tidak akan dilayani.
TRANSAKSI TERBUKA.
Bisa diduga, Karena pelayanan-pelayanan gelap yang menggiurkan itu, sementara hotel mengeluh kekurangan tamu, hotel RA yang baru dua tahun lebih beroperasi, tak pernah sepi. Jenis tamu-tamunya, bisa diduga pula, pada umumnya para pria hidung belang atau  pasangan gelap yang butuh tempat untuk melampiaskan syahwatnya.
Yudha, teman kami tadi, mengaku satu atau dua kali sebulan "menginap" di hotel RA ini. Bukan menginap dalam arti sebenarnya, tapi lebih untuk mengumbar petualangan kelelakiannya. Tidak harus melakukan penyelewengan seks secara fisik, tapi "sekedar hiburan erotis yang mencengangkan dan seringkali tak masuk akal". "Sekarang ini banyak yang aneh-aneh," ujarnya. 
Seperti tawaran "lesbian package", misalnya, semula dianggap sebagai hal yang sulit dipercayadilakukan oleh wanita-wanita Indonesia, di Indo- nesia pula. Untuk itulah kami menerima tawaran Nina, massage girl di hotel RA.
Seperti yang dijanjikan, Nina mendatangkan dua temannya, Yeni dan Susan. Yeni, 24 tahun, mengaku asal Semarang, sedangkan Susan, 25 tahun, dari Bogor. Nama dan asal sebenarnya tidak begitu penting, karena biasanya bukan asli atau yang sebenarnya. Tapi yang pasti, mereka bukanlah orang-orang baru di dunia hiburan malam seperti ini. Susan, misalnya, pernah menjadi wanita malam di klab malam TA di bilangan Tanah Abang dan membelot setengah tahun lalu karena merasa jadi perahan mami di sana. Sedangkan Yeni, setali tiga uang, juga menjadi wanita penghibur di tempat yang berbeda. Sedangkan Nina adalah veteran yang biasa freelance di sejumlah motel sebclum menetap di tempat massage hotel RA dengan dalih sudah cape. Dengan kata lain, mereka adalah penghibur yang sudah punya jam terbang tinggi. Karena itu, suguhan pelayanan macam apa pun, tampaknya tak jadi soal. Mereka saling mengenal dengan baik, bahkan mengaku sering bekerja sama.
Maka, kalau kemudian, tanpa rasa sungkan dan risih melakukan berbagai adegan seperti dalam film biru —bermesraan dengan sesama jenis —itu bukan hanya karena mereka sudah biasa, tapi mereka melakukannya dengan akting. Nina, Susan dan Yeni adalah pemeran yang seolah-olah menjadi bintang film biru lesbian, tanpa rekaman kamera. Seperti dalam film, tugas mereka adalah membuat penonton terangsang, untuk kemudian mereka siap melakukan adegan lanjutan.
"Paket ini enak. Ringan buat kita, karena bekerja ramai-ramai, sedangkan bayarannya tetap," kata Nina yang disetujui Susan maupun Yeni.
Tapi malam itu, kami tidak bermaksud meneruskan adegan lanjutan. Baik Nina maupun Susan memprotesnya, tapi segera menyatakan keheranan dan terima kasih ketika dipastikan bahwa bayaran yang diterima tidak berkurang. 
"Sebenarnya, sih, ada nggak enaknya. Tapi kalau tamunya merasa senang dan puas hanya dengan menonton, ya mau bilang apa? Janganjangan memang ada kelainan," gumamnya. 
Kami hanya tersenyum untuk menenangkannya. Sebab, menurut Yudha, mereka memang tidak ingin tamunya kecewa. Soalnya, rasa kecewa sang tamu bisa berakibat pada beralihnya tamu pada pihak lain. Maklum, di samping massage girl tersebut ada pesaing yang datang dari wanitawanita karaoke. Kabarnya, wanita karaoke juga membuat tawaran yang tak kalah seru, meskipun tarifnya bisa berbeda.
"Nah, baru tahu bahwa dunia malam di Jakarta sudah demikian dahsyat, kan?" komentar
Yudha ketika kami meninggalkan hotel, pukul 04.00 WIB. Lobi sudah lengang, hanya ada satu dua pengunjung yang juga check-out. Tapi di bawah, karaoke dan diskotek masih belum tutup. Ada dua wanita yang masuk ke taksi yang banyak menunggu di depan hotel, mungkin wanitawanita teman Nina dan Yeni.
Dunia malam Jakarta, rupanya, sudah terperangkap pada industri pelayanan yang bermuara pada pengumpulan uang semata, sehingga sebagian hotel pun menyediakan diri sebagai hotel cinta. Menurut Yudha, hotel RA bukan satu-satunya hotel yang membiarkan terjadinya transaksi seks. Bukan rahasia lagi beberapa hotel di Jakarta Barat, Pusat dan juga motel, disebut-sebut menjalankan praktek menyimpang dan ilegal tersebut.
Dan ini berlangsung dari waktu ke waktu.



"DOBEL PINTU"
GIRLS PACKAGE
HOTEL bintang tiga dengan paket gadis-gadis siap boking yang ditempatkan di studio besar serba kaca. Istilah populemya: hotel dua pintu. Apa keistimewaannya?
Biasanya, malam Sabtu saya lebih senang berada di antara temanteman gaul yang tengah asyik clubbing ke sejumlah kale trendsetter. Entah ke Embassy dan C02 di kawasan Senayan, ke BC Bar atau Hard Rock Cafe di kawasan Thamrin, Mata Bar di bilangan Sudirman, Blow Fish di bilangan Mega Kuningan atau kale-kale di sekitar Kemang, Jakarta Selatan, sepcrti Badonci, Jimbani, Shooter atau Salsa.
Tapi lantaran malam itu, tiga orang tcman saya dari Surabaya , masing-masing Didi, Momo dan Jeremy, datang ke Jakarta. Mau nggak mau, saya mesti menemani mereka keliling-keliling kota. Kalau sekedar clubbing kekafe atau diskotek, bagi ketiga teman saya itu, tentu bukan hal yang aneh lagi. Malah, sudah terlalu biasa. Mak- lum, mereka termasuk anak-anak gaul yang sudah terbiasa kelayapan malam ke beberapa tempat hiburan malam di Surabaya dan Jakarta. Makanya, yang terjadi kemudian, mereka minta ditemani "hunting" ke beberapa tempat kategori tripel-x. Pertama-tama, mereka saya ajak mampir ke sebuah rumah cinta di kawasan Prapanca yang mempunyai koleksi gadis-gadis cantik dengan harga Rp 3 juta untuk sekali transaksi. Didi sangat berhasrat untuk memboking salah satu gadis yang di"pajang" di ruang tamu. Tapi, Jeremy agak ogah-ogahan karena bandrol harganya lumayan mahal. Belum lagi biaya sewa kamar hotel sampai makan dan minum.
"Yang langsung-langsung aja deh. Gue males kalo yang ribet-ribet," sergah Jeremy. Pria yang ehari-hari menjadi manager di salah satu perusahaan telekomunikasi di Surabaya itu, mengajak saya untuk segera meninggalkan rumah cinta yang sudah hampir lima sampai enam tahun beroperasi itu.
Terus terang, saya sendiri, kalau boleh memilih, lebih suka berada di rumah cinta. Bagaimana tidak? Di ruang tamu yang dilengkapi dengan perabotan lux dan tata ruang yang sangat nyaman itu, ada setidaknya sepuluh gadis cantik dengan dandanan seksi dan trendy.Jujur, mereka tak kalah disejajarkan dengan para top modeldi tanah air.
"Rp 3 juta ya. Gue mikir juga kalo segitu. Belom embel-embel lainnya. Wall, bisa habis Rp 5 jutaan," timpal saya yang mendapat dukungan dari Momo dan Jeremy. Akhinrya, kami pun sepakat melanjutkan "hunting" ke hotel TV, Jalan PCR, di sekilar Pecenongan, Jakarta Barat.
RESTO RENDEZVOUS.
Hotel TV sangal mudah ditemukan karena berada di jalan utama. Lagi pula di sepanjang jalan itu ada beberapa bangunan hotel yang berdiri secant berdampingan. Setidaknya terdapat empat sampai lima hotel, semuanya bintang tiga. Selam hotel, di sepanjang jalan itu herbaria beberapa tempat hiburan malam dari diskotek, sauna, karaoke sampai klub. Hotel TV berada dekat klub RO yang memiliki fasililas hiburan paling lengkap. Ada hotel, karaoke, diskotek sampai sauna. Nah, hotel TV dititik dari bangunan luarnya memang tampak lebih bagus dibanding hotel-hotel yang ada di sekilar. Halaman depan hotel cukup luas dan menjadi area parkir.
Kami sampai di lokasi sekilar pukul sepuluh malam. Puluhan mobil memenuhi pelalaran parkir di depan hotel. Petugas valley sibukmengatur keluar-masuknya aneka merek mobil. Di lobby tampak beberapa tamu tengah asyik duduk santai di sofa beludru warna krem.
"Kita mau ke mana nih? Kok langsung ke hotel?" tanya Didi. "Udah, tenang aja. Di sini lo mau apa juga ada," timpal saya sambil mengajak Didi Cs menuju lift di samping kanan meja resepsionis hotel.
Dua resepsionis pria dan wanita sibuk melayani tamu yang mau check-in.Dari lobby,saya mengajak Didi Cs naik lift menuju ke lantai dua. Dinding hotel TV scrba bervvarna krem dengan motif garis warna biru di tengahnya. Begitu lift terbuka, pemandangan pertama yang kami temukan adalah wajah-wajah cantik yang tengah bersantai sambil bersandar di dinding. Ada juga yang duduk lesehan di lantai sambil "ngerumpi".
Pemandangan sepcrti ini, biasa terjadi ketika sejumlah gadis kencan tengah menunggu orderan. Lima langkah ke kiri, ada restoran Cina yang tampak terang oleh cahaya lampu serba kuning. Ketika kami datang, sejumlah meja telah terisi. Beberapa laki-laki bercanda masyuk ditcmani beberapa orang gadis cantik berdandan seksi. Setidaknya ada sekilar 10 meja bulat dan empat
kursi sofa yang tersedia. Meja-kursi serba berwarna krem dengan motif bergambar bunga di tengahnya. Seorang pramusaji laki-laki menghampiri kami sambil membawa menu makanan.
Scbagian besar menu makanan yang tersedia adalah Masak an Cina.
Kami sengaja duduk di sofa sambil menikmati segelas bir putib dan jackdie coke serta sepiring kentang goreng. Mau makan, kami belum merasa lapar. Seorang wanita paruh baya mengenakan blazer biru menghampiri kami.
"Malam, Bos. Mau ditemanin, nggak? Ada Icha sama Laras. Tub, mereka lagi nganggur.Cantik-cantik, kan," ujar wanita itu sambil menunjukke arah dua gadis yang tengab duduk di pojok sambil mengisap rokok dalam-dalam.
"Bentar ya, Mi. Kita duduk dulu, ntar kalo emang perlu, kita panggil Mami ya," sergab saya dan wanita itu pun berlalu dan kembali ke mejanya.
Selama kurang lebih satu jam, kami menghabiskan
waktu di resto itu. Selama sejam itu pula, kami bisa mengamati keadaan sekeliling. Hampir tiap menit, dari pintu resto tampak keluarmasu sejumlah gadis dengan aneka dandanan yang rata-rata seksi. Saya nyaris tak melewatkan dap momen yang tercipta. Di mcja sebelab kanan saya misalnya, ada tiga laki-laki tengah ditemani tiga gadis. Canda tawa dan kata-kata genit menyeruak dari obrolan mereka. Sering kali, ketiga gadis itu tanpa sungkan asyik duduk di atas pangkuan ketiga laki-laki yang membokingnya. Tidak hanya itu, ketiga gadis itu juga cuek saja meraba, mencium dan memeluk pasangan laki-lakinya. Lalu, salah satu dari ketiga laki-laki itu pamit ke atas ditemani seorang gadis berbaju serba putih. Rupanya, pasangan itu mau menyelesaikan kencan seks di kamar hotel. Tarifnya, tentu bcrdasarkan negosiasi antara kedua belah pihak. Ketiga gadis yang menemani ketiga tamu laki-lakinya, ternyata berstatus lady escort(LC) karaoke.
Dari obrolan mereka, saya jadi mafhum kalau sebelumnya mereka telah lebih dulu berkaraoke selama tiga jam. Usai karaoke, mereka bersantai sambil mencicipi bidangan makan malam dan tentu saja, negosiasi untuk berkencan seks. Maklum, untuk kelas LC memang tidak ada patokan harga pasti untuk urusan seks di ranjang. Kalau memboking mereka di ruang karaoke, satu LC dipatok barga sekilar Rp 45 ribu untuk minimal orderselama 7 jam. Tinggal kalikan saja Rp 45 ribu kali 7 jam. Untuk menyewa seorang LC mesti keluar biaya sebesar Rp 350 ribu-an. Itu belum termasuk sewa ruang karaoke selama tiga jam dan tentunya tip untuk LC.
"Mau karaoke dulu, apa kita pesan di sini aja. Kalau karaoke pastinya 'ntar lama lagi. Pesen di sini aja, terus lo linggal check-indeh ke kamar," saran saya ke Didi Cs yang sudali menghabiskan sedikitnya empal botol bir putih ukuran besar. Belum lagi beberapa gelas jackdie coke, minuman kesukaan Momo.
Wanita berblazer biru yang tadi menghampiri kami, dalang lagi. Kali ini, dia menawarkan kami untuk berkaraoke. Katanya, ada ruangan kosong yang tersedia dan siap dipakai lengkap dengan LC-nya. Wanita itu masih bersikukuh mempromosikan Icha dan Laras untuk menemani kami. Saya hanya mcnggelengkan kepala. Maklum, jam terus merambat cepat Tanpa terasa jam di tangan saya sudah mendekati angka 12 malam. Kalau memutuskan berkaraoke, pastinya akan memakan waktu lebih lama lagi.
Makanya saya memilih untuk tetap bersantai di resto. Toh, tidak ada bedanya. Malah, di resto suasananya lebih terang dan kapan pun bisa memilih gadis kencan yang dikehendaki. Dalam suasana terang, bukannya lebih bebas mengamati, meneliti dan memaslikan secantik dan seseksi apa gadis yang mau di"kencani"?
"Kalau gelap, kayak beli kucing dalam karung. Ntar salah pilih lagi," ceplos Jeremy yang malam itu tampak bersemangat. Entah karena sudah tak
tahan ingin segera melepaskan hasrat biologisnya atau karena kebanyakan menenggak bir. DOBEL PINTU. Karena malam makin larut, kami memutuskan untuk hengkang dari resto. Suasana masih lumayan ramai. Ada beberapa LC yang setia menemani tamunya di meja dan belum juga beranjak. Belum lagi, sejumlah LC yang mabuk sehabis menemani tamu di karaoke, memilih bersantai di resto sambil meminum secangkir teh panas.
"Kita ke ruang display yuk. Liat-liat aja dulu," saya membawa Didi Cs keluar resto dan meng ambil jalan ke kiri. Sampai di ujung, ada dua lorong. Ke kiri menuju ke "kamar-kamar khusus" untuk pijat plus, sementara lorong sebelah kanan ada ruangan kaca yang di dalamnya berisi puluhau gadis kencan yang siap menemani di kamar hotel atau ke "kamar khusus".
Bedanya dengan LC, gadis-gadis kencan di ruang kaca itu punya patokan tarif yang jelas dan pasti. Jadi, tak perlu lagi ada negosiasi soal harga. Di ruang kaca itu, ada sekitar 10 gadis kencan yang tersedia. Maklum, malam sudali larut Biasanya, jumlah gadis dalam kaca bisa mencapai 30 orang. Mereka dibagi dalam dua shift. Shift pertama dari pukul 14.00 W1B sampai sekitar pukul 20.00 WIB. Sementara shiftkedua, antara pukul 20.00 WIB sampai pukul 02.00 WIB dim hari.
