Anda pernah membaca Jakarta Undercover karya Moamar Emka yang fenomenal ? Bagi yang belum berikut saya tampilkan lagi.
Sex n' the City
Jakarta Undercover
Jakarta Undercover
Liputan Tuntas Dunia Malam Jakarta. Dari Seks Bulan Madu Pajero Goyang, Melrose Place High Callgirls, Sex Sandwich Sashimi Girls, Service Dobel-tripel VIP Sauna, Lulur Tripel X Salon-salon Eksekutif, Sex Drive-thru Rumah Cinta XXX, Orgy Order Massage Ladies, Nude Ladies Nite VIP Casino, Sex-midnite Gadis-gadis Burespang, Kencan Bule-Bule Impor Sampai Private Sex Parties.
M o a m m a r Emka
Pengantar:
Dede Oetomo, Ph. D. Sex n' the C i ty
Jakarta
Undercover
Emka, Moammar
Jakarta Undercover: Sex n' the City / —
cet. 1 — Jakarta: GagasMedia, 2005
xl + 488 h1m; 11 x 18 cm
ISBN 979-9341-62-0
Pengantar:
Dede Oetomo, Ph. D. Sex n' the C i ty
Jakarta
Undercover
Emka, Moammar
Jakarta Undercover: Sex n' the City / —
cet. 1 — Jakarta: GagasMedia, 2005
xl + 488 h1m; 11 x 18 cm
ISBN 979-9341-62-0
1. Lifestyle I. Judul
790
790
Terimakasih untuk sahabat-sahabat terbaik:
Aip Leurima, Chris Luhulima, Bebi Romeo, Bung Gege, Sonny Lalwani,
Cornelia Agatha, Abdee Slank, Tongclay dan Kiki Susilo
Aip Leurima, Chris Luhulima, Bebi Romeo, Bung Gege, Sonny Lalwani,
Cornelia Agatha, Abdee Slank, Tongclay dan Kiki Susilo
Kata Pengantar
SeksdanSeksualitas: Buka-tutup Selubung
Oleh: Dede Oetomo, Phd
Pendiri dan Anggota Dewan Pembina yayasan GAYa NUSANTARA dan Ketua Bidang Peminatan Gender dan Seksualitas Program Magister llmu-ilmu Sosial FISIP Universitas Airlangga Perbuatan seks, yang melibatkan kenikmatan saraf-saraf di tubuh kita dan acapkali terlampau terpaku pada organ tubuh yang dipahami sebagai alat kelamin (penis dan vagina) tetapi sebetulnya dapat juga melibatkan organ lain seperti tangan, dada, sela paha, mulut dan dubur, dan pemahamannya secara sosial-budaya yang dikenal dengan istilah seksualitas, pada hemat saya terlalu diistimewakan dalam masyarakat kita. Bukankah sebetulnya banyak perbuatan kita (dan dapat nikmat) seperti makan; buang air kecil maupun besar, bersin, menggaruk dan lain sebagainya.
Patut kita renungkan mengapa seks dan seksualitas begitu diistimewakan, sehingga diselubungi, diintip, dikomodifikasi,diharamkan, bahkan ada yang dikutuk (seperti seks di antara saudara, orangtua dan anak, dsb.), namun juga oleh sebagian orang dianggap amat berharga, bahkan dirayakan.
Ancangan berpikir konstruksi sosial menyadari bahwa penyelubungan, pelarangan dll. Itu disusun oleh suatu masyarakat, biasanya oleh mereka yang berkuasa di dalamnya, secara berbeda atau lain dengan apa yang didapati di masyarakat lain. Di Mesir pada zaman Cleopatra misalnya, justru perkawinan antar saudara kandung menjadi pola pada keluarga kerajaan, supaya tuah kerajaan (artinya juga harta dan kekuasaan) tetap di dalam dinasti yang berkuasa. Di banyak masyarakat Nusantara, perkawinan antara sepupu sering terjadi. Sementara masyarakat yang didasari pemikiran genetika modern cenderung menabukannya. Penetrasi anal terhadap anak laki-laki oleh laki-laki dewasa sebaya ayah mereka (tetapi bukan ayahnya sendiri) pernah menjadi ritus akil-balig bagi anak laki-laki di beberapa kelompok etnik di Melanesia, seperti pernah dicatat pada suku Asmat sebelum masuknya agama Kristen Katolik.
Dalam sejarah masyarakat di Nusantara pernah ada penulisan dan pencitraan yang lugas dan terbuka mengenai seks dan seksualitas. Serat Centhini dan banyak lagi naskah Jawa semasa dari abad ke-18 dan 19, misalnya, dengan ceria dan berseni menggambarkan dua orang santri yang sesudah melakukan hubungan seks oral, mandi junub dan kemudian sholat subuh bersama.
Tidak ada rasa bersalah, tidak ada yang istimewa, dan hebatnya, adegan itu diungkapkan dalam puisi yang bermutu tinggi. Di candi-candi peninggalan kerajaan-kerajaan Hindu di Nusantara juga ditemui lingga dan yoni yang merupakan representasi penis dan vagina. Dan sebetulnya kalau kita melihat
Sex & City; Jakarta Under Cover : I masyarakat kita yang tidak munafik, umumnya di kalangan kelas pekerja, masih banyak ekspresi seks dan seksualitas yang lugas dan cenderung merayakannya, seperti ukiran kayu atau kulit kerang berbentuk penis berbagai ukuran yang dibuat dan dijual di banyak tempat. Dengan semangat perayaan seks dan seksualitas itulah kita sambut buku yang mengungkapkan berbagai aspek seks dan seksualitas di Jakarta. Menarik sekali latar belakang dia yang santri dari Jetak, Montong, Tuban, lalu melanjutkan ke Madrasah Aliyah di Denanyar, Jombang, dan kemudian ke IAIN di Jakarta. Saya amat tergoda untuk melihat dua benang merah: Yang pertama, pengalaman saya sebagai aktivis di bidang seksualitas yang juga berasal dari Jawa Timur dan bekerja di Surabaya, membuat saya berkesimpulan bahwa masyarakat Jawa Timur pada umumnya cenderung toleran dan menerima keanekaragaman seksualitas. Hanya di Surabaya ada tempat ngeber (mangkal) waria yang ada peraturan daerah dari walikota. Juga di Surabaya-lah ada waria show yang dapat bertahan sejak tahun 1978 hingga kini. Belum lagi fenomena warok, warokan dan gemblakan di sekitar kesenian reyog Ponorogo, yang melibatkan perpaduan hubungan eroto-romantik antara laki-laki dewasa dan anak laki-laki dengan hubungan heteroseks di dalam pernikahan (yang dapat poligam) dan percintaan heteroseks non-nikah. Mungkin akar Jawa Timur -lah yang membuat dia dapat menulis tentang seksualitas, bahkan terkesan merayakannya, tanpa terlampau menghakiminya sebagai salah atau benar. Yang kedua, pengalaman saya berkontrak dan bekerjasama dengan masyarakat santri di Jawa Timur, khususnya yang berlatar belakang Nahdlatul Ulama (NU), juga membuat saya berkesimpulan bahwa masyarakat santri NU sangat kaya dan bernuansa pemahamannya tentang keanekaragaman seksualitas. Walaupun saya tidak pernah kenal , dugaan saya latar belakang kesantriannyalah yang memungkinkan dia justru dengan gembira nya menggambarkan berbagai fenomena seksual yang ada di Jakarta. Satu kata peringatan saja, dan maafkan kalau kesannya menggurui: kita patut berhati-hati untuk tidak melihat bahwa hanya seks dan seksualitas yang "aneh-aneh" saja yang patut diperhatikan, dan bahwa yang "aneh-aneh" itu terjadi di luar lingkungan kita. Janganlah kita membaca buku ini dengan semangat pengintip, melainkan dengan semangat mawas diri, bahwa kitapun adalah (calon) makhluk seksual, dan selama seks (idealnya) dilakukan dalamrelasi kuasa yang setara dan demokratik, adalah hak kita untuk merayakannya seorang, dua orang ataupun beramai-ramai. Selamat membaca dengan asyik! Surabaya, 17 Oktober 2002
Prakata Penulis
Buku yang sudah saya persiapkan selama hampir enam tahun menekuni dunia jurnalistik, akhirnya selesai juga. Tentu semua ini membutuhkan perjuangan panjang. Tidak saja dalam arti finansial, tapi juga tenaga, pikiran, dan waktu.
Pada awalnya, tak pernah terlintas di benak saya akan menemukan sebuah gambaran kehidupan metropolis Jakarta yang begitu kompleks. Terutama yang berkaitan dengan gebyar kehidupan malamnya dan gaya hidup sejumlah orang terkungkung dalam dunia rare society—istilah yang sering saya gunakan di media cetak untuk mengidentifikasikan sekelompok orang yang terbiasa hidup dengan budaya kafe atau pesta yang setia dengan spendingtime plus spending money untuk mencari satu bentuk kepuasan pribadi atau mencoba mencari oasepembebasan dari belenggu aktivitas rutin sehari-hari.
Kehidupan metropolis Jakarta bisa diibaratkan sebagai sebuah medan magnet yang setiap saat bisa menggaet 'siapapun' masuk ke dalamnya bahkan menjerumuskan dalam satu kehidupan semu dan samar.
Aneka warna kesenangan hidup bisa ditemukan di mana-mana, seperti di sejumlah tempat hiburan plus yang tersebar hampir di tiap sudut kota, dari yang bertarget marketuntuk kalangan bawah, menengah sampai jet set.Kalau tidak begitu, banyak orang yang pada dasarnya memang punya kebiasaan dan dengan sengaja menciptakan kesenangan untuk memuaskan diri sendiri seperti menggelar sejumlah private party yang ujung-ujungnya memang tidak jauh dari sesuatu yang bernama seks!
Beberapa topik tulisan dalam buku ini, sebenarnya merupakan bagian dari investigasi report —atau lebih tepatnya 'pengamatan mendalam', yang saya lakukan selama menggeluti dunia jurnalistik dengan fokus peliputan nite-entertainment dan sex industry. Selama kurang lebih enam tahun, saya melakukan perjalanan panjang, mencoba menelusuri tiap jengkal fenomena hidup masyarakat metropolis, terutama mereka yang doyan menghamburkan uang untuk mencari kepuasan dan kenikmatan pribadi. Tidak saja larut dari satu tempat hiburan seperti kafe, diskotik, klub, karaoke ke tempat hiburan lain, tapi juga sengaja membuat satu bentuk kesenangan untuk memuaskan diri sendiri.
Demikian juga, beberapa tulisan dalam buku ini merupakan kompilasihasil jerih payah saya selama satu setengah tahun ketika bekerja di harian BERITA YUDHA — yang saat itu menjadi Koran Metro dan satu setengah tahun berkarya di majalah PROSPEK, pada segmen Escapade —yang sekarang menjadi PROSPEKTIF. Beberapa artikel lain yang saya tulis di Tabloid Harian Suaka METRO juga ikut menjadi sebagian isi buku ini.
