Jumat, 19 Juli 2013

Sex & City; Jakarta Under Cover : I (Bag 22 s/d 24, epilog )


22
Weekend Party
Janda-janda Tajir
Janda-janda kaya menggelar pesta di akhir pekan atau akhir bulan. Sekedar merayakan ulang tahun, arisan sampaifoya-foya. Ujung-ujungnya, berakhir menjadi pesta memabukkan. Tidak saja oleh ragam minuman beralkohol, tapijuga perilaku masygul.
Lembaran Jakarta mengukir cerita yang amat beragam. Kehidupan duniawi yang serba metropolis dan kosmopolit tak ubahnya seperti anggur manis yang menggiurkan dan siapapun tergoda untuk mereguknya. Tapi banyak yang terlena, hingga mabuk dan larut lupa diri.
Anggur itu pun berubah menjadi racun yang memabukkan. Tak ayal, racun itupun terus deras mengalir ke urat nadi membuat beberapa wanita harus berstatus janda. Harta kekayan yang melimpah, ternyata tak menjadi I jaminan seorang wanita bisa mereguk kebahagiaan sejati. Rumah tangga retak, adalah hal biasa yang seolah menjadi agenda rutin. Harta kekayaan sebenarnya menjadi anggur manis yang enak dan lezat, asal tahu batasannya. Rumah tangga ibarat surga dunia buat pasangan suami istri ketika dibangun di atas pondasi kasih sa-yang tanpa pamrih. Tapi apa lacur, banyak orang mereguk anggur tak tahu kadarnya hingga lupa daratan. Harta kekayaan menjadi berhala yang memperbudak diri, dan rumah tangga cerai-berai tanpa makna yang tersisa. Akibatnya, ketika semua terbuang lepas, status janda membuat beberapa wanita kaya hidup dalam kegamangan. Paling tidak, itulah yang dialami Shinta, 27 tahun, janda seorang pengusaha kafe yang be- kerja di sebuah perusahaan tambang dan Monica, 29 tahun, janda anak mantan wali kota satu di salah satu wilayah DKI Jakarta. Mereka yang dalam hal materi serba kecukupan bahkan boleh dibilang berlebih, harus hidup dalam canda tawa semu. Hambar dan basi. Gaya hidup kafe, hurahura dan senang-senang seperti menjadi hiasan luar. Di dalam batin, mereka menjerit di alam kesepian.
 0 0 0
Pesta Amburadul.
Sebagai janda, mereka punya komunitas tersendiri. Hampir tiap malam, mereka kerap mankir di kafe ZB, di kawasan Blok M, Jakarta Selatan. Mereka reserved tempat yang muat untuk 10-20 orang. Yang datang tidak melulu wanita, tapi beberapa diantaranya pria berumur.
Mereka termasuk tamu eksklusif. Para awak kafe menjadikan mereka tamu istimewa. Sebagai costumer, mereka  termasuk katagori kelompok yang spendmoneydalam jumlah besar. Di kafe ZB itulah, kami mengenal Shinta dan Monica. Keduanya tampak supel, ramah dan enak diajak bicara.
Biasanya, Shinta, Monica dan beberapa gank-nya, sering melewatkan jam-jam sore dengan mangkal di kafe-kafe mal seperti yang terdapat di Plaza Senayan. Kalau tidak  begitu, mereka sering menghabiskan waktu dengan bersantai di salon kecantikan. Ya,apalagi kalau tidak untuk ngrumpi tentang segala persoalan sambil merawat diri. Selain itu, mereka juga punya gang arisan bulanan yang diselenggarakan dari kafe ke kafe. Kalau tidak begitu, diadakan di rumah pribadi.
Dari salah satu kelompok janda tersebut kami mengenal dengan baik satu di antaranya, sebut saja Shinta. Dan dalam satu kesempatan di bulan Desember 2001, kami tak menolak ketika Shinta meminta kami untuk mengabadikan pesta ulang tahun Monica yang ke-29. Pesta itu digelar di ballroom sebuah hotel berbintang empat, sebut saja hotel GH, di kawasan Jakarta Selatan. Hotel tersebut berada di sebuah kawasan yang di sekelilingnya dijejali aneka restoran yang menjual aneka masakan. Dari yang khas Indonesia sampai mancanegara. Tak jauh dari hotel GH terdapat sebuah plaza yang pada tahun 1996 pernah jadi arena lokasi mejeng sejumlah anak-anak gaul Jakarta, sebelum mereka pindah ke Mal Pondok Indah dan Plaza Senayan.
 Pada hari yang ditentukan, kami datang ke lokasi. Jam baru menunjuk pukul 19.25 WIB. Dalam undangan disebutkan, pesta baru akan dimulai pada pukul 21.00 WIB. Kami memutuskan untuk melihat-lihat suasana ball-room. Letaknya berada di lantai dua. Para awak hotel sibuk men-desain  ruangan. Bunga-bunga beraroma harum, meja makan dan bar mini. Ball-rom seluas dua kali lapangan bola voli itu nyaris kering. Yang tampak hanya hamparan permadani warna­warni dengan bias lampu warna kuning keemasan. Lewat setengah jam kemudian, Monica, yang punya hajatan, datang ditemani beberapa karibnya. Tampak Shinta berjalan di samping. Malam itu, ia mengenakan gaun panjang warna ungu dengan belahan V, sementara Shinta membalut tubuh rampingnya dengan sack-dress hitam selutut. Kaki belalangnya menjadi daya tarik tersendiri bagi mata lelaki. Di leher Monica dan Shinta menggelantung untaian kalung mutiara. Tamu-tamu mulai berdatangan. Di meja tamu, dua gadis dengan senyum ramah mempersilakan tamu untuk masuk. Di pintu masuk, Monica dan Shinta me-nyambut kedatangan teman-temannya dengan kecupan di pipi kanan dan kiri. Malam itu, mayoritas tamu yang datang wanita berusia di atas 25 tahun. Semua mengenakan busana pesta yang serba 'wah' dan glamour. Tak heranlah kalau tamu Monica dan Shinta, kebanyakan wanita berduit. Monica sendiri membuka usaha bisnis garmen dan butik merek terkenal dari luar negeri. Sebelum menjanda, Monica bersuamikan seorang pengusaha minyak. Sedangkan Shinta menjadi direktur di sebuah perusahaan tambang. Hebat juga. Rupanya, sebelum cerai, suaminya termasuk keluarga pejabat teras di masa Orde Baru. Dari suaminya, Shinta dikaruniai dua orang putra, masing­masing berusia 16 dan 19 tahun. Monica sendiri mendapatkan satu putra baru berumur 4 tahun dari perkawinan pertama. Menjelang pukul 21.00 WIB, tamu-tamu mulai memenuhi ruangan ball­room. Pesta digelar ala standing-party. Puluhan wanita yang jumlahnya mencapai 40 orang berbaur jadi satu dalam suasana riuh penuh canda. Sekitar 25 pria yang datang, membuat kelompok tersendiri. Pria-pria itu kebanyakan sudah berumur. Di antara kerumunan tamu itu tampak beberapa selebritis papan atas. Ada penyanyi muda yang sedang naik daun, sebut saja SN dan seorang aktor sinetron yang punya wajah ganteng dan menjadi idola wanita, sebut saja JT. Pintu ball-room ditutup. Awal acara dibuka dengan makan dan minum. Bar mini yang dijaga dua staf hotel, tampak sibuk membuat beragam racikan minuman beralkohol. Di sela-sela makan-minum, seorang MC terkenal yang kerap mengisi sebuah acara di satu salah tv swasta, sebut saja Antoni, muncul di kerumunan tamu. Anton memanggil beberapa wet-dancers pria-wanita yang hanya mengenakan Gstring tipis. Mereka menari selama kurang lebih 45 menit dengan liukan-liukan maut dan menggoda. Tepuk tangan riuh mengiringi aksi para penari. Beberapa pria yang berdiri di deretan depan, sesekali menebar tawa genit dan menggoda. Ada juga yang nekad menirukan tarian tanpa malu-malu. Begitu juga dengan para wanita. Dari tamu wanita yang datang, beberapa diantarnya ikut bergoyang tak kalah gesit.

 Acara dilanjutkan dengan munculnya SN yang melantunkan tiga tembang cinta. SN sendiri, menurut Shinta, merupakan kawan dekat Monica. Di blantika musik na-  sional, namanya mulai berkibar belakangan terakhir. la khusus diundang Monica untuk memberikan kado ultah berupa 'lagu'. Pemotongan kue ulang tahun dilakukan pada pukul 23.00 WIB. Kue pertama diserahkan Monica pada seorang pria bernama, Joseph, 33 tahun. Kami tak begitu mengenalnya laki-laki itu. "Cium dong. Masak dianggurin!"  Beberapa teman Monica berteriak menggoda Monica. Rupanya, teriakan itu membuat Monica tak segan-segan mencium si Boy cukup lama. Pria berwajah cukup tampan namun sedikit gemuk itu, mau tak mau melayani ciuman Monica, hangat. Tepuk tangan bergemuruh di ruangan ball-room "Joseph lagi dekat sama Monica. Baru dua bulan," tukas Shinta menjelaskan kepada kami. Pesta malam itu berlanjut dengan acara disco-time. Lagu-lagu R&B, Acid Jazz bahkan garage membahana lumayan keras. Kali ini, puluhan tamu benar-benar menikmati suguhan minuman yang ada. Denting gelas bercampur hiruk pikuk musik dan canda tawa mewarnai pesta yang terus berjalan mengiringi malam.
Perilaku X.
Makin malam, pesta itu makin meriah dan menjadi-jadi. Beberapa tamu undangan diantaranya IK dan DA pamitan pulang. Begitu juga dengan tamu­tamu lain. Jam sudah menunjuk pukul 01.00 WIB dini hari. Di ruangan ball­room itu tinggal tersisa sekitar 25 orang. Kebanyakan dari mereka adalah temanteman dekat Monica dan Shinta. Kami diperkenalkan dengan tiga wanita yang menjadi "gank"seperjalanan.
"Ini Marcela, Jeny, dan Joice. Kita ini sama lho, golongan janda-janda kembang," tukas Shinta blak-blakan tanpa beban.
Kelima wanita berstatus janda itu polahnya makin berani. Aroma alkohol menebar tiap kali mereka tertawa lepas. Genit, centil dan cuek. Mereka benar­benar bertingkah layaknya anak-anak muda yang doyan 'gaul' di malam hari. Padahal, dari sisi umur, mereka sudah tak lagi muda. Marcela berusia 26 tahun dikaruniai dua putra. Jeny sudah berkepala tiga dan dikaruniai tiga putra. Sedangkan Joice yang relatif lebih muda, 25 tahun, baru enam bulan menjanda dan belum berputra.
Ketiganya termasuk pejalan malam. Hampir di semua kafe elit di Jakarta mereka tercatat sebagai member-guest. Para awak kafe sudah hapal dengan mereka. Tiap kali datang ke suatu acara, mereka selalu membawa pengawal. Kabarnya, ketiganya menjadi istri simpanan pria-pria keturunan yang berduit.
Mereka mulai menyatu dengan beberapa pria yang hadir. JT, aktor sinetron yang memiliki wajah ganteng dan badan kekar, menjadi pusat perhatian para wanita yang hadir malam itu. Kelompok Monica Cs, termasuk yang paling getol membikin polah aneh-aneh supaya JT tertarik. Yang paling getol adalah Shinta dan Joice.