Hauya saja, ketika sudah larut malam—sekitar pukul 00.00 WIB sampai selesai, gadis kencan yang bertugas, jumlahnya rada berkuraug. Maklum, biasauya mereka yang sudali meuerima ordertiga sampai empat kali, memilih untuk pulang lebih dulu.
Makanya ketika kami datang dan melihat ruang kaca atau biasa juga disebut studio itu, hanya tersisa sekitar 10 orang. Didi Cs tampak serius mengamati keadaan ruang kaca dengan serius. Seorang laki-laki berpakaian rapi dengan rompi hitam dan kemeja putih, menyilakan kami memilih gadis kencan yang tersedia.
"Ada yang cocok, nggak? Daripada dengan  LC, mendingan di sini. Cuma Rp 170 ribu, sudali ama kamar. Tipnya terserah lo mo kasih berapa. Jangan di bawah Rp 50 ribu aja," ujar saya. Jeremy tampaknya sudah menemukan pilihan. Seorang gadis bernomor 27 yang duduk di deretan tengah. Sementara Momo dan Didi masih sibuk menimbang- nimbang.
"Gue ama yang itu aja, Mas. Yang rambutnya
panjang, yang lagi duduk di kursi paling ujung," ujar Momo pada laki-laki berompi yang bertugas.
Saya dan Didi belum juga menemukan pilihan. Sudah hampir lima belas menit, Didi memicingkan matanya. Tapi tetap saja dia belum menjatuhkan pilihannya.
"Lo duluan aja. Gue nunggu di resto. Siapa tau dapat yang lebih keren," sergah saya sambil berjalan meninggalkan ruang kaca menuju resto. Sementara Momo dan Jeremy langsung menuju "kamar khusus" yang letaknya berada di lorong sebelah kiri.
Di lorong itu ada sepuluh "kamar khusus" yang berdiri berdampingan. Tipe kamarnya tidak beda jauh dengan kamar yang ada di hotel kelas standar. Luasnya sekitar 3x5 meter dilengkapi sebuah kasur dan shower untuk bilas. Ada satu meja kecil dengan kaca cermin yang di atasnya tersedia dua botol air putih.
Suasana di resto semakin sepi. Hanya ada satu meja yang diisi dua laki-laki dengan enam orang gadis. Mereka tampak larut dalam obrolan ringan dan canda tawa. Saya dan Didi memilih duduk di kursi tak jauh dari mereka. Dan astaga, ternyata saya mengenal salah satu dari enam gadis yang tengah menemani dua laki-laki berbadan sedang itu. Yang satu bcrkacamata, mengenakan kaos berkerah dan bercelana bahan. Sementara laki-laki kedua memakai celana jins dan berkemeja garis-garis.
Gadis yang saya kenal itu, sontak langsung menghampiri meja kami. Leni, namanya. Baru berusia 22 tahun, berasal dari Cirebon. Saya sering menjumpai Leni di sejumlah kafe gaul seperti di BC Bar kawasan Thamrin, Jakarta Pusat atau di kafe Untitled di hotel JW Marriot di kawasan Mega Kuningan.
Sudah bukan hal aneh kalau belakangan terakhir, banyak "gadisgadis kencan" -entah yang berprofesi sebagai LC karaoke, massage girl, callgirl atau menjadi penghuni sejumlah rumah cinta, mulai melebarkan daerah "jajahannya" dengan mengunjungi beberapa kafe-diskotek gaul. Secara dandanan, mereka tak kalah trendy kalau disejajarkan dengan cewek-rewek gaul yang terbiasa clubbing.
Seperti Leni misalnya. Gadis yang baru enam bulan saya kenal itu, setiap kali saya jumpai di kafe atau diskotek, pasti dengan bajunya yang "trendy". Kadang mengenakan celana tank-top dengan kaos ketat "u can see" dan terbuka di bagian perutnya. Belum lagi, aksesori berupa anting kecil yang menempcl di pusarnya, menambah lengkap penampilan Leni.
Malam itu, Leni mengenakan baju terusan warna ungu. Maklum, dia baru saja bertugas menemani tamu. Sepatu hak tinggi dengan rambut digelung ke atas. Sepuhan make-up tipis di wajah dan lipstick marun di bibir, menjadikan Ixni tampak lebih devvasa.
"Ngapain Mas di sini? Hayo, lagi nyari-nyari cewek, ya?" ledek Leni begitu sampai di meja dan menghenyakkan pantatnya di kursi. Seperti anak-anak gaul kebanyakan, sun pipi kiri-kanan menjadi bahasa persapaan. Bau harum parfum Nina Ricci Summer tercium dari tubuh Leni.
"Nggak. Gue lagi nganterin temen-temen dari Surabaya."
"Ah, bisa aja. Nyari juga nggak papa lagi, Mas. Kenapa malu-malu?" timpal Leni. "Kenalin, ini Didi." "Ixni. Apa kabar, Mas. Udah dapet pasangan belom?" Leni
mengulurkan tangan dan mengembangkan senyum manisnya ke arah Didi.
"Belom tuh. Belom ada yang cocok. Kalo ma lo aja gimana?" javvab Didi balik menggoda Ixni. "Siapa takut. Bisa diatur kok," balas Leni tak mau kalah dengan nada menantang.
Leni lalu bercerita tentang aktivitasnya di hotel TV. Dalam seminggu, gadis yang punya lesung pipit di dua pipinya itu, bekerja selama lima hari. Tentu saja, seperti kebanyakan LC yang bekerja di sebuah tempat hiburan, Leni berada di bawah arahan seorang mami. Statusnya sebagai LC, membuat Leni lebih bebas menentukan pria mana yang akan dia kencani, termasuk kencan seks sekalipun.
Dari mulut Leni, tercium aroma alkohol yang cukup menyengat di hidung. Rupanya gadis itu tengah setengah mabuk alias tipsy, bahasa gaulnya. Pantas dari gaya bicaranya, terkesan ceplasceplos, blak-blakan dan berani. Dari mulutnya, asap rokok Capri tak berhenti mengepul. Kala rokok di tangannya habis, nyambung lagi, begitu seterusnya.
Katanya, dia baru menemani tamu berkaraoke. Dan seperti biasa, selama tiga jam berada di ruang pribadi itu, selain menemani tamu bernyanyi, tapi dia juga menemani minum. Leni tidak sendiri, tapi bersama dua teman lainnya karena tamu laki-lakinya datang berdua. Lantaran tidak "sreg" dengan tamunya, Leni memutuskan untuk menyudahi tugasnya begitu jam boking-nya habis.
"Sorry. Gue agak mabuk sedikit," kilah Leni.
Didi tersenyum ke arah saya sambil menunjukkan isyarat kalau dia naksir Leni. Saya tersenyum balik dan menyilakan Didi untuk meneruskan niatnya.
"Len, mau nggak nemenin temen gue ke kamar? Kasihan dia tuh, tidur sendirian," pancing saya. "Beneran nih. Tapi, lo tahu kan, minimal Rp 1 juta ya. Udah pagi nih," rayu Leni.
Tampaknya, Didi pun tak berkeberatan dengan tawaran itu. Memang, standar tarif yang biasa dipatok sejumlah LC kelas standar yang bersedia menerima ajakan "kencan seks" berkisar antara Rp .500 ribu-Rp 1 juta. Para LC yang raerasa memiliki wajah cantik dan masuk dalam kategori primadona, sekali kencan untuk short time-nya Rp 1 juta ke atas.
"Ya, udah. Lo naik aja sekalian check-in. Besok siang baru checkout.Gue nunggu Momo sama Jeremy." 
Didi pun akhirnya menghilang di balik pintu resto ditemani Leni. Gadis yang murah senyum itu, mukanya tampak berbinar. Jam sudah menunjuk pukul 01.00 WIB lewat sepuluh menit. Momo dan Jeremy muncul sekitar 20 menit setelah Didi dan Leni berangkat ke ranjang cinta.
Istilah "dobel pintu" sebenarnya adalah scbutan yang populer untuk TV. Bagi pria yang biasa berpetualang malam, istilah itu berarti: pintu pertama memang diperunlukkan bagi tamu yang ingin check-in beristirahat, sementara pintu keduanya diperunlukkan bagi sejumlah "gadis-gadis kencan" yang selama 24 jam bisa masuk kc kamar  yang tersedia di hotel TV.
"Oh, istilahnya 'dobcl pintu'. Cue baru tahu," kilah Momo yang wajahnya tampak berseri-seri setelah hasrat kelaki-lakiannya terlampiaskan sudah.

"SUPER MASSAGE"
MANDI KUCING
RILEKSASI. Ya, semua orang butuh itu. Nah, salah satu tempat rileksasi yang sudah lama menjamur di Jakarta adalah panti pijat. Jumlahnya hampir tersebar di setiap sudut Jakarta. Dan dari hari ke hari, jumlahnya bukan makin menyusut tapi makin bertambah.
Tampaknya, kebutuhan masyarakat Jakarta akan tempat rileksasi makin menjadi-jadi. Bagi para pekerja yang sedari pagi hingga sore berlomba- lomba memeras keringat untuk mendapatkan uang sebanyakbanyaknya, membuat mereka mencari satu bentuk rileksasi yang tidak saja bisa menyegarkan kepala dari stres tapi juga membuat badan bugar kembali. Panti pijadah yang akhirnya menjadi "terminal" untuk bersantai sejenak, melepas kepenatan.
Yang menarik, panti pijat yang dengan amat gampang ditemui di hampir tiap sudut Jakarta, ternyata tidak semua melulu berpraktik benar. Artinya, ada panti pijat yang dalam operasinya berpraktik sebagai pijat untuk kesehatan dan kebugaran. Bagi panti pijat yang berpraktik sebenarnya, rileksasi yang diberikan memang bertujuan untuk kesehatan dan kebugaran. Dari pijat tradisional, shiat-su, pijat ala Thailand dan sebagainya.
Akan tapi, selain ada panti pijat 'lurus', ternyata banyak juga yang dalam praktiknya hanya sebagai kedok belaka; panti pijat hanya sebagai nama yang terpampang di papan pengumuman. Isinya? Ya, ujungujungnya pelayanan seks juga. Biasanya, istilah populer bagi tempat pijat yang memberikan jasa pelayan seksual ini adalah panti pijat plus. Praktik sebenarnya tak lain dan tak bukan adalah seks belaka. Bahkan, jumlahnya boleh dibilang lebih banyak dibanding panti pijat kesehatan dan kebugaran.
Saya sempat membuat hitungan secara kasar tentang jumlah panti pijat plus yang tersebar di Jakarta. Ternyata, tak kurang dari 200 panti pijat plus menyesaki tiap sudut kota; dari Barat, Timur, Pusat, Selatan sampai Utara.
RAGAM MENU & UANG GARANSI.
Ketatnya persaingan di bisnis panti pijat plus atau biasa juga disebut panti pijat "langsung enak" ini, membuat pihak manajemen berlombalomba memberikan ciri khas menu tersendiri. Salah satu menu yang sangat populer adalah mandi kucing. Mendengar istilahnya, bayangan kita barangkali akan berimajinasi pada satu adegan mandi bersama "massage girl". Kenyataannya, bukan begitu. Mandi kucing hanya sekedar istilah belaka, lain tidak. Pelayanan yang satu ini, biasanya diberikan para "massage girl" pada tahapan foreplay.Sebut saja dua panti pijat yang ada di kawasan
Grogol, Jakarta Barat. Namanya MD dan HP. Dua panti pijat yang lokasinya berada tak jauh dari sebuah pusat perbelanjaan besar tersebut, saban hari tak pernah sepi dari tamu laki-laki yang haus akan cinta sesaat.
Sekitar pukul 22.25 WIB, saya bersama
seorang teman, sebut saja Eko, 28 tahun, seharihari bekerja di perusahaan ponsel. Kami melaju dari arah Slipi dengan kecapatan sedang. Hanya butuh waktu sekitar 1.5 menit, kami akhirnya tiba di sebuah mal besar dan membelokkan mobil ke kiri. Sekitar 25 meter berjalan, terdapat sebuah jalan di samping kiri jalan besar. Di jalan itulah, MD dan HP berada.
Dua panti pijat plus tersebut letaknya saling berdekatan. Bangunannya berdiri secara berhadap- hadapan. Sudah bertahun-tahun, dua panti pijat plus tersebut beroperasi. Dan dari hari ke hari, tamunya tak pernah sepi. Seperti malam itu, dari pukul 20.00 WIB, pelataran parkir tampak penuh oleh aneka macam mobil yang rapi berjajar di dcpan panti. Beberapa diskotek yang berdiri sederet dcngan bangunan gedung MD, membuat semarak malam makin hiruk pikuk. Begitu juga dengan suasana di HP, tak kalah ramai dan semarak. Selain dipadati mobil parkir, juga tampak puluhan motor diparkir rapi berjajar.
"Kita langsung naik ke atas atau mo ke diskotek dulu?" tanya saya pada Eko. "Biar nggak salhb pilih, kita minum-minum dulu di diskotek sambil nyari pasangan kencan yang pas," jawab Eko sambil nyengir. 
MD dan HP, selain menyediakan sarana panti pijat plus di lantai satu dan dua, juga dilengkapi diskotek & bar di lantai dasar. Di diskotek dan bar inilah, para tamu biasanya lebih dulu bersantai sejenak sambil menikmati sajian musik yang mengbentak dan menenggak bir dingin.
Bagi laki-laki yang ingin mendapatkan teman kencan, tinggal memieingkan mata ke seluruh ruangan, melirik puluhan gadis yang tengah "shopping-mal"—berkeliling, mencari laki-laki  untuk pasangan kencan semalam. Maklum, arena diskotek di MD dan HP, tampaknya memang disediakan sebagai tempat display sejumlah gadis pemijat plus.
Mereka biasanya, sambil menunggu order langsung turun ke diskotek mencari "klien". Begitu mudahnya modus operandi tersebut, sebingga para laki-laki yang mendapat "teman wanita" di diskotek, tak perlu ragu-ragu lagi untuk langsung mengajak naik ke lantai 1 atau 2. Ya di mana lagi kalau bukan di panti plus yang memang menyediakan fasilitas kamar untuk transaksi seks one short time.
Tampaknya, diskotek dan panti plus sengaja didesain sedemikian rupa sebingga sinergi: keduanya saling menguntungkan. Bagi tamu lakilaki yang belum masuk kategori members— apalagi yang baru sekali dua kali datang, diskotek menjadi arena yang sangat pas untuk melihat dan mengenal lebih akrab "wanita pemijat" yang bakal dikencani. Sambil mendengarkan musik, tamu bisa bercakap-cakap sekedar berbasa-basi ditemani aneka minuman beralkobol yang tersedia, sebclum akbirnya berlanjut ke transaksi seks.
Diskotek, memang lengkap sebagai "arena display". Selain bisa melihat dcngan jelas, bercakap bahkan berkenalan lebih dekat dcngan para gadis pemijat, lelaki yang ingin melakukan transaksi seks semalam, lak perlu repot-repot lagi dengan basa-basi. Semua gadis yang lalu lalang, berjoget, asyik masyuk di kursi bersama tamu, semuanya adalah gadis pemijat. Makanya, jangan berharap ada tamu wanita "luar" yang ingin menghabiskan malam di dalam diskotek. Hampir semua laki-laki yang menjadi tamu diskotek adalab lelaki, termasuk kami berdua. Dua orang
gadis mengbampiri kami yang duduk di bagian depan. Musik disko terus saja menghentak. Sejumlah tamu asyik berjoget di dance floor. "Mau ditemenin minum, Mas?" kata seorang gadis berbaju hitam dan mengenakan rok mini. "Oh, dengan senang had," jawab Eko sambil menyilakan mereka duduk.