Selain di BERITA YUDHA, PROSPEK, dan Suaka METRO, beberapa tulisan lainnya pernah dimuat di majalah POPULAR —tempat saya bekerja selama hampir tiga tahun dengan fokus peliputan pada rubrik Liputan Malam, Liputan Khusus dan Highlite yang memang menjadi cermin dan gambaran gaya hidup malam metropolis Jakarta. Sementara beberapa tulisan lainnya — walau tak banyak, pernah mengisi lembaran majalah MATRA ketika saya menjadi kontributor freelance untuk liputan dengan fokus tertentu, terutama yang berhubungan dengan kehidupan malam. Sisanya memang sengaja saya simpan dan persiapkan untuk buku ini. Tentu saja, belum pernah dimuat di media manapun. Hanya saja, ada beberapa pengecualian. Apa yang tersaji dalam buku ini, jelas berbeda dengan apa yang terpampang di media cetak. Berbeda bukan dalam main story, tapi lebih pada kelengkapan data, detail story dan tentu saja sisi-sisi lain yang karena alasan tertentu tak mungkin dipublikasikan untuk media yang notabenepunya standar dan kode etik tersendiri. Namun yang pasti, ditilik dari sisi ide cerita, sedikit banyak memang ada persamaannya. Hanya saja, saya mesti melakukan investigasi ulang untuk menambahkan fakta-fakta baru sejalan dengan trend yang tengah berkembang. Maklum, trend yang berkembang di dunia malam, cepat sekali berubah. Sebuah panti plus misalnya, setiap saat bisa bertambah 'massage girls'-nya dalam hitungan hari bahkan jam. Belum lagi pengunjung, tarif dan pernakpernik yang terjadi. Sekitar 24 judul tulisan yang tersaji dalam buku ini, hampir serhua temanya mengarah pada kehidupan yang melibatkan subyek maupun obyek. Titik beratnya pada perilaku kehidupan trend masyarakat metropolis dengan frame besar: sex & the city —meminjam istilah salah satu sitcom populer yang dilansir jaringan tv internasional. Barangkali —tanpa maksud mencari bukti pembenaran, yang patut digarisbawahi, apa yang tersaji dalam buku ini, bukan sebuah cerita fiksi atau hasil nguping dari mulut ke mulut. Tapi lebih jauh dari itu, semua adalah hasil investigasi mendalam yang sifatnya partisipatif. Jadi, saya memang melibatkan diri secara langsung, bukan hasil wawancara sepihak dengan nara sumber, orang kedua, ketiga, dan seterusnya. Kalaupun ada, hampir kebanyakan, orang kedua atau ketiga tersebut statusnya menjadi teman seperjalanan atau nara sumber yang menjadi penunjuk ke subyek dan obyek sasaran. Jujur saya akui, informasi yang saya dapatkan lebih banyak datang dari sejumlah esmud gaul —istilah yang sering saya gunakan dalam setiap tulisan, yang menjadi kawan-kawan seperjalanan. Biasanya, informasi datang ketika kami sama-sama mampir ke kafe-kafe trendsetter pada Rabu Gaul dan hari-hari weekend. Kalau tidak begitu, sekedar ngopi di kafe mal sambil bertukar cerita-cerita seru khas lelaki. Ya, apalagi kalau bukan obrolan seputar seks dalam arti seluas-luasnya. Dari ajang pergaulan itulah, semua informasi saya serap untuk kemudian saya mencari-cari bukti pembenaran dengan melakukan reportase mendalam.
Tentu saja, selama melakukan investigasi seringkali saya melepaskan atribut kewartawanan dan lebih sering berada dalam penyamaran. Bukan apa-apa, semua masalah yang menjadi obyek investigasi saya, tergolong tertutup dan bagi sebagian orang dianggap sesuatu yang 'di luar' batas kewajaran. Makanya, saya menggunakan istilah 'under cover' untuk sekedar memberi satu ilustrasi kepada pembaca bahwa semua peristiwa dan kejadian yang terdapat dalam buku ini hampir semua serba terselubung, tersembunyi dan tak semua orang bisa melakukannya. Di sisi lain, istilah tersebut juga untuk memberi satu gambaran sederhana, mayoritas peristiwa yang terjadi memang di luar batas kelaziman, di mata sebagian orang yang tak pernah menceburinya. Akhirnya, buku ini bagi saya bukan semacam sex guide tour. Tidak sama sekali! Karena apa yang tersaji dalam setiap judul, sebisa mungkin menghindari unsur pemberitaan yang berbau pornografi. Pada prinsipnya, buku ini hanya untuk menunjukkan realitas kehidupan Jakarta yang sebenarnya. Dalam hal ini, realitas kehidupan malamnya. Kalau kata banyak orang, apa saja ada di Jakarta, maka salah satunya adalah serentetan peristiwa dan kejadian eksklusif yang tersaji dalam buku ini. Beberapa teman saya sering berseloroh: Jakarta memang edan, Jakarta telah menjadi negeri tanpa dosa, Jakarta telah menjadi medan ke'semu'an. Benarkah? Mungkin Anda bisa menjawabnya atau mencari-cari jawabannya! Sebelum saya menyudahi prakata ini, sudah sepatutnya saya mengucapkan terima kasih kepada beberapa pihak yang turut serta memberikan sumbangsih sehingga buku Jakarta Under Cover <sex n' the city> ini bisa rampung. Ucapan terima kasih, pertama-tama saya sampaikan pada Heriyadi H Sobiran, "sesepuh" majalah Popular yang dengan tulus memberikan dukungan dan 'exit permit' sehingga beberapa artikel yang pernah saya tulis untuk majalah yang punya tagline 'entertainment for men' tersebut bisa saya tulis ulang —tentu saja dengan 'menambal sulam' di sana-sini dan menjadi sebagian besar isi buku ini. Terima kasih dengan kadar serupa juga saya sampaikan kepada Mujimanto Asmotaruno, "lurah"nya Majalah Male Emporium —atau lebih sering disebut ME saja, yang banyak menularkan ilmu cara menulis yang baik, menarik dan enak dibaca. Saya selalu ingat bagaimana Pak Muji —begitu saya biasa memanggilnya, ketika masih meng'komandani' Majalah Popular sekitar tahun 1997-2000, tak segan-segan 'membantai' tiap artikel yang saya tulis untuk jadi liputan terbaik. Juga kepada Mas Baswardono, "guru" yang pertama kali mengajarkan banyak hal tentang dunia tulis menulis ketika kami bekerja 'satu atap' di harian Berita Yudha dan Majalah Prospek. Rasa-rasanya, setiap artikel yang saya tulis jadi lebih indah ketika Mas Bas mengeditnya. Matur nuwun sangetdan selamat atas buku "Selingkuh"nya. Kepada Mas Dadi Darmadi, saya juga sampaikan terima kasih. "Orang lain" yang sudah saya anggap seperti abang sendiri, yang banyak memberikan motivasi dan 'arahan hidup' ketika pertama kali saya menginjak bangku kuliah.
Kapan buku tentang Studi Agama-Agama Di Dunia diterbitkan, Mas? Saya tunggu lho! Terakhir, terima kasih untuk Ita Sembiring yang rela jadi 'jembatan' hingga buku ini bisa terbit. Juga kepada Dede Oetomo yang bersedia memberikan kata pengantar yang begitu "wise" dan Tommy F. Awuy yang disela-sela kesibukannya menyisakan sedikit waktu untuk menulis 'epilog' yang sarat nuansa filosofi. Oh iya, hampir lupa, buat Mas Julius dari Galang Press, thanksbanget ya, buku yang sudah lama saya impi-impikan akhirnya bisa terbit. Juga buat "my brur", Rizal Mantovani —yang selalu membukakan pintu lebarlebar untuk berdiskusi tentang banyak hal dan Anak-anak Menteng (Dodi, Miko, Yudi, Lisa, Didit, Mas Eko, Susi, Erwin, Lita, Melly, April, Trie, Wisnu, Mori, Satria, Ucok, Jimmy, Dolop dll) —yang hampir setiap hari selalu menjadi teman baik untuk berbagi canda dan cerita. Pokoknya, losemua memang "the best". Semua nama, tokoh, dan tempat yang terdapat dalam buku ini, banyak yang disamarkan. Apabila ada penyebutan nama, tokoh dan tempat dalam arti sebenarnya, semata-mata hanya demi kepentingan penulis semata, tanpa adanya maksud dan tujuan untuk mencemarkan.
PENDAHULUAN Sex Life lelaki: From Hooker To Whore To 1 nite Stand (?)
Mendung sedang bergayut di langit Jakarta. Di kafe Alessandro Nannini, Plaza Senayan, sekitar jam lima sore, kami berdebat seru ihwal kehidupan seks laki-laki. Kami duduk berlima sambil menikmati hangatnya secangkir cappuccino. Tiga orang pria dan dua orang wanita. Yang pertama Leo, kemudian Johan, Lusi, Gita dan saya sendiri.
Leo, 34 tahun, teman saya yang bekerja sebagai product manager di sebuah perusahaan handphoneterkenal, sependapat dengan Johan, art director sebuah perusahaan advertising, kalau hampir kebanyakan laki-laki, pasti suka 'jajan', paling tidak, pernah berhubungan dengan wanita lain, one nite standi Lucunya, Lusi, yang seharihari bekerja di satu rumah produksi ternama, balik menimpali, tidak hanya lakilaki yang doyan one nite stand, banyak juga kaum wanita yang menganut paham sex just forfun.
Jangan heran, kalau di sebuah kafe, pub atau diskotik, usai tamu priawanita bertemu di bar, lantas minum bersama, ajojing di lantai disko dan sesudahnya, berlanjut menjadi kencan semalam. Ada yang sematamata just for fun, azas kebutuhan, atau yang penting happy, ada juga yang melewati tahapan transaksi layaknya penjual dan pembeli. Bagi komunitas kafe, budaya seperti itu sudah bukan rahasia lagi, bahkan menjadi perilaku yang sangat biasa.
Budaya pop dan kehidupan metropolis lengkap dengan tetek bengek pengaruhnya, telah melahirkan iklim seksual yang makin hari makin menggila. Jangan kaget, kalau kini banyak wanita lajang yang menganggap one nite stand sebagai satu hal yang tidak aneh lagi, malah biasa, dan ada yang menganggapnya sebagai satu tradisi seharihari.
Meski kini seperti tak ada jarak perilaku seks antara pria dan wanita, tapi kalau diamati selalu ada perbedaan sikap dalam casual sex-nya.Secara historis laki-laki merasa lebih bisa menikmati tahapan seks demi seks itu sendiri. Sikap itu memang tidak selalu bisa dipahami, tapi paling tidak bisa diterima. Seks anonim —baik dalam bentuk pertunjukan seks atau seks prostitusi, dianggap menjadi part oflifelaki-laki.
Makanya, tak heran kalau laki-laki tak jauh dari hooker, whore atau wanita pekerja seks profesional untuk ber-one nite stand, di manapun dan kapanpun.
Wanita tampaknya juga menerima kalau seks anonim merupakan kepentingan dan minat laki-laki. Hanya saja, mereka tetap takhabis mengerti di mana letak daya tarik seks anonim tersebut. Dalam obrolan kami di Nannini tadi, Lusi tak henti-hentinya menghujani Johan dengan pertanyaan karena punya kebiasaan 'jajan' ke sebuah panti pijat plusdi kawasan Hayam Wuruk, paling tidak seminggu sekali. "Kamu kenal gak nama aslinya? Apa sebelum 'begituan' kamu ngobrol dulu? Apa enaknya langsung tancap gas saja tanpa basa-basi? Setelah selesai, apa enaknya kamu membuka dompet dan membayarnya? Kok bisa ya kamu 'main' dengan orang yang tak kamu kenal." Pada kesempatan lain, Johan pernah meminta saya mengantarnya ke sebuah karaoke yang punya paket striptease liveshow. Dan untuk itu, ia mesti membayar Rp350 ribu hanya untuk nonton saja selama kurang lebih 30 menit. Lain tidak, karena selebihnya lebih merupakan 'basa-basi' ala penari stripstis profesional. Lalu, ketika ditanya apakah itu harga priveleseselama 30 menit? Johan hanya tersenyum mengiyakan. Tapi, ketika ditanya balik apa yang sebenarnya ia dapat dari seks sesaat itu, Johan hanya diam membisu. "Nggak tahu," jawabnya polos. Sebenarnya, kepuasan apa yang diperoleh lelaki dari seks impersonal seperti itu? Bisakah seks mekanis yang cuma 30 menit dengan hanya memelototi penari meliuk-liuk tanpa busana itu dihargai? Sesuaikah harga yang mesti dibayarkan dengan nilai seks semalam? Itulah sex life lelaki yang memang penuh tanda tanya. Apakah perilaku seks yang biasa disebut seks anonim seperti itu memang ada nilainya, jika dibanding dengan seks yang sifatnya amat personal, entah dengan istri, teman selingkuh atau pacar. Mengapa lelaki mau mengeluarkan kocek dari sakunya — seringkali dalam jumlah besar, waktu dan kejujuran untuk sebuah kenikmatan sependek itu? Dan benarkah itu 'nikmat'? Lagi-lagi kami kaum lelaki yang sore itu masih asyik duduk sambil menikmati gelas kopi ketiga, hanya geleng-geleng kepala. "Tidak tahu," Johan dan Leo hampir menjawab bersamaan. Mungkin, jutaan lelaki lainnya yang notabene penggemar hooker, whore—atau apapun namanya, dan one nitestandatau seks anonim dalam bentuk apapun —karena ragamnya memang seabrek, akan menjawab sama. Yang jelas, setiap malam, ribuan lelaki berkeliaran di tempat-tempat yang menyediakan jasa layanan cinta kilat. Entah di Mangga Besar, Kota Dolly, Sunan Kuning, bahkan Kramat Tunggak. Seperti industri lainnya, prostitusi sangat bergantung pada supply dan demand. Bedanya dengan industri lain, prostitusi tak kenal resesi, musim dan waktu. Makhluk mana yang tak membutuhkan seks? Semua butuh dari waktu ke waktu.