Dengan tanpa malu-malu, keduanya menempel JT. Berulang kali, mereka mengajak JT berdansa, toast dan berpose bersama. Dasar JT dikenal sebagai actor mata keranjang, ajakan itu tak pernah ditolaknya. Pada satu kesempatan ia berada dalam pelukan Shinta, di lain waktu ia sudah pindah ke Joice dan Jeny. Begitu seterusnya. Di sudut lain, beberapa pasangan tampak asyik bersuka ria. Monica dan Joseph yang sama-sama mabuk, berpelukan erat meski lagu yang melantun terdengar berirama 'garage'. Di sudut lain, beberapa wanita tertawa lepas. Marcela yang berada di tengah-tengah mereka, menjadi leader yang membuat suasana makin panas. Mereka seolah tiada henti toast bersama. Dua pria yang ada diantara kerumunan para wanita itu di'plonco' habis-habisan. Bayangkan, dua pria yang sudah mabuk itu berulang kali disuguhi tontonan wanita yang dengan genit menanggalkan bajunya separoh badan. Marcela sendiri dengan cueknya menanggalkan gaun malamnya hingga yang tampak sepasang bra tipis. Lantaran pesta malam itu didominasi para wanita, beberapa pria yang jumlah-nya sekitar delapan orang itu nyaris menjadi bulan-bulanan Monica Cs. Klimaks pesta malam itu diakhiri dengan acara pose bersama dengan gaya 'panas'. Dalam keadaan setengah sadar, mereka tanpa malu-malu lagi difoto seksi. Marcela, Joice dan Shinta misalnya, begitu berani mempertontonkan bagian-bagian sex-appeal yang terbungkus gaun pesta. Sesekali diiringi teriakan histeris yang memekakkan telinga. Beberapa petugas hotel yang berjaga, hanya bisa geleng-geleng kepala. Mereka hanya bisa ikut tertawa menyaksikan polah tingkah yang berani itu. Beberapa tamu yang masih malu untuk bergabung, memilih diam sambil asyik dengan gelas minuman sambil sesekali mengacungkan gelas sebagai tanda support.
Strip Dancers.
Menjelang pukul 03.00 WIB dini hari, pesta bubar. Yang tersisatinggal Monica and the gank dengan JT, Joseph dan dua pria karib Shinta dan Jeny. Usai pesta, mereka tak langsung pulang. Dalam keadaan mabuk, mereka ramai-ramai menuju lobi. Di tempat itulah mereka membuat kesepakatan untuk melanjut-kan pesta di pub-karaoke di NS di bilangan Thamrin. Tempatnya masih tergolong baru karena baru sekitar 1 tahun beroperasi.
"Aku sudah reserved tempat. Kita pesta sampai pagi," tandas Monica yang bersandar di bahu Joseph.
Satu per satu mobil jemputan mereka datang. Hampir semua mobil bermerek mewah. Monica mengendarai BMW seri 5 warna biru donker bersama si Boy. Shinta dijemput mobil Mercedez E 230. Marcela, Joice dan Jeny berada dalam satu mobil Caravel, sementara JT dan dua pria lain masing-masing mengendarai Cheeroke dan Volvo 960.
Perjalanan menuju NS memakan waktu sekitar setengah jam. Monica rupanya  membooking ruangan VIP. Ruangan itu terletak di lantai dua. Lokasinya tak jauh dengan ruangan bola biliard khusus No Smooking Area.Dua pelayan menyambut kami dan langsung menyodorkan menumenu spesial. Ruangan VIP itu dikelilingi kaca dan ditutup dengan kelambu tebal. Tiga botol white wine,sebotol Chivas Regal dan Jack Daniels langsung dipesan Joseph.
Monica Cs masing-masing order Margarita,BV2, Long Island dan Calua CreamDi ruangan VIP seluas 10 X 10 meter persegi itu tertata rapi sofa warna pinkdengan dua meja. Di depannya terdapat sebuah televisi 29 inci. Monica Cs yang dalam keadaan 'tipsy' (baca=setengah sadar)  secara acak mulai memilih lagu-lagu fave. Dengan suara sumbang, mereka satu per satu berganti menyanyi sambil me-nenggak beragam minuman beralkohol yang tersedia. Kami masih berada di dalam untuk mengabadikan mereka tengah karaoke bersama. Setengah jam berlalu, kami memutuskan untuk keluar ruangan. Kami segan lantaran takut mengganggu privacy mereka. Kami akhirnya bergabung dengan beberapa pelayan yang berjaga di depan pintu. Dari balik kelambu yang tersingkap, kami bisa melihat ke dalam. Suasana ruang VIP berubah menjadi ajang adu gelas dan canda tawa lepas. Monica ternyata telah memesan beberapa penari untuk memanaskan suasana. Monica memesan penari itu langsung dari pelayan yang berjaga. Rupanya, untuk pelayanan khusus ini tak perlu rahasia-rahasia. Pelayan biasanya akan menawar-kan dua paket; paket wanita peneman bernyanyi dan penari striptis. Tiga pasangan penari cewek-cowok muncul dengan busana seksi. Tanpa basabasi lagi, mereka mulai mempertontonkan liukan-liukan panas. Yang terjadi kemu-dian, Monica Cs makin histeris berteriak. Aroma alkohol bercampur dengan dengus nafas penuh nafsu. Bisa dibayangkan situasi yang tercipta.
 Enam pasang penari pria-wanita melepasbaju satu per satu. Sementara Monica Csyang dalam keadaan mabuk, bersorakhisteris. Tiga wanita sesekali mendekatkan badannya pada Joseph dan JT, sementara tiga penari pria memutar badan menggoda Monica, Marcela, Jeny dan Shinta. Tidak hanya itu saja, sesekali mereka mendudukkan diri di pangkuan. Mulut siapa yang tak tersedak, ketika jemari tiga penari wanita itu mulai melepas baju Joseph dan JT. Melihat pemandangan itu, Monica Cs bukannya cemburu tapi malah bersorak memberi semangat. "Telanjangin saja, Mbak," teriak Shinta. Dan benar saja, meski berulang kali mengelak, Joseph dan JT akhirnya pasrah. Mereka mendekatkan mulut ke telinga Joseph dan JT. Dari balik saku, Joseph dan JT mengeluarkan lembaran ratusan ribuan. Rupanya, mereka seperti biasanya meminta tips dengan merayu semesra dan segenit mungkin. Begitu tips diterima, mereka  kembali beraksi. Kali ini lebih berani dan makin gila. Monica Cs tak kalah repotnya. Tiga penari pria itu melakukan hal yang sama. Dalam keadaan, maaf, telanjang, mereka membuat Monica Cs sampai lari-lari. Ketika salah seorang penari pria mendudukkan diri di pangkuan Marcela, wanita cantik itu menjerit sambil tertawatawa kegelian. Pesta gila bersama pasangan penari striptis itu berlangsung hingga dini hari.
Rombongan Monica kembali ke hotel HG. Rupanya, Monica sudah memboking empat kamar. Pesta yang digelar Monica Cs itu, ternyata tidak hanya sekali dua kali terjadi.  Dalam sebulan, mereka biasa membuat pesta-pesta tertentu. Pada awalnya, pesta itu sengaja dibuat sebagai ajang arisan bulanan. Namun, kebiasaan itu berlanjut terusmenerus dan menjadi tradisi. Tiap salah seorang "gank" berulang tahun atau lagi mendapat rezeki nomplok, pasti tak lepas dari pesta. Bisa seminggu sekali, atau minimal satu bulan sekali.

 0 0 0
Problema.
Untuk apa sebenarnya gaya hidup yang serba bergelimang gemerlap pesta dan hura-hura tersebut, itu satu pertanyaan ang mungkin tak mudah dijawab. Dalam satu kesempatan, kami diminta Shinta mengabadikan resepsi pernikahan
putrinya di sebuah komplek mewah di kawasan Pasar Minggu. Kami sempat terkejut lantaran putrinya belum juga tamat dari SMU. Kami lebih terkejut lagi ketika mendapatkan kenyataan kalau putrinya telah hamil enam bulan. Pengan-tin prianya pun tampak belia. Hanya satu kesimpulan, pasangan itu menikah ala MBA alias Married By Accident.
Hadir dalam pesta itu beberapa selebritis Jakarta dan kalangan pejabat. Mereka yang diundang adalah teman-teman "terbaik" Shinta, baik dalam bergaul maupun bisnis. Ex-suaminya sendiri juga mengundang beberapa teman dekat dan rekan kerja. Pesta perkawinan dengan adat Jawa itu berlangsung selama dua hari, dua malam.
Usai pesta, Shinta bersama gank-ny& seperti Monica, Jeny, Marcela dan Joice terlihat duduk bergerombol bertukar cerita di teras depan. 
Meski hidup serba bergelimang harta dan kemewahan, Shinta tak bisa memung-kiri kalau hidupnya kesepian. Air matanya tak kuasa ia tahan ketika melihat putrinya bersanding di pelaminan. Keharuan itu makin terasa lantaran Shinta kembali bersanding di kursi pelaminan dengan exsuami ang memberinya dua putra. 
Betapa hidup Shinta begitu penuh dilema. Rumah tangganya dengan pria sebut saja Dimas, 46 tahun, harus putus di tengah jalan. Dimas cukup punya nama di lingkungan pengusaha kafe di Jakarta. Ia adalah adik kandung seorang konglomerat pribumi. Setelah perceraian itu, Shinta tinggal dengan dua putranya di kawasan Pondok Indah. Sepeninggal Dimas, Shinta kembali bekerja sebagai salah satu direktur di PT ABT, sebuah perusahaan tambang. Di samping itu, ia juga membuka bisnis catering dan restoran. Hampir 9 tahun ia hidup menjanda. Untuk membunuh sepi, ia sering menghabiskan waktu di kafe-kafe.
Dari situlah ia mengenal Monica, Joice, Jeny dan Marcela. Mereka sama­sama berstatus "janda". Pertemuan itu berlanjut menjadi ikatan pertemanan yang kuat. Mereka samasama hidup dengan persoalan serupa. Dari hari ke hari, mereka selalu menyempatkan diri untuk berkumpul.
Sekedar fitness, arisan, nongkrong di kafe atau salon, les dansa sampai membuat pestapesta gila. Shinta mengaku, ia seperti hidup di alam semu. Ia tidak punya pijakan tetap harus melangkah ke mana. Satu-satunya cara untuk membunuh rasa sepi-nya adalah mengikuti gemerlap Jakarta yang sarat akan hura-hura dan pesta. 
"Mau apa lagi. Dari pada di rumah kesepian terus menerus," ujarnya.
Begitu juga dengan Monica. Hanya bedanya, janda cantik itu kini relatif lebih bahagia karena ada Joseph yang menjadi "tumpuan"nya. Meski statusnya hanya istri simpanan, Monica tak merasa rugi karena ia diberi kebebasan untuk beraktifitas. Dengan terus terang ia mengaku, kecewa akibat rumah tangga yang porak poranda, membuatnya ingin balas dendam. Dulu, ia begitu setia mendampingi suami. Tapi, yang didapatnya adalah satu lembaran buram kalau suaminya tukang main perempuan. Kekecewaan itu membuat hidupnya berubah 180 derajat. Pertemuannya dengan beberapa wanita senasib seperti Shinta, membuatnya seperti menemukan pijakan baru untuk mensahkan apa yang mereka lakukan. Gaya hidup pesta baginya bukan satu kekeliruan karena paling tidak di celah itulah ia dapat menemukan kenikmatan hidup meski sesamar atau sesemu apapun. Bagi Monica, minimal, kebuntuannya dalam memaknai hidup bisa ia reguk. Baginya tidak salah kalau ada orang yang gaya hidupnya serba glamour dan borjuis. Di Jakarta budaya hidup seperti itu sudah bukan perilaku miliknya dan kawankawan, tapi banyak orang sudah melakoni dan larut. Contoh paling sederhana gaya hidup sebagian eksekutif muda. Nongkrong di kafe sampai mabuk, menikmati sajian tarian striptis sampai pesta shabushabu sudah menjadi bagian dari kehidupan sehari-hari. Ia bersama kelompoknya memang doyan pesta, tapi mereka bukan penikmat obat-obat terlarang seperti shabu-shabu yang lagi menjadi trend. "Minum memang kami lakukan, tapi ngedrug bukan kebiasaan kami," sergahnya. Kalau sekali waktu mereka kedapatan memakai kokain misalnya, itu hanya sekadar coba-coba. "Sekali dua kali, kami pernah mencoba. Tapi kami bukan pemakai yang sakaw,"sergahnya. Sungguh simpel prinsip yang dianut  Monica dan Shinta. Bagi mereka, apa yang bisa mereka nikmati saat ini, tinggal menikmati saja. Mereka tidak terlalu pusing dengan beragam rumor negatif yang kerap berdesis memerahkan telinga. "Bodo amat omongan orang. Kita hidup punya jalan masing-masing," tegasnya.