Begitulah, di diskotek para tamu bisa dengan mudah berbaur dengan para "massage girl" yang menunggu order boking. Dari minum-minum, berjoget sampai akhirnya merasa cocok dan berlabuh di ranjang, di lantai satu.
Di dalam diskotek, terpajang dua papan elektronik yang setiap saat menyala dengan angka berwarna merah. Papan pertama berada di dekat pintu masuk, sementara papan kedua berada dekat bar. Tiap menit, angka-angka itu bergantiganti. Rupanya, angka-angka tersebut adalah kode untuk memanggil gadis pemijat yang menerima order. Di diskotek mereka berdisko sambil bershopping mal, begitu kode angka boking menyala, mereka naik ke lantai 1 untuk menjalankan tugas seks one short time.
Jangan pula berharap menemukan ruangan kamar yang senyaman kamar-kamar di hotel. Di dua panti plus tersebut, kamar-kamar yang disediakan, meskipun dilengkapi fasilitas AC, tapi kondisi ruangannya tidak sebagus kamar hotel.
Kamar standar malah boleh dibilang tak ubahnya seperti kamar untuk pasien Pak Dokter yang hanya ditutup dengan kelambu. Kamar VIP baru boleh dibilang sedikit nyaman karena dilengkapi dengan pintu.
Para gadis pemijat yang bertugas di saban hari di MD dan HP, kebanyakan adalah gadisgadis asli pribumi. Sebagian besar dari mereka datang dari luar kota, khususnya dari daerah Jawa Timur, Jawa Barat, Jawa Tengah dan luar Jawa. Jangan harap menemukan pijat kesehatan atau kebugaran di MD atau HP. Kalau itu yang Anda cari, berarti Anda salah tempat. Di dua panti plus tersebut sama sekali tidak menyediakan menu pijat. Tak pijat tradisional, Shiatsu, lulur apalagi pijat ala Thailand. Yang ada hanyalah seks belaka, lain tidak.
Bagi laki-laki yang sudah terbiasa bertandang ke MD atau HP, biasanya tak perlu lagi mampir ke diskotek. Maklum, di panti plus yang berada di lantai satu dan dua, juga dilengkapi foto gadis pemijat dan nomor-nomor mereka yang tergantung di sebuah papan, di mcja resepsionis.
Nomor-nomor tersebut selain scbagai "pengenal" bagi si gadis pemijat, juga scbagai tanda boking. Ketika lagi menerima tamu, nomor akan dibalik. Kalau tengah kosong, nomor akan dibiarkan terbuka.
Dua panti plus yang bcrulang lagi jarang digerebek aparat yang berwenang tersebut, membuka jam operasi dan pukul 15.00 WIB- 02.00 WIB. Di kala sore, tamu tak seramai di kala  malam. Maklum, predikat MD dan HP sebagai panti plus, sudah bukan rahasia lagi. Makanya, banyak laki-laki yang memilih jam malam hari untuk bertandang, mencari selimut hidup untuk dikencani one short time.
Di panti plus MD sedikitnya ada 150 gadis pemijat yang saban hari bcropcrasi. Sementara di panti plus HP, ada sekitar 100 gadis pemijat. Tarif yang berlaku, untuk ukuran laki-laki Jakarta yang bergaji Rp 1 juta rupiah ke atas per bulan, boleh dibilang sangatlah murah. Untuk
kamar standar misalnya, di MD hanya dipatok harga Rp 50 ribu rupiah, sementara di HP hanya 40 ribu rupiah. Untuk kamar VIP di MD harganya Rp 50 ribu per one short time,sementara di HP sebesar Rp 50 ribu rupiah. Sementara untuk gadis pemijatnya hanya perlu uang Rp 125 ribu rupiah untuk mendapatkan traksaksi seks one short time. Soal aps, diserahkan sepenuhnya kepada tamu.
Bebas tak ada aturan harga yang berlaku. Bisa dibayangkan, dengan hanya bermodal uang Rp 200-300 ribu, laki-laki bisa mendapatkan kencan semalam. Makanya, tak heran kalau dua panti plus tersebut, saban hari selalu dipadati puluhan laki-laki yang haus cinta semalam. Bagi laki-laki yang suka cara fleksibel, efisien dan yang jelas, tak perlu uang banyak, tak perlu lagi bersusah payah mencari-cari callgirlslewat germo ataupun pergi ke hotel check-in. Cukuplah melancong ke panti plus, urusan seks semalam pun selesai dalam hitungan jam.
Dari tarif sekitar Rp 175 ribu untuk sekali transaksi itu, ternyata tidak semua uangnya diterima langsung oleh massage girl. Tapi mesti dibagi lagi menjadi tiga bagian. Bagian pertama untuk manajemen sebesar Rp 75 ribu, bagian kedua untuk "mami" alias germo scbesar Rp 25 ribu, bagian ketiga untuk uang keamanan sebesar Rp 5 ribu dan sisanya baru untuk si pemijat plus sebesar Rp 70 ribu.
Hanya saja, uang sebesar Rp 70 ribu itu tidak langsung diterima hari itu juga. Rini—sebut saja begitu, dalam sehari minimal bisa melayani tamu sekitar 4 orang. Berarti per tiap transaksi, Rini mendapatkan uang sebanyak Rp 70 ribu x 4 - Rp 280 ribu. Sayangnya, tidak semua jumlah itu langsung di tangan Rini. Uang cash yang diterima setiap hari dari setiap transaksi sebesar Rp 12.500. Sementara sisanya dipegang oleh "mami" atau germo sebagai uang jaminan yang baru boleh diambil ketika ada keperluan tertentu.
"Uang itu katanya ditabung sama mami, biar nggak dibelanjain. Kalau sudah 2-3 bulan, baru boleh diambil, itupun kalau ada keperluan," ungkap Rini yang sudah hampir setahun lebih bekerja di panti MD.
Menurut Rini, uang yang dipegang mami itu juga menjadi semacam "jaminan" atau garansi, supaya anak-anak didiknya tidak bisa kabur ke mana-mana. Pasalnya, aku Rini, banyak juga massage girl'yang tidak kerasan lalu memutuskan kabur. Ada yang kabur sendiri, ada juga yang di- "bawa" kabur laki-laki. Entah dijadikan simpanan atau dijadikan istri betulan.
"Primadona di sini, biasanya nggak tahan lama. Tiga atau enam bulan, ada saja laki-laki yang membawanya pergi. Karena saya kebetulan bukan primadona, jadi ya terima nasib aja," ungkap Rini berterus terang.
MANDI KUCING.
Tak hanya MD dan HP yang memberikan jasa pelayanan seksual di kamar-kamar pribadi dengan paket seks yang konvensional — artinya pelayanan seks yang diberikan tak lain adalah pijat seks belaka tanpa embel-embel "service" yang memikat, topi di sejumlah panti plus lainnya sebut saja BM di kawasan Hayam Wuruk, menu seks yang ditawarkan sangat menggoda laki-laki petualang untuk mencobanya. Di panti BM dan RS yang terletak tak jauh dari perempatan besar yang menuju ke arah Mangga Besar itu, pelayanan pijat seks yang diberikan populer dengan sebutan "mandi kucing service".
Menu pijat seks spesial itu, sudah bertahuntahun menjadi pelayanan utama yang diberikan di panti BM dan RS. Kedua tempat pijat tersebut letaknya saling berdekatan satu sama lain. .Sedari siang hingga malam, panti BM nyaris tak pernah sepi. Kami datang pada pukul 19.00 WIB dan nyaris tak mendapatkan tempat parkir. Beruntung pas kami datang, ada mobil keluar.
"Parkir di sini memang rada susah. Maklum, tempal parkirnya kecil, sementara lamu yang datang rata-rata bermobil," ujar Eko sambil menutup pintu mobil Kijang-nya.
Di panti BM dan RS, tcrdapat bar scbagai ajang rendezvous dan ruang tunggu bagi tamu yang ingin bersantai. Puluhan "massage girls" yang sebagian besar mcngenakan blazer warm hijau muda itu, tampak duduk santai di sofa panjang. Beberapa "mami" alias germo yang mengomandani mereka, ber-shopping mal beramah tamah dengan setiap tamu yang datang. Sebagian besar ruangan bar tampak temaram, kecuali ruang tunggu yang banyak berisi "massage girls". Di ruangan itu, cahaya tampak terang, jadi tamu bisa dengan leluasa mengamati para gadis yang ingin dikencani.
Beberapa tamu laki-laki yang sudah mendapatkan pasangan, langsung saja naik ke lantai 1 dan 2. Di dua lantai itu terdapat kamarkamar dengan tipe standar, layaknya kamar di hotel kelas Melati. Kamarkamar itu berdiri sejajar, berdempetan dengan kamar-kamar yang lain. Di dalam kamar, terdapat kasur dan kamar mandi lengkap dengan shower. Ada juga sebuah ranjang biasa beralaskan sprei putih.
"Mandi kucing itu seperti apa ya?" tanya saya pada Eko, pura-pura tidak tahu.
"All, kayak nggak pernah nyoba aja lo. Mandi kucing itu praktiknya kayak kucing yang tengah menjilat-jilat makanannya. Hanya saja, di BM dan RS kan bukan kucing, tapi wanita cantik. Bayangin sendiri saja gimana eksckusinya," jawab Eko.
Mandi kucing itu memang hanya istilah; sebuah istilah dalam pijat seks, di mana para gadis pemijat melakukan "service" layaknya seekor kucing yang tengah menjilat sesuatu, tanpa terkecu ali. Sebenarnya, pelayanan ini lebih pas disebut sebagai bagian dari seks "fore-play". Pelayanan mandi kucing itu akan berlanjut terus sampai berakhir pada pelayanan "full service". Ya, apalagi kalau bukan transaksi seks one short time!Tidak semua panti pijat plus yang tersebar di Jakarta menyuguhkan layanan "mandi kucing". Biasanya, layanan ini sengaja diberikan para "massage girl" supaya tamu bisa mendapatkan layanan yang lain dari biasanya.
Tarif rata-rata untuk mendapatkan pijal spesial dan "langsung enak" ini lernyata tidaklah mahal. Bisa dibayangkan, kalau untuk mendapatkan paket "mandi kucing" tersebut, setiap tamu mesti merogoh kocek hanya sebesar Rp 250 ribu sampai Rp 300 ribu. Harga itu sudah termasuk harga kamar plus "gadis pemijat". Pantas, kalau panti BM clan RS, tak pernah sepi kunjungan laki-laki hidung belang yang ingin mendapatkan paket "super massage mandi kucing".
"Pulang yuk. Air PAM lagi mati, jadi mandi kucingnya batal aja," seloroh saya ketika Eko tampak asyik bermesraan dengan pasangan kencannya dan berniat untuk segera masuk ke kamar.

PIJAT DADA SUPER 36 B
LAYANAN kemanjaan laki-laki dengan menu ala "body massage". Mereguk kenikmatan surgawi sesaat di atas ranjang anti-air yang penuh busa. Di sebuah perempatan besar yang menghubungkan kawasan Kota dengan Mangga Besar,
saya mengambil arah memutar. Jam baru saja beranjak dari pukul 7 malam. Lalu lintas masih padat merayap. Mobil Jeep Wrangler yang saya kendarai, pelan-pelan merangsuk ke arah kiri. Di sebuah lorong jalan yang tampak sedikit gelap, seorang petugas parkir tanpa seragam resmi menyilakan saya memarkir di sudut yang kosong persis di depan ruko yang menjual aneka makanan kecil. Beberapa mobil lain, parkir rapi berjajar. Di beberapa sudut tampak juga pedagang kaki lima yang menjual aneka milium dan makanan.
Lorong jalan atau lebih pas di sebut gang buntu itu, terdapat sederet bangunan ruko yang berdiri sejajar. Di ruas kiri-kanan jalan, puluhan orang ramai hilir mudik. Sebagian lagi asyik bercengkerama sambil dudukduduk santai. Gang yang panjangnya tak lebih dari 20 meteran itu, tak ubahnya seperti kawasan hiburan. Di kirikanan jalan, beberapa label nama panti pijat menyala terang. Setidaknya ada sekitar sepuluh atau dua belas panti pijat yang berdiri berdampingan di jalan itu. Suara musik lamatlamat terdengar di telinga. Ada musik housesampai dangdut.
Saya berjalan lambat sambil mata terus memperhatikan label nama panti pijat yang saya cari.
Ada panti "BRL", "BCL", "TNT", "MXC" dan sederet nama lain yang terpampang. Hingga sampai di ujung jalan, saya belum juga menemukan panti pijat yang saya cari. Di sebuah panti bertuliskan
"RS" saya berbenti. Seorang pria baya mengbampiri saya. Dengan nada santai dan blakblakan, pria yang mengenakan kaos oblong dan bertopi itu langsung bertanya.
"Mau pijat, Bos? Tinggal masuk. Mau ABG juga ada," tawarnya.
"Nggak, Pak. Mau ke panti 'KT. Di mana ya tempatnya?"
"Salah gang, Bos. Adanya di sebelah," jawab pria itu sambil mengarabkan jari telunjuknya ke gang sebelah.
Ah, pantas.
Akhirnya, say; ternyata, di gang itu pun, tampak pemandangan serupa. Sepanjang gang dipenuhi panti pijat. Hanya saja jumlahnya relatif sedikit. Sepanjang gang tersebut, beberapa wanita yang bertugas di depan pintu masuk panti, berulang kali menawarkan "dagangan"nya ke sejumlali laki-laki yang berlalu-lalang.
"Silakan, Bos. Liat-liat dulu. Dijamin oke."
Seorang wanita paruh baya yang berdiri di depan pintu dengan senyum ramahnya, mengundang tiap laki-laki yang datang untuk mampir. Wanita itu mengenakan blazer hitam layaknya orangorang kantoran.
"Ke sini aja. Sama aja kok. Banyak stok baru." Lagi-lagi terdengar suara ajakan serupa  (atau lebih tepatnya rayuan) dari seorang wanita.
Mereka ini memang bertugas menggaet tamutamu yang datang untuk masuk. Tugasnya tak beda jauh dengan GRO (guest relation officer) yang biasa digunakan sejumlali tempat hiburan seperti kafe, diskotek, lounge, resto dan Iain-lain. Setelah sekitar 2 menitan mencari-cari, akliirnya saya tiba di gang paling ujung. Di sebuah panti bertuliskan KT, saya berhenti. Seorang wanita menyilakan saya masuk. 
"Ini dia yang saya caricari," pikir saya. Cerita tentang KT sebenarnya sudah jadi bahan pembicaraan lama di kalangan teman-teman "nite-society". Panti KT sudah ber-326
Ah, pantas. Rupanya saya salali masuk gang. Akbirnya, saya masuk ke gang sebelahnya. Dan tahun-tahun terkenal dengan satu paket pijat seksnya. Orang-orang menyebutnya dengan "pijat dada super". Bentuk pelayanan yang diberikan sebenarnya mengacu pada "body massage". Artinya, prosesi pijat itu dilakukan tidak mengunakan tangan tapi dengan badan.
DADA SUPER 36 B. Jam sudab menunjuk pukul 20.14 WIB ketika saya berada di dalam panti KT. Suasana tampak remang-remang. 
Pemandangan pertama kali yang saya dapati adalali sebuab bar lengkap dengan kursi-kursi tunggu. Saya memilib duduk di bangku bar dan memesan segelas bir puuh. Di sudut kiri, ada sofa panjang dengan lampu terang menyala. Di sola tersebut, tampak puluhan gadis duduk santai sambil menebar pandangan. Rupanya, sola itu menjadi ruang display. Setiap tamu yang datang, bebas mengamati gadis-gadis yang akan menjadi lawan kencannya.
Sementara di sudut kanan, terdapat ruang tunggu layaknya miniresto dengan pencahayaan remang-remang. Beberapa tamu asyik duduk ditemani sejumlah wanita. Musik masih saja mengalun kencang. Jangan harap menemukan musik-musik berirama R'nB, garageatau acid328 jazz. Karena musik yang diputar sebagian besar adalali dangdut. Hanya sesekali saja terdengar lagu disko, itu pun lagu yang dipilih kebanyakan "disko ronggeng" 23.