Mengapa prostitusi?
Pertanyaan selanjutnya adalah mengapa lelaki suka menyewa kamar di hotel 1-2 jam, one short time saja —yang tentu saja sangat menguntungkan bagi pebisnis hotel jamjaman yang hampir tersebar di tiap sudut kota besar seperti Jakarta? Mengapa tak bosan-bosannya lelaki pergi melancong ke
Mangga Besar, Kota, dan tempat-tempat pelesir malam dengan lady escort-nya yang seksi-seksi? Mengapa mereka bermain-main dengan para hookers? Mengapa ada kue pastry di rumah, tapi masih juga mencicipi jajanan pasar? Jawabannya: karena prostitusi adalah rites of passagebagi lelaki. Prostitusi itu adalah ritus pendewasaan. Ganjilkah? Mungkin. Karena di jaman modern seperti sekarang, hanya sedikit lelaki yang menjalani ritus seperti itu, kecuali barangkali pria Yahudi dengan bar mitzyahnya. Karenanya, mereka pelan-pelan menciptakan beragam 'ritual' dalam bentuk lain. Ritual yang ujungnya bermuara pada satu tahapan untuk dikenal, diakui dan diterima sebagai lelaki. Salah satu ritual tersebut adalah 'jajan', berhubungan dengan wanita pekerja seks, one nite stand. Irma Kurtz, dalam bukunya Malespeak menggambarkan bagaimana dan mengapa transisi fisik lelaki, dari remaja menjadi dewasa, tidak setraumatik perempuan. Suara yang menjadi lebih berat, tumbuhnya segala bulu, dan bahkan mimpi basah pertama. Semuanya merupakan pengalaman yang menyenangkan, tapi juga menegangkan. Banyak lelaki, boleh jadi sedikit cemas dan gelisah dengan pengalaman seksual pertamanya. Perasaan takut tiba-tiba hinggap di kepala. Dag dig dug. Namun begitu pengalaman pertama itu bisa gol dengan 'sukses', meledak keras seperti bunyi petasan, maka ia melihatnya sebagai suatu kemenangan. Bahwa pada titik itu, ia telah berhasil mencapai sesuatu yang besar. Bandingkan misalnya dengan perkembangan wanita menuju kematangan. Darah pertama menstruasi disertai rasa sakit dan ketidaknyamanan. Robeknya keperawanan lebih sering disertai perasaan sedih
— bahkan tak jarang menangis, karena dianggap kehilangan sesuatu, kehilangan mahkota berharga, alih-alih gemilang dengan tawa bahagia karena mencapai sukses. Lalu hamil, melahirkan dan akhirnya menopause yang juga berselimutkan rasa sakit. Semuanya ditandai dengan perubahan fisik yang amat nyata. Proses pematangan ini amat emosional dan secara psikologis betul-betul mengubah diri perempuan.
Sebaliknya, proses pematangan lelaki nyaris kurang emosional bahkan cenderung sensasional. Makanya, ego lelaki terdorong untuk menciptakan caracara yang memungkinkan mereka bersama-sama saling menegaskan dan menunjukkan kalau proses pematangan mereka normal. Ada titik temu untuk mengklaim bahwa dirinya tidak sendirian, dan tidak menyimpang.
Yang terjadi kemudian, mudah ditebak. Salah satu proses menuju kematangan itu adalah melancong ke prostitusi, 'jajan' dengan wanita-wanita pekerja seksual. Di jaman sekarang, banyak remaja, walau belum jadi pacar — bahkan masih di bawah umur, paling tidak sudah pernah sekali 'begituan' dengan whore atau hookers. Ya itu tadi, semua untuk justifikasi kepada kaumnya —dan tentu saja dirinya sendiri, bahwa ia laki-laki jantan, the real man. Bayangkan kalau ia tidak bisa membuktikan ke'jantanan'nya, ia akan dikucilkan dan jadi bahan olok-olokan oleh kaumnya sendiri.
Lelaki di dalam publik, terdorong untuk menyesuaikan diri, untuk mengikuti kelompoknya. Dorongan konformitas itu sesungguhnya jauh lebih besar daripada wanita. Pria suka sekali bergerombol seperti domba: nonton sepakbola, makan siang di kafe, dan tentu saja 'jajan' bareng. Dan konformitas itu, lebih sedikit dalam diri wanita. Paling-paling mereka arisan atau memasak bersama. Kalaupun ada sejumlah wanita yang berani 'jajan' bersama misalnya dengan menggelar arisan seks dengan piala laki-laki. Tapi, jumlahnya bisa dihitung dengan jari dan itupun ritmenya tak menentu. Lelaki dengan segala egonya, berlombalomba untuk mencapai supremasi, kalau perlu dengan menyikut teman sendiri. Terus menerus berkompetisi untuk menunjukkan posisi dan jati diri ke'laki-lakian'nya. Meskipun menikmati suguhan cinta dari gadis-gadis 'sashimi' di VIP karaoke, 'jajan' bareng di Mangga Besar, tapi si Apasti akan bilang 'lawan main'nya sampai berteriakteriak minta ampun dan si C mengaku hooker-nya tak mau 'main' lagi dengannya karena kapok. Ooo
Siklus, variasi.
Unik memang, sexlife lelaki. Sebulan sekali, wanita bergairah atau lesu, sebelum dan sesudah menstruasi. Kalau pria, seminggu sekali mesti menumpahkan hasrat kelelaki-lakiannya. Siklus hormonal ini, ternyata tidak saja menempel pada diri wanita, tapi juga lelaki.
"Seminggu sekali, mesti ganti pasangan. Rasanya plong dan beda," ujar Leo, ketika pada satu kesempatan saya dan Johan minum-minum di kafe Zanzibar, Blok M.
Sambil menyeruput segelas Illusion — sejenis minuman cocktail beralkohol yang populer di sejumlah kafe di Jakarta, ia mengaku pergi kencan dengan teman kencan profesional ketika gairahnya sedang di ubun-ubun.
Hanya sebatas memenuhi implus hormonal? "Tidak dong. Segala burn outdi kepala lenyap seketika," candanya. Buruburu, ia menambahkan, "Yang penting, saya suka variasi."
Gadis-gadis pekerja seks profesional itu, menurut pengalamannya, au diminta melakukan apa saja, tanpa terkecuali. Dan itu, yang membuatnya bisa melakukan ragam variasi. Kemudian, ia mulai bercerita panjang lebar soal segala variasi yang pernah dilakukannya. Dongengnya membuat acara minumminum kami makin asyik dan lupa waktu.
Salah satunya tentang gadis-gadis 'sashimi' yang rela membiarkan tubuhnya yang tanpa sehelai benangpun dipenuhi daging sushi khas Jepang untuk kemudian disantap tanpa ampun.
"Youbelum pernah mencoba kan? Yang satu ini, ya... cukup luar biasa," ledek Leo dengan mimik penuh kemenangan.
Atau tentang wanita pekerja seks profesional yang mampu memberikan layanan 'menu dada super' dengan menarinarikan tubuhnya di atas tubuh lawan mainnya, dengan penuh busa beralaskankasur istimewa, anti air. Dan tak kalah serunya, ceritanya tentang 'orgy service' yang diberikan gadis-gadis lady escort di sebuah rumah cinta, di kawasan Pondok Indah atau ihwal bulebule impor asal Uzbekistan dan Rusia yang menyediakan jasa kencan tiga jam di ruang karaoke kelas elit.
Kenapa tidak dengan istri saja?
"Ah, mana mungkin ia mau. Tahu sendirilah, istri maunya cuma yang konvensional, kuno, nggak ada seninya, ha...ha...," tukasnya, tegas. Bahkan, menurutnya, bisa-bisa istrinya ketakutan melihat variasi yang ia inginkan. Lalu, Johan iseng menimpali, "Memang kau pernah menanyakannya langsung?" Dan ternyata, jawabannya belum. "Wah, itu kesempatan besar. Siapa tahu ia lebih suka variasi daripada kau. Dan salah satu variasinya, dengan lelaki seperti aku ini, ha...ha...." Kami tertawa bersama dan samar-samar mendengar Leo sedikit mengumpat. "Sial bener. Untung di lo, rugi di gua!" sahut Leo dengan ekspresi wajah sedikit memerah. Ah, dasar laki-laki! []
Kata Pengantar Oleh Dede Oetomo, Ph.D.
Prakata Penulis
Pendahuluan
SEX LIFE LELAKI:
From Hooker toWhore to 1 Nite Stand
Daftar isi
1. 1. Nudies Party Bawah Tanah
2. 2. Service Dobel-tripel Vip Sauna
3. 3. Seks Bulan Madu Pajero Goyang
4. 4. Arabian Nite Bachelor Party
5. 5. Chicken Nite Private Party
6. 6. Ladies Escort "No Hand Service"
7. 7. Sex Sandwich Sashimi Girls | 109
8. 8. "Meeting Date" Club-lovers 99 | 133
9. 9. "Sex Drive Thru" Rumah Cinta 20X
10. 10. Roadshow Charlie Wanita2 Jet Set
11. 11. "Melrose Place" High Callgirls
12. 12. Order Orgy Rumah Cinta XXX
13. 13. Judi, Wanita & Seks Lintas Jakarta
14. 14. Blue Nite Cowboy Striper | 243
15. 15. Until Drop Party Super Madame
16. 16. Seks Midnite Gadis2 Burespang
17. 17. "Tukar Kelamin" Party Of The Year
18. 18. Lulur Tripel X Salon-salon Eksekutif
19. 19. Bisnis 'Kolam Susu' GM Super
20. 20. Sex-game Gadis-gadis Gaul
21. 21. Shopping Date Cewek2 Highclass
22. 22. Weekend Party Janda-janda Tajir
23. 23. Nude Ladies Nite VIP Casino
24. 24. Kencan Bule-bule Impor [Dari Striptis,No Hand Service Sampai
Nudies Party
Bawah Tanah
Bawah Tanah
Sebuahpesta nudies berlangsung di bawah tanah. Pesertanya lebih dari 150 orangtanpa busana. Gadis-gadis cantik bergaul bebas dengan pria dalam basement yang disulap menjadiseperti sebuah klub malatn kelas atas.
Boleh percaya, boleh tidak!
Rasanya, hanya satu kata itu yang bisa
keluar dari bibir ketika kali pertama saya mendengar hadirnya sebuah pesta telanjang di Jakarta. Cerita gila macam apa lagi ini. Mungkinkah imbas modernisasi telah begitu dalam memporak-porandakan budaya dan norma ketimuran? Rasa tak percaya menggelayut berat di benak saya.
Mungkinkah wajah Jakarta telah berubah menjadi Las Vegas?
Tapi apa mau dikata. Informasi pertama soal pesta telanjang yang berlangsung di bawah tanah itu saya dapatkan dari seorang aktor ganteng terkenal ibu kota. Sebut saja SLA, 27 tahun, yang pernah digosipkan menjadi pacar artis top paling seksi Ibukota.
Menurut penuturannya, pesta itu memang di luar batas kelaziman.
"Gila, seru tapi serem juga lho. Kita bisa apa saja, mau jadi kayak raja dengan para haremnya, atau mau jadi 'playboy' semalam suntuk," ucapnya, serius. Antara percaya dan tidak, saya terus saja melacak kebenaran kabar gila itu.
Kabarnya, pesta itu berlangsung tert u t u p dan terbatas hanya untuk para member, tentu saja dari kalangan yang berduit. Yang menarik, pestanya berlangsung kontinyu, berdasarkan tanggal yang disepakati. Selama kurang lebih satu bulan, saya merambah kawasan Pluit. Berdasarkan informasi yang saya terima, di kawasan yang banyak terdapat perumahan mewah itulah tempat pesta telanjang sering digelar.
Berbagai tempat hiburan yang tersebar di kawasan itu, saya amati satu per satu. Dari pusat perjudian, bar diskotik, karaoke sampai panti pijat. Seminggu saya mondar-mandir di kawasan utara Jakarta itu, namun peta tempat pesta telanjang bawah tanah itu tetap misterius dan masih dalam tanda tanya besar.