Status janda memang tidak begitu mereka pikirkan masak-masak. Mereka tipikal orang yang easy come easy go. Namun bagi Monica dan Shinta, ada perasaan khawatir lantaran keduanya telah mempunyai putra yang mulai menginjak dewasa. Pikiran untuk mengakhiri masa jandanya sempat juga melintas di benak mereka. Bahkan, telah ada beberapa pria yang mengajak mereka untuk menikah. Tapi, mereka belum juga tergerak untuk menerimanya. Mereka lebih suka menjadi wanita bebas. "Entah sampai kapan, aku sendiri nggak tahu," tandas Shinta. Sebagai wanita, Monica dan Shinta samasama memiliki wajah cantik. Penam-pilan mereka makin lengkap ditopang dengan busana-busana trendy dan tentu saja bermerek. Dalam hal berpakaian, mereka termasuk kelompok yang mengikuti trend masa kini. Jadi, tak mengherankan kalau  sekali waktu kami menemukan mereka mengenakan busana selera anak muda. Misalnya saja, pada satu kesem-patan di mana kami diminta mengabadikan pesta ulang tahun ke-10 putri Jeny yang diadakan di kafe ZB. Pemandangan yang kami dapati sungguh kontras. Mereka memakai baju model ABG di tengah kerumunan anakanak usia belia. Tanpa terasa, malam telah datang.
Monica, Shinta, Jeny, Marcela dan Joice masih saja duduk semeja di teras rumah Shinta sembari menikmati sisa hidangan pernikahan. Entah sudah berapa puntung rokok tergeletak di asbak. Kami melihat, asap rokok tak pernah lepas dari mulut mereka selama percakapan berlangsung. "Jangan lupa besok sore kita les dansa. Malamnya kita lanjut ke kafe NZ," ujar Marcela mengingatkan. Jeny, Marcela dan Joice berpamitan lebih dulu. Baru kemudian  Monica menyusul. Rupanya, agenda les dansa yang kemudian berlanjut nongkrong ke kafe itu sudah menjadi rutinitas. Selama percakapan, Shinta tak memungkiri kalau aktifitas itu ia lakukan untuk mengisi hari-harinya yang sepi. Katanya, dengan beraktifitas paling tidak ia bisa melupakan segala keluh kesah dan penderitaan yang dialaminya. Apa iya??? Semua memang masih tanda tanya besar!.[] 

 
23
Nude Ladies
Nite VIP Casino
Kasino mezvah dengan gadis-gadis cantik. Pengunjungnya pria-pria public figure, dari pengusaha kelas kakap sampai kalangan pejabat. Wanitanya, tidak saja menjadi pendamping bermain judi tapi di ruang VIP mereka melayani tamu dengan menanggalkan baju alias telanjang!
Kasino sudah lama menghias Jakarta.Pusat di mana orang mengadu untung itu, di metropolitan Jakarta sudah bukan komoditas baru lagi. Jumlahnya membludak dan tersebar dimana-mana. Kalau
kini judi pinggiran jalan marak permainan judi Pakong, Togel, Singapura dan seabrek jenis lainnya, maka di pusat Jakarta, tepatnya di kawasan Mangga Dua, sebuah arena perjudian berkelas menjadi "primadona" para pria yang doyan bermain-main dengan "uang". Sebut saja namanya NS. Di sini, bayangan Las Vegas sebagai pusat judi dunia bisa tergambar jelas. Judi, wanita telanjang dan gemerlap hiburan malam. Awalnya hanya informasi samar-samar.
Maklum, di kawasan sentral hiburan Jakarta itu arena perjudian jumlahnya puluhan, bahkan ratusan. Ihwal VIP Kasino dengan Indies night no dress itu kami dapat dari perkenalan kami dengan tiga orang gadis yang biasa menemani tamu berjudi di NS. Sebut saja Jeny (20), Dina (22) dan Lusy (22). Ketiga gadis itu kami kenal dalam sebuah castingsinetron dua bulan silam.
Perkenalan singkat itu berlanjut ke meja dinner, seminggu berikutnya. Rupanya, ketiga gadis itu lumayan berhasil sebagai pemeran figuran untuk beberapa judul sinetron. Malah, Jeny banyak ditawari sebagai pemeran pembantu utama. Hanya, kata Jeny, ia belum berani menerima peran itu lantaran ia lebih suka menggeluti dunia lain.
"Iseng-iseng saja main sinetron. Habis, kalau nonton sinetron, pengen juga bisa berakting," sergah Lusy yang berambut lurus sebahu. Usai dinner,perkenalan kami dengan tiga gadis sekarib itu makin akrab. Beberapa hari kemudian, mereka mengundang kami mampir ke apartemen. Undangan itu tidak kami tolak. Pada beberapa kesempatan, kami meluangkan waktu untuk mampir. Ya, sekadar say hellodengan mereka. Dalam beberapa kali percakapan, kami akhirnya tahu banyak dengan dunia Jeny, Dina dan Lusy. Mereka tinggal di sebuah apartemen 18 lantai di bilangan Hayam Wuruk, tak jauh dari sebuah diskotek, SD, yang buka 24 jam. Tempatnya ekslusif, mew ah dan nyaman.  Meski luas kamarnya hanya sekitar 8X8 meter persegi, namun apartemen itu terkesan mewah dan nyaman. Dilengkapi layanan layaknya sebuah hotel. Penjaga keamanan yang stand-by24 jam, AC, parabola, binatu, telepon selular dan para pembantu rumah tangga.  Singkat cerita, dari empat kali kami singgah, gambaran dunia ketiga gadis itu makin jelas. Ternyata, ketiga gadis itu seharihari bekerja sebagai "wanita malam". Menariknya, sebutan wanita malam bagi ketiga gadis itu tidak seperti wanita-wanita malam kebanyakan yang konotasinya tak lain ya pekerja seks komersial. Bagi Jeny, Dina dan Lusy, profesi wanita malam yang dilakoni sehari-hari lebih banyak berkecimpung dari karaoke, arena casino dan diskotek. Aktivitas itu praktis mereka jalan pada malam hari hingga dini. Kala siang, mereka lebih banyak menghabiskan waktu di kamar. Sekadar menonton acara telivisi, mengobrol dengan tetangga kamar atau terlelap dibuai mimpi.
Selama mengikuti pergaulan mereka, banyak cerita menarik yang tercerabut, terutama dari profesi yang mereka lakoni. Meskipun kerap diboking lelaki, tapi tidak melulu menjurus pada hubungan seks. Menurut penuturan Lusy, biasanya ia hanya menemani pria­pria di karaoke atau diskotek. "Paling-paling diajak nyanyi bareng. Kalau di diskotek ya menemani mereka dansa dan triping," akunya. Hal senada juga diungkapkan Jeny dan Dina. Menurut penuturan mereka berdua, pria-pria yang mereka temani kebanyakan hanya butuh teman di karaoke atau diskotek.  Meski tanpa hubungan seks, uang yang mereka keruk tak kalah banyak. "Orang kan mikirnya kalau kita diboking pasti urusan ranjang. Padahal tidak begitu. Biar tanpa hubungan seks,  mereka ngasih tips-nya gede-gede. Saya pernah dapat sampai US$ 2000 semalam," tukas Jeny. Dari mereka jualah kami mendapat informasi ihwal kasino mewah yang kerap dijadikan para big-boss dan pejabat bermain judi. Ketiganya termasuk "ladies night"yang kerap menemani pria-pria berduit untuk berjudi.

Nude Girls.

Ceritanya berawal ketika kami tengah mampir di kamar Jeny  pada suatu malam. Jam baru saja me-nunjuk pukul 22.00 WIB. Kami asyik mengobrol dengan Jeny. Dina dan Lusy yang letak kamar bersebelahan dengan Jeny ikut
Sex & City; Jakarta Under Cover : I nimbrung. Seperti biasa, obrolan kami tak jauh dari soal lelaki. Lagu-lagu pop nasional seperti Satu Jam Saja-nya Audi, Cinta-nya Paramitha Rusady dan tembang Jennifer Lopez menjadi pengiring selama kami ngobrol. Mereka satu per satu bercerita soal pria idaman. Jeny yang pernah menjalin cinta dengan seorang pemuda di kampung asalnya, Semarang, namun akhirnya kandas lantaran orang tuanya tidak setuju.
Sementara Dina bercerita soal aktor idamannya yang sekarang tengah menjadi pujaan para gadis, Adjie Massaid. Dan Lusy mengeluh soal "pacar"nya yang jarang mengajaknya kencan lantaran tengah asyik dengan istri baru yang lebih cantik dan segar. Selama kurang lebih satu jam kami bertukar cerita. Percakapan kami terhenti ketika handphoneNokia terbaru milik Jeny berdering. "Diam dulu. Ada telepon masuk," pintanya. Kami diam sejenak. Dengan nada perlahan, Jeny mengangkat handphone. "Ada apa, Pi?" tanya Jeny. "Oh, bisa, Pi. Jam berapa ketemunya? lanjutnya. "Kita dandan dulu ya. Kira-kira setengah jam kita sampai," tandasnya. Usai menutup handphone,Jeny langsung menghampiri Dina dan Lusy.
"Papi bilang kita disuruh nemenin tamu main judi. Di tempat biasa. Bisa nggak?" tanya Jeny pada Dina dan Lusy. "Bisa aja. Gue ganti baju dan dandan sebentar ya," timpal Dina dan Lusy bersamaan. Kami hanya mendengarkan percakapan mereka. Kami masih asyik duduk di atas pembaringan Jeny.  "Gue mandi dulu ya. Kamu di sini saja. Nggak apa-apa kok," tukas Jeny pada kami sambil membuka pintu lemari mengambil sebuah handuk warna merah darah. Tak lama kemudian, dari kamar mandi terdengar bunyi gemericik air shower . Lima menit berlalu sudah. Kami menunggu sambil menonton peragaan busana-busana Armani di televisi. Dua menit kemudian, Jeny keluar dari kamar mandi dan segera menghenyakkan pantatnya yang emoy di atas kasur, dekat kami. Usai membaluri tubuhnya dengan cream kulit dan menghias mukanya dengan make-up soft Jeny mengenakan gaun hitam panjang dan sepatu hak tinggi. Sambil membetulkan letak gaunnya, Jeny mengangkat telepon. "Mas, tolong siapkan mobil satu.
Atas nama Jeny kamar 505," pintanya. Jeny memandang dirinya di kaca cermin. "Kamu ikut aja ya. Udah pernah ke kasino belum? Yang ini tempatnya asyik banget, maklum tempatnya orang berduit. Ikut aja ya?" tawarnya. Kami hanya mengiyakan karena penasaran juga mendengar tawaran Jeny. Dari balik pintu, terdengar suara Dina dan Lusy. "Jen, udah siap belum. Kami menunggu di luar," teriak mereka. Kami menuruni dua tangga. Begitu tiba di halaman depan, sebuah Kijang sudah menanti. Kami segera menghambur masuk bergantian. Jeny, Dina dan Lusy di depan, kami di bangku belakang. Selama perjalanan, ketiga gadis itu banyak bercerita soal kasino NS yang ditujunya.