Untuk beberapa saat lamanya, saya hanya asyik memperhatikan keadaan sampai akhirnya seorang "mami" datang. Seperti biasa (ini sudah jadi modus umum di mana-mana), mami itu  langsung bicara "to the point" menawarkan anak didiknya.
"Mau yang mana, Bos. Saya pilihkan ya," tawarnya dengan nada ramah. Dan benar saja, dalam sekejap, saya sudah ditemani seorang gadis dengan raut muka berbentuk oval, rambut agak ikal sebahu dan berkulit sawo matang.
"Ngobrol-ngobrol dulu aja. Kalau kurang sreg, ganti juga nggak papa kok. Ini namanya Nina, 23 tahun," jelas mami sedikit panjang lebar. Prosesi ramah tamah terjadi. Di bar, Nina melayani saya bak pramusaji. Menuangkan minuman, mengajak ngobrol sebagai ajang pengenalan begitu seterusnya. Saya masih tak berhenti mengamati keadaan sekeliling. Dalam pikiran saya, para gadis yang terkenal dengan service "dada super"nya itu, rata-rata memang berdada besar. Tapi, ternyata tidak semua memiliki prototype seperti itu. Seperti halnya Nina. Menurut gadis yang mengaku berasal dari Indramanyu itu tidak semua gadis-gadis di KT 
23 Disko ronggeng sebenarnya adalali satu istilah popnler untuk lagu-lagu
diskohouse yang ticlak "up to date" dan identik sebagai lagu pengiring untuk para triper.
Lagu-lagunya tidak berpatokan pada tren tertentu dan terkesan "pinggiran".
memiliki ukuran bra di atas 36 B. Hanya beberapa saja yang memenuhi standar itu. "Yang penting kan bukan ukurannya. Tapi service-nya." ujar Susan sambil tertawa dan langsung menyeruput segelas minuman kebugaran. Katanya, biar tetap lit karena dia sudah "stand-by" di KT sejak pukul 5 sore.
"Udah pernah ke sini belum, Mas?" tanya Nina.
"Belum. Ini yang pertama kali. Memang seperti apa sih pijat 'dada super' itu?"
"All, masak nggak tau. Itu tub, mijitnya selain pake badan tapi yang disukai ya pakai dada. Ntar Mas juga tau. Apa mau sekarang aja?" ajak Nina dengan gaya bicara yang lepas.
"Bentar lagi deh. Kita minum-minum dulu." Dari percakapan yang berlangsung sekitar 15 menitan itu, saya sedikit banyak jadi tabu tentang KT dan sosok Nina. Menurut gadis yang sudab setahun lebih bekerja di KT itu, awalnya dia hanya pekerja freelanceyang mangkal ke sejumlah
tempat hiburan yang memang menyediakan jasa pelayanan seks. Jalur masuknya lewat para "mami" yang menjadi "kunci" perputaran keluar masuknya para "callgirls". Nina misalnya, pernah freelancedi sebuah klub TC di kawasan Mangga Besar. Jam kerjanya tidak terikat dan tidak perlu masuk setiap hari.
"Paling mangkal dua-tiga jam, dapet 1-2 tamu langsung pulang. Mami dapat komisi 2.5% dari setiap transaksi. Gitu aja," terang Nina. Berangkat dari situ, Nina akhirnya memilih KT sebagai tempat bekerja secara tetap karena melihat ramainya tamu yang saban hari mendatangi panti KT. Ditilik dari harga per transaksi sekitar Rp 250 ribu per one short time (itu belum termasuk tip dari tamu), yang relatif sedikit murah, tapi <lalam sehari, dia bisa melayani sedikitnya 2- 3 tamu. Dan hagi Nina, itu sudah lebih dari cukup  ntuk mengantongi rupiah untuk biaya kehidupan sehari-hari. Paling tidak, dalam sebulan dia bia menghasilkan tak kurang dari Rp 3-5 juta. "Kalau lagi beruntung, sehari bisa dapet 5-6 tamu," ceplos Nina terus terang.
Di KT sendiri, aku Nina, yang memang menjadi incaran para lelaki yang datang memang service "dada super"-nya. Hampir semua "massage girls" yang bekerja di KT, semuanya mendapatkan training untuk bisa membcrikan suguhan pelayanan yang "lain dari biasanya". Tidak seperti di sejumlah panti plus yang ada tak jauh dari KT, yang ternyata tidak semua bisa memberikan service"dada super" atau "body massage". Meski diapit puluhan panti plus yang juga menawarkan paket seks, KT tetap menjadi primadona. Pantas memang kalau malam itu, suasana di KT tampak lebih ramai di banding panti-panti lainnya.
"Naik yuk, Mas. Udah mau jam 9 nih. Biar lebih rileks. Betul nggak?" ajak Nina. Ternyata, sudah lebih dari setengah jam, saya dan Nina  asyik bercakap. Setidaknya, sudah empat gelas bir putih menggenangi tenggorokan saya. Beberapa tamu yang datang berbarengan dengan saya, sudah lebih dulu menuntaskan transaksi dengan gadis kencannya.
Saya dibawa Nina menaiki anak tangga menuju lantai satu. Jangan berpikir panti KT layaknya sebuah klub mewah atau panti pijat yang ada di hotel bintang empat atau lima. Ditilik dari gedungnya, KT nyaris jauh dari gambaran sebagai panti lux.Lebih pasnya, KT pas untuk tamu-tamu kelas menengah-bawah. Bangunan ruko yang digunakan sebagai tempat transaksi, tidak ada interior yang khas. Di lantai satu itu, terisi dengan kamar-kamar. Tampak sempit karena sedikitnya ada 10 kamar berdempetan, sementara di lantai 2 juga ada 10 kamar lagi. Di setiap lantai, ada petugas "cleaning service" yangjuga menjadi penyedia kondom bagi tamu yang ingin memakai pelindung.
Kamar yang tersedia di KT, bertipe standar. Bayangkan saja kamar yang biasa dipakai dokter praktek di klinik. Atau paling tidak kamar untuk kost-kost-an. Di dalani kamar, dilengkapi showe yang ditutup tirai dan sebuah ranjang tanpa sprei. Justru inilah yang menarik. Ranjangnya didesain and air, layaknya jok mobil yang terbuat dari bahan semi kulit. Kalau ada tamu yang tidak menginginkan "body massage" biasanya tersedia sprei putih yang setiap saat bisa dipesan melalui petugas "cleaning service".
Meski tidak mewah, tapi kamar KT dilcugkapi AC yang lumayan dingin. Cahaya lampu biasanya menyala agak redup. Nina memulai prosesi service-nya dengan lebih dulu membasahi tubuhnya di shower. Lalu membalur sekujur tubuhnya dengan sabun basah.
"Sudah siap belum, Mas?" tanya Nina yang sudah tak mengenakan baju sehelai pun itu. Tangannya dengan cekatan melumuri ranjang dengan busa sabun. Prosesi pijat "dada super" pun segera dimulai. Layaknya seorang gadis yang sedang berakrobat dengan sensual dan sarat adegan erotis, menit demi menit, Nina mulai menunjukkan permainan "service"-nya. Bayangkan saja ketika dua badan tanpa baju bertemu dalam lumuran sabun busa. Yang laki-laki menjadi "raja"  dalam satu jam yang dilayani dengan amat liar oleh selir seksinya.
Namanya juga pijat seks. Makanya, jangan pernah membayangkan begitu keluar dari panti KT bisa merasakan segarnya badan lantaran otototot yang pegal jadi lentur. Di KT tidak ada urusan pijat memijat yang berhubungan dengan kesehatan. Yang ada hanya pijat "dada super" yang akbirnya berlabub pada tahapan "intercourse".
Dalam praktiknya, service "dada super" hanya menjadi bagian dari sex foreplay sebelum akhirnya sampai pada transaksi akhir. Menariknya, service "dada super" yang diberikan para "massage girls" di KT, menjadi satu bentuk paket yang notabene di dalamnya sudah pasti berujung di transaksi kencan. Jadi, paket seharga kurang lebih Rp 250 ribu itu rinciannya: 1 paket seks "dada super", kamar 1 jam plus 1 minuman ringan.
Tip menjadi urusan pribadi antara tamu dan "massage girl" yang diboking. Khusus untuk kondom, tamu mesti membeli sendiri. Harganya tentu
saja, beda dengan harga eceran di kaki lima. "Gimana Mas, sudah tahu kan gimana pijit 'dada super'?" tanya Nina sambil mengulum senyum ketika kami kembali duduk di bangku bar. Saya hanya tersenyum, sementara jam terus mendekati angka 10 malam. Itu berarti KT mesti tutup jam operasionalnya.
"Bentar lagi tutup nib, Mas. Last order-nyajam 9 tadi. Lewat jam 9, udah nggak terima order,"
terang Nina. Suasana di bar, memang tampak sepi. Hanya ada beberapa pasangan asyik bercengkerama di kursi tunggu dan beberapa "massage girls" yang bersiap-siap untuk pulang. Saya menjadi tamu terakhir yang meninggalkan panti KT.
Jam sepuluh lewat 25 menit, saya sudah melintas di jalan Hayam Wuruk.

"MASSAGE BOYS"
PUNYA SELERA
LAYANAN kemanjaan pria untuk pria punya selera. Pasien wanita pun, tak jadi soal. Bisa "on the spot" atau "order by phone".
"....saya sudah dua tahun bekerja sebagai 'massage boy'. Ini bukan pekerjaan saya satusatunya. Bekerja dipanti, hanya sebagai tempat mangkal sehari-hari. Diluar itu, saya juga bekerja sambilan dengan menerima job luar lewat telepon. Kadang melalui germo. Meski tamu yang order tidak sebanyak di panti, tapi dan segi harga saya bisa mendapatkan lebih besar. Tamu yang order lewat telepon kebanyakan wanita. Kalau lakilaki, biasanya lebib sering langsung datang ke paiiti. Dalam sehari minimal saya melayani 1-2 tamu laki-laki. Untuk transaksi luar, sebari belum tentu dapat. Ya, paling tidak dalam seminggu ada 3-6 wanita yang boking ke rumah...."
Begitulah sepenggal kalimat pengakuan yang diucapkan Frans. Pria berbadan lumayan atletis
dan berumur 26 tahun itu, sehari-hari bekerja di panti DR di kawasan Cikini, Jakarta Pusat. Panti yang letaknya tak jauh dari sebuah perguruan untuk bidang seni dan sastra itu, berada di sebuah gang di ruas Jl. SR. Di jalan yang tidak terlalu panjang dan menghubungkan ke Jalan Salemba Raya itu di sebelah kiri-kanan jalan paling tidak ada tiga panti pijat yang kesemuanya hanya label belaka, karena praktik sebenarnya adalah prostitusi. Ketiganya sama-sama menempati sebuah bangunan ruko empat lantai dan berdiri saling berdekatan.
Nah, khusus panti DR menempati sebuah ruangan di hotel bintang tiga dan persisnya berada di basement.Untuk menemukan lokasinya tidak terlalu susah meski harus masuk gang lebih dulu. Malam itu, saya sengaja datang seorang diri. Bukan apa-apa, saya diundang Frans untuk melihatlihat lokasi tempat kerjanya. Frans sendiri sudah cukup lama saya kenal dan tidak pernah saya membayangkan sebelumnya kalau Frans ternyata seorang "massage boy".
Perkenalan dengan Frans terjadi sekitar enam bulan lalu. Saya bertemu dengan dia di kawasan Menteng, tepatnya di sebuah tempat nongkrong di sepanjangjalan HOS Cokroaminoto. Memang, di tempat itu terdapat aneka penjual makanan yang buka selama 24 jam penuh. Di situlah biasanya para clubber mania yang habis melahap malam di diskotek, mampir dulu untuk menghilangkan rasa penat, capai atau bau alkohol yang masih tersisa di mulut dengan nongkrong pada dini hari sambil menikmati sajian makanan khas yang tersedia. Di situlah, saya kenal dengan Frans, pada malam Minggu, sekitar pukul 03.00 WIB dini hari.
Pagi itu, Frans mengaku baru saja dugem ke diskotek Moonlight di kawasan Kota. Diskotek Moonlight atau lebih sering disingkat ML itu selama ini memang terkenal sebagai ajang berkumpulnya kaum gay Jakarta. Rupanya, Frans termasuk salah satu "member guest" yang setia berkunjung pada malam-malam weekend. Paling tidak, dalam seminggu dia selalu menyempatkan diri untuk mampir sekali atau dua kali.
"Biasalah, refreshing. Kan capek kerja melulu," tukas Frans yang pagi itu tampak asyik
melahap sepiring batagor. Sebagai pribadi, Frans tipikal orang yang mudah akrab dan kalau bicara selalu blak-blakan.
Makanya, ketika dia dengan nada enteng meminta saya untuk mencarikan "pacar laki-laki", saya mengiyakan tapi tidak pakai "janji" yang mesti ditepati. Malah, setengah bercanda dia mengundang saya untuk menengok tempat kerjanya.
Makanya ketika akhirnya saya benar-benar memenuhi undangan itu, Frans agak terkejut. Saya sampai di panti DR sekitar pukul sembilan malam. Sebenarnya, panti DR buka 24 jam. Tetapi biasanya, tenaga pemijat yang tersedia di atas jam 10 lewat, jumlahnya sangat sedikit. Di panti DR tidak semua tenaga pemijatnya laki-laki, ada juga yang wanita.
Ketika saya datang langsung disambut seorang resepsionis. Dengan cekatan resepsionis wanita itu menyodorkan dua album di atas meja. Album pertama berisi list lengkap dengan foto para "massage boy". Sementara album kedua berisi daftar nama plus foto para pemijat wanita. Untuk beberapa saat lamanya saya membolak-balik dua album foto itu. Tenaga pemijat laki-laki ada sekitar 12 orang, sementara yang wanita ada 15 orang. Foto Frans saya temukan di lembar ke dua. Ada yang berpose seluruh badan, tapi kebanyakan hanya setengah badan.
"Tolong panggilin Frans dong," ujar saya ke resepsionis yang bertugas. Frans yang muncul selang lima menit kemudian itu, agak kaget. Dia tak mengira kalau saya benar-benar datang. Sebelum berangkat, saya memang menelepon Frans via ponsel untuk memastikan dia lagi berada di tempat kerja.
"Hah, gile lo ya. Gue pikir lo hanya bercanda," sergah Frans begitu sampai di ruang tamu. Saya hanya tertawa mendengar komentarnya.
"Tapi guc nggak bawa pesenan lo. Gue lagi nyari pacar yang pas bual lo, tapi belum ketemu ampe sekarang," seloroh saya ketika akhirnya kami memutuskan santai sejenak di ruang tamu. "Ngga papa lagi. Gue kaget aja lo ke sini," sergah Frans mengungkapkan rasa kagetnya.
Yang berkunjung malam itu, tentu saja tidak hanya saya seorang diri. Ada dua atau tiga tamu lain, semua laki-laki, yang juga ikut menunggu di ruang tamu. Tamu pertama malah sudah lebih dulu masuk kamar setelah pasangan kencannya stand-by. Sedangkan tamu kedua, kata Frans, termasuk salah satu tamu tetap yang kerap berkunjung, minimal seminggu satu kali. Sekilas, saya tak mengira kalau laki-laki dengan perawakan lumayan kekar dan bertampang laki-laki tulen itu, ternyata memboking "massage boy". 
"Lumayan banyak lho, tamu yang jadi pelanggan di sini. Gue aja punya dua lamu tetap," ceplos Frans blak-blakan.