Sampai suatu ketika, saya menghadiri sebuah acara fashion showakbar yang digelar di sebuah hotel berbintang lima di Jakarta. Saya bertemu seorang kawan warga ketu-runan yang mempunyai sebuah pabrik kabel di kawasan Tangerang. Sebut saja Alex, 31 tahun. Pergaulan Alex yang luas, membuat ia memiliki banyak teman dari berbagai kalangan. Ia sering hadir pada acaraacara yang melibatkan kalangan selebritis. Maklum, istri Alex juga punya sebuah butik standar internasional yang pembelinya banyak dari kalangan artis dan kalangan berduit.
Alex yang saya kenal tipikal orang yang cukup akrab dan enak diajak bicara. Ia banyak bercerita seputar pengalamannya soal tempat-tempat hiburan seks yang ada di Jakarta, terutama yang berstandar kelas atas.
Ternyata, Alex pun pernah terlibat sekali dalam pesta telanjang bawah tanah itu. "Kalau mencari sendiri, susah ketemunya. Itu hanya untuk members. Kalau nggak egitu, mesti ada yang menjamin dari pihak anggota," ujarnya. Dari pertemuan itu, saya mulai mendapatkan titik terang. Menurutnya, Alex bukanlah anggota. Ia diajak seorang temannya yang menjadi salah satu pemilik diskotek kelas atas di wilayah Jakarta Utara. "Saya pernah ke sana. Diajak seorang teman yang menjadi salah satu ownerdiskotek kelas atas di Jakarta," tukasnya. Ketika saya mengutarakan keingintahuan saya ihwal pesta telanjang itu, Alex dengan senang hati akan membantu. Kebetulan, menurut kabar temannya, pesta itu dalam minggu-minggu ini memang akan digelar. Saya pun membuat janji untuk jalan bareng. Underground Party. Jum'at, pukul 18.00 WIB. Langit senja Jakarta beranjak malam. Saya janji bertemu dengan Alex di sebuah restoran Jepang di kawasan Kebayoran Baru. Saya datang pukul 18.15 WIB. Seperempat jam kemudian datang bersama seorang pria berbadan sedikit gemuk dengan dandanan rapi dan klimis. "Kenalkan ini kawan saya, Hendra. Nih dia yang pernah mengajak saya ke klub telanjang sebulan lalu," ujar Alex. Saya pun berjabat tangan yang usianya saya taksir tak lebih dari 33 tahun itu untuk kemudian memesan makanan. Sushi, teppanyaki dan segala masakan khas Jepang kami santap sambil terus ngobrol seputar klub telanjang. "Acara itu hanya untuk members dan undangan khusus. Biasanya, diadakan sebulan atau tiga bulan sekali, ya tergantung 'peminat'nya. Maklum, semua serba sembunyi-sembunyi dan hanya antar members yang rata-rata memang kenal satu sama lain," kata Hendra, menjelaskan. Satu jam kemudian, Saya dibawa ke arah Jakarta Pluit. Mengendarai Mercedez E 320 warna hitam metalik milik Alex, Saya melaju cepat melintas Sudirman dan masuk jalan tol. Sepanjang perjalanan mereka tak hentihentinya terus bercerita soal klub telanjang. "Jakarta memang sudah gila. Dulu saya juga nggak percaya kalau itu ada," sergah Alex. "Saya pikir, acara pesta telanjang itu hanya ada di Amerika atau Belanda saja. Siapa sangka kalau di Jakarta pun ada," sambungnya sambil gelenggeleng kepala. Menurut Alex, kalau tidak lantaran Hendra yang mengajaknya, ia tak akan pernah pergi ke tempat itu. "Daripada you buang-buang duit pergi ke luar negeri, mendingan di Jakarta kan. Toh, tak ada beda jauh dengan pesta di klub telanjang yang ada di luar," timpal Hendra. Saya tak berkomentar banyak, selain tak tahu mesti ngomong apa, saya juga tersentak dengan istilah yang dahsyat itu.
Tak terasa, lima belas menit kemudian, Saya telah memasuki kawasan Pluit. Alex yang memegang kemudi sesekali bertanya pada Hendra rute menuju tempat yang Saya tuju. "Saya agak lupa jalannya," tandas Alex. Saya menyangka akan dibawa ke kawasan pusat hiburan Pluit yang tak jauh dari sebuah pusat perbelanjaan yang baru beberapa tahun terakhir ini dibangun. Ternyata saya salah. Mobil Mercedez yang dikemudikan Alex malah memasuki kawasan yang saya belum tahu sebelumnya. Saya terus saja menebar pandangan ke segala arah. Ketika saya melewati sebuah bangunan Mal lama, Saya baru tersadar. Apalagi ketika saya melihat sebuah gedung bioskop yang memajang poster-poster film dalam ukuran besar. "Oh, Saya tahu sekarang," sergah saya. Mal lama dan gedung bioskop itu yang menjadi patokan saya. Menurut penuturan Alex, kawasan yang kami tuju saat itu masuk kawasan di mana banyak tinggal bos-bos berduit. Rumah-rumah yang saya lihat memang seperti kompleks perumahan elit. Puluhan rumah dengan bangunan mewah, berjajar rapi. Rata-rata berpintu gerbang besar. Lalu, kami memasuki bangunan perumahan besar. Tak ada papan nama atau logo layaknya sebuah tempat hiburan. Yang agak aneh, dari balik kaca kami melihat ada sekitar lima pria berbadan tegap berdiri di depan pintu. Begitu berhenti, dua orang sigap menghampiri kami. "Bisa saya bantu, bos!" sapanya sopan. Sementara pria satunya melihatlihat ke dalam mobil dengan sorot mata tajam. Begitu membuka kaca dan melihat Hendra, pria tegap itu langsung tersenyum ramah dan bersikap hormat. Rupanya, Hendra sudah dikenal mereka dengan baik. Atas permintaannya, kamimencari parkir sendiri sambil melihat-lihat situasi. "Silakan memutar ke belakang," kata pria bercelana jeans dengan jaket hitam. Dari halaman depan kami masuk ke area parkir. Cukup luas. Area parkir itu kira-kira bisa menampung 75-100 mobil lebih. Saya lihat puluhan mobil mewah parkir rapi. Hanya jenis mobil mewah yang ada. Mercy, BMW, Range Rover dan Volvo. Di area parkir, juga terdapat sedikitnya lima pria berbadan tegap. Setelah memeriksa, salah seorang dari mereka membantu memarkir mobil yang kami tumpangi. Dari halaman parkir kami naik tangga. Begitu membuka pintu, kami langsung disambut seorang pria berpakaian rapi. "Malam bos. Silakan langsung ke dalam," ujar pria itu mempersilakan. Rupanya, Hendra cukup dikenal di tempat itu. Itulah yang membuat saya merasa aman, meskipun harus menghadapi pemeriksaan dan tatapan mata tajam. Padahal, kalau dipikir-pikir, mustahil masuk kalau tak ada yang 'membawa'. Setidaknya, baru sampai di depan pintu masuk, sudah tertahan oleh penjaga. Kami sampai di ruang dalam. Ada beberapa bidang ditata seperti layaknya sebuah restoran. Ada bar kecil. Beberapa pramusaji yang semuanya laki-laki tampak mondar-mandir melayani tamu yang datang. "Di sini tempat awalnya. Kalau di hotel, ini lobby-nya,"jelas Hendra. Pria yang selalu merokok cerutu itu segera menghampiri seorang pramusaji. "You punya bos mana. Tolong bilang, Hendra sudah datang," katanya perlahan. Pramusaji itu buru-buru pergi. Kami memilih meja dekat bar. Saya amati, ruangan yang menurut Hendra menjadi lobby ini tampak biasa-biasa saja layaknya restoran Jepang atau Cina. Tidak ada interior khas yang ditonjolkan. Palingpaling beberapa hiasan khas Cina seperti kelambu dan beberapa gambar yang dipajang di dinding. Seperempat jam kemudian, seorang pria bermata sipit mengenakan jas dan dasi dengan rambut klimis disisir menghampiri kami. "Pak Hendra, gimana you punya kabar," sapa pria itu kepada Hendra, ramah. "Ini teman you yang pernah you ajak ke sini dulu kan?" sambung pria itu ketika melihat Alex. Pria berjas itu, sebut saja Robby, 34 tahun. Rupanya, pria keturunan itu pemilik tempat tersebut. Hendra memperkenalkan saya sebagai temen dekat, tanpa status macam-macam. Berkat Hendra, sayapun diterima dengan ramah, meskipun berkulit cokelat matang dan secara penampilan tidak serapi mereka. Di kalangan mereka, kepercayaan rupanya memegang peranan penting dalam pergaulan maupun bisnis. Tak jarang di antara mereka terjadi transaksi tanpa melalui tanda bukti tertulis dan berlangsung aman dan lancar. Saya jadi pendengar setia di tengah obrolan mereka seputar bisnis. Terdengar akrab dan cukup terbuka satu sama lain. Bahkan sesekali terdengar tawa meledak lantaran sering ada gurauan konyol yang muncul tiba-tiba. Jam telah beranjak dari pukul 20.30 WIB. Robby untuk kesekian kali memesan minuman. "Bagaimana you punya tempat. Tambah ramai kan?" tanya Hendra. "Ya, masih seperti dulu. Members guestnya lumayan naik. Seperti you lihat kan. Masih tetap ramai," jawab Robby sambil meneguk segelas black-russian. "Ngomong-ngomong, you masuk apa cuma nengok," tanya Robby. "Sudah ke sini, masa aku cuma mau mampir. Koleksi-nya nambah nggak?" jawab Hendra sambil balik bertanya soal koleksi. "Ya, pastilah. Kalau nggak nambah, ntar banyak member-guest yang bosan," sergah Robby, tertawa. Rupanya, yang dimaksud dengan koleksi oleh Hendra tak lain "wanita". Dengan tersenyum, Robby mendekatkan mulutnya ke telinga Hendra.
Pesta Kaligula.
Kami pun segera meninggalkan tempat duduk. Kami dibawa menuruni anak tangga. Sepanjang anak tangga diterangi lampu neon dan bentuknya menyerupai sebuah lorong kecil. Kalau tidak salah, kami seperti sudah berada di Basement. Hanya saja, interiornya sungguh beda. Dua menit kemudian, kami tiba di lokasi.
Empat recepsionist dengan senyum ramah menyambut. Sebuah pintu besar di depan meja recepsionist tampak terkunci rapat. Saya duduk di sofa sambil menunggu percakapan antara Robby, Alex dan Hendra. Saya melihat sekeliling. Tembok di tempat itu nyaris didesain dengan warna tanah. Lampu yang menyorot ke tiap sudut, membias kekuningan.
Di sebelah meja recepsionisttak jauh dari pintu utama, terdapat sebuah pintu lagi.
Pukul 21.10 WIB, Robby mohon diri. "Silakan bersenang-senang," tukasnya sambil berlalu pergi.
recepsionist menghampiri kami dan mempersilakan masuk ke pintu tak jauh dari pintu utama.
"Maaf, semua harap ditanggalkan tanpa terkecuali. Tak boleh ada jam tangan, handphonedan dompet. Barang-barang silakan dimasukkan dalam box yang disediakan.Saya akan mengunci box dengan aman," jelas recepsionist berambut cepak itu.
Dan benar saja. Begitu masuk kami mendapati sederet lemari box. Satu per satu kami bergantian menanggalkan semua yang melekat pada tubuh. Begitu selesai, saya mengikuti Hendra di belakang menyibak tirai hitam. Di balik tirai itu rupanya ada pintu lagi.
Begitu pintu terkuak, kami yang tanpa sehelai baju pun, hanya bisa ternganga.
Astaga! Sebuah pemandangan yang sama sekali tak pernah saya bayangkan sebelumnya. Ratusan pria dan wanita semua dalam keadaan telanjang bulat. Musik mengalun deras laksana bunyi hujan di malam hari. Suasana layaknya klub malam, tergambar jelas. Hanya saja, kali ini semua pengunjungnya tanpa busana.
Saya pun mulai berpisah. Hendra dan Alex sudah berbaur dengan riuhnya suasana. Saya menebar pandangan ke sekeliling. Semua ruangan bernuansa cokelat. Interior ruangan seperti larut dalam bangunan meditarian. Lampu membias kelam. Meski tidak seterang lampu stadion, tapi gambaran klub telanjang itu benar-benar transparan.
Ruangan bawah tanah yang disulap menjadi seperti klub itu layaknya istana wanita. Sejauh mata memandang, hanyaada wanita dan pria dalam keadaan bugil.