"Udah pernah ke sana belum? Tempatnya enak banget. Pokoknya ntar lihat  sendiri. Pasti suka," ujar Lusy ber-promosi. Kali ini, ketiga gadis itu diboking dua pengusaha WNI yang gemar bermain judi kasino di NS. Menurut ketiganya, NS terkenal sebagai kasino elite  yang ada di Jakarta. Untuk kelas biasa, pemain mesti membawa uang deposit minimal Rp. 1 juta untuk membeli chip.Sementara kelas VIP, deposit minimal Rp. 5 juta. "Kita sih nggak ikut main. Paling-paling kita minta dibeliin koin, entar dituker lagi. Lumayan kan duitnya. Itu belum termasuk uang tips," jelas Jeny kepada kami. Menurut Jeny, malam itu ia bersama dua rekannya akan menemani tiga "bos" keturunan WNI. "Kata Papi sih, perusahaannya banyak. Yang gue denger, yang bernama Pak Liong, punya pabrik rokok dan kertas," jelas Jeny. Selang lima belas menit, kami tiba di lokasi. Suasana lalu lintas di depan gedung NS tampak ramai. Ratusan mobil parkir rapi. Lalu lintas masih semarak dengan aneka macam mobil yang menderu di jalanan dengan lampu kekuningan.
Begitu memasuki area gedung, kami masuk lift dan memencet angka 4. "Tempatnya ada di lantai empat," tandas Lusy. Pada saat bersamaan, tiga lekaki bermata sipit ikut naik bersama kami. Semenit kemudian, kami keluar dari lift Dan benar saja, suasana gemerlap, hiruk pikuk dan gemuruh celoteh anak manusia menjadi pemandangan yang menyambut kedatangan kami. Jeny segera mengangkat handphone. Dari sebuah pintu masuk, tampak lelaki tersenyum pada ketiga gadis itu. "Yuk. Sudah ditunggu," ujar pria yang dipanggil Jeny dengan sebutan Papi. Dari balik sakunya, Papi mengeluarkan be-berapa puluh chip atau koin sebagai tanda masuk. Kami masing-masing dibekali beberapa chip oleh Jeny. Warnanya macam-macam, ada merah, biru, kuning dll. Masing-masing warna tersebut berbeda harganya kalau ditukarkan ke kasir. "Biar bisa masuk. Kalau mau adu nasib, mainin aja," tandasnya. Kami berpisah dengan Jeny di pintu masuk.
Setelah Jeny bersama Dina dan Lusy menghilang di kerumunan orang yang tengah bermain judi, kami berhenti sejenak. Di depan pintu masuk, beberapa petugas keamaan berbadan tegap tampak siaga. Kami pun tak lama kemudian menyusul masuk ke dalam. Kami teringat film God of Gambler dengan bintang Chou Yun Fa. Ya, kira-kira gambarannya tidak beda jauh. Hanya di NS ini lebih semarak karena meja tempat perjudiannya relatif tersebar di tiap sudut. Lampu-lampu menyala terang menyilaukan mata. Dinding semua serba kaca. Selama 20 menit kami berputar menyaksikan polah manusia yang mengadu untung di meja kasino. Di area ruangan tengah, kami melihat Jeny, Dina dan Lusy tampak duduk mendampingi ketiga pria bermata sipit di sebuah meja kasino. Jeny mengapit pria agak tambun berkacamata, sementara Dina dan Lusy mendamping dua pria berbadan sedang dengan busana rapi. Di dua kursi lain, tampak dua pria yang juga didampingi dua gadis tak kalah cantik. Ah, rupanya di meja itu tengah berlangsung permainan seru. Beberapa kali terdengar suara-suara parau, putus asa. Dari tempat kami berdiri, kira-kira 10 meter dari tempat Jeny Cs, kami melihat pria yang diapit Jeny tampak menyodorkan sepuluh chip. Dengan tersenyum, pria itu berbisik mesra ke telinga Jeny. Empat pria lain, melakukan hal yang sama.
Sinyal kemenangan membias jelas di wajah pria yang didampingi Jeny. Kartu terus dibagikan oleh seorang pemuda berpakaian rapi dan berdanan klimis. Dan benar saja! Pria "gebetan" Jeny itu bernasib mujur. Senyum lebar menghias di pipinya yang sedikit memerah. Dengan serta merta, tangan pria agak tambun itu mengeruk puluhan koin dengan senyum lebar. Sesaat kemudian, tangannya langsung saja memeluk erat tubuh Jeny dan mencium pipi sebelah kirinya berulang-ulang. Diperlakukan seperti itu, Jeny menggeliat manja tanpa penolakan. Sebuah senyum lebar kembali terkembang mengiringi malam yang terus merayap. Jeny, Dina dan Lusy dengan setia mendampingi "para bos" itu bermain judi. Layaknya seorang istri, gadis-gadis yang menghangatkan meja casino itu begitu setia dan penurut. Sambil terus mengamati keadaan sekeliling, kami tak lupa melirik gerak­gerik Jeny Cs. Entah berapa koin yang sudah disusupkan jari-jari pria itu ke bagian belahan dada Jeny Cs. Apalagi ketika kemenangan menjemput, puluhan koin dengan seenaknya ditaburkan ke dalam, maaf, belahan busana bagian dada. Diperlakukan seperti itu, baik Jeny, Dina dan Lusy menyambutnya dengan manja sembari tertawa-tawa genit menggoda. Selain meja kasino yang ditongkrongi Jeny Cs, di meja-meja lain tampak pemandangan serupa.
Sedikitnya ada puluhan meja kasino yang ditumpahi pria dan wanita yang tengah mengadu nasib. Jumlah pria memang lebih banyak, sementara wanitanya hanya beberapa orang saja. Tiba-tiba kami dikejutkan dengan kemunculan seorang pria berbadan tegap. "Heh, ngapain lu disini?" sapa pria itu mengagetkan kami. "Wah, lu Bert. Lu sendiri ngapain?" timpal kami balik bertanya. Rupanya, pria itu Robert, seorang security yang kerap mengawal pengusaha-pengusaha kaya dan anak-anak pejabat. "Biasa. Lagi ngawal bos," akunya.  Dari penuturan Robert, bos yang dimaksudnya adalah seorang pejabat pribumi yang punya puluhan perusahaan dan dikenal punya hubungan dekat dengan pengusaha WNI keturunan. Selain suka bermain judi kasino, bos Robert bernama HR itu kerap mampir di kafe-kafe eliteJakarta. "Ikut gue aja. Ngapain juga lu di sini.
Ntar gue liatin yang asyik-asyik dan pasti seru," sergah Robert. Kami mengangguk-kan kepala sebagai tanda setuju. Kami dibawa memasuki sebuah pintu lagi tak jauh dari meja kasino kelas biasa. Dan begitu terbuka, tampak beberapa ruangan yang masing-masing dijaga ketat olehsecurity. Kami menebar pandang. Berbedadengan kasino kelas standar, di ruang VIP ini, semua tertutup. Sedikitnya terdapat 10 ruangan VIP di NS. Ruangan itu mengingatkan kami pada ruangan karaoke yang ada di diskotek BK, di kawasan Sudirman. "Bos main di situ," tunjuk Robert pada sebuah pintu yang dijaga dua lelaki berbadan tegap. Ruangan itu bertuliskan nama sebuah negara bagian Amerika Serikat. Kami mengekor di belakang Robert.
 "Kita nongkrong di sini saja. Biasanya 'bos' main sampai pagi," jelas sambil mendudukkan diri pada kursi sofa. Menurut penuturan Robert, "bos"-nya lagi main dengan empat orang pengusaha kaya. "Gue nggak tahu pasti. Dengar-dengar, yang satu punya pabrik minuman air mineral," tukasnya. Selama kurang dari 30 menit kami asyik mengobrol dengan Robert. Pria berdarah Flores itu dengan setianya menunggu di depan pintu. "Mana yang asyik dan seru. Katanya lu mau kasih tunjuk?" tagih kami. "Oh, lu mau Hat. Tapi jangan berisik ya," pinta Robert. Dengan perlahan Robert membuka pintu. Di belakang pintu ternyata masih ditutup dengan kain kelambu hitam. Robert menyibakkan kain hitam itu. Dan astaga, kami dapat dengan jelas sebuah meja bundardengan lima kursi. Di tiap kursi duduk lima pria dengan seriusnya me-megang kartu. Bos Robert duduk tenang mengenakan kaos berkrah. Sebuah kaca mata tampak menghias di wajahnya. Yang membuat kami terbelalak tentu saja, hadirnya tiga gadis yang berdiri mengelilingi meja bundar itu. Ketiga gadis itu telanjang tanpa busana. Postur ketiga gadis itu, begitu molek.
Rata-rata berkulit kuning langsat dengan dada minimal 34 B. Salah satu gadis berambut ikal sebahu yang berdiri di sudut meja sebelah kiri memiliki dada yang membusung ke depan di atas ukuran 36. Wajah ketiga gadis itu menjadi pemandangan indah dengan make­upwajah yang menonjol. "Yang dadanya paling montok itu namanya Mona, baru 21 tahun, asli Manado," bisik Robert ke telinga kami. Gadis telanjang bernama Mona itu meng-ingatkan kami akan wajah salah seorang bom seks Indonesia era 1990­an, Sally Marcelina. Bibir merah merekah dengan sorot mata genit menggoda. Layaknya gadis-gadis Guest Relation Officer(GRO) yang kerap menemani para tamu sitting untuk minum atau dinner di kafe, Mona bersama dua gadis itu melayani semua kebutuhan para bos yang tampak serius memegang kartu itu. Dari menuangkanminuman ke gelas yang kosong sampai membagikan kartu. Lamat-lamat, terdengar alunan musik bernuansa syahdu dan mendayu­dayu.
Perlahan sekali terdengar di telinga. Dari balik pintu yang ditutup kelambu hitam itu, kami dengan degup jantung berdebar menyaksikan polah tingkah mereka. Kami sempat ternganga ketika melihat aksi tangan dari kelima pria itu. Bayangkan, ketika salah satu dari pria itu memenangkan pertandingan, ia langsung menyuruh salah seorang gadis merapikan tumpukan koin atau chips yang berlimpah itu. Entah berapa jumlahnya. Jumlah koin itu mencapai ratusan buah. Kalau harga satu chip senilai Rp. 1 juta per buah, tinggal mengalikan saja. Usai mengumpulkan koin, dengan tertawa terbahak, salah satu pria itu merangkul pinggang si gadis dengan manja. Bahkan, maaf, dengan santainya tangan itu membelai tubuh gadis yang tanpa busana itu. "Kita menang lagi, honey," ucap seorang pria bermata sipit yang duduk membelakangi kami sambil memeluk pinggang si gadis. Si gadis pun dengan manja menurut saja dalam pelukan kemenangan itu. Apa yang dilakukan ketiga gadis itu,  mengingatkan kami pada aksi Jeny, Dina dan Lusy yang menemani "pria-pria"-nya di kasino kelas biasa.
Kami sempat berpikir, kemungkinan Jeny Cs menemani para tamunya dengan berbugil ria. "Sudah jangan lama-lama. Ntar gue ketahuan bisa dipecat," ucap Robert menyadarkan kami. Pintu tertutup kembali. Kami kembali menanti sambil duduk di sofa. Dalam percakapan kami dengan Robert, ketiga gadis yang telanjang itu diboking dari salah satu germo ternama di Jakarta. "Bos gue yang mesen. Katanya sih, untuk penghangat suasana. Mereka gua jemput dari kost-kost-an mereka di kawasan Batu Ceper," ujar Robert. Ihwal gadis telanjang iitu, cerita Robert, sudah menjadi adat kebiasaan yang dilakukan bos-bos ketika main di ruang VIP Kabarnya, satu orang dibayar Rp. 3 juta. Hanya saja, jumlah itu terlalu sedikit dibanding tips yang bakal diperoleh ketiga gadis  tu. Jam terus saja merayap. Kami dengan sabar menemani Robert mengobrol. Tanpa terasa, kami sudah 3 jam berada di kasino NS. Mendengar cerita Robert seperti tak ada habis-habisnya. Kami memutuskan untuk berkeliling di area kasino lantaran jam sudah menunjuk pukul 03.45 WIB dini hari.