Saya diajak Frans naik ke lantai satu, persisnya di lobby hotel. Di sebuah coffee shop, saya mengambil posisi duduk di kursi yang letaknyasedikit memqjok. Suasana sedikit ramai. Setidak- nya, ada lima meja yang terisi. Ada yang sepasang, ada juga yang duduk ramai-ramai. Maklum, hotel DR termasuk salah satu hotel transit yang biasa digunakan sejumlah pasangan untuk berkencan ala one-nite-stand. Letaknya yang cukup strategis dan agak tersembunyi, ditambah lagi dengan keuntungan tarif kamar yang tidak mahal, sekitar Rp 200-300 ribu, membuat hotel DR tak pernah sepi dari tamu. Selain itu, hotel DR juga dilengkapi tempat disko dan karaoke.
Frans memesan segelas hot tea, sedangkan saya seperti biasa, memilih bir putih. Untuk beberapa saat lamanya, kami terlibat pembicaraan ringan. Dari sekedar bertanya ihwal anak-anak yang biasa nongkrong di Menteng sampai info terbaru dari dunia dugem. Seluk-beluk panti DR baru saya tanyakan ketika jam mulai beranjak dari pukul sembilan dan mendekati angka sepuluh.
Yang perlama, tentu saja soal tenaga pemijatnya.
Ternyata, panti DR pada awalnya hanya menyediakan jasa pemijat vvanita untuk pria yang buka selama 24jam. Tenaga pemijat laki-lakinya sendiri, baru ada sekitar satu setengah tahun terakhir ini. Dalam praktiknya, di panti DR sebenarnya ada sebagian pemijat yang bisa memberikan jasa layanan pijat betulan, meski hanya ala kadar- nya. Selebihnya, ya apalagi, kalau bukan pelayanan seks belaka.
Nah, dalam perkembangannya, tenaga pijat pria yang bekerja di panti DR tidak hanya melayani untuk pria saja, tapi juga wanita. Tapi tamu yang datang kebanyakan memang laki-laki. Tamu wanita jarang sekali yang mau bertransaksi on the spot. Kebanyakan mereka order pribadi, kalau tidak ke rumah, apartemen, ya ke hotel.
Frans sendiri yang sudah hampir dua tahunmenekuni dunia "pijatmemijat" plus-plus itu  punya segudang cerita menarik selama menekuni prolesi itu. Pertama, Frans memutuskan untuk terjun karena alasan yang sangat sederhana.
"Gue seneng aja mijit-mijit badan laki. Daripada cuma jadi hobi, kan mending jadi duit. Ya, udah jadi tukang pijit aja. Hasilnya lumayan lho. He...he...," akunya dengan suara tawa renyah. Tcntu saja, Frans tidak mengelak kalau alasan uang juga menjadi satu l'aktor penting kenapa dia memutuskan untuk terus menggeluli pekerjaannya.
"Nggak munafik lah. Urusan duta24 juga jadi salah satu alasan. Emang kita nggak butuh makan ama baju bagus," ceplosnya enteng.
Sebenarnya, kalau laktornya semata-mata karena uang, Frans bisa saja mencari "pacar" yang tajir dan kaya raya. Tapi, Frans tidak melakukannya karena pernah trauma di"pingit", tidak bebas pergi ke mana dia suka. Lagi pula, dia cenderung cepat bosan dengan satu pasangan. Makanya, sambil menyalurkan hobinya dalam hal pijit-memijit, Frans bekerja tetap di sebuah gym "plus".
24 Dutaartinya duit. Bagi orang-orang yang satu "lingkungan" dengan Frans, katakata seperti itu menjadi kamus sehari-hari Bahasa mereka yang juga populer sebagai "bahasa gaul" itu sangat dinamis dan selaln berkembang dari waktu ke waktu. Contoh lain misalnya kata cantik menjadi "cantak", malas menjadi "malaysia", lucu menjadi "lucita atau luciana", mau menjadi "mawar" dan sebagainya.
JOB AC-DC.
Berawal dari perkenalannya dengan beberapa laki-laki yang punya orientasi seks sejenis yang biasa mangkal di Moonlight, Frans akhirnya punya akses untuk masuk ke sebuah gym yang ada di kawasan Radio Dalam yang di dalamnya ternyata tidak hanya menjadi tempat latihan untuk kesehatan dan kebugaran tubuh, tapi juga menjadi ajang rileksasi. Menariknya, di gymtersebut tcrsedia beberapa kamar yang cukup nyaman yang biasa digunakan sebagai ruangan untuk berkencan. Yang banyak menjadi tamu tidak hanya laki-laki tapi juga wanita. Memang sejumlah pemijat pria yang bertugas di gym berinisial GP itu ada yang biscks. Artinya, tidak saja bersedia melayani orderlaki-laki tapi juga wanita. Frans sendiri hanya menerima klien laki-laki.
Pria yang mengaku berasal dari Jakarta, anak kedua dari 3 bersaudara pasangan ayah asal Malang dan ibu dari Purwarkarta itu sudah merasa suka dengan sejenis sejak bersekolah di SMP. Meski belum berani mcngekspresikan orientasi seksnya, tapi Frans makin merasakan kalau "kelainan seks" yang dirasakan makin menjadi-jadi.
Sampai masuk SMU, Frans baru bisa mengekspresikan perilaku seksnya meskipun diam-diam dengan menyambangi sejumlah tempat pelesir yang menyediakan pekerja seks laki-laki.
"Gue inget bangel, pertama kali main ama laki di panti pijat rumahan di kawasan Pasar Rebo. Bayarnya cuma 100-an ribu," akunya berterus
terang.
Dari situlah, perlahan-lahan Frans mulai mengenal pria-pria yang senasib dengan dirinya. Apalagi, setelah dia mulai rajin dubbing ke sejumlah tempat hiburan, entah kafe, diskotek, lounge atau bar yang menjadi tongkrongan kaum gay. Frans hanya sampai lulus SMU setelah dia bekerja serabutan. Pernah bekerja sebagai pramusaji restoran, pelayan di swalayan sampai bekerja di salon. Nah, pas di salon itulah, Frans mendapat banyak trainingdalam lulur, creambathdan pijat Tapi, dia cepat merasa bosan, apalagi dengan aturan-aturan kerja yang mengikat. Makanya, dia memutuskan untuk membuka usaha sendiri.  Merasa tidak ada modal, akhirnya Frans mengambil jalur pintas dengan menjadi "cowok panggilan". Awalnya, hanya sekedar iseng-iseng. Tapi lama-lama, dia jadi keterusan.
"Sambil menyelam milium air. Dapet teman kencan, dapet duit juga," sergah pria dengan tinggi 168 cm itu. Selama menjadi "cowok panggilan", Frans berada di bawah naungan seorang germo yang statusnya freelance.Jadi, hubungannya dengan sang germo hanya sebatas pada transaksi. Dan Frans berhak juga menclapatkan orderlewat transaksi langsung atau melalui germo/broker lain. Pasalnya, di antara temantemannya ada juga yang nyambi bekerja sebagai perantara.
"Biasa. Temen-temen gue, ada juga yang jadi perantara transaksi," ujarnya sambil mengisap rokok Marlboro menthol kesukaannya. Meskipun sekarang menetap di sebuah panti, tapi Frans tetap bisa menjalankan pekerjaannya sebagai "cowok panggilan" di sela-sela hari libur dan lepas jam kerja.
Sejak awal menggeluti pekerjaanya itu, Frans dengan tegas tidak mau menerima klien wanita. Katanya, dia merasa tidak bisa untuk urusan yang satu itu. Beberapa teman seprolesinya yang juga bekerja di gymGP,
ada 3-5 orang yang bersedia melakukan transaksi biseks atau biasa juga disebut "AC-DC". Artinya, melayani tamu laki-laki oke, tamu wanita pun tidak ada persoalan.
"job dibagi-bagi aja. Yang cuma bisa ama laki, kayak gue, ya khusus ma laki," akunya. Dari gym GP itulah, Frans akhirnya pindah ke panti DR yang dalam praktiknya lebih terbuka dan transparan. Saya sudah menghabiskan setidaknya tiga gelas bir putih ketika akhirnya Frans mengajak saya kembali ke panti DR. Suasana sepi hanya ada 2 orang massage boy,3 orang massage girl yangtengah kerja shift malamitu dan seorang resepsionis. Ruang tamu tampak lengang, tidak tampak satu tamu pun.
"Lo mau nyobain 'main' ma laki nggak?" Frans mulai menggoda dengan setengah bercanda ketika kami tiba di depan resepsionis.  Tentu saja, muka saya memerah karena malu. 
Maklum di depan masih ada seorang resepsionis yang senyumsenyum sambil matanya melirik ke arah saya. Dan seumur-umur, baru kali ini saya mendapat tawaran tidur dengan laki-laki secara blak-blakan. Kontan saja saya mengelak menerima tawaran itu. 
"Ada-ada saja," pikir saya sambil menahan senyum. "Gini-gini gue masih doyan perempuan lagi.  Emang gue ada tampang biseks ya.?" saya balik bertanya. "Dalamnya samudera siapa yang tahu. Kali aja lo mau ngetes. Ha...ha..." Frans tertawa lepas.
Dengan gaya bicaranya yang ceplas-ceplos itu, Frans bertutur ihwal tarif yang berlaku di panti DR untuk one-short-time.Tidak ada perbedaan harga untuk memboking massage boyatau massage girl.Untuk transaksi pijat plus satu jam di kamar standar adalah Rp 300-400 ribu. Harga itu untuk rincian sewa kamar, satu botol minuman ringan dan transaksi full service.
"Untuk transaksi di luar, naik 2 kali lipat. Antara Rp 700 ribu sampai Rp 1 juta. Tergantung nego-nya," jelas Frans.
Berulang kali, Frans membujuk saya untuk memboking salah satu massage girl yang bertugas malam itu. Dengan penuh percaya diri, dia menyebut nama Linda yang menurutnya punya wajah cukup cantik dan body seksi. Karena penasaran, saya mengiyakan saja ketika Frans memanggil Linda untuk keluar dan bergabung bersama kami di ruang tamu.
Linda, menurut saya, punya tipikal wajah dan bentuk badan tidak terlalu menyimpang seperti ucapan Frans. Berambut lurus berwarna agak kecokelatan dan berdada lumayan besar, 34 B dan berkulit sawo matang. Dengan senyum ramahnya, Linda mengenalkan diri dan mulai ikut berbincang di ruang tamu.
"Bener nih nggak mau dipijit ama aku. Ntar nyesel lho ampe rumah," ujar Linda tanpa basabasi lagi.
Tapi lantaran kedatangan saya malam itu, memang dalam rangka menemui Frans, akhirnya saya memutuskan untuk tidak menerima tawaran kencan short-time itu. Lagi pula, malam sudah larut. Bincangbincang saya dengan Frans pun sudah lebih dari cukup.
" Next time ya. Gue janji deh, pasti balik ke sini," kata saya pada Linda. Wanita yang malam itu mengenakan baju kerjanya, yakni terusan wanita putih layaknya baju perawat di rumah sakit, hanya tersenyum agak
kecewa.
"Tapi beneran ya. Aku tungguin lho," jawabnya.
Dan benar saja, tiga hari kemudian, saya memang kembali berkunjung ke panti DR untuk membuktikan secara detail seperti apa dan bagaimana lika-liku pelayanan seks ditawarkan panti DR. Ada 10 kamar standar yang tersedia dan 5kamar VIP. Nyaris tak bedanya, hanya kamar VIP lebih luas dan dilengkapi televisi.
"Kalo ada temen cewek yang mo ke sini, bilang aja pada aku. Dijamin ketagihan deh," tukas Linda ketika saya pamit pulang. Dan ternyata, Linda pun tidak menolak melayani tamu wanita yang ingin mereguk kenikmatan bersama teman kencan sejenis. Alamak!

LAYANAN LUAR DALAM
"MASSAGE TEENAGERS"
PELAYANAN luar dalam di sebuah tempat pijat dengan tenagatenaga "massage girls" berusia belasan tahun.
Ketika mengetik naskah ini, saya tengah menikmati secangkir kopi panas di sebuah kafe mal, di kawasan Senayan, pada satu sore, di awal bulan Oktober 2003. Hujan deras baru saja mengguyur Jakarta. Dan betapa saya sedikit terkejut ketika di satu meja panjang, saya mendapati sekumpulan wanita-wanita cantik bersama sejumlah pria sedang menikmati afternoon teasambil menyantap hidangan makan sore.
Bagaimana tidak terkejut kalau ternyata dari sekitar 12 wanita yang saya temui itu, semuanya berasal dari Uzbekistan. Mereka menjadi pusat perhatian sebagian besar tamu kale yang datang. Maklum, mereka memiliki wajah cantik yang sangat khas dan personifikasi tubuh yang serba tinggi serta langsing. Baju yang mereka kenakan pun rata-rata seksi sehingga lekuk bodynya sangat jelas tergambar.
Sayang, konsentrasi saya lagi melayang jauh ke sebuah panti pijat di kawasan Ancol. Jadinya, sambil sesekali memperhatikan polah mereka, pusat perhatian saya tetap pada layar komputer. Panti pijat yang saya maksud itu, tentu saja memiliki ciri tersendiri dalam hal layanan yang diberikan dibanding panti-panti pijat kebanyakan. Layanan utama: transaksi "luar dalam" dengan menu gadis-gadis pemijat berusia belasan tahun.
MASSAGE-TEENAGERS.
Kejadiannya berlangsung sekitar awal Agustus 2003. Pada satu sore, saya sengaja menuju kawasan Ancol. Biasalah, kali ini saya ingin membuktikan cerita sejumlah teman ihwal "massage teenagers" yang akhir-akhir ini menjadi bahan pembicaraan di kalangan teman-teman "nite society". Saya tidak sendiri. Saya bersama seorang teman, sebut saja Bambang, 36 tahun. Pria yang sehari-hari bekerja sebagai kontraktor untuk proyek pengerjaan jalanjalan umum.
Sebenarnya tidak terlalu sering, saya ketemu Bambang. Malah, boleh dibilang jarang. Kalau ketemu pun lebih sering secara kebetulan karena saya dan Bambang biasa mampir ke kafe HRC di kawasan Thamrin pada ban Minggu. Maklum, pada hari Minggu banyak tempat hiburan yang sepi. Kafe HRC menjadi alternatif paling asyik karena suasananya tetap lumayan ramai. Paling tidak, ada pertunjukan "live band" dengan kualitas terjainin yang bisa memeriahkan suasana.
"Jadi nib, kita ke Ancol?" tanya Bambang ketika saya ketemu di Plaza Indonesia, di sebuah kafe franchise yang sore itu dijejali puluhan tamu.
"Jadi dong. Kan lo yang pernab nyobain. Gue kan baru dengerdenger doang," tukas saya.
"Tapi lo yang traktir, kan?" canda Bambang.
"Masak gue. Yang banyak duit kan lo. Satu proyek aja bisa untung ratusan juta. Nab, gue?"
"Lo emang paling bisa. Ya udah, jalan sekarang aja yuk," ajak Bambang.
SEKITAR pukul 5.30 sore, saya dan Bambang akhirnya sampai di panti "teenagers" berinisial MR itu. Tempatnya sangat mudah ditemukan karena berada di antara ruko-ruko yang sebagian besar digunakan untuk area pertokoan. Di antara puluhan ruko itu, ada satu diskotek yang cukup besar. Nab, tak jauh dari diskotek itulah, letak panti MR.
Panti MR berada di satu bangunan ruko besar. Desainnya tidak nekoneko seperti ruko kebanyakan. Di pintu depan ada papan nama MR, di sudut kanan atas pintu masuk. Mobil langsung parkir di depan gedung. Ada sekitar 8- 10 mobil yang parkir sore itu. Cuaca sudah mulai agak gelap ketika kami tiba di pelataran parkir. Di depan gedung, ada beberapa pedagang kaki lima yang mangkal; dari pedagang rokok sampai makananmakanan kecil.