Tamu-tamu yang say a temui, amat beragam. Para prianya, dari yang bermata sipit sampai yang berkulit cokelat mata juga ada. Saya juga menemui beberapa selebritis yang wajahnya kerap nongol di televisi.
Sementara wanita bugilnya, juga tak kalah beragam. Ada Arab, Cina, India sampai bule. Namun mayoritas asli pribumi. Saya tak percaya, wajahwajah cantik dengan badan seksi dan montok itu ada di acara gila seperti ini. Gaya dan tingkah mereka benar-benar liar dan menggoda.
Sebuah bar besar dibangun di tengahtengah.
Empat orang wanita tanpa busana bergantian menuang berbagai racikan minuman beralkohol ke dalam. Ah, rupanya wanita yang bugil di klub telanjang ini merangkap sebagai bartender. Di beberapa meja yang diletakkan di tiap sudut ruangan, terdapat makanan-makanan siap santap.
Di dalam ruangan klub telanjang itu, juga terhampar deretan kamar yang hanya ditutup dengan tirai. Kamar mandi, toilet lengkap dengan perlengkapan.
Sebuah panggung mini tak jauh dari bar, menjadi panggung tarian striptis. Puluhan wanita meliuk-liuk dengan panasnya laksana cacing kepanasan. Saya seperti berada di alam mimpi. Sejauh mata memandang, hanya badan tanpa busana yang mengacaukan urat saraf. Dari balik kamar yang ditutupi tirai, saya melihat pasangan yang keluar masuk. Saya tak bisa berpikir lagi. Pasangan yang keluar masuk dari kamar bertirai itu, bisa dua wanita satu pria atau sebaliknya. Semua berlangsung tanpa dapat saya bayangkan apa yang telah saya temui saat itu. Benarkah ini ada? Dunia memang sudah gila. Kalau selama ini saya hanya bisa melihat adegan-adegan syur seperti itu dalam filmfilm biru, kini saya melihatnya secara live.Benar-benar edan! Ungkapan itu untuk kesekian kali keluar dari bibir saya. Saya pun larut dalam suasana pesta purba itu. Entah sudah berapa lama saya berada di ruang bawah tanah yang penuh dengan nafsu yang bergejolak tiap saat laksana gunung merapi itu. Saya tak tahu waktu lagi. Berada di bawah tanah, serasa tak kenal siang. Yang ada hanya malam dan malam. Semua berlalu seperti mimpi dan di bawah sadar.
Members Rp 50 juta.
Hampir pukul 5 pagi, saya ketemu Hendra dan Alex, dan memutuskan untuk keluar dari pesta telanjang tersebut. Harus saya akui, kami tampak lusuh. Hendra dan Alex, tampak seperti baru saja merampungkan kerja berat. Tapi, wajah mereka kelihatan segar, gembira.
"Rani pijatnya jago, lho. Belum lagi service-nya,"ujar Alex, tersenyum.
Usai memberikan tip pada dua recepsionist yang berjaga, kami segera menaiki tangga menuju ruang lobby. Tanpa banyak basa-basi lagi, kami langsung menuju area parkir dan melaju dengan cepat meninggalkan klub telanjang tersebut.
Selama dalam perjalanan, kami saling bertukar cerita. Selama melintas di lalu lintas Jakarta yang sepi lantaran hari masih pagi buta, Hendra dan Alex saling menuturkan, untuk masuk ke acara tadi itu tidaklah mudah. Menurut Hendra, untuk bisa masuk pertama-tama harus menjadi member-guest.
"Itupun tidak gampang. Karena mereka selektif sekali," tandasnya.
Untuk menjadi member-guest, satu orang harus membayar Rp 50 juta untuk masa berlaku selama 6 bulan. Nah, selesai mendapat kartu member-guest, tiap kali datang ke klub telanjang, harus menyerahkan Rp 3 juta lagi untuk dapat mengikuti pesta purba. Dengan membayar Rp 3 juta tu, lanjut Hendra, tiap tamu diberi kebebasan mau berapa lama tinggal di dalam pesta.
"Kalau kuat, mau dua hari juga boleh. Tapi, biasanya acaranya tak lebih dari dua hari dua malam," tukasnya. Lantaran pengelola acara pesta telanjang sangat selektif, biasanya para membersbaru datang dengan dibawa orang-orang dekat. "Kayak saya saja. Karena saya kenal dekat dengan "bos" dan dia percaya, gam-pang kan," tandasnya. Menurut Hendra, tidak gampang bagi tamu yang belum terdaftar sebagai memberguest.
"Ya, mereka menjaga diri saja dari hal yang tidak diinginkan. Zaman sekarang kan ada-ada saja yang punya niat jelek," ungkap Hendra. Ihwal puluhan gadis-gadis cantik dan seksi yang menjadi 'dayangdayang' penghibur dalam pesta tersebut, menurut Hendra, mereka adalah gadis-gadis bayaran yang sudah diseleksi. Mereka didapat dari sejumlah germo kelas atas di Jakarta. Ratarata, satu orang mendapat bayaran tak kurang Rp 5 -10 juta untuk satu acara. Masih menurut Hendra, biasanya, acara yang sama akan diadakan berdasarkan undangan ke tiap members. Masing-masing members akan memberi tanda setuju ketika mereka menyetorkan uang. Yang pasti, kata Hendra, dalam 6 bulan, minimal akan diadakan 2 kali pesta. "Member guest-nya tak kurang dari 100 orang lebih, orang berduit semua lagi," jelasnya. Tak terasa, kami pun sampai di sebuah hotel berbintang empat di kawasan Blok M. Alex membukakan sebuah kamar untuk beristirahat. "Saya duluan. Selamat beristirahat. Lain kali kita jalan lagi," Alex mohon diri. Sesampainya di kamar hotel, di benak saya masih terbayang-bayang puluhan gadis cantik menari dengan penuh liukan menggoda, tanpa busana. Astaga! []
2
Service Dobel-tripel Vip Sauna
Service Dobel-tripel Vip Sauna
Sebuah sauna yang menawarkan layanan kemanjaan untuk laki-laki genit. Pijat, lulur, mandi uap lengkap dengan pedikur oleh sejumlah wanita cantik. Istimewanya, layanan kemanjaan itu bisa dilakukan di private-sauna, nafsi-nafsi dengan full-service. Bisa dobel bahkan tripel!!!
Bukan hal aneh, sebenarnya. Bagi sebagian orang, mandi uap alias sauna lengkap dengan pelayanan lengkap —dengan ditemani wanita-wanita cantik yang notabene tak hanya satu, berarti bisa dua, tiga bahkan lebih, sudah menjadi kesenangan dan hobi tersendiri. Mandi uap atau lebih populer dengan sebutan mandi sauna, sebenarnya bukan hal yang asing. Hampir di tiap sudut Jakarta bisa ditemui. Di tempat-tempat kebugaran berkelas seperti di hotel dan gedung perkantoran mewah, atau di beberapa panti pijat, mandi uap sudah menjadi konsumsi paket sehari-hari.
Sebutlah misalnya beberapa tempat sauna di hotel-hotel berbintang di Jalan Thamrin dan Jalan Sudirman atau beberapa lain yang ada di kawasan Kebayoran Baru dan Tebet yang kini lagi menjamur. Maklum, dua kawasan tersebut dalam beberapa tahun terakhir memang menjadi sarang salon kencantikan, banyak di antaranya yang dilengkapi dengan spa atau sauna. Rata-rata tempat tersebut, memiliki ruangan sauna yang nyaman, hangat dan eksklusif karena pelanggannya pun ratarata dari kalangan eksekutif, bahkan ada yang khusus menjadi ajang kumpul ibu-ibu jet-set.
Tetapi yang saya tahu, di pusat kebugaran tersebut, ruangan sauna pria dan wanita terpisah, sehingga kalau ada kebersamaan, itu adalah tamu-tamu sesama jenis. Lagi pula, di pusat kebugaran tersebut, tidak ada layanan kemanjaan yang aneh-aneh. Hampir rata-rata mena-warkan layanan kemanjaan dalam arti yang sebenarnya.
Primadona.
Banyak tempat sauna yang berpraktek lurus, namun banyak juga yang memberikan paket miring. CP adalah salah satunya. CP sebenarnya bukan tempat hiburan baru. Ketika Jakarta mulai dilanda banjir panti pijat, steam-bath, pub dan klub malam, pada tahun 1980-an, CP menjadi bagian dari gebyar hiburan malam kelas atas. Maklum, letaknya berdampingan dengan sebuah hotel berbintang empat, di kawasan Ancol. Bahkan, nama CP tidak saja menonjol dengan private-sauna plusnya, namun lebih dari itu, ia juga populer karena mempunyai ladang bisnis yang langsung menguras dan menangguk uang.Ya, apalagi kalau bukan judi dan kasino.
Sebagaimana laiknya standar internanasional, tentu saja sarang uang tersebut dilengkapi dengan tempat pelesir cinta seperti panti pijat, restoran, pub, klub malam dan sauna lengkap dengan dayangdayang penghibur. Dan seiring dengan makin basahnya bisnis tersebut, persaingan pun terjadi dimanamana. Banyak tempat yang menawarkan paket layanan serupa. Lalu, apa keistimewaaan CP sehingga masih banyak laki-laki genit yang saban hari selalu mampir?
Ya, apalagi kalau bukan layanan sauna istimewa. Sesuai tingkatannya, sisa-sisa kejayaannya masih terasa, meskipun kalah mewah dibandingkan dengan tempat kebugaran di hotel berbintang lima. Tapi standar tata ruangnya, dengan setting tata lampu yang cenderung temaram, CP tetap memiliki daya tarik tersendiri. Di ruang utama, setelah melewati pintu masuk, ada bangku bar sofa untuk mengobrol dan menunggu. Pengunjungnya, kebanyakan laki-laki separuh baya, ada juga beberapa anak muda yang asyik memilih pasangan.
Cukup banyak untuk waktu yang relatif masih sore, pukul 19.00 WIB, Rabu malam. Pada siang hari, terutama di atas jam makan siang, tempat ini mulai ramai pengunjung. Apalagi pada malam libur, seperti Jumat dan Sabtu malam.
"Banyak juga tamu yang setelah bosan ngobrol di kafe atau menang main judi, rileks di sini, melemaskan otot," ujar seorang teman yang mendampingi saya, sebut saja Bram, 29 tahun, sehari-hari menjadi manajer di sebuah kafe di bilangan Senayan.
Bagi saya, kehadiran Bram sangat diperlukan. Bukan apa-apa, sebagai salah satu tamu yang masuk kategori memberguest,
Bram mempunyai akses luas. Bagi saya, yang masih baru, bisa hanya mendapatkan pelayanan biasa. Palayanan biasa? "Ya, membayar tiket dan ditemani pemijat standar," sahut Bram.