 "Kami keliling sebentar. Mau lihat-lihat," ujar kami. Robert menyuruh salah seorang anak buahnya, John, mengantar kami turun berkeliling. Kami berkeliling lagi di area casino kelas biasa. Rupanya, NS juga dilengkapi arena perjudian mesin, seperti mickey mouse, happy royal dan bola tangkas. Setiap pemain, mesti membeli kredit untuk bias memainkan judi yang juga populer dengan sebutan judi dingdong itu. Kami mendapatkan beberapa pemandangan menarik. Salah satunya, proses gadai-menggadai barang. Tradisi itu sudah bukan barang baru di kasino NS. Di beberapa tempat, tampak pria-pria yang sibuk menanti barang gadai datang. "HandphoneNokia 2000 bisa cuma digadai Rp 500 ribu -Rp. 1 juta," ujar John. "Malah, banyak juga mobil-mobil mewah seperti Mercy, BMW, yang digadai dengan harga murah. Makanya di sini banyak orang main judi sambil menunggu barang gadai," lanjutnya. Kalau punya uang cash, usul John, mendingan nongkrong di kasino.
"Gadainya murah, kalau yang punya ngambil barangnya, kita bisa dapat bonus minimal 25 persen. Apalagi kalau lagi menang, pasti dapat bonus gede," sambung John. Menjelang pukul 05.35 WIB, kami memutuskan kembali ke Robert. Rupanya, permainan di ruangan VIP itu telah usai. Suasana di ruangan VIP itu tak lagi diisi dengan adegan bermain kartu, tapi sebuah dentuman musik. "Bos gua menang banyak. Ada Rp. 700 juta lebih," tandas Robert ketika kami menghampirinya. "Mereka sedang berpesta," sambung Robert. Kami makin penasaran. Pesta macam apa? Atas ijin Robert kami kembali mengintip dari balik pintu masuk yang ditutup kelambu hitam. Yang kami saksikan kala itu, persis pesta tarian striptis. Ketiga gadis tanpa busana itu menari-nari mengitari meja dengan panasnya.
Gerak tarian ketiga gadis itu begitu profesional. Gambaran ketiganya sebagai penari striptis profesional segera menggayut di benak kami. Ruangan kasino VIP itu berubah menjadi suara tertawa dan denting gelas minuman. Pesta dini hari itu makin panas. Tak henti-hentinya, lembaran lima puluh ribuan terhambur ke lantai. Dengan genit dan penuh goda, ketiga gadis itu bergantian memungut lembaran lima puluh ribu yang berceceran. Gelak tawa, bunyi mendesah dan keringat gadis cantik berbaur dengan bau minuman yang menyengat. Musik terus saja berdetak membius telinga. Besty dan dua kawannya itu terus saja menggeliat penuh gairah. Butiran keringat tampak mengaliri ketiga tubuhgadis itu. Kelima bos yang awalnya samasama mempertaruhkan miliaran rupiah di atas miliaran rupiah itu hanyut dalam suasana. Tawa mereka terdengar pongah ketika lembaran lima puluh ribuan berulang kali mereka hamburkan. Sebelum pesta usai, Robert menutup pintu dengan perlahan sekali. Kami sempat bertanya pada Robert, ke mana ia akan mengantar bosnya.
"Langsung pulang," tegasnya. Menurut Robert, meski menyewa cewek bugil, sambung Robert, bosnya tak pernah membawa mereka untuk diajak tidur. "Kalau judinya selesai, mereka disuruh pulang. Gitu aja," ceplos Robert. Kami pun berpamitan. Dalam perjalanan menuju pintu lift, kami menyaksikan antrean puluhan orang di sebuah loket tempat penukaran koin dengan uang cash. Kami tiba di lantai dasar  sekitar pukul 06.40 WIB. Lewat telepon genggam, kami pamitan pada Jeny Cs Mentari pagi masih malu menampakkan diri. Hanya biasnya yang menyemburat di ufuk Timur. Di benak kami masih terbayang ketiga cewek bugil yang mengelilingi meja judi kasino dan menari begitu panas mengitari para bos yang bergelimang harta. Benarkah Jakarta telah menjadi Las Vegas? Kami hanya geleng-geleng kepala.[]


 
24
Kencan Bule-bule Impor
[Dari Stripsis,NoHand-Service Sampai 1 Nite Stand] Bisnis pelesir cinta makin menggila.
Sejumlah tempat hiburan malum di Jakarta yang berskala internasional, saat ini tidak hanya menggunakan jasa wanita lokal, tapi juga menggunakan wanita-wanita impor sebagai magnet dan jualan utama. Mereka tidak saja berasal dari negeri-negeri tetangga yangterdapat di kawasan Asia seperti Cina, Taiwan, Philipina atau Thailand, tapi lebih dari itu, banyak yang didatangkan dari negerijauh seperti Rusia, Meksiko sampai Spanyol. Trend bisnis prostitusi makinmenjadi-jadi di era globalisasi dan informasi, di milenium ketiga.
Sudah jadi rahasia umum, kalau sejumlah tempat hiburan malam yang terdapat di Jakarta, entah itu yang menggunakan embelembel sebagai diskotek, klub, panti pijat, rumah penampungan dan nama-nama lain. Sebagian besar di antaranya berjualan -utamanya tak jauh dari jasa wanita penghibur. Dan harus diakui, itu menjadi 'daya tarik' yang luar biasa bagi tamu lakilaki. Wanita penghibur inilah yang menjadi aset dan jualan utama. Berawal dari pertemuan saya dengan salah satu pengusaha muda, sebut saja Nicolas, 34 tahun -bukan nama sebenarnya, yang mempunyai usaha di bidang entertainment dan advertising. Usaha yang dikelola Nicolas sejak delapan tahun lalu itu, makin hari makin menangguk sukses saja. Setiap bulan, Nicolas menggelar sejumlah acara dari kafe ke kafe, klub ke klub, dan diskotek ke diskotek. Nicolas tidak saja bermain di wilayah Jakarta, tapi juga merambah di kotakota besar seperti Surabaya, Bandung, dan Medan.
Sebenarnya, perkenalan dengan Nicolas sudah berlangsung cukup lama. Maklum, sebagai pengusaha entertainment, Nicolas nyaris tak lepas dari dunia clubbing. Wajahnya sangat familiar di sejumlah tempat-tempat hiburan trendsetterdi Jakarta. Hanya saja, siapa sangka kalau Nicolas ternyata adalah sosok yang menjadi 'creator' di dunia malam. Acara-acara yang dibuatnya selalu inovatif dan kaya ide. "Sebagai orang hiburan, saya mesti tahu trendyang terjadi. Pergi ke kafe atau diskotek itu bagian dari sosialisasi diri. Lagi pula, saya kan masih bujangan," tukasnya, bercanda.
Menu Bule.
Pertemuan dengan Nicolas tersebut, banyak membawa keberuntungan, paling tidak dari sisi pengetahuannya tentang dunia malam. Dalam beberapa kesempatan, dia kerap mengundang beberapa rekan dekatnya untuk menghadiri beberapa acara yang digelarnya di sejumlah tempat hiburan malam. Pada pertengahan Maret 2002 misalnya, Nicolas mengajak saya menghadiri acaranya di salah satu tempat hiburan ternama, sebut saja SS, di kawasan Kota.
Acara tersebut, sebenarnya sederhana saja idenya. Selain menghadirkan sejumlah  model cantik untuk ber-catwalk dengan baju-baju seksi, juga ada tiga orang DJ kenamaan. Hanya saja, untuk menambah gereget, Nicolas menggunakan enam penari striptis yang dengan goyangan dan liukan seksi di tengah-tengah publik. Jarang-jarang, penari striptis berani ditampilkan secara 'open public' seperti itu. Yang ada, biasanya ya di private room, kalau tidak di karaoke, ya di kamar hotel atau rumah pribadi. Acara tersebut cukup sukses dan mampu memikat  sekitar 600 tamu yang datang.
Di lain kesempatan, kira-kira pada awal Juni 2002, Nicolas mengundang saya untuk bersantai di ruang karaoke, bertempat di SS -sebuah tempat hiburan. Kebetulan, Nicolas tengah ada sedikit surprise lantaran teman dekatnya datang dari Batam, sekalian dia membuat pesta kecil untuk merayakan suksesnya. Maklum, dalam tiga bulan, Nicolas bertabur duit lantaran bisa membuat setidaknya 12 acara di tempat hiburan yang berbeda dan rata-rata menangguk sukses besar.
"Ya, itung-itung perayaan kecil-kecilan. Bagi-bagi kesenangan dengan teman kan nggak ada salahnya," ujarnya singkat sambil tersenyum. Sekitar pukul 22.00 WIB, saya bertemu dengan Nicolas di ruang VIP. Untungnya, saya pernah berkunjung ke SS, jadi tak perlu susah mencari lokasinya. SS berada di satu kawasan bisnis. Gedungnya berada di tengah­tengah pusat perniagaan. Selain itu, gedung SS juga diapit gedung bertingkat yang dijadikan kantor sebuah bank kenamaan. Di siang hari, area di sekitar SS, sangat ramai karena dipenuhi orang-orang yang berbelanja dan bekerja kantoran. Bagi orang awam pun, sebenarnya tak begitu susah menemukan SS. Maklum, di sekitar kawasan Kota dan Mangga Besar, SS termasuk dalam jajaran tempat hiburan yang namanya masuk tingkat atas. Saya tiba di SS sekitar pukul 22.30  WIB. Dari pembicaraan di ponsel, Nicolas mengatakan sudah 'stand by'dengan dua orang teman lelakinya. Setelah memarkir mobil di lantai 4, saya langsung menuju ruangan karaoke. Di pintu masuk, saya disambut dua resepsionis wanita yang dengan ramah menyilakan saya masuk. Sebelum sampai di ruangan karaoke, saya melintasi sebuah restoran Cina yang didesain secara terbuka. Restoran itu tampak ramai oleh tamu laki-laki dan wanita. Pemandangan tersebut pasti akan ditemui setiap tamu yang ingin masuk ke diskotek atau pun berkaraoke. Yang menarik, di restoran tersebut, tampak jelas puluhan wanita cantik dengan busana seksi duduk bergerombol.
Ada yang asyik berbincang-bincang, ada juga yang hanya duduk santai sambil mata mereka tak henti-hentinya mengamati tamu yang masuk. Saya tak berlama-lama mengamati situasi restoran yang—terus terang, sangat menggugah hasrat laki-laki untuk mampir. Bagaimana tidak? Paling tidak, sambil makan dan minum, setiap tamu bisa melihat pemandangan gadis­gadis cantik—banyak yang berdandan super seksi, dari jarak dekat. Ruangan karaoke terletak berdampingan dengan diskotek. Begitu masuk, tamu bisa melihat sebuah pintu masuk, tepatnya tak jauh dari pintu diskotik. Lampu di lobi menyala terang hingga nampak interior ruangan. Pertama-tama, tamu bisa menemukan restoran yang tertata rapi. Biasanya, banyak tamu yang bersantai sambil makan dan minum. Dari restoran, ada lift yang menuju ke basement.Di situlah ruangan karoeke berada. Begitu sampai di meja resepsionis, para pramusaji akan menyambut kedatangan para tamu dengan ramah. Pemandangan menarik dan yang pasti langsung membuat mata pria melirik adalah kursi di ruang tunggu yang banyak dipenuhi gadis-gadis cantik. Mereka tak lain adalah para 'singer', 'madame' atau menurut istilah SS disebut GRO (Guest Relation Office).
Ada yang asyik bercengkrama, bercanda, dan tertawa. Ada juga yang menonton aneka hiburan yang dilansir dilayar televisi. Menariknya, ketika ada tamu datang, mereka biasanya langsung pasang aksi dengan memamerkan wajah dan senyuman. Maklumlah, apalagi yang mereka harapkan kalau tidak 'order' kencan di ruang karaoke. Tentu saja, setiap tamu laki-laki yang datang tak melewatkan pemandangan super menarik tersebut. Seorang pramusaji, akan mengantar tamu ke ruangan yang sudah dipesan.