Sambil melihat-lihat keadaan, kami duduk di kafetaria yang juga menjadi ruang tunggu. Secangkir kopi panas menemani sore yang berjalan melambat itu. Setelah merasa cukup rehat sejenak, kami menuju meja resepsionis. Seperti panti-panti kebanyakan, modus transaksinya sangat sederhana. Di meja resepsionis ada foto para tenaga pemijat yang bisa dilihat para tamu. Kalau tidak, ya langsung saja minta sama "manager on duty" untuk melihat langsung ke ruang display.
Tapi untuk bisa melongok ke ruangan yang biasa dijadikan para tenaga pemijat kongkow-kongkow sambil menunggu order itu, tidak gampang. Tidak semua tamu bisa mendapatkan perlakuan istimewa kecuali mereka yang memang sudah terbiasa atau jadi "member" di panti MR.
"Pak Bambang mau yang mana?" tanya 
resepsionis wanita sambil menyodorkan album foto. Kami masih asyik membolak-balik album foto itu selama lima menitan. Di tiap lembar album hanya ada satu foto lengkap dengan data diri.
"Gue udah pernah ama yang ini nih," ujar Bambang sambil menunjuk salah satu foto perempuan mengenakan baju biru bernama Dewi. Gadis pemijat bernama Dewi itu, menurut Bambang, berusia sekitar 21 taliun. Setidaknya, dua kali, dia pernah membokingnya.
"Pak Sofyan ada nggak, Mbak? Saya mo ketemu dong," pinto Bambang. "Ada, Pak. Sebentar saya panggilkan."
Sambil menunggu Pak Sofyan, atau biasa dipanggil Pak Yan, kami kembali duduk di kafetaria. Rupanya, Bambang mau langsung melihat ke ruang display. Katanya, kalau hanya lihat foto, tidak ada jaminan. Mendingan langsung melihat aslinya.  
Pak Sofyan muncul lima menit kemudian. Bambang sudah mengenal pria kurus yang sore itu mengenakan kemeja warna krem dengan celana bahan. Tampak rapi memang. Pak Yan bergabung di meja kami dan mengobrol sejenak.
Biasalah, sekedar basa-basi sambil bertanya info terbaru seputar panti MR. Dan beruntung karena dari obrolan itu saya jadi tabu kalau di panti MR, ada sejumlah tenaga pemijat "teenagers" yang tergolong masih baru. Bahkan, ada yang baru seminggu masuk kerja.
"Kita ke ruang displayaja. Biar lebih jelas liat 'anak-anak'," ajak Pak Yan.
Tidak seperti yang saya bayangkan kalau ruang displayitu biasanya terdiri dari sebuah ruangan yang terbungkus kaca dan tamu yang akan memilih pasangan kencannya tinggal melongok dari luar. Ruang displaydi panti MR tak lebih dari ruang peristirahatan yang biasa digunakan tenaga pemijat di panti MR "stand-by" menunggu order klien. Ruangan itu letaknya berada di lantai satu. Tangganya berada di samping kanan meja resepsionis. Ruangannya berada di bagian belakang.
Luasnya tak lebih dari kamar hotel bintang empat kelas deluxe. Sekitar 20 "massage girl" duduk santai di kursi manja. Sebagian besar dari mereka tengah asyik menonton TV sambil bercakap- cakap. Ada juga yang memilih tidur-tiduran di kursi panjang. Bersama Pak Yan, kami diperbolehkan melongok ke dalam dari pintu masuk. Sebagian besar tenaga pemijat, kata Pak Yan, memang rata-rata berumur antara 21 sampai 32 tahun.
Tapi, ada juga beberapa orang yang umurnya masih di bawah 20 tahun. Bahkan ada yang baru berumur 16 tahun. Yang masih berumur belasan inilah, yang paling diincar sejumlah tamu yang berkunjung ke panti MR. Tentu saja ketika kami datang, gadis-gadis pemijat itu langsung jaga performance.
Dengan raut muka cerah dan senyum mengembang, mereka menunjukkan bahasa tubuh "selamat datang". Ada juga yang tampak malu-malu kucing dan menunjukkan sikap agak kaget.
Saya mendapati seorang "massage girl" yang raut wajahnya masih kelihatan belia. Dia tengah duduk santai di kursi depan televisi. Gadis inilah yang saya pilih untuk menjadi pasangan kencan.
"Namanyan Monik. Umurnya 17 tahun, Bos. Masih freshdong," jelas Pak Yan berpromosi sambil tertawa pelan. Sementara Bambang rupanya memilih ber-reuni dengan pasangan lamanya, Dewi, yang umurnya sekitar 23 tahun. "Daripada gambling,mending yang jelasjelas aja deh. Gue dah pernah ama Dewi dua kali. Terakhir dua bulan lalu," ceplos Bambang tanpa malu-malu.
Tak lebih dari lima belas menit, kami berada di ruang peristirahatan para "massage girl". Pak Yan mempersilakan kami, memilih kamar kelas VIP yang tersedia. Letaknya berada satu lantai dengan ruangan "display", hanya sekitar 10 meteran. Monik dan Dewi pun segera bersiap-siap menjalankan tugasnya. Musik-musik berirama lembut sedari tadi, terus saja mengalun memenuhi isi ruangan MR. Kami menempati kamar yang bersebelahan.
Kamar VIP di panti MR tak ada beda jauh dengan kamar standap yang terdapat di hotel bintang tiga. Dilengkapi dengan AC, satu mejakursi, kaca rias, showerdan satu springbedberalaskan sprei warna putih bersih. Suara musik masih terdengar merdu di dalam kamar. Lampu menyala agak temaram. Monik muncul sepuluh menit kemudian. Kali ini, raut mukanya lebih segar. Pipinya dihias dengan make-up agak kemerahan, sementara bibirnya dipoles lipstick
warna peach serasi dengan warna bajunya yang pink dan kulitnya yang putih bersih. Rambut lurusnya dibiarkan menjuntai hingga ke bawah pundak.
"Malem, Mas. Kelamaan ya nunggunya?" ucapnya ketika sosok Monik sudah berada di depan saya.
Ah, dari dekat, saya bisa lebih jelas memperhatikan sosok gadis yang bertinggi tak lebih dari 165 cm itu. Baju terusan warna pink dipadu dengan sepatu hak tinggi membuat Monik tampak lebih dewasa. Kalau belum kenal sebelumnya, pastinya orang akan mengira umurnya sekitar 20 tahun ke atas. Siapa sangka kalau gadis cantik yang berada di depan saya malam itu, baru berumur tujuh belas tahunan. Untuk beberapa saat lamanya, saya berusaha mengakrabkan diri dengan pembicaraan ringan. Meskipun hukumnya "jualbeli", tapi rasanya kok tidak nyaman berkencan dengan orang yang tidak kenal sama sekali. Paling tidak, saya mesti tahu nama, umur, berasal dari mana, sudah berapa lama bekerja dan beberapa data ringan untuk pengakraban diri.
Baru setelah dirasa cukup, proses menuju ke tahapan pelayanan pijat plus itu dimulai. Meski baru tiga mingguan menjalani profesinya, Monik seperti sudah biasa men-service tamunya. Sikapnya ramah dan sopan, bahkan ketika dia menawarkan diri untuk memulai "pelayanan"-nya.
"Gimana, Mas? Mau mulai sekarang apa kita mo ngobrol-ngobrol aja nih?" ujarnya setengah bercanda. Omongan seperti itu terus terang tidak membuat saya marah, tapi malah membuat suasana bergairah.
"Kalau ngobrol terus, ntar waktunya habis lho. Sayang kan kalo gadis secantik aku ini dianggurin," sekali lagi Monik nyeletuk dengan obrolan santai dan mencairkan suasana kamar yang makin dingin oleh hawa AC.
"Jadi, langsung nih? Siapa takut," sergah saya, balik bercanda.
"Langsung apa langsung? Emang nggak mau kalo aku pake prolog dulu. Pelan tapi dijamin teler. Hi...hi...hi...," canda Monik sembari tertawa agak tertahan.
Yang dimaksud "prolog" tentu saja bagian dari foreplay.Biasanya, di sejumlah panti pijat plus, tahapan foreplay ini disajikan dengan ragam pelayanan; dari sekedar pijat seksi di bagianbagian sensitif sampai oral sex. Nah, khusus di MR, ternyata prolog-nya dimulai dengan pijat seksi, "mandi kucing service" sampai akhirnya bermuara di "full service".
Kencan short time di kamar VIP itu biasanya hanya berlangsung selama sejam. Lewat di atas sejam, berarti tamu mesti membayar untuk hitungan two-short-time. Biasanya, aturan ini berlaku bagi tamu yang merasa kurang berkencan selama satu jam. Kalau harga untuk kencan one-shorttime- nyadi MR Rp 300 ribu —belum termasuk tip, berarti tinggal kali dua saja.
"Masak udahan, Mas? Beneran nih mo udahan sekarang? Ntar nyesel lho," lagi-lagi Monik menyela dengan pembicaraan yang terdengar menggemaskan di telinga. Bambang sudah lebih dulu bersantai di ruang tamu ketika saya menuruni anak tangga.
Oh, iya, saya hampir lupa bcrcerita tentang perjalanan menuju lokasi panti berlabel XXX yang menjadi favorit pululiau laki-laki petualang itu. Perjalanan menuju panti MR itu memakan waktu sekitar setengah jam-an. Sekitar jam 5 sore, saya berangkat menuju Ancol, Jakarta Utara.
Untung hari Sabtu, jadi lalu lintas tidak sepadat hari-hari kerja. Mobil BMW 318 seri terbaru milik Bambang, dengan cepat melaju melewati jalanan yang agak basah lantaran hujan belum lama reda. Dari Plaza Indonesia kami mengambil arah kejurusan Pasar Baru. Dari sebuah perempatan besar, kami masuk ke kawasan Gunung Sahari. Dari sini, kami tinggal mengambil jalan lurus. Di sebuah perempatan besar, kami belok ke kiri. Di sebuah kawasan yang di dalamnya berdiri bangunan ruko kami langsung mencari panti berinisial MR. Hanya butuh lima menit untuk sampai di depan panti MR.
.............
SISI LAIN MONIK.
Tenaga pemijat "teenagers" seumuran Monik, ternyata ada sekitar 12 orang. Mereka ini yang statusnya pekcrja tetap sementara yang freelance pun tak kalah banyak yang masih belasan tahun. Butuh sedikitnya tiga sampai empat kali saya berkunjung ke panti MR untuk bisa berbicara dengan Monik sebagai "teman".
Monik ternyata punya cerita sendiri tentang perjalanan hidupnya hingga akhirnya nyebur ke dunia "remang-remang" itu. Gadis yang mengaku berasal dari Sukabumi, Jawa Barat itu, awalnya tak lebih dari remaja kebanyakan yang hidup tenang di daerah pedesaan. Tapi, apa lacur ketika suatu ketika datang dua orang "talent-scouting"— pencari bakat yang biasanya menjadi divisi tcrsendiri di perusahaan advertising atau production house, tapi dalam praktiknya sejumlah tempat hiburan plus juga mempunyai tenaga ini untuk mencari-cari bibit-bibit baru, ke rumahnya. Rupanya,dua talent scouting atau bisa juga disebut "head hunter" itu sudah terlebih dahulu memperoleh info tentang Monik dari sejumlah teman sedaerahnya yang bekerja di panti MR.
Makanya, ketika suatu hari, Monik yang hanya lulusan SMP dan sehari-hari membantu orang tuanya yang bekerja sebagai petani biasa itu kedatangan dua laki-laki dan langsung menawarkan uang sekitar Rp 10 juta untuk bisa membawaMonik ke Jakarta dan bekerja sebagai "massagegirl", tanpa banyak pertimbangan lagi, orang tuanyalangsung mengiyakan. Alasan ckonomi tampaknya menjadi faktor terbesar dalam kasus ini. Ya, siapa sih yang tidak tergiur dengan iming-iming Rp 10 juta untuk ukuran petani biasa yang penghasilan sehari-harinya hanya mengandalkan panen belaka.
"Karena diming-iming gaji gede, aku mau aja. Apalagi, orang tua sudah mengijinkan," ungkap Monik yang sore itu mau bertemu saya di sebuah kafe di kawasan Gunung Sahari, karena sedang libur kerja. Dalam seminggu, Monik mendapatkan jatah libur satu hari. Masing-masing tenaga pemijat yang bekerja di panti MR boleh memilih hari liburnya asal jangan Jumat, Sabtu dan Minggu.
"Aku ambil liburnya hari Senin. Biasanya, Senin di tempat kerjaku rada sepi tamu," sambungnya sambil menyeruput segelas orange juice dingin.
Tentu saja, aku Monik, ketika pertama kali dibawa ke Jakarta, dia tidak diberitahu akan bekerja di mana. Yang dia tahu, katanya dia akan bekerja di sebuah perusahaan kosmetik dengan gaji sebulan lebih dari Rp 2 juta. Tawaran menggiurkan itu membuat Monik bersemangat datang ke Jakarta. Yang ada di kepalanya, dengan uang sebesar itu, dia bisa meringankan beban keluarganya di rumah. Dia anak pertama dari tiga bersaudara. Dua adiknya — satu perempuan dan satu laki-laki—masih kecil-kecil. Yang satu di Sekolah Dasar kelas 4, sementara yang satu lagi baru berumur 2 tahunan.
Begitu tiba di Jakarta, Monik tidak langsung bekerja, tapi di-training dahulu selama dua mingguan. Dia ditempatkan di sebuah rumah besar di kawasan Mangga Besar. Di rumah itu ternyata dia tidak sendirian. Setidaknya ada sekitar 14 gadis lain yang juga menjadi penghuni. Di rumah itu, ada dua orang "mami" wanita yang mengawasi dan mengatur jadwal mereka sehari-hari. Trainingdua minggu itu, sama sekali tidak ada hubungannya dengan urusan pekerjaan kantoran. 
Tapi, lebih pada bagaimana tata cara bertutur, bersikap dan berpenampilan yang baik. Dan betapa kagetnya, ketika dia sadar kalau pekerjaan yang bakal digelutinya adalah menjadi tenaga pemijat plus yang tidak pernah dia bayangkan sebelumnya. Awalnya kabar itu dia tahu dari pergunjingan sesama penghuni rumah. Sampai akhirnya, dia diberitahu oleh "mami" ketika masa training mau berakhir. Tak tahu mesti dengan ekspresi apa mendengar kabar itu, Monik hanya pasrah dengan keadaan.
"Mau nolak, nggak mungkin. Kalaupun mau lari, kabur ke mana. Aku buta Jakarta," jelasnya.
Satu peristiwa besar yang tak pernah dia lupakan adalah bagaimana suatu malam dia mesti melayani tamu di sebuah kamar hotel. Inilah pertama kali dia resmi praktek kerja. Rupanya, statusnya yang masih perawan dimanfaatkan "mami"-nya dengan menjualnya ke seorang lakilaki dengan harga mahal. Situasi tak dapat ditolak, statusnya yang sudah "dijual", mau tidak mau membuatnya harus menuruti segala aturan tuannya. Dan itulah yang terjadi di kamar hotel bintang empat, dia mesti menyerahkan keperawanannya pada laki-laki yang tak pernah dikenalnya. Dan untuk pertama kalinya juga, dia memegang uang di atas satu juta rupiah. Monik sendiri tak tahu persis, berapa juta dia di"jual" ke tuan-nya.
"Boro-boro pegang uang sejuta. Seratus ribu saja nggak punya," kilah Monik. Pengalaman pertama ini, akunya, dijalani tanpa tanya. Dia hanya tahu mesti menjalankan tugas dengan sebaikbaiknya.
Tanpa ekspresi, Monik bercerita datar tentang pengalaman pertamanya yang "menyakitkan" itu. Selama hampir dua bulan, Monik mengaku menjalani tugas-tugas "panggilan" dari hotel ke hotel. Dari satu transaksi, dia menda- patkan uang cashdi tangan sekitar Rp 1 jutaan.