Harus saya akui, saya tidak begitu paham yang dimaksudkan. Yang saya dengar, di pusat kebugaran dan kesehatan rule-nya memang begitu. Tamu dapat menggunakan fasilitas dengan membayar sejumlah uang dan akan mendapatkan pelayanan sebagaimana pijat satu jam, mandi air dingin atau hangat, mandi uap dan bisa disambung dengan fasilitas kebugaran yang lain. Sedangkan di sini, di CP, dengan membayar Rp 250 ribu per jam untuk kamar standar dan Rp 350 ribu untuk kamar VIP, tamu bisa mendapatkan fasilitas mandi sauna dengan ditemani hostesyang dipilih. "Kalau mau yang istimewa, bisa langsung minta ke Mami," tambah teman saya, Bram. Istilah Mami, rupanya adalah koordinator hostes yang ternyata juga bisa menjadi pemijat. Bram, sebagai memberguest,rupanya akrab dengan Mami Neny — begitu wanita 27 tahun ini disebut. Wajahnya cantik, dengan dandanan agak berani, tampak ramah dan akrab, meski-pun dari caranya mengisap rokok yang tak kunjung habis, tampak sering gugup dan gelisah. Saya terus terang sering tak habis mengerti, kenapa kebanyakan wanitawanita pekerja di tempat hiburan malam seringkali tampak gelisah. Padahal, untuk jabatan koordinator seperti Mami Neny, dapat dipastikan mempunyai seabrek pengalaman dan jam terbang yang tak sedikit. Kata Bram, Neny ini dulunya juga hostes, tapi kemudian pacaran dengan seorang bos yang menjadi langganannya. Oleh sang pacar, segala kebutuhan Neny serba dicukupi. Tapi, belum genap setahun,sang pacar mulai bosan dan meninggalkannya.Apa boleh buat, Neny pun kembali ke pekerjaan lamanya. Satu tahun kemudian, karena hubungan baiknya dengan para bos CP, Neny naik pangkat sebagai koordinator hostes alias Mami. Dan sebagai Mami, Neny biasanya memberikan perhatian lebih pada sejumlah tamu istimewa, yang tak lain para bos atau relasi-pelanggan CP. "Ada juga sejumlah oknum pejabat daerah, kalau menginap di hotel sebelah, selalu mampir ke sini," kata Mami Neny, menerangkan. Mandi Dobel. Atas inisiatif Bram, saya pun minta pelayanan istimewa. Dua pemijat: satu untuk Bram dan dua untuk saya. Dan ternyata, tiga wanita pilihan Mami Neny adalah termasuk primadona —menurut istilah mereka. Padahal, bisa saja, untuk menyenangkan tamu plus bahasa bisnis, semua hostesyang menjadi anak buahnya dianggap primadona. Berbeda dengan panti kesehatan yang lain, dimana tamu biasanya memilih nomor atau nama dari foto, di CP, kami dibebaskan bertemu dengan hostespemijat. Dan pilihan Mami Neny memang lumayan. Sebut saja Lisa dan Evi adalah wanita yang sedikit di telanjang. Dan yang membuat saya kikuk lagi, keduanya selalu memancing dan menggoda dengan genit. Mereka secara bergantian atau bersama-sama menggosok tubuh dengan sabun busa, membersihkan jemari dan meremasnya, memotong dan membersihkan kuku, dan bergantian keduanya ikut masuk ke kolam dengan merapatkan tubuhnya yang hangat. Dan dengan polah genit, mereka acapkali menggoda dengan gerakan dan gesekan sensual. Saya tak tahu, apakah tamu laki-laki yang mudah terbakar, cukup kuat menghadapi godaan setan cantik seperti ini? Saya yakin, apakah mandi di kolam susu dengan ditemani dayang-dayang cantik ini bisa berjalan semestinya ketika lagu-lagu Celine Dion mengalun dalam keremangan lampu dan ruangan yang hangat menggoda? Tapi sebelum saya mendapat jawaban, Evi meminta saya naik dan membalutnya dengan handuk untuk merebuh tubuh dengan uap sauna. Kami menghangatkan tubuh dengan mengobrol. Ternyata, keduanya sama-sama enak diajak bicara, seraya sesekali menyeruput minuman.
Order Cinta.
Ceritanya ternyata klise dan klasik. Entah sudah berapa kali saya menemukan cerita yang sama dari beberapa mulut wanita yang bekerja di tempat hiburan malam. Patah hati dan merasa diperlakukan tidak adil oleh lakilaki, baik Evi dan Rita sama-sama mengaku jadi korban laki-laki. Untuk beberapa saat lamanya, saya tekun menyimak cerita mereka berdua. Evi dikhianati pacar yang ia kenal ketika sama-sama masih kuliah di Medan. Sementara Rita lebih parah lagi karena pacar yang selama ini ia percaya ternyata hanya mau tubuhnya saja, lain tidak.
"Kita ini memang bodoh. Mau-maunya dikibuli laki-laki. Sudah rusak, ee...nggak dapat apa-apa. Mendingan yang menghasilkan, kita kan pengin segenggam emas dan seonggok berlian...," kata Evi tersenyum kecut.
Tak terasa, saya sudah berada di tempat tidur untuk edisi pemijatan. Dengan hanya ditutup handuk, Rita dan Evi mulai mengerjakan tugasnya. Waktu bergulir cepat. Ketika saya meraih jam tangan, waktu telah menunjuk angka 20.00 WIB. Saya tadi masuk pukul tujuh lewat. Rupanya, waktu satu jam terlalu pendek untuk mendapatkan full-service. Saya masih ragu ketika keduanya menawarkan untuk menambah jam, seraya menaiki punggung saya. Hanya dengan jas mandi dan pakaian dalam, Rita bergerak di punggung, sementara Evi dengan manja mengelus wajah. Bisa Anda bayangkan! Ini bukan pijatan seorang dayang-dayang. Ini jelas-jelas usapan penuh goda yang menawarkan anggur lezat duniawi.
Dan benar saja, tak lama kemudian, Evi dengan manja menawarkan pelayanan kemanjaan untuk kelas dewasa.
"Bagaimana dengan Rita," saya coba memancing.
"Lho, memangnya kenapa? Tidak mau dengan saya," rengek Evi spontan.
"Nggak usah ribut-ribut. Bagaimana kalau kita bergabung. Ya, bertigalah. Belum pernah ya? Coba saja...," timpal Evi, kemudian.
Astaga! Untuk beberapa saat lamanya, saya tak bisa bicara. Rupanya, pijat istimewa tersebut, ujung-ujungnya ber-muara pada transaksi cinta juga. Bahkan, tidak tanggung-tanggung, selain layanan fu service secara sendiri maupun dobel, tidak melulu berlangsung di tempat tidur. Tapi, bisa juga berlangsung di kolam uap. Terser ah order tamu, yang penting sudah ada kesepakatan antara kedua belah pihak soal besarnya tips.
"Maunya seperti apa, sih?" tanya Evi dengan nada sedikit merajuk.
"Kalau nggak mau di tempat tidur, kita ke kolam uap saja. Banyak lho, yang demen permainan di dalam air hangat, bertiga lagi," timpalnya dengan senyum menggoda. Maaf, saya belum bisa membayangkannya. Dengan alasan yang dibuat-buat, saya memutuskan untuk menyudahi layanan kemanjaan penuh goda tersebut. Waktu satu jam, saya pikir sudah lebih dari cukup. Padahal, hampir semua tamu laki-laki yang datang, memang mengharapkan layanan full servicesuper istimewa tersebut.
Sepenuhnya saya paham. Kalau tujuannya uang, mereka memang layak kecewa karena bagaimanapun mereka kehilangan kesempatan untuk menangguk uang pada saat itu. Semestinya, uang yang sudah di tangan, mendadak hilang lantaran transaksi full service tak jadi berlanjut. Padahal, untuk sekali transaksi saja, mereka bisa mengantongi tips paling tidak Rp 200 – Rp 300 ribu untuk one short time. Saya maklum, ketika wajah mereka tampak kurang gembira meski sejumlah uang saya selipkan sebagai tips.
Pijat kesehatan istimewa seperti yang ditawarkan CP, sebenarnyalah menjuruspada layanan cinta kilat. Hanya saja, kemasan yang ditawarkan memang lain dari biasanya. Seperti layanan cinta kilat de-ngan ditemani hostes cantik, bisa satu, dobel bahkan tripel. Tidak hanya itu, tamu juga bisa mendapatkan ragam layanan kemanjaan yang amat variatif dengan adanya paket pijat dan kolam uap. Dan rupanya pula, kecenderungan menjadikan sarana pijat kesehatan sebagai ajang untuk tran-saksi cinta kilat, telah menerpa di banyak tempat.
Meskipun, tentunya, tidak semua.
"Coba, kita berpikir bodoh saja. Apa yang terjadi kalau dua makhluk lain jenis berada Dalam satu ruang tertutup atau setengah tertutup. Katakanlah tidak melakukan aktivitas seks dalam arti sebenarnya, tapi kan menjurus ke arah sana. Laki-laki kan mencoba iseng, mencari kesenangan, sementara si wanita membutuhkan uang. Kan besar sekali ketemunya. Kalau ada yang risih di tempat itu, ya tentunya transaksi di tempa lain yang lebih nyaman, hotel misalnya," ujar Bram sembari tertawa.
"Tapi bertiga?" tanya saya berlagak bodoh. "Kenapa kalau bertiga? Mereka itu sudah mematikan rasa. Nggak peduli berdua, bertiga atau berempat sama saja.
Malahan, kalau bertiga atau lebih, tugas dan pekerjaan mereka jadi ringan. Gimana nggak? Tugasnya tak dipikul sendirian, tapi dibagi-bagi, he...he....," selorohnya mencoba beralasan.
Pola pelayanan istimewa seperti di CP, sebenarnya bukan hal yang luar biasa lagi, bahkan hampir bisa ditemukan di tempat tempat pijat, diskotek atau klub malam yang membiarkan transaksi seks ber-langsung. Hanya saja, seperti tadi saya bilang, ragam dan pola paket yang ditawarkan berbedabeda. Ibarat juru masak, mesti mencari dan menambahkan bumbu-bumbu penyedap biar masakan jadi tambah lezat dan diminati.
Begitu juga denga pola-pola layanan kemanjaan untuk laki-laki yang ditawarkan sejumlah tempat panti pijat, klub sauna, diskotek atau klub malam. []
3
Seks Bulan Madu Pajero Goyang
Seks Bulan Madu Pajero Goyang
Seks bulan madu di dalam mobil berkelas, mulai Pajero sampai Range Rover Wanitanya, tidak hanya Melayu, bahkan Arab, Cina sampai India pun tersedia.Trenbaru bisnis 'kolamsusu' megapolitan.
Seks tak lepas dari petualangan. Malah, banyak yang mengatakan, sex is not just sex but it's a game. Seks adalah permainan, entah di awal atau malah di akhir sekalipun. Tak heran, kalau beragam 'permainan' sengaja dihadirkan untuk memuaskan para lelaki petualang. Tarian Striptis, mandi kucing, foreplay dengan perempuan berpayudara besar adalah bagian dari sebuah petualangan untuk menuju seks paling puncak. Dan untuk semua itu, Jakarta seperti tak pernah kehabisan bensin. Kreatifitas yang tinggi, tapi lebih pada mengumbar nafsu godaan setan yang bermuara pada bisnis semata. Seks Pajero Goyang (SPG) adalah bagian dari salah satu layanan cinta kilat yang sangat inovatif dan variatif, selain tentu juga menawarkan satu tantangan yang lain dari biasanya. Berawal dari kongkow-kongkow bersama seorang teman, sebut saja Andreas, 31 tahun, informasi seputar layanan Seks Pajero Goyang mulai terkuak. Pria yang sehari-hari menggeluti bisnis di pasar saham tersebut, punya pergaulan luas. Kenalannya tak tanggung-tanggung, dari anak pejabat sampai komunitas masya-rakat kafe yang memang doyan keluyuran malam. Sebagai eksekutif muda gaul, Andreas rupanya, termasuk tipe laki-laki yang tak pernah puas dengan aneka layanan cinta kilat yang menjamur di Jakarta. Logis memang, kalau seringkali ia membayangkan dapat menikmati jasa layanan cinta dalam bentuk lain. "Seks itu yang penting petualangannya," ujarnya. Makanya, sekali waktu ia membayangkan berhubungan seks dengan wanita di dalam mobil. Pernah dicobanya tapi itu hanya sebatas, 'permainan kecil', lain tidak. "Ada nggak ya yang menyediakan pelayanan making lovedi dalam mobil lengkap dengan supir dan segala fasilitas ranjang, makan dan minuman?" tanyanya suatu waktu. Ternyata, Andreas tak berfantasi seorang sendiri. Banyak pria yang ingin menumpahkan hasrat seksualnya dengan cara yang 'berbeda' dari biasanya. Ranjang, kolam renang, lapangan terbuka, sudah bukan satu tantangan lagi bagi orang seperti Andreas. Rupanya, banyak pria yang sepertiAndreas, yang ingin menggapai surga dunia bersama seorang wanita cantik di dalam mobil yang melaju di atas jalan raya.
Menu Indo.
Pada awalnya, sayamenduga tempat Seks Pajero Goyang tersebut berada di kawasan Jakarta Utara, sebut saja Ancol. Maklum, sejak lama, kawasan terbuka yang sering digunakan sebagai tempat melancong tersebut, memang memungkinkan untuk aktivitas seperti itu. Bahkan, kabarnya banyak orang yang memang memanfaat-kannya untuk berendezvous cinta di dalam mobil, di pelataran parkir dan sebagainya. Ancol sebagai tempat untuk pacaran, memang bukan rahasia lagi.
Ternyata, pada hari yang dijanjikan, oleh Andreas, saya tak dibawa ke kawasan Ancol. Laju kendaraan kami meluncur ke arah kawasan Kota. Rupanya, di kawasan yang telah tumbuh menjadi pusat hiburan malam itu pula yang telah menciptakan kreasi baru jasa layanan cinta yang berbalut seks petualangan tersebut.