"Wah, lo telat setengah jam. Untung pestanya belum dimulai," sergah Nicolas begitu melihat saya masuk ruangan. Ruangan VIP tersebut sedikit temaram. Di tengah terdapat sofa warna cokelat muda dan meja kayu memanjang. Di depannya, ada 4 TV ukuran 29 inci. Pesawat TV tersebut ditata rapi di sebuah lemari panjang. Persis di belakang TV, terdapat meja makan dan sebuah kamar tidur eksklusif layaknya di hotel-hotel berbintang. Sebuah kamar mandi lux, terletak tak jauh dari kamar tidur. Uniknya, tamu mesti melewati kamar mandi sebelum akhirnya bisa masuk ke kamar  tidur. Hawa dingin menyebar ke setiap sudut ruangan. Yang tak kalah menarik, di samping TV terdapat dua pintu panjang tak terkunci. Sekilas tak ubahnya seperti pintu lemari pakaian yang biasa terdapat di hotel-hotel. Tetapi begitu dibuka, astaga, yang ada hanyalah kaca tembus pandang ke kamar mandi. Bisa dibayangkan, sambil duduk di sofa tamu bisa memandang denga jelas 'isi' kamar mandi, tanpa terkeuali. Dari sisi peralatan audio yamg disediakan, SS boleh dibilang selangkah lebih maju di banding karaoke-karaoke yang lain.
Empat pesawat TV yang dipajang misalnya, punya fungsi yang berbeda. Dua TV melansir tiap lagu yang dipesan, sementara dua TV lainnya berfungsi sebagai 'guide tour' dan operator pribadi. Tamu tinggal mengoperasikannya lewat 'remote control'. Dari pesan lagu, melihat menumakanan favorite sampai aneka pelayanan dan fasilitas yang ada di SS. Tak kalah canggihnya, tamu bisa juga melihat data diri GRO (Guest Relation Officer)yang ada di SS lengkap dengan foto dan identitas. Dari nama, tinggi-berat sampai ukuran branya. Gambaran ruangan karaoke di atas,  menggambarkan suasana interior designterbaru. Padahal sebelumnya, ruangan karaoke lama di SS—ruangannya menyatu dengan ruangan diskotek, tata letaknya lebih sederhana. Di ruangan tipe standar atau biasa misalnya, ruangannya berisi sofa hitam melingkar dengan satu meja maimer, meja makan, satu TV, kamar mandi dan kamar tidur. Namun dari sisi fungsi, memang tak jauh berbeda. Ada juga ruangan VIP yang langsung bisa menebar pandangan ke dance floor. Ruangan ini memang dipersiapkan bagi para ' triper' yang ingin privacy. Nicolas bersama dua temannya duduk santai di sofa hitam.
Nicolas mengenalkan dua teman laki-lakinya sebagai Arman dan Johan. Keduanya adalah teman dekat Nicolas yang baru sehari ini berada di Jakarta. Keduanya berasal dari Batam dan menggeluti usaha di bidang restoran.  "Kalau di Batam, jawaranya Arman sama Johan. Kalau mau tahu dunia malam Batam, ya mereka ini pakarnya," ujar Nicolas sambil menengok ke arah Arman dan Johan. Dipuji seperti itu, kedua laki-laki yang malam itu berbusana kasual, hanya tertawa kecil. Di atas meja terhidang sebotol Jack Daniel lengkap dengan Coca-cola dan es batu. Juga ada beberapa piring makanan kecil dan dua piring besar buah­buahan segar. Rupanya, Nicolas dan dua kawannya sudah menghabiskan setidaknya delapan buah lagu. Makanya, begitu say a datang, Nicolas sudah bersiap-siap mencari 'penghangat' suasana. "Kering ya, kalau nggak ada wanitanya? Gimana kalau kita pesan 2 atau 3 wanita untuk penghangat suasana?" usul Nicolas.
Tentu saja tanpa banyak basa-basi kedua teman Nicolas dan saya langsung mengiyakan. Hanya saja, sebelum Nicolas memangggil pramusaji yang bertugas, Johan lebih dulu punya permintaan. Menurut Johan, kalau wanita escort-nya pribumi, dia merasa sudah bosan. Katanya, di Batam pun, dengan mudah dia bisa mendapatkannya. Makanya, Johan dengan enteng mengatakan, buat apa jauh-jauh dari Batam kalau ujung-ujungnya hanya ditemani wanita escortpribumi. Mendengar ucapan Johan, Nicolas hanya senyum-senyum kecil. Rupanya, pria penggemar baju merek Giorgio Armani itu paham betul dengan ucapan Johan. Mencari 'wanita kencan' terutama di kota-kota besar seperti Jakarta dan Batam, memang sangatlah mudah.
Hampir di setiap tempattempat hiburan, entah itu yang berkedok  sabagai pub, klub, panti atau rumah penampungan, yang namanya 'wanita' jasa kehangatan sesaat, selalu tersedia. Tapi, bagaimana dengan 'wanita' berstatus impor? Apa juga segampang mencari 'wanita' lokal? "Jadi, maunya cewek impor? Tenang saja ,Bos! Semua bisa diatur. Di sini lengkap, kok!" ujar Nicolas dengan nada mantap. Untuk beberapa saat lamanya, Nicolas keluar ruangan meninggalkan kami. Saya tak heran, sebagai sosok yang sehari-hari menggeluti bisnis entertainment, Nicolas tentu saja mengenal dengan baik 'orangorang' di SS. Dari tingkat staff, manager,sampai owner. Sekali dalam sebulan, paling tidak, Nicolas pasti menggelar 'acaranya' di SS.
Tak lebih dari 10 menit, Nicolas sudah kembali ke tempat duduknya. Wajahnya tampak sumringah dengan senyum mengembang. Dengan langkah lebar, dia memandang ke kami dan bersantai di sofa. Nicolas langsung meneguk segelas jackdie on the rock. Tentu saja, Nicolas tak mau minum sendirian, dia mengajak kami ber-toastbersama. Karena saya tak begitu pandai bernyanyi, hanya sesekali saja saya berusaha menyempatkan diri memegang microphone. Selama menanti 'pesanan' datang, kami lebihbanyak mengobrol, sementara TV berukuran 29 inci yang ada di depan kami, merelay lagu-lagu hits dunia yang kami minta. Selang beberapa saat kemudian, 'pesanan' datang. Jam sudah menunjuk pukul 23.15 WIB, ketika dua wanita dengan dandanan seksi muncul di pintu masuk. Terus terang, saya sedikit kaget begitu melihat dua gadis tersebut, apalagi begitu keduanya langsung bergabung bersama kami di sofa dan mengenalkan diri.
Yang pertama, berambut pirang lurus, tinggi semampai dan bermata bulat. Wajahnya berbentuk bulat telur dengan bibir tipis berlapiskan lipstik merah, mengenalkan dirinya sebagai Susan. Sementara gadis kedua mengenalkan diri bernama Caroline.
Rambutnya ikal sebahu dan berwarna kecoklatan. Badannya sedikit berisi, bahkan lebih pas disebut sintal. Tidak setinggi Susan, tapi mempunyai badan seksi. Baju ketat dengan belahan V yang melekat di tubuh Caroline terlihat serasi dan jelas menunjukkan sex appeal-nya yang pasti menggoda setiap mata lelaki.
Saya baru sadar, kalau sedari awal mengobrol, Susan dan Caroline, selalu menggunakan bahasa Inggris. Dialeknya tampak lain di telinga saya.
Karena penasaran, saya selalu memperhatikan gerak-gerik Susan dan Caroline. Mulai cara mereka bicara sampai prototype tubuh mereka, dari ujung rambut hingga kaki. Apa mereka ini bule-bule beneran?, pikir saya. Atau hanya wanita­wanita lokal yang didandanin sedemikian rupa hingga mirip bule? Ternyata, setelah kurang lebih 10 menit saya memperhatikan mereka, saya baru yakin kalau mereka benar-benar bule. Dari warna kulit, rambut, mata, dan cara bertutur, tak ada tanda-tanda yang meragukan keaslian mereka. Variasi & 3 Plus. Suasana tambah hangat dan merambat panas. Untuk mengakrabkan diri, kami saling ber-toast bersama. Tiga-empat gelas minuman tertenggak habis dalam 10 menit. Sesi basa-basi pun berakhir. Susan dan Caroline, rupanya sudah terbiasa dengan tahapan-tahapan yang mesti dilakoni sebagai 'wanita' penghibur.
Pesta pun segera dimulai. Musik perlahan mengalun keras. Alunan vokal Mariah Carey lewat My Allsegera berubah menjadi dentuman musik garage.Di layar TV yang tampak kemudian adalah sederetan gambar gadis-gadis dengan busana seksi tengah menari dengan gerakan-gerakan erotis. Susan dan Caroline segera beranjak dari sofa. Mereka berjalan ke kamar mandi. Sambil menunggu mereka keluar, kami asyik menikmati tontonan tarian erotis di TV. Gadis-gadis cantik dengan badan ideal dan proporsional yang awalnya masih mengenakan busana seksi itu, perlahan mulai mempreteli baju mereka. Begitu terlepas semua, Susan dan Caroline pun tampak keluar dari kamar mandi. Sudah kami duga sebelumnya, mereka pasti berganti kostum. Begitu menampakkan diri, Susan sudah berganti dengan busana hitam ketat melekat. Begitu juga Caroline yang mengenakan celana pendek  ketat warna biru dengan baju tanktop yang memperlihatkan pusarnya. Saya agak terkejut mendapati sebuah anting melingkar di pusarnya. Sementara di punggung Susan, dengan jelas saya melihat gambar tato naga warna hitam. Mereka pun mulai menari penuh semangat.
Pandangan mata kami pun beralih, dari TV ke pertunjukkan sebenarnya. Ya, apalagi kalau bukan 'live show' yang dipertontonkan Susan dan Caroline. Gampang ditebak, dua gadis yang mengaku berasal dari Uzbekistan itu­salah satu negara pecahan Uni Soviet, langsung beraksi dengan goyangan erotis. Aksi mereka tak berbeda banyak dengan apa yang dilakukan sejumlah penari striptis lokal yang biasa memberikan 'jasa tarian syahwat' di tempattempat hiburan malam Jakarta.
Sebut saja misalnya karaoke KB, di bilangan Jalan Sudirman atau klub NZ di Jalan Thamrin, tepatnya tak jauh dari sebuah hotel bintang empat yang berdampingan dengan gedunggedung perkantoran. Hanya saja, lantaran mereka memang 'bule asli', pemandangan yang kami dapati memang berbeda dari biasanya. Bayangan kami seperti tengah nonton pertunjukkan striptis di sejumlah pub atau disko yang berderet di kota Amsterdam, Belanda atau di kota Las Vegas. Untuk beberapa saat lamanya, Susan dan Caroline hanya menari dengan liukan menggoda. Baju ketat yang melekat di tubuh mereka, sudah terlepas sama sekali. Musik pun makin menjadi-jadi seakan memenuhi hampir di tiap sudut ruangan. Hawa dingin air conditioner yang menyebar dan menyelimuti, rasanya hampir tak terasa. Hawa panas seakan menguasai ruangan VIP karaoke detik demi detiknya.
Perlahan, mereka mulai mendekatkan diri. Tubuh seksi tanpa sehelai benang itu, layaknya kupu-kupu yang terbang lincah hinggap dari satu bunga ke bunga berikutnya.  Susan dan Caroline pun kali ini tak hanya menari, tapi mulai membelai, memeluk bahkan bergerak berani layaknya seekor macan menerkam mangsanya. Laki-laki mana mampu bertahan dari 'godaan dan rayuan' maut seperti itu. Menariknya, setiap kali sang korban blingsatan tak mampu menahan hasratnya, Susan dan Caroline, dengan pandainya mengulur waktu. Membiarkan hasrat terpendam di kepala, bahkan kalau perlu menahannya selama mungkin hingga lembaran ratusan ribu Rupiah keluar tanpa perhitungan lagi. Rupanya, cara dan trik mereka dalam melayani tamu, hampir tidak berbeda jauh dengan para striptis lokal.