Sementara di tangan "mami", bandrol harga untuk sekali kencan sekitar Rp 3-5 juta. Daya tarik yang selalu digembar-gemborkan "mami" ke para klien tak lain usia Monik yang masih belasan dan tergolong "baru" di dunia bisnis esek-esek.
Setelah dua bulan, Monik akhirnya resmi ditempatkan di panti MR sebagai tenaga pemijat tetap. Hanya saja, dalam praktiknya, untuk harihari tertentu, dia tetap menjalani "order" panggilan ke tempat-tempat pribadi. Di panti MR, untuk sekali transaksi sebesar Rp 300 ribu, dia menerima bagian Rp 125 ribu. Sementara tip dari tamu langsung masuk kantong pribadinya. Pihak "mami" dan manajemen panti MR tidak berhak mengganggu gugat uang tip yang biasanya selalu diberikan sejumlah tamu.
"Uang tip-nya malah lebih gede. Asal pinterpinter aja kita melayani tamu," ungkap Monik yang tampak lebih dewasa dibanding umurnya ang masih tergolong ABG.
Sudah hampir 2 tahun, Monik menggeluti profesinya. Selama itu pula, dia bisa membantu perekonomian keluarganya di kampung. Rumah direnovasi, bisa beli sawah baru dan segala kebutuhan hidup sehari-hari. Sampai saat ini, Monik tak tahu sampai kapan akan terus bergumul dengan profesinya sebagai "massage girl". Pengalaman telah banyak mengajarkan tentang kerasnya hidup. Di usianya yang masih 17 tahun, Monik tampak lebih matang karena tempaan "dunia abu-abu" ang digelutinya.
"Moga-moga kalo nanti udah cukup punya modal, maunya aku buka usaha sendiri. Capek juga kerja beginian. Lagi pula, aku kan masih muda. Masih banyak kesempatan kan," tuturnya dengan nada bicara serius.
All, saya sampai lupa. Monik sebenarnya hanya nama alias. Nama aslinya Nana Juliana karena dia lahir di bulan Juli. Kadang, dia sampai lupa dengan nama sendiri. Maklum, nama Monik sudah dua tahun melekat di telinganya. Kalau suatu waktu, tuturnya, ada kesempatan untuk lepas dari "pekerjaan"-nya itu, dia ingin kembali menjadi Juliana, gadis desa yang masih lugu dan  hijau. Tapi kapan?
"Nggak tau. Sekarang jalanin dulu aja yang ada. Capek sendiri kalo dipikir terlalu dalam," ceplos Monik. Sore itu pun beranjak malam. Setelah menghabiskan sepiring calamari, Monik pamitan pulang. Cerita Monik hanyalah satu potret dari ratusan bahkan ribuan potret gadisgadis ABG yang "nyemplung" ke bisnis esekesek. Di antara ratusan tempat hiburan malam yang tersebar di tiap sudut Jakarta, masih banyak Monik-Monik lain yang mengalami nasib serupa.

"COCKTAIL GIRLS"
V-VIP ROOM
GADIS-GADIS cantik dijadikan sebagai hidangan pembuka dan penutup di sejumlah hotel-hotel berbintang. Sebutan populernya "cocktail girls".
Tiga gadis itu dengan sikap anggun duduk di sola hitam. Ada yang mengenakan busana sackdress seksi, ada juga yang hanya memakai rok mini (sekali). Gadis pertama membiarkan rambutnya tergerai menyentuh punggungnya yang terbuka, memakai sepatu berhak tinggi. Baju terusan warna birn yang dikcnakannya tampak indah disiram lampu kuning yang membias ke seluruh ruangan. Gadis kedua berambut agak pendek, berwajah agak bulat dengan kulit tubuh kuning langsat. Mengenakan rok mini dipadu dengan kaos ketat dan jaket kecokelatan. Gadis ketiga membungkus raga moleknya dengan terusan semi-gaun warna hitam. Wajah cantiknya makin berbinar tersepuh make-up. Barisan giginya begitu putih bersih ketika tersenyum, sementara bibirnya tampak indah terpoles lipstickwarna merah.
Sementara itu, tiga laki-laki yang tengah duduk di sofa warna hitam dengan senyum lepas memandang mereka tanpa henti. Tatapan itu berubah menjadi tawa lepas ketika akhirnya suasana di dalam ruangan itu pecah jadi akrab. Tiga wanita itu berbaur dengan tiga laki-laki layaknya sebuah keluarga. Cauda tawa menyeruak, obrolan santai mengiring di setiap menit, desah manja tak jarang muncul di sela pembicaraan. Ruangan seluas 4x6 meter itu didominasi warna dinding serba terang. Kombinasi warna yang menempel di dinding layaknya sebuali lukisan di atas kanvas dengan cat merah, hitam dan oranye membentuk warna indah. Sofa panjang, kursi kaca dan dua buah TV 21 inci menjadi perabotan utama di ruangan tengah.
"Aku Cindy, 22 tahun, asal Bandung." "Aku Lenny, baru 19 tahun, masih lajang Iho, asli Sukabumi. Baru enam bulan kerja di sini." "Aku Vivi, 23 tahun, asal Malang. Aku pernah jadi foto model tapi sekarang pindah haluan."
Cindy, Lenny dan Vivi adalah tiga wanita yang malam itu dengan begitu anggun dan cekatan melayani tiga laki-laki yang membokingnya. Cindy, Lenny dan Vivi, pastilah bukan nama asli karena sudah menjadi rahasia umum kalau hampir semua gadis yang bekerja di tempat-tempat hiburan dan rileksasi seperti karaoke, panti pijat, sauna, klub, salon, rumah cinta dan Iain-lain, mempunyai nama "alias". Seperti Cindy yang mengaku berasal dari Bandung itu nama aslinya Maemuna, Lenny bernama asli Kustini sedangkan Vivi mengaku nama asli ketika masih di kampung adalah Juwariah.
Sudah jadi tren di kalangan para wanita pekerja malam kalau namapun mesti enak didengar di telinga, tidak ketinggalan jaman dan mudah diingat. Malah, biasanya nama-nama itu sudah disiapkan oleh pihak manajemen tempat hiburan yang bersangkutan. Jangan heran kalau namanama lady escort(LC), penari tangju dan singe di karaoke, massage girls di tempat pijat atau callgirls kelas tinggi selalu keren dan sangat "ngepop". Cindy, Lenny dan Vivi hanyalah tiga dari sekian ratus nama gadis yang malang melintang di dunia malam.
V-VEP HOTEL.
Malam itu, mereka terus saja menjamu tiga laki-lakinya dengan sopan dan ramah. Profesi mereka sebenarnya adalah LC di karaoke hotel Flamboyan — sebut saja begitu— yang berlokasi di Jl. JSP, Jakarta Barat. Hotel bintang empat yang memiliki dcsain serba terang dan berada di jalan utama itu, Lampak dari luar memang sangat mencolok dibanding bangunanbangunan lain di sekitarnya. Sudah hampir setaliun lebih ini, hotel Flamboyan menjadi tempat alternatif bagi para sejumlah laki-laki yang ingin sekedar beristirahat santai di kamar mewah sampai ber-having fundi ruang karaoke atau di tempat pijat ditemani gadis-gadis cantik.
Cindy, Lenny dan Vivi adalah tiga di antara gadis "cocktail" cantik yang menjadi penghangat suasana di ruang-ruang pribadi seperti karaoke atau kamar hotel. Tugas utamanya sama seperti LC-LC yang biasa mangkal di sejumlah karaoke kebanyakan, yakni menemani tamu bersantai dari menyanyi sampai minum-minum bahkan kalau perlu memberikan pelayanan ekstra sesuai kesepakatan. Pelayanan ekstra itu, ya apalagi kalau ujungujungnya pasti mengarah pada aktivitas seksual.
Awalnya, saya memang ragu-ragu apa benar di hotel Flamboyan itu memang menyediakan pelayanan ekstra dari "cocktail girls" yang tersedia dari siang sampai larut malam itu. Selama ini, yang saya dengar, hotel Flamboyan populer sebagai tempat dengan rating VVIP (baca = dobel VIP) untuk urusan pelayanan seksnya. Di hotel itu selain tersedia fasilitas kamar dengan berbagai tipe untuk menginap, tapi juga ada fasilitas pelayanan lainnya seperti karaoke, tempat pijat, salon dan sauna.
Karena didorong rasa ingin tahu, paling tidak untuk menghilangkan rasa penasaran, akhirnya saya datang bersama seorang teman, sebut saja Dimas, 31 tahun. Pria yang sehari-hari bekerja di perusahaan mobil Jepang di bilangan Pondok Indah itu, masih bujangan, sama seperti saya. 
Usianya yang sudah kepala tiga, tampaknya belum menggugah hasratnya untuk segera membangun rumah tangga. Katanya, dia terlalu takut untuk berada dalam lingkaran kekeluargaan yang banyak aturan, tuntutan dan tanggung jawab. Makanya, ketika ditanya soal menikah, Dimas selalu cengar-cengir tanpa komentar banyak.
"Belum siap. Lagian, belum puas nikmatin masa muda. Masib pengen bebas tuh," kilahnya singkat beralasan sembari tertawa kecil. Sekitar pukul 09.00 malam, saya dan Dimas sudah sampai di pelataran parkir hotel Flamboyan. Kami memarkir mobil di area B2. Dari sini, kami lebih dulu mampir ke lobby hotel.
Tentu saja, kami tidak bermaksud check-in,tapi hanya melihat-lihat keadaan. Seperti biasa, lobby hotel ramai oleh tamu yang tengah mengurus administrasi di meja resepsionis. Di sola juga tampak beberapa tengah duduk-duduk, sementara di loungeyang berada di samping kanan meja resepsionis, beberapa pasangan tengah menikmati romantisme malam diiringi lagu-lagu merdu di sederet meja yang diterangi pencahayaan redup.
Seperti juga tampak dari luar, dinding lobby hotel Flamboyan juga serba terang dengan tata lampu warna-warni. Beberapa bagian dinding dilapisi interior serba kaca yang memantulkan cahaya putih. Kami tak berlama-lama di ruang lobby, maka lima menit kemudian kami langsung naik lift menuju lantai satu. Di lantai inilah terdapat ruangan karaoke.
Di pintu masuk, ada meja resepsionis yang dijaga dua wanita. Mereka langsung menyambut dan memberikan sejumlah penawaran. Kamar karaoke yang tersisa tinggal tiga tipe suite,dua kamar tipe VIP dan tiga lagi tipe standar biasa. 
"Minta ruangan VIP, satu Mbak. Nggak perlu waiting list-kan?" ujar Dimas. "Nggak. Ada dua ruangan yang masih kosong. Kenapa nggak suite aja.,Bos? Ruangan VIP nggak ada kamarnya lho," jelas resepsionis. "Nggak lah. Kita cuma berdua kok. Memang kalau ada kamarnya mau ngapain?" kilah Dimas  pura-pura tidak tahu. "Ah, Bos bisa aja. Pura-pura nggak tahu ya.
Kamarnya 104," jawab resepsionis setengah bercanda. Scorang pramusaji mengantar kami ke ruangan. Setelah kami duduk di sola untuk beberapa saat lamanya, seorang wanita yang menjadi koordinator para LC menghampiri kami dan langsung menawarkan beberapa nama LC yang menjadi primadona. Diantara sekian nama yang disebut, salah duanya adalah Cindy dan Vivi.
Karena beberapa teman yang sempat mampir ke karaoke di hotel Flamboyan, kami pun tidak berpikir lama-lama untuk memilih LC dengan menyeleksi di ruang displayatau di dalam kamar karaoke. Cindy dan Vivi akhirnya memang menjadi dua gadis yang kami pilih.
"Lo ama Cindy, gue ma Vivi. Oke, Jo25?" kata Dimas singkat. "Atur aja, Jo. Gue sih asyik-asyik aja."
Sambil menunggu kedatangan Cindy dan Vivi, kami memesan makanan kecil, buah segar dan dua gelas bir Corona, tentu saja tak ketinggalan minuman favorit saya: Black Russian dan kesukaan Dimas: Flamming Bikini— salah satu jenis minuman beralkohol yang cara penyajiannya di kalangan anak-anak gaul di Jakarta.
25 Jo: salah satu nama panggilan yang sering dipakai oleh dua-tiga orang yang saling kenal dan akrab. Ada lagi beberapa nama panggilan lain misalnya "brur", "co", "nyo", "jack" dan "man" (baca - men) yang juga sangat populer

di"bakar", menggunakan sedotan pendek dan cara minumnya dengan sekali tenggak (one shot). Cindy dan Vivi muncul tak lama kemudian. 
Sama seperti cerita teman-teman yang pemah "memboking" dua gadis yang punya paras cantik dan bertubuh seksi, Cindy memiliki tubuh agak  langsing dan berambut panjang, sementara Vivi bertinggi sedang dan memiliki tubuh padat berisi. Pantas memang kalau beberapa teman menyebut Vivi punya body molek. Apalagi dengan baju ketat yang dikenakannya, kemolekan tubuh Vivi memang tampak transparan. Sama sekali tidak  kelihatan kalau ternyata gadis yang murah senyum itu berasal dari sekitar Tretes, Malang, Jawa Tiinur.
Begitu datang, mereka langsung memesan minuman favorit. Saya tak begitu heran kalau dalam hitungan menit, Cindy dan Vivi cepat beradaptasi dan bisa mengakrabkan diri. Sebagai LC profesional, mereka tampaknya begitu terlatih menghadapi tamu-tamu laki-laki yang baru dikenalnya. Seolah tak ada sekat untuk berkomunikasi meski dalam hitungan detik. Ruangan yang awalnya hanya ramai oleh lantunan lagu dari layar TV itu, berubah jadi lebih hidup oleh canda, tawa renyah, desah manja sampai suara merdu yang keluar dari bibir Cindy atau Vivi. Oh ya, untuk ukuran LC, keduanya memang mahir menyanyikan lagu-lagu, dari pop sampai dangdut.
Selama tiga jam di dalam ruangan karaoke VIP itu, kami menghabiskaii waktu bersama Cindy dan Vivi layaknya sepasang kekasih yang lengah memadu asmara. Menikmati malam dengan bersantai di sola empuk dan hawa embusan AC yang dingin menyelimuti ruangan. Gelas demi gelas terus saja terisi aneka minuman beralkohol tanpa henti. Sering kali, Cindy dan Vivi menggoda dengan canda manjanya diikuti  polah yang tentu saja menggoda laki-laki normal. Dari sekedar mencubit mesra, memeluk, bergayut di pundak, mencium dan seterusnya.
Bau harum Bvlgari Extremeyang keluar dari badan Vivi terasa cnak di hidung. Begitu juga  tubuh Cindy yang menebar aroma Issey Miyake. Lama kelamaan, kemesraan yang terjadi di ruang tertutup itu, mengarah pada aktivitas seksual kecilkecilan. Tentu saja kami mafhum, kalau saja kami menawarkan ajakan kencan seks, pasti akan mereka terima asal sudah ada kesepakatan harga.
"Masak cuma begini-gini aja. Nggak bosen dipeluk terus?" Vivi mulai memancing-mancing dengan pertanyaan menggoda. 
"Iya, nih. Masak begini-gini aja. Nggak mau yang lebih hot?"timpal Cindy sambil menggayutkan lengannya ke pundak Dimas dengan sikap manja.
Ruangan VIP yang kami tempati, memang tidak ada fasilitas kamar tidurnya. Tidak seperti ruangan tipe suite yang di dalamnya memang dilengkapi kamar tidur. Biasanya, di kamar tidurlah para tamu yang memboking LC memanlaatkannya sebagai ajang untuk melakukan kencan seks. Sejumlah LC yang menjadi "cocktail-girl" di hotel Flamboyan, memang terbiasa memberikan pelayanan seks bagi laki-laki yang menginginkannya.