Di dalam mobil Land Rover milik Andreas, saya ditemani seorang rekan sepetualangan Andreas, sebut saja Gunawan, 33 tahun. Gunawan yang seharihari bekerja sebagai 'big bos'di perusahaan advertisingitu termasuk tipe lakilaki borju. Baju yang dikenakannya serba brand-minded Maklum, perusahaan advertising-nya cukup top dan menangani banyak klien-klien kakap. "Dia ini yang ingin jadi kelinci laki-laki kali ini. Soalnya, you pasti udah nggak excitedlagi," ledek Andreas sambil menunjuk ke arah saya. Saya hanya tersenyum mendengarnya. Rupanya, dari Gunawan jugalah, Andreas mendapatkan informasi ihwal SPG. Dan kepergiannya kali ini, bukan untuk yang pertama kali. Malah, ia mengatakan, ini sudah yang keempat. Astaga! Dari GM Plaza, kami memutar balik. Beberapa meter kemudian kami memasuki sebuah gang besar yang muat untuk dua kendaraan. Sekitar 10 meter berjalan, dari sebuah bangunan tampak lampu merah hijau yang mencorong di suasana sore yang perlahan beranjak malam. Lampu merah hijau itu membungkus sebuah logo berbentuk burung dan rembulan. Sekilas logo itu seperti berbentuk dua huruf: ML. Kami tak sempat lagi berpikir panjang soal kepanjangan dua huruf itu. Kami perlahan mulai mencari tempat parkir yang letaknya persis berada di samping gedung ML. Aneka ragam merek mobil tampak berjajar rapi. Parkir! Beberapa diantaranya mobil-mobil berkelas, dari BMW sampai Mercedes. Seorang petugas parkir menjemput kedatangan kami sambil menunjukkan areal kosong. "Nah, di sini tempatnya. Siap berpetualang nggak?" goda Gunawan sambil tersenyum simpul. Jam sudah menunjuk pukul 19.00 WIB ketika kami memasuki ruangan SM. Kami disambut seorang penerima tamu wanita yang mengenakan blazer hitam dipadu dengan kemeja putih dan rok mini. Dengan senyum ramahnya, ia mempersilakan kami masuk. Terus terang, sayang masih belum 'ngeh' dengan tempatnya. Dibilang kantor bukan, kafe kok nanggung, tapi ta-mu yang datang banyak juga dan rata-rata duduk santai di tempat yang disediakan. Musik sedang mengalun. Iramanya terdengar lembut dan mendayu-dayu. Cahaya lampu bersinar cukup terang. Sekilas ML tampak seperti paduan kafe dan diskotik. Kami melihat ke sekeliling ruangan. Beberapa meja tampak dipenuhi lelaki dengan dandanan necis dan perlente. Sebagian malah sudah ditemani wanita wanita cantik dengan busana seksi. Mereka rata-rata mengenakan kaos ketat dan rok mini. Beberapa dari mereka yang memiliki ukuran dada 36 B terlihat begitu menonjol sex-appeal-nya. Kami pun dipersilakan duduk. Seorang pramusaji wanita menghampiri kami sambil menawarkan menu yang disediakan. Segelas white-wine dan dua gelas Black Russian kami pesan. Sekitar lima menit kemudian, seorang pramusaji yang usianya kira-kira 35 tahunan itu, kembali dengan minuman yang kami pesan. "Silakan minum. Apa mau pesan yang lain?" tawarnya sopan. Kami hanya gelenggeleng kepala.
Pramusaji itu kemudian memperkenalkan diri sebagai Irma. Meski tak begitu cantik, namun polesan kosmetik yang membaluri wajahnya membuat wajah Irma tampak fresh dan segar. "Mau ditemani atau tetap mau bertiga saja?" tanyanya sambil membungkukkan badan. Rupanya, Gunawan tak lagi heran dengan basa-basi Irma. Menurut pengakuannya, terakhir sebulan lalu ia pergi ke ML. Saya coba mengamati sekeliling ruangan. Sejumlah tamu laki-laki yang datang, tampak asyik bercengkerama di meja dengan teman 'wanita'nya masingmasing. Makanya, tanpa banyak basa-basilagi Gunawan langsung saja pada pokok persoalan. "Tolong dong minta menu Indonya?" pintanya. Irma hanya tersenyum. "Oh, kalau begitu, mari langsung ikut saya?" ajaknya. Kami mengekor di belakang Irma. Ternyata, kami diajak ke ruang belakang. Sebuah ruang displaydibalut dengan kaca putih bening. Di dalamnya berisikan para wanita cantik yang asyik bercanda ria satu sama lain. Dari yang bermata sipit, berhidung mancung sampai berwajah khas Indonesia. Sekilas memang mirip aquarium yang berisi ikan hias dengan segala polah tingkahya. "Mau pilih yang mana. Yang rambutnya ikal dan hidungnya mancung itu namanya Reni, 22 tahun —tentu saja bukan nama sebenarnya, di dunia malam sudah biasa tak menggunakan nama asli. Asli Suka-bumi. Yang sintal dan kulitnya putih itu Babby, 25 tahun, WNI keturunan. Yang montok itu Fara, baru 20 tahun. Service-nya dijamin oke, lho?" Irma memperkenalkan "anak didik"nya satu per satu sambil berpromosi. "Paket Pajero Goyang-nya masih ada kan, Mi?" tanya Gunawan menyebut Irma dengan 'Mi' kependekan dari Mami. Rupanya, selain bertugas sebagai pramusaji, Irma juga seorang pengantar. "Oh, bisa diatur," jawabnya Irma spontan. Kami lalu diajak pindah tempat oleh Irma ke ruangan lain, ruang yang lebih nyaman dan meriah. Bahkan, tanpa me-mesan kami langsung disuguhi white-winedan blackrussian lagi. Tidak lama kemu-dian, Irma datang ditemani dua wanita cantik yang tidak kami temui di ruang aquarium. Mereka diperkenalkan sebagai Dina dan Rosa. Keduanya, memang lebih cantik dan secara dandanan, gaya dan fisiknya terkesan seperti bule. Tapi, kami belum bisa memastikan. Rupanya, inilah yang dimaksud menu Indo. Mereka tampak ramah dan akrab sambil membuka percakapan dari soal nama, pekerjaan sampai hal-hal pribadi. Rosa bertubuh tinggi 170 cm itu mengaku keturunan Belanda. "Saya dari Jawa Tengah. Ibu saya Semarang, papa saya Holland," tuturnya dengan nada lemah lembut. Terus terang, kami mau tak mau kaget ketika mencoba mengawasi dengan cermat, gadis Indo itu sepertinya pernah kami kenal wajahnya. "Nggak usah kaget. Saya pernah ikut beberapa sinetron kok, tapi bukan peran utama," tegas Rosa. Menurutnya, ia berada di tempat ini cukup lama, sekitar 2 tahun. Sebelumnya, ia hanya 'freelance' menjadi high-class-girl dan menggunakan jasa GM alias germo sebagai media-marketing ke bos-bos. Sempat kuliah tapi gagal lantaran, katanya, biaya kurang. Ya, mungkin hanya sebuah alasan klise. Karena lingkungan Jakarta yang serba 'money-oriented', ia pun dituntut untuk memburu materi dengan cara mudah tapi cepat menghasilkan. Apalagi kalau bukan 'jual cinta', meskipun terbatas hanya di kalangan eksekutif dan bos-bos tajir. "Kalau kerja di sini belum lama kok, baru lima bulanan," tegas Rosa lagi. "Pertama ya karena duitnya, dong. Tapi juga karena tak perlu kerja keras. Dan asyik pula," katanya sambil tersenyum. Sementara Dina, gadis cantik berkulit bersih dengan potongan rambut sebahu itu, mengaku berasal dari Bandung dan masih keturunan Arab. Pantas saja, hidungnya tampak mancung. "Saya sebenarnya sudah bekerja di perusahaan asuransi. Sekarang lagi cuti dulu, kejar setoran. Bulan ini kebutuhan meningkat drastis," terangnya tanpa menyebutkan kebutuhan apa yang dimaksud. Rupanya, Dina dan Rosa termasuk primadona ML. Tapi, keduanya lebih suka bersembunyi daripada dipajang di ruang display. Memang, tak semua wanita SPG berada di ruang display. Banyak juga yang lebih memilih berdiam diri di kamar penampungan. Biasanya, mereka ini kelompok yang sudah pelanggan tetap. "Saya risih kalau dipasang di ruang kaca," ucapnya dengan nada serius. Dina juga belum lama bekerja sebagai wanita SPG. Wanita berambut dan berbibir ala Pamela Anderson itu, katanya, sempat meniti karir di dunia model iklan. Tak tahunya, karir belum sempat terjamah, nyasar bekerja di asuransi karena kepepet soal uang. Itupun belum mencukupi, makanya tawaran menjadi wanita SPG menggodanya. Bisa dibayangkan kalau sekali transaksi paling tidak uang Rp 2-3 juta sudah di kantong. Pernah juga menjadi 'simpanan' alias WIL (Wanita Idaman Lain) seorang bos besar, pria keturunan, tapi tak berlangsung lama karena merasa hidupnya terkekang. Jam telah menunjuk pukul 19.45 WIB ketika kami memutuskan untuk segera tour of the road. Kami memanggil Irma yang sibuk beramah tamah dengan tiap tamu yang datang. Begitu kami bangkit dari kursi, Irma mempersilakan Dina dan Rosa untuk bersiap.
Paket Rp 5 Jt. Dari sini, kami dibawa ke ruangan yang cukup luas, malah boleh dibilang mirip garasi mobil. Pajero, Blazer, Range Rover dan Land Cruiser tampak diparkir berjajar rapi.
"Mau pakai yang mana? Yang ini pernah dipesan khusus Iho, sama hmmm, tuh yang lagi sering dipanggil kejaksaan," jelas sambil menunjuk ke arah Range Rover warna biru donker.
Mobil mewah tersebut, sepintas memang tampak seperti tak ada bedanya dengan mobil yang ada. Andreas memutuskan untuk menggunakan Pajero. Demikian juga, yang tampak lengket dengan Rosa dan lebih sering senyum-senyum kecil.