Di SS, selain menyediakan jasa bule­bule impor, juga terkenal dengan jasa wanita-wanita lokal yang tak kalah cantik dan berani. Dari sekedar melayani tamu dengan hanya menjadi singer, mempertontonkan tarian stripstis, memberikan 'no hand service' sampai 'full service'. Para wanita bule impor pun, dalam hal pelayanan, ternyata juga menganut aturan yang sama. Mereka pun harus siap memberikan,paling tidak, tiga layanan utama ketika tamu mem-booking mereka di private roomkaraoke. Kalau sekedar menjadi singer —atau lebih pasnya menemani tamu bernyanyi, tentu saja semua wanita yang disediakan di SS, dengan senang hati akan menerimanya. Tapi untuk mempertonton- kan tarian striptis, tidak semua bersedia, apalagi untuk memberikan paket 'no handservice' atau 'full service'. Maklum, untuk paket 'no hand service misalnya, seorang penari, escort atau madame,mesti bersedia melayani tamu layaknya seorang selir menjamu raja.
Sang selir boleh berbuat apa saja—tidak termasuk 'bermain cinta', tapi sang raja harus patuh tanpa boleh bereaksi. Sementara paket 'full service', tentu saja ujung-ujungnya berakhir di permainan cinta sesaat. Bisa di kamar mandi,atau di kamar tidur yang sudah dipersiapkan. Tergantung kemauan dan selera tamu. Biasanya, untuk memilih pasangan kencan wanita, ada dua cara. Pertama, tamu bisa menyeleksinya di restoran khas Jepang yang terdapat tak jauh dari pintu masuk. Rupanya, puluhan wanita yang memadati restoran tersebut, tak lain adalah para singer, escort,dan penari. Hanya saja, mayoritas wanita yang berani men-display-kandiri di restoran, lebih banyak menjalankan profesinya sebagai singer. Untuk bisa menyeleksi para penari stripstis-nya, biasanya tamu dipersilakan memilih langsung di ruang karaoke. Begitu tamu pesan lewat pramusaji yang bertugas atau langsung ke Mami—di SS transaksinya serba terbuka, tamu akan diberikan pilihan setidaknya 4-6 wanita penari. Tamu bebas menentukan mana wanita penari yang menjadi idola dan pilihannya. Biasanya prosesi ini berlaku untuk penari-penari lokal.
Sementara khusus wanita bule impor selain juga mengikuti aturan serupa, tamu bisa juga dibawa ke ruangan khusus untuk menyeleksi wanita bule yang disuka. Seringkali, mereka pun 'shopping-mall'keliling diskotek dan sesekali 'mejeng' di resto. "Kalau kita member, lebih mudah lagi. Nggak perlu repot-repot milih. Karena memberpasti dikasih yang terbaik," jelas Nicolas. Menilik tata ruang private room karaoke di SS, tampaknya sengaja didesain sedemikian rupa sehingga semua pelayanan 'cinta' yang disediakan dengan mudah bisa dinikmati para tamu. Lihat saja sofa sengaja ditata melebar dengan meja marmer besar yang memungkinkan penari beratraksi di atasnya. Entah dengan berdiri, duduk maupun tiduran. Kamar mandinya pun sangat bersih dan ekslusif hingga memungkinkan bagi tamu yang ingin 'bermain cinta' sedikit ekstrem, bisa tertampung. Sebuah kamar tidur dengan ranjang besar tampak bersih dan tertata rapi. Boleh dibiang standarnya bisa disejajarkan dengan kamar-kamar yang terdapat di hotel bintang empat, juga tersedia. Semua pasangan yang ingin 'berbulan madu' pasti membayangkan kenyamanan tiada tara mesti lampu cenderung menyala temaram. Betapa semua fasilitas tersebut, bisa dengan leluasa dipergunakan tanpa harus mem­bookingpara penari, escortatau madameke tempat lain. Aneka paket layanan yang diberikan para bule-bule impor di SS, semua bisa dinikmati di private room.
Bayangkan saja, setelah Susan dan Caroline memanaskan suasana dengan liukan erotisnya, mereka mulai mengumbar godaan dengan trik a la no hand service. Di sinilah, biasanya ajang mengeruk tip mulai berjalan. Dengan rayuan gombalnya yang harus diakui begitu terkesan profesional dan memabukkan, mulut-mulut manis mereka dengan gampang menyebut sejumlah angka. Dengan sekali sentuh, mereka bisa mendapatkan dua tiga lembar ratusan ribu Rupiah. Tahapan itu belum usai. Yang sudah sudah, kalau tamu laki-laki yang datang jumlahnya lebih banyak dari penari— seperti kami yang malam itu datang berempat sementara penarinya cuma dua, mereka takberhenti sampai di situ. Biasanya, usai mendapat 'tips pembuka', mereka akan merayu tamu untuk masuk tahapan pelayanan berikutnya. Ya, apalagi kalau buka 'full service'. Layanan inilah yang bagi penari, menjadi momen penting untuk meraup uang dalam jumlah besar.
Standar wanita-wanita lokal saja misalnya, untuk mendapatkan transaksi ful service di private room karaoke, tamu mesti mengeluarkan tip paling tidak antara 300-500 ribu Rupiah. Biasanya, angka itu tergantung dari negosiasi kedua belah pihak. Bisa dibayangkan kalau wanitanya adalah bule-bule impor. Untuk mendapatkan paket tarian striptis saja, 1 penari harga bandrolnya Rp 3 juta. Itu belum termasuk harga ruangan yang minimal order-nya3 jam. Satu jamnya Rp.100 ribu untuk ruangan standar alias biasa. Sementara untuk ruangan VIP per jamnya sekitar Rp200 ribu. Tinggal hitung saja berapa duit yang harus dikeluarkan untuk bayar ruangan dan membooking penari striptis bule. Belum lagi harga untuk ruangan Royal Suite yang perjamnya mencapai Rp300-400 ribu. Kabarnya, ruangan Royal Suite tersebut, tak ubahnya seperti kamar-kamar suite di hotel berbintang lima.
Kalau untuk wanita lokal, hanya butuh sekitar Rp. 300-500 ribu dan kita telah mendapatkan paket 'full service'. Sedangkan untuk wanita bule impor, paling tidak seorang tamu mesti mengeluarkan tipsedikitnya Rp. 500 ribu -Rpl juta. Memang jauh lebih mahal. Akan tetapi, uang sebesar itu nyaris tak ada artinya bagi sejumlah laki laki yang gemar menghabiskan uang di SS. Tengok saja polah Nicolas Csyang bersama saya malam itu. Usai Susan dan Caroline memplonco mereka dengan triktrik 'no hand service'yang sudah pasti  membuat mereka mengeluarkan sedikitnya 4-5 lembar ratusan ribu rupiah, perlahan tapi pasti, Susan mulai membisikkan kalimat sakti ke telinga Nicolas. Entah apa yang Susan bisikkan, akan tetapi selang 2 menit kemudian, Nicolas bak kambing congek mengekor di belakang Susan masuk ke kamar. Begitujuga dengan Arman yang duduk bersebelahan dengan Johan.
Tiba giliran Caroline sampai di pangkuannya, Arman pun tak kuasa menolak ajakan Caroline masuk ke kamar mandi. Ah, rupanya tahapan untuk melakoni paket 'full service'sudah terjadi, pikir saya. Akhirnya, tinggal saya dengan Johan duduk santai di sofa sambil menahan napas menunggu Nicolas dan Arman menuntaskan hasrat kelaki­lakiannya. Untuk mengisi kekosongan, tayangan tarian striptis yang di-relayTV di depan kami, menjadi fokus perhatian. Entah sudah berapa gelas Jack Daniel yang kami habiskan dalam waktu tak kurang dari 15 menit. Susan dan Nicolas muncul dari kamar tidur. Tak lama kemudian diikuti suara Arman yang keluar kamar mandi diikuti Caroline.
Dua laki-laki yang usianya tak jauh berbeda itu—sama-sama berkepala tiga, tersenyum lebar pada kami. Susan dan Caroline masih dalam keadaan tanpa busana. Mungkin, kini giliran kami yang akan menjadi target sasaran. Dan benar saja, Susan dan Caroline langsung berjalan perlahan sambil terus berlenggok laksana peragawati di panggung catwalk menghampiri kami. Nicolas dan Arman hanya tertawa terbahak. Sialan, saya kebagian sisa, pikir saya. Tapi belum juga habis saya berpikir, tahunya Caroline sudah duduk di pangkuan. Alamak, rupanya memang benar apa yang saya bayangkan sebelumnya. Susan menarik lengan Johan ke kamar mandi, sementara Caroline dengan pandainya, membimbing saya ke kamar tidur.
Pastinya, apa yang akan terjadi sudah terbayang. Kamar mandi dan kamar tidur, untuk sekelompok laki-laki yang datang ke ruangan karaoke di SS memang menjadi 'pelabuhan' terakhir untuk mendapatkan paket 'full service'. Meskipun sering kali mereka harus berganti pasangan. Empat pria atau enam sekalipun, bergantian mendapatkan layanan cinta sesaat dari dua atau tiga penari. Toh, untuk yang satu ini, tak pernah ada unsur sikut menyikut atau rasa risih sekalipun. Memang, tak semua tamu yang datang ke karaoke SS, langsung menuntaskan hajatnya di tempat. Ada juga yang memilih mem-booking wanita bule impor usai jam kerja. Hanya saja, tarifnya memang lebih mahal dua kali lipat. Untuk mem-booking mereka keluar SS dalam hitungan kencan 1 nite stand,paling tidak mesti membayar Rp5- 6 juta.
 Ya, kalau dipikir-pikir memang mahal untuk harga cinta sesaat. Tapi, toh sejauh ini bagi mereka yang berduit, uang sejumlah itu, bukanlah apa-apa. Tampaknya untuk mendapatkan kenikmatan sesaat, uang bukanlah masalah yang berarti.
 Tidak hanya SS yang sekarang terkenal dengan menu bule-bule impornya, di karaoke AC yang terdapat di Jl. KK, Jakarta Pusat, tak jauh dari Bundaran HI, juga menyediakan menu serupa. AC sebenarnya bukan tempat hiburan, tapi sebuah apartemen kelas atas yang memang menyediakan fasilitas resto, kafe, dan karaoke yang terbuka untuk umum. Nah, di karaoke itulah, menu-menu bule impor bisa didapatkan dengan standar pelayanan cinta yang tidak jauh berbeda, dari striptis, no hand servicesampai full service.Kabarnya, jaringan wanita-wanita bule impor tersebut, sumbernya berasal dari tempat sama. Hanya secara sirkulasi mereka diputar ke beberapa tempat, sesuai pesanan.[]

 
Epilog
Gairahnya EMKA
Oleh:TommyFAwuy Dosen filsafat di UI, IKJ & Atmajaya.
Seks, uang dan kekuasaan merajut  sedemikian rupa dan mendominasi kehidupan manusia kontemporer, khususnya pada kaum urban. Nilai kenikmatan biasanya muncul jauh lebih besar dan dengan demikian dikejar ketimbang nilai ideal tentang kebenaran. Spontanitas keindrawian seringkali menampik atau mendesak potensi refleksif untuk mundur sehingga apa yang kita rasakan atau saksikan, realitas keseharian kita menjadi semacam permainan gairah (desire)semata.
Logika kehidupan dalam kota metropolitan sebagaimana halnya Jakarta kurang lebih seperti itu. Segala hal yang menyangkut dengan kebutuhan fisik maupun spiritual,sarana komunikasi-transportasi, rekreasi, fantasi, dan Iain­lain, tersedia dan terusmenerus dipercanggih. Dengan tujuan apalagi kalau bukan untuk meninabobokkan masyarakatnya dalam kenikmatan. Tepatnya masyarakat dalam menghadapi dua hal; mimpi dan kenyataan. Bermimpi dulu apabila potensi kita masih belum mampu menjangkau dan melampiaskan hasrat dan nikmatilah sepuas-puasnya jika memang sudah saatnya untuk itu.