Seperti tak kenal lelah, Cindy terus saja merajuk; merayu Dimas. Berulang kali dia memancing Dimas untuk sesegera mungkin mau diajak melakukan kencan seks. Maklum, kalau hanya mengandalkan tip sebagai LC, paling-paling dia hanya akan mendapatkan uang sekitar Rp 200-300 ribu untuk tiga jam. Ya, beruntung kalau ada tamu royal yang mau memberikan tip besar tanpa harus melayani kencan seks.
"Tapi kan jarang-jarang ada tamu mau ngasihtip di atas Rp .500 ribu kalau hanya dipeluk-peluk doang," sergah Vivi. Makanya, kencan seks menjadi pelayanan terakhir yang biasa diberikan para "cocktail girl" untuk bisa mengeruk tip sekitar Rp 1 juta untuk one short time.
Namanya juga laki-laki normal. Mendapat serbuan rayuan yang terus-menerus dari Cindy, Dimas takluk juga. Akhirnya, mesti tidak ada kamar tidur, Dimas dan Cindy pamit masuk bareng ke kamar mandi. Ah, rupanya mereka sepakat untuk menyelesaikan kencan seks di kamar mandi. Bukan hal aneh mcmang. Di sejumlah karaoke yang kebetulan tidak dilengkapi kamar tidur, sering kali menjadikan kamar mandi sebagai terminal untuk berkencan. Entah sekedar mendapatkan suguhan "hand service", seks oral sampai "full service". Bagi sejumlah laki-laki, berkencan di kamar mandi, ternyata memberikan sensasi kesenangan yang berbeda dibanding kalau dilakukan di tempat tidur. "Sorry ya, gue masuk duluan. Udah nggak kuku, Nyo (baca = kuat)," ceplos Dimas dengan wajah sumringah bercampur kemerahan karena pengaruh alkohol.
Sementara saya dan Vivi tetap berlahan di sofa. Melihat Cindy berhasil mcnaklukkan Dimas, tentu saja Vivi tak mau kalah. Gadis yang mempunyai bentuk tubuh seksi itu, terus melancarkan jurus-jurus mautnya. Kesempalan memang makin terbuka lebar karena Dimas dan Cindy selama kurang lebih setengah jam berada di kamar mandi. Rok mini di atas lutut yang dikenakan Vivi, membuat kakinya makin telanjang ketika duduk di sofa dan menjadi pemandangan indah layaknya kontes bikini di pantai berpasir. 
Apa yang terjadi di kamar mandi, akliirnya terjadi juga di sofa. Malam yang semakin panas dengan hawa alkohol yang terus merangsuk, berubah semakin panas oleh nafsu yang berglora menyapu hawa dingin pegunungan. Waktu tiga jam yang mestinya menjadi milik kami, akhirnya berakhir lebih singkat. Setelah dua jam di ruang karaoke, kami pun beranjak pulang menyisir jalanan menuju kawasan Thamrin "Katanya cuma mau ngobrol-ngobrol. Kok lo jadinya malah 'ngobral-ngobral' duluan," ledek saya.
"Siapa yang tahan kalau dirayu terus-terusan. Sejuta deh hilang di kamar mandi," kata Dimas. "Lo sih buru-buru. Gue cuma ngasih tip Rp 500 ribu. Udah dapet 'plus-plus' lagi."
"Bodo ah. Yang penting gue happy,Nyo," sambung Dimas.
'Tahu gitu kan, kita mending nyewa ruangan suite,Nyo."
"Bosen di kasur melulu. Di kamar mandi, lebih terasa bedanya, ha..ha..ha..." Dimas terba-hak. Mulutnya tak henti-hentinya mengembuskan asap rokok Dji Sam Soe. Di kawasan Sabang, kami berhenti di warung kaki lima dan menyantap sepiring nasi goreng campur dadar telur kornet
COCKTAIL GIRLS. Istilah "cocktail girls" sebenarnya tidak beda jauh dengan "lady escort".
Hanya saja, cocktail girls konotasi maknanya lebih jelas mengarah pada gadis-gadis yang siap memberikan pelayanan seksual. istilah "cocktail girls" memang terdengar lebih sedap dibanding misalnya hostess, call girl, lady escort apalagi pekerja seks komersial. Identik dengan minuman "cocktail" yang isinya terdiri dari aneka jenis minuman dicampur menjadi satu. Lihat saja misalnya "cocktail" beralkohol seperti Illusion, Long Island dun Sex on the beach, yang ketiganya dibuat dari campuran beberapa jenis minuman. Seperti itu juga identifikasi "cocktail girl" yang juga mempunyai sebutan nama beraneka ragam pula. Ada yang menyebutnya lady escort, singer, madame sampai  niteclub girls.
Di Surabaya, malah ada istilah populer sendiri yakni "purel" yang belakangan terakhir ramai dibicarakan banyak orang. Cocktail girl,"purel" dan nama-nama sejenis, barangkali secara profesi memang tidak ada perbedaan. Keduanya samasama mengindetifikasi para gadis yang bekerja di klub-klub malam seperti karaoke dan private home theatre. Tugas utamanya, ya menemani tamu, membuatnya senyaman mungkin hingga mau keluar uang sebanyak-banyaknya, kalau perlu memberikan kencan seks sekalipun. Ini sepertinya sudah jadi rahasia umum di dunia remangremang malam.
Di hotel Flamboyan, "cocktail girls" yang sehari-hari mangkal di karaoke terbagi dalam bebcrapa kelompok. Kelompok perlama adalah mereka yang berstatus pekerja tetap, kedua, mereka yang statusnya pekerja freelancer,sementara ketiganya adalah para penari tangju. Ketiga kelompok ini, sebagian besar memang memberikan jasa kencan seks. Tentu saja, tidak melulu selalu terakhir di ranjang. Banyak juga yang hanya bersedia memberikan kencan seks kecil-kecilan seperti oral seks, lain tidak. Tarif resmi "cocktail girls" per:jamnya Rp 45 ribu dengan minimal order 7 jam. Itu berarti sekitar Rp 315 ribu. Hanya saja, dengan
harga segitu, tamu hanya ditemani beryanyi saja tanpa embel-embel pelayanan lain. Nah, kalau mau "pelayanan plus-plus" mesti siapsiap keluar kocek lagi di atas Rp .500 ribu. Satu hal lagi, tidak semua "cocktail girls" mau
diajak kencan seks di tempat atau on die spot Banyak juga yang memilih transaksi di luar. Tarifnya tergantung dari kesepakatan nego. Namanya juga transaksi luar, biasanya pelayanan itu baru bisa diberikan sejumlali "cocktail girl" ketika jam kerjanya telah habis. Berbeda kalau kencan seksnya dilakukan di kamar hotel Flamboyan. Modus ini, menjadi pilihan alternatif bagi sejumlali tamu yang menginap di hotel dan ingin mendapatkan "selimut hidup" tanpa terlebih dulu membuang-buang duit di ruang karaoke.
"Banyak juga tamu yang langsung orderke kamar hotel. Rp 1,5 juta. Cashlho, nggak boleh pakai kartu kredit," jelas Cindy,
Modus transaksi seks langsung ke kamar ini pun, tak perlu repot-repot. Tamu tinggal datang ke ruang karaoke, bertemu koordinator "cocktail girls" yang tengah bertugas dan tinggal memesan gadis kencan yang dikehendaki. Bisa memilih langsung di ruang display, melihal-lihat foto atau bisa juga percaya sepenuhnya pada rekomendasi koordinator "cocktail girls".
"Memang lebih irit sih karena nggak perlu lagi pake sewa karaoke, makan-minum, belum la gi uang tip," tukas Dimas yang sebelumnya pernah 2-3 kali check-indi hotel Flamboyan.
Para penari tangju yang menjadi "cocktail girls" di karaoke hotel Flamboyan, tugasnya pun tidak jauh berbeda. Selain menyuguhkan hiburan dengan tarian dan liukan erotis dengan menanggalkan baju tanpa sisa, mereka juga tak menolak untuk diajak kencan seks. Sama seperti dengan para penari tangju yang mangkal di sejumlali karaoke elit di Jakarta yang ujung-ujungnya memang mengharapkan tip besar dari pelayanan seks di akhir pertunjukan. Maklum, kalau hanya mengandalkan tarif per show yang cuma Rp 450 ribu itu, mereka tak akan pernah memegang uang dalam jumlah besar.
Fasilitas karaoke di hotel Flamboyan, selain menjadi tempat berlabuh bagi laki-laki berduit, dari yang berprofesi sebagai esmud (eksekutif muda), pekerja kantoran balikan pengusaha danpejabat, ternyata sering kali juga disambangi sejumlali selebriti laki-laki.
Menurut Cindy dan Vivi, selama hampir setahun menekuni profesi yang selalu dicap "miring" oleh banyak orang itu, mereka beberapa kali melayani sejumlah selebriti laki-laki. Sebut saja misalnya aktor RP, YD alau WP yang beberapa kali mampir bersama rombongan untuk berkaraoke; dari sekedar menyanyi ditemani "cocktail girls" yang cantik-cantik sampai menikmati suguhan tarian tangju.
"Ada juga yang langsung boking ke kamar  hotel setelah ditemani di karaoke," kata Vivi.
Namanya juga diboking artis, Vivi dan Cindy mengaku punya kcbanggaan tersendiri. Makanya, mereka tak begitu ambil pusing soal tawarmenawarharga untuk kencan short time-nya, semua diserahkan langsung ke artisnya.
"Dikasih tip gedc, ya syukur, dikasih kecil juga nggak papa. Kapan lagi bisa kencan sama artis," sambung Cindy yang mengaku sering juga diboking hanya untuk menemani dinner di meja makan dengan bayaran sekitar Rp 300-500 ribu per jamnya. Lagi-lagi, untuk transaksi ini pun biasanya langsung diatur oleh koordinator.
Keberadaan "cocktail girls" bagi sebagian hotel yang menyediakan jasa hiburan plus buat tamunya. Selain di hotel Flamboyan, di hotel LM, di sekitar Blok M Jakarta Selatan, juga menyediakan "cocktail girls" dengan modus operandi transaksi seks di tempat pijat. Malah, di hotel dengan tarif standar Rp 300 ribu semalam itu, disediakan satu lantai khusus, persisnya di lantai delapan, hanya untuk melayani tamu yang membutuhkan kehangatan, baik yang check-in di hotel atau hanya ingin berkencan satu jam saja.
Bedanya, kalau di hotel Flamboyan modus transaksinya menggunakan jalur karaoke dan tempat pijat, maka di hotel LM, hanya menggunakan fasilitas tempat pijat saja. Di sisi lain, para cocktail girls di hotel Flamboyan tidak hanya lokal saja, tapi juga menyediakan gadis-gadis asal Mandarin, Filipina bahkan Thailand, sementara di hotel LM, semuanya adalah lokal. Dari segi tarif pun berbeda jauh. Untuk sekali kencan seks di hotel Flamboyan bisa menghabiskan uang sekitar Rp 1-3 juta, sementara di hotel LM hanya butuh Rp 350 ribu untuk transaksi short time.
"Tempat dan fasilitas menjadi faktor penting yang membuat harga jadi beda. Padahal, ujungnya sama saja; seks juga kan," kata Dimas yang mulai diserang kantuk karena kekenyangan; mungkin lahir dan batin. 


 
EPILOG (TANPA PENGHABISAN):
NEVER ENDING STORY?
APA yang terlintas di benak saya ketika merampungkan buku Jakarta Undercover 2 (Karnaval Malam)? Scbuah pernyataan (atau lebih pasnya: pertanyaan) yang keluar dengan desahan kecil. "Persoalan scks sepertinya tak akan ada habisnya untuk dibicarakan."
Itulah potret scsungguhnya. Maka, epilog ini  memang tak akan pernah ada "kata penghabisan".
Karena cerita yang meuyangkut persoalan scks dan seksualitas juga tak akan ada habisnya, Di setiap entakan nafas dan di setiap kelipan lampu, cerila seks selalu berulang-ulang.
Dalam bahasa yang agak puitis, saya mengibaratkan kehidupan seks yang tcrjadi di Jakarta tak ubahnya seperti: "scbuah lingkaran setan yang mata rantainya tak ada putus-putusnya". Makanya istilah "never ending story" mungkin cukup mewakili.
Karena ceritanya yang tak ada ujungnya itu jua lab, kalau diminta memberikan satu solusi, barangkali saya memilih untuk menyoroti para pelakon malam yang lebili banyak menggunakan logika kelamin sehingga me-"nomorduakan" kaidah "safe sex".
Di kafe Aphrodite, di bilangan Kuningan, Oktober 2003 lalu, saya pernah berbincang santai dengan Baby Jim Aditya—seorang aktivis di PAR+ISAN (Partisipasi Kemanusiaan) yang sudah bertahun-tahun berkecimpung menangani HIV/AIDS—soal pemakaian kata "free sex" dan "safe sex". Baby lebih cenderung menggunakan istilah "safe sex" daripada "free sex". Menurut Baby, "free sex" tidak akan berdampak apa-apa kalau dilakukan dengan "safe".
Makanya, biar tidak berbuah penyakit kelamin apalagi terjangkit HIV atau AIDS, paling tidak para pelakon malam, entah pria atau wanita, pertama mesti puasa seks dan kedua, saling setia dengan satu pasangan. Ketiga, bagi mereka yang belum bisa menghilangkan gaya hidup "free sex"- nya, ya mesti menggunakan kondom secara benar dan terus menerus. Ujung-ujungnya, kunci keselamatan memang berakhir pada kata "sale sex".
Makanya, bagi saya tagline dicover belakang yang berbunyi: "SEKS BEBAS DAPAT MENYEBABKAN PENYAKIT KELAMIN, HIV, AIDS DAN GANGGUAN KEJIWAAN. WASPADALAH!!! GUNAKAN AKAL SEHAT DAN KONDOM SELALU", sebenarnya adalah sebuah seruan untuk bersamasama mawas diri menjaga kesehatan tanpa kenal lelah, meskipun ada godaan kenikmatan yang setiap saat mengintip di jendela kamar. 
Bisa dibayangkan betapa menderitanya kalau seseorang terjangkit virus HIV yang membutuhkan waktu sekitar 5-10 tahun hingga mencapai masa yang disebut fullblown AIDS. Alangkah mahalnya "biaya" (waktu, tenaga, materi, dsb) yang mesti dipikul. Kenikmatan yang mungkin tak sampai 5-10 menit ketika seseorang mengalami orgasme itu, harus dibayar dengan penderitaan selama puluhan tahun. "Safe sex", selalu ya!!!
Hanya sebaris kata pendek itu yang bisa saya sampaikan untuk mengakhiri epilog tanpa kata penghabisan ini. CU (baca = see u) & JUC ( baca -j, u see).
Sampai bertemu kembali dengan buku-buku saya berikutnya:
JAKARTA UNDERCOVER jilid 3
BANDUNG UNDERCOVER
dan SURABAYA UNDERCOVER.
Terima kasih.

1 komentar:

  1. Halo,
    Apakah Anda secara finansial turun? mendapatkan pinjaman sekarang dan bisnis Anda menghidupkan kembali, Kami adalah pemberi pinjaman dapat diandalkan dan kami memulai program pinjaman ini untuk memberantas kemiskinan dan menciptakan kesempatan bagi yang kurang istimewa untuk memungkinkan mereka membangun sendiri dan menghidupkan kembali bisnis mereka tahun baru ini. Untuk informasi lebih lanjut, Anda dapat menghubungi kami melalui email: (gloryloanfirm@gmail.com). mengisi formulir Informasi Debitur berikut:

    Nama lengkap: _______________
    Negara: __________________
    Sex: ______________________
    Umur: ______________________
    Jumlah Pinjaman Dibutuhkan: _______
    Durasi Pinjaman: ____________
    Tujuan pinjaman: _____________
    Nomor ponsel: ________

    silahkan mengajukan permohonan perusahaan yang sah.

    BalasHapus