Para pemilik modal, produsen dan pengelola usaha semakin cerdas membangkitkan hasrat lewat media-media imajinasiestetik yang bertebaran di mana-mana. Di kota metropolitan memang bertebaran dengan semaraknya slogan atau iklan-iklan audio-visual. Semuanya merupakan serbuan atas wilayah rangsarigan indrawi. Dari sana cara pandang seseorang, secara sadar atau tidak dibangun untuk menghadapi dunia yang memang senantiasa mengundangnya untuk melampiaskan hasrat sehabishabisnya jika mungkin.
Pemenuhan hasrat mungkin saja hanya terfokus pada wilayah seksualitas. Suka atau tidak, setuju atau tidak, wilayah inilah yang paling ditekan, terselubung tapi sekaligus diumbar-umbar dalam keseharian manusia urban kontemporer. , mungkin salah seorang yang sangat unik bagi begitu banyak penulis dan wartawan yang sedemikian intens membidik wilayah seksualitas dan prakteknya di Jakarta.
 Usahanya terlihat gigih dalammelakukan investigasi ke ruang-ruang praktek seksual yang hampir tak terbayangkan oleh masyarakat umumnya. Dan patutlah kita syukuri karena dari usahanya itu sekarang bisa menghasilkan sebuah buku yang diberinya judul Sex n' the City JAKARTA UNDERCOVER. Bagaimanapun, buku yang ditulis dari hasil observasi dengan tema seperti itu masih cukup langka kita temukan di negeri ini apalagi ditulis oleh orang kita sendiri. Membaca artikel buku ini sepertinya mengundang kita untuk mempertanyakan lagi, apakah teori psikoanalisa Sigmund Freud tentang libido (energi seksual) merupakan hal yang paling mendasar dalam kehidupan manusia adalah benar? Freud bukanlah seorang yang sembarangan berspekulasi di atas pengamatan yang binal arena sudah terang bahwa seksualitas merupakan bagian dari sejarah manusia dan kehidupan. Betapa pun banyak para ahli menyerang dan menghujat Freud, namun kenyataannya seksualitas masih saja hadir segar dan dominan dalam dimensi historis manusia sekarang. Fenomena yang dibuka oleh Moammar Emka dalam buku ini benar-benar menjadi sesuatu yang menarik, terutama jika kita tempatkan dalam skala yang luas, yakni menyangkut problematika kultural.
Cara pandang tentang seksualitas jelas menyangkut dengan konstruksi sebuah kultural tertentu. Ketika Freud mengungkapkan bahwa hidup manusia ditentukan oleh bawah sadar, yakni libido, ia langsung berhadapan dengan norma viktorian yang benar-benar kontradiktif dengan teorinya itu. Kultur viktorian menganggap seks merupakan unsur yang paling mengancam dalam peradaban atau moralitas dan karena itu harus direpresi sedemikian rupa oleh rasionalitas. Justru Freud membuka dan mendobraknya dengan mengesampingkan aspek rasionalitas. Akibatnya, Freud dianggap manusia paling berbahaya dan harus disingkirkan, yang membuat Freud memang harus melarikan diri dari negaranya. Namun kembali lagi, sejarah pula yang nampaknya berpihak pada Freud. Manusia seolah-olah selalu disadarkan bahwa seksualitas tidak mudah direpresi karena dia akan bangkit terus mencari ruang-ruang yang hidup di manapun dan bagaimanapun itu manusia berada. Atau mungkin, thesis Michel Foucault sangat tepat bahwa sebenarnya seks tidak pernah direpresi karena praktek dan wacana mengenainya  selalu muncul dalam setiap zaman. Moralitas yang menganggap seks itu berbahaya dan karena itu dimarjinalkan memang lahir dibekali oleh paham filosofis tertentu.
 Sudah sejak Plato yang meremehkan tubuh (body) dan mengistimewakan jiwa, seksualitas sepertinya tak dirninati oleh para filsuf untuk dijadikan target perdebatan filosofis. Apalagi paham agama-agama modern sedikit-banyak menerima filsafat Plato, soal tubuh dan seks semakin marjinal. Hanya kemudian muncul filsafat fenomenologi dari Maurice Merleau-Ponty, keberadaan tubuh mulai mendapat perhatian besar. Pada abad ke-XX, ketika dipertemukan dengan psikoanalisa, tubuh dari pandangan fenomenologi Merlau-Ponty, menjadi sebuah kajian filosofis dan psikologis yang sangat menantang. Tubuh tidak lagi didiskreditkan sebagai sesuatu yang bisamenjerumuskan manusia ke dalam keambrukan peradaban, namun tubuh menjadi subjek dari kesadaran manusia itu sendiri atas dunia kehidupannya. Seksualitas yang senantiasa hadir dalam tubuh pun menjadi sesuatu yang tidak lagi harus diturup-tutupi dan dipandang negatif. Dari seksualitasnya, manusia mendapatkan gairah untuk hidup, gairah untuk menantang hidup atau mencengkerami kehidupannya sendiri. Persoalannya kemudian terletak pada pertanyaan yang sangat mendasar, sampai di mana batas-batas seksualitas bisa membangkitkan kegairahan dan kesegaran untuk menghayati kehidupan? Pertanyaan ini akan kembali lagi mengarahkan perhatian kita pada konteks kultur-kultur tertentu. Seks dan kota, terutama metropolitan, di dalam praktek-praktek tertentu tidak lepas dari persoalan akumulasi modal. Seks menjadi sesuatu yang mencuat atau terselubung, hal itu tergantung dari bagaimana teknik atau taktik dagang.
Secara optimis, apalagi membaca artikel-artikel Moammar Emka dalam bukunya ini, seksualitas lebih sering dipraktekkan dalam rangka akumulasi modal. Maka seks, uang dan kekuasaan sebagaimana disinggung di muka, merupakan rajutan yang membangun sebuah peradaban tertentu. Mungkin kita bisa terperangah atau ragu-ragu, apakah praktek-praktek seksual yang dikemukakan di sini benar-benar terjadi? Mungkinkah ini—kalau tidak semua, mungkin sebagian—rekayasa penulis untuk membuat persoalan ini menjadi sangat sensasional? Apakah kita percaya begitu saja, misalnya pada praktek seksualitas seperti dalam cerita pesta orgy a la pengusaha lalim Caligula terjadi di Jakarta? Pesta seks ganti pasangan dan kelamin? Seks dan makanan, pijitan, yang diramu sedemikian rupa sehingga pelanggan tak ragu mengeluarkan uang jutaan Rupiah dalam satu paket? Yakin atau ragu  itu bisa dikembalikan pada diri kita masingmasing.
Praktek seksualitas yang bisa kita tarik dari buku ini menampakkan bahwa gejala paling mencolok dalam kehidupan kaum urban adalah terfokus pada permainan imajinasi dan fantasi. Seks adalah unsure yang sangat dikejar, tapi sekaligus begitu mudah ditinggalkan karena bosan, jenuh, muak manakala itu tinggal dilakukan secara monoton. Ketika sepasang kekasih atau suami-istri tak bisa lagi menjalin kasih dengan intens, kemungkinan paling besar ialah karena praktek seks mereka tak lagi dilakukan secara imajinatif. Di sini seks menjadi sebuah praktek repetitif, kegiatan tanpa 'gerak', ritus tanpa makna, sebuah tubuh tanpa organ yang tak lagi receptif dan eksplosif menghayati kehidupan. Maka tak heran, praktek seksualitas yang bervariatifimajinatif dan sensasional di luar pasangan yang lazim, seringkali dilakukan mereka yang sebenarnya sudah punya pasangan, sebagai suami-istri, sebagian oleh mereka yang karena kesepian saja. Untuk mengejar kenikmatan tak peduli seberapa besar uang yang mereka keluarkan, bahkan ada harga yang tak lagi rasional. Mereka tak peduli. Sekali lagi, punya uang, punya kuasa untuk memiliki kenikmatan seksual yang hendak dikejar. Buku ini memberikan banyak informasi yang mengejutkan tentang praktek seksualitas di Jakarta.[]


Tentang Penulis
Moammar Emka, lahir di Desa Jetak, Kecamatan Mon-tong,Tuban, Jawa Timur pada tanggal 13 Februari 1974. Usai menyelesaikan pendidikan jenjang SMTA di MAN Denanyar Jombang pada tahun 1993, dia melanjutkan pendidikannya ke Institut Agama Islam Negeri (IAIN) Jakarta. Semasa kuliah, aktif menulis di beberapa koran Ibukota seperti Harian Terbit, Suara Karya dan Media Indonesia dengan fokus tulisan pada isu-isu aktual yang berhubungan dengan masalah-masalah sosial, politik dan keagamaan. 
Pada tahun 1996, dia memulai karir jurnalistik dengan menjadi wartawan harian Berita Yudha yang waktu itu menjadi koran metro.Namun hanya bertahan satu tahun karena pada tahun 1997, dia pindah ke majalah Prospek. Itupun tak lama, dari Prospek, dia kembali memilih hengkang ke tabloid Suaka Metro pada pertengahan tahun 1998. Karirnya di Suaka Metro pun hanya bertahan 6 bulan. Dia kembali hijrah ke media lain. Yang menjadi pilihannya adalah majalah Popular.
Selama menekuni karir jurnalistik, bidang yang menjadi fokus liputannya tak jauh dari dunia entertainment dalam arti seluas-luasnya. Seperti di harian Berita Yudha misalnya, selain sehari-hari bertanggungjawab penuh pada dua halaman Metro-J — garis besarnya mengupas dunia entertainment yang mencakup cafĂ© to cafe, musik, gosip dan berita selebriti, dia juga menggarap kolom Kisi Kisi Metropolitan di halaman depan yang berisi tentang kehidupan malam metropolitan Jakarta.
Di majalah Prospek pun, selama kurang lebih satu tahun dia menggeluti dunia entertainment dan lifestyle. Tulisan-tulisannya bisa ditemukan pada rubrik Escapade. Sementara di majalah Popular, selama hampir dua setengah tahun, dia aktif mengisi untuk kolom Liputan Malam, Liputan Khusus, Highlite dan Cafe to Cafe —yang kesemua kolom tersebut tak lepas dari nafas kehidupan malam.
Selain menulis, ia juga menggeluti dunia fotografi. Karya-karyanya kebanyakan bisa ditemukan di majalah Popular pada rentang tahun 1998 sampai 2001. Sekarang, ia menjadi penulis freelance dan kontributor untuk tayangan SILET—sebuah acara yang mengemas tema tren gaul dan lifestyle, di RCTI dan beberapa media cetak, di samping juga mulai merintis usaha di bidang entertainmentdan public relations.[]



1 komentar:

  1. Apakah Anda perlu pinjaman tanpa jaminan untuk mendirikan sebuah bisnis atau pinjaman untuk renovasi dan banyak lagi, pencarian tidak lebih, kami adalah perusahaan yang sah dan pada tingkat bunga rendah dari 2% dan bersedia untuk meminjamkan jumlah yang Anda ingin meminjam dan membuat tahun ini yang berhasil untuk Anda. Mohon mengisi data pinjaman ini di bawah ini dan menghubungi kami melalui email perusahaan kami: gloryloanfirm@gmail.com.
    Nama lengkap: _______________
    Negara: __________________
    Sex: ______________________
    Umur: ______________________
    Jumlah Pinjaman Dibutuhkan: _______
    Durasi Pinjaman: ____________
    Tujuan pinjaman: _____________
    Nomor ponsel: ________

    Untuk informasi lebih lanjut silahkan hubungi kami sekarang melalui email: gloryloanfirm@gmail.com

    BalasHapus