Irma membawa kami ke satu ruangan yang dijaga dua wanita cantik dengan seragam sama seperti yang dikenakan Irma. Di ruangan inilah, Andreas menye-lesaikan transaksi pembayaran. "Mau cash?" tanya mereka. Andreas lebih suka membayar dengan kartu kredit. Rp 5 juta untuk paket satu Pajero. Sedang-kan untuk Range Rover tarifnya Rp 7 juta. Harga tersebut, sudah termasuk dengan wanita yang menjadi pasangan kencan. Dan harga itu hanya untuk satu putaran paket. Satu putaran berarti sekitar 3-4 jam rolling tour. Sambil menunggu proses pembayaran selesai, saya melangkah keliling ruangan menuju ke mobil Pajero warna silver dengan kaca gelap warna hitam pekat itu. Seorang supir setengah tua berpakaian rapi dengan santun menyambut dan membukakan pintu. "Pakai yang ini bos," tanyanya. Mungkin dipikir saya menjadi tamunya malam itu. Saya sejenak melongok ke dalam mobil. Rupanya, mobilnya memang dirancang secara khusus. Di dalam tampak seperti ruangan dalam limousine. Sebuah sofa tanpa sandaran, meja makan mini, aneka makanan dan minuman tertata rapi. Bahkan komplit dengan sarana audio visualterkini. Untuk menjaga privacy, antara kursi supir dan penumpang, didesain sedemikian rupa hingga ruangan belakang benar-benar tertutup. Kaca mobil dari luar yang tampak hanya bayangan diri, tapi dari dalam mata kita bisa menatap transparan. Tidak hanya itu, sebuah kelambu warna biru tua telah di-set-up mengelilingi kaca mobil. Di sudut kanan, ada sebuah miniphone yang menghubungkan dengan supir. "Saya di depan saja bersama Pak Sopir, you silakan bersenang-senang," kata saya kepada Andreas dan Gunawan. Mereka sebenarnya ingin saya juga ikut berpetualang. Tapi dengan cara halus saya menolaknya. Apalah artinya uang Rp 5 juta buat mereka. "Udah ikut saja. Saya yang bayar," ujar Andreas. "Lain kali saja. Toh, saya sudah tahu tempatnya. Lebih enak pergi sendiri lagi," sahut saya sedikit bergurau. Mobil segera melaju melintas Jakarta. Dari dalam tampak jelas lampulampu menyala dari gedung-gedung bertingkat. Lagu-lagu berirama slow mendengung perlahan di dalam mobil. Pukul 19.45 WIB, Pajero yang saya tumpangi meninggalkan Jakarta. Di dalam, kami mencicipi hidangan kecil yang disediakan. Untuk menghangatkan badan, saya mengisap sebatang rokok Dji Sam Su seraya mencoba menduga-duga apa yang tengah dilakukan Andreas atau Gunawan di dalam mobil. Mungkin mereka mengobrol, bercanda atau melamun? Alamak, bisa gila sendiri jadinya memikirkan itu. Saya tak tahu persis, ide gila apa yang mendasari layanan seks Pajero Goyang ini. Barangkali idenya keluar dari kencan 'drive-in'atau dari 'restaurant train' di Melbourne yang menawarkan kehangatan romantisme untuk berkencan. Atau tamasya pasangan 'pengantin baru'. Tapi menurut Andreas, ide bertamasya dengan Pajero Goyang itu sudah hal biasa bagi para pelaku bisnis yang terbiasa menggaruk uang di ladang 'hitam'. Sebenarnya, yang namanya
hubungan cinta sesaat itu kan sama saja, ke manapun dan di manapun adanya. Saya lalu teringat ucapan Andreas sebelum take-offtadi. "Yang seru itu, dan yang selalu diburu adalah fantasinya. Kalau di hotel kan sudah biasa, sudah jamak. Bagaimana kalau di dalam mobil yang sedang melaju. Nah, rasa kenikmatan petualangan seperti inilah yang ditangkap dari ber'cinta' di dalam Pajero Goyang itu," ujarnya. Mungkin Andreas benar. Tapi yang membuat saya heran adalah keberanian untuk membuka usaha yang jelas-jelas illegal itu, meski tak dipungkiri, sangat fantastis dan inovatif. "Sekarang mana ada sih yang benar benar sesuai aturan. Bisnis illegal yang transparan di Jakarta jumlahnya nggak terhitung, tapi toh lancar-lancar saja. Apalagi seperti Pajero Goyang yang notabene terselubung," tambahnya. Dan pada kenyataannya, bisnis seperti Pajero Goyang, meskipun terbatas, tetap saja laku. Sejak dioperasikan, dalam dua tahun terakhir, selalu saja ada peminat dan cenderung meningkat. Bahkan, pelanggannya tak tanggungtanggung, rata-rata dari kalangan atas. Menurut Pak Tri, supir yang mengemudikan Pajero, peminat seks Pajero Goyang kebanyakan bos-bos berduit, tidak saja dari WNI keturunan bersama relasinya, tapi bos pribumi pun tak kalah banyak. Setelah memutari tol Jakarta selama hampir dua jam, dengan kecepatan rendah, laju kendaraan turun ke bawah menyusuri jalanan kota. Dari Tomang, saya menuju Silang Monas, perlahan melewati Thamrin. Setelah memutari Tugu Selamat Datang di bundaran Hotel Indonesia, Pajero diarahkan ke Jalan Sudirman, me-mutari Jembatan Semanggi dan langsung ke arah Blok M. Menjelang pukul 23.30 WIB, mobil masuk kembali ke kawasan Harmoni. Berarti hampir tiga jam dalam perjalanan keliling Jakarta. Di sana, saya lihat mobil Pajero yang ditumpangi Gunawan dengan Rosa sudah parkir. Rupanya, mereka sampai duluan.
"Hmmm, asyik nggak," ledek Gunawan ketika bertemu Andreas di dalam bar. "Boleh juga," jawab Andreas spontan sambil tersenyum. Raut wajah Rosa tampak ceria. Mungkin karena sudah terbiasa atau karena lembaran ratusan ribu rupiah sudah berada dalam genggamannya. Sikapnya manja. Saya tak bisa menebak, ada apa di balik sikap manjanya itu. Tapi, ya begitulah sikap profesional wanita penjual cinta. Padahal, yang namanya cinta sesaat, selalu berakhirsemu dan tak berbekas. Yang beda barangkali hanya suasana dan obyeknya. "Justru di situlah seninya," kilah Andreas ketika kami mencoba berdebat lagi. Bagi orang seperti Gunawan dan Andreas, barangkali perbedaan obyek itulah yang lebih penting sehingga mereka selalu mencari bentuk-bentuk petualangan baru. Dan itu akan berlanjut terus-menerus. Bahkan, belum juga diskusi kami selesai, mereka sudah mengajak pergi ke tempat lain. Edan! Ternyata, selain di ML, jasa Pajero Goyang juga ternyata juga dikelola oleh sebuah perusahaan berinisial KU yang bergerak di event organizer untuk seminar & wisata. Lokasinya tak jauh dari hotel M yang terletak di kawasan Kota. Hanya saja, KU dalam prakteknya lebih banyak melalui calo, telepon dan paket-paket yang ditawarkan pada segolongan eksekutif tertentu yang menjadi regular-guest. Tentunya, tanggapan mereka tak berbeda jauh dengan laki-laki macam Gunawan atau Andreas. Yang mudah membuang uang untuk kenikmatan nafsu pribadi. Sampai kapan akan berakhir, itulah pertanyaan yang belum sempat saya lontarkan pada mereka. []
4
Arabian Nite Bachelor Party
Arabian Nite Bachelor Party
Melepas 'lajang' dengan dikelilingi wanitawanita cantik dengan aneka pesta yang menggiurkan dan memabukkan. Trend budaya urband legend life yang kinitengah digandrungi masyarakat highclass.
Pesta lepas bujang di kalangan generasi muda Jakarta, apalagi mereka yang masuk golongan the have, sudah bukan komoditi baru lagi. Kerap kali, seorang pria yang hendak menikah menggelar pesta di sebuah tempat tertentu bersama kawan kawan karibnya, entah itu diskotik, kafe, pub, klub atau private room.
Pesta yang juga populer sebutan bachelor party ini, di kalangan kaum jetset dan selebritis praktis menjadi semacam kewajiban. Apalagi bagi kalangan yang notabene hidup di komunitas yang terbiasa dengan budaya pesta, hurahura dan having fun.Ya, tentu saja mereka pasti dari kalangan yang berduit, hidup serba kecukupan.
Di sejumlah kafe, pub dan tempattempat hiburan lain, seringkali menjadi ajang untuk pesta lepas bujang. Dan yang menarik, pesta-pesta tersebut selain digelar dengan cara biasa, banyak juga yang merayakannya dengan pesta yang masuk kategori luar biasa.
Luar biasa karena ujung-ujungnya memang tak lepas dari nuansa seks. Uniknya, selama beberapa tahun mengikuti perkembangan pesta-pesta tersebut, saya belum juga habis mengerti karena bagi sebagian kalangan, malah digelar dengan ragam tema yang berbeda-beda. Seperti dikemas dalam bentuk pesta Hawai, pesta ala Las Vegas, Arabian Nite dan Iain-lain. Entahlah, apa yang mendasarinya, tapi budaya itu ternyata begitu populer dan menjadi tradisi. Paling tidak dalam beberapa tahun terakhir ini budaya pesta lepas bujang terus berlangsung.
Dalam perjalanannya, ada satu pesta lepas bujang yang pernah saya ikuti dan begitu melekat di benak saya. Bukan apaapa, pestanya boleh dibilang ekstra panjang karena berlangsung semalam suntuk, dari satu tempat ke tempat berikutnya. Ceritanya bermula ketika pada Jumat malam, saya bertemu dengan seorang kawan di kafe HR di bilangan Thamrin. Sebut saja, Roy, berumur 31 tahun. Yang saya tahu, ia adalah pemilik dari sebuah perusahaan peti kemas yang juga menjadi pengusaha keramik.
Pertemuan malam itu dengan Roy, entah sudah yang keberapa kali. Karena pada malam-malam weekend, saya kerap menjumpainya di sejumlah tempat hiburan di Jakarta. Dan malam itu, Roy bercerita akan menikah. Rupanya, sebelum melepas masa lajangnya, oleh teman-teman dan relasi bisnis, Roy didaulat membuat pesta. "Nggak mau tau, pokoknya besok you mesti datang. Saya tunggu jam sembilan malam. Ok," tukasnya ketika kami duduk di meja bar sambil menyeruput segelas Long Island.
Strip Dancer.
Undangan itu, tentu saja tidak saya lewatkan. Selain karena saya sudah kenal akrab, saya juga penasaran, apa yang bakal terjadi dalam pesta itu. Lelaki seperti Roy dan beberapa temannya, saya tahu amat menggemari dunia malam. Makanya, saya mereka-reka pasti ada pesta luar biasa yang akan terjadi yang ujungujungnya akan melibatkan wanita-wanita cantik dan seksi.
Malam baru saja beranjak dari pukul 20.15 WIB, ketika saya memutuskan berangkat menuju lokasi. Saya sengaja menunggu waktu sambil bersantai di kafe ZB, di kawasan Blok M Jakarta Selatan.
Kebetulan, beberapa teman lagi berkumpul usai jam kantor. Hanya butuh 15 menit untuk sampai di KB, kafe & karaoke yang ada di bilangan Jl. Sudirman. Dugaan saya makin mendekati kebenaran, karena KB saya tahu memang menawarkan paket striptis untuk para tamu.
Di area parkir, saya bertemu dengan rekan Roy yang sering jalan bareng. Sebut saja, Budi, 28 tahun. Selain menjadi teman sepergaulan, Budi rupanya menjadi partner kerja untuk bisnis keramik. Kami berdua lalu berjalan bersama.
"Roy udah menunggu di atas," kata Budi.
"Tadi dia telepon, kita langsung disuruh naik ke ruangan VIP di lantai 2," sahut saya.
Kami berjalan bersama memasuki ruangan bertuliskan sebuah aliran musik. Kalau tidak salah, namanya Jazz Room. Ruangan itu terdiri dari sederet kursi sofa panjang dengan satu meja. Di atas meja telah tersedia pelbagai jenis minuman beralkohol. Roy menyambut kami dengan tawanya yang khas. Sofa panjang itu, tampak terisi oleh 7 orang kawan Roy. Beberapa orang saya kenal baik, tapi ada 3 lainnya tampak asing.
"Ini teman-teman bisnis saya. Biasa lah, cari sesuap nasi untuk menyambung hidup," tukasnya sambil terkekeh.
"Gimana, ready for the show? tanya Roy, kemudian. Lelaki yang doyan humor itu segera memencet bel memanggil pramusaji. Lalu, ia pun duduk kembali ke tempatnya. Lampu-lampu menyala sedikit temaram. Layar tv yang semula berisi klip-klip lagu mendadak mati. Tapi, musik berubah menjadi lebih keras. Kami dikejutkan dengan munculnya lima wanita cantik dalam balutan busana seksi. Perlahan-lahan mereka mulai menari, lalu detik berikutnya mulai mempreteli baju yang melekat di tubuh mereka satu per satu. Sampai akhirnya mereka benar-benar dalam keadaan telanjang. Live sensual showpun segera menghiasi ruangan yang berdiameter 6X8 meter persegi itu. Rupanya, kawankawan Roy tak tinggal diam. Tahu malam ini adalah malam istimewa baginya, kawan-kawan Roy segera beraksi. "Kita kerjain dia malam ini," bisik Budi. Dan benar saja, oleh kawan-kawannya, Roy segera diikat di sebuah kursi. Kepalanya ditegakkan. Para penari strip itu menarinari erotis sambil mengitari Roy. Hampir tiap gerakan, semua tertuju pada Roy. Mau tak mau, Roy gelagapan. Diserang lima gadis telanjang, membuat Roy tak bisa berkutik. Sementara kawan-kawan Roy tertawa lepas sambil terus menenggak minuman. Tiap kali mata Roy terpejam, kawan-kawannya segera menyerbunya dengan kata-kata meledek. "Mana kejantananmu, tunjukkan kejantananmu!" teriak mereka. Mereka terus saja memaksa Roy untuk tetap membuka matanya. Kami yang duduk di atas sofa hanya termangu dan sesekali ikut tertawa sambil terus melihat tingkah Roy dan kawan-kawannya. Setelah setengah jam berlalu, lima gadis striptis tersebut segera mencopoti satu per satu busana yang melekat di tubuhnya. Sementara, posisinya tetap saja terikat di atas kursi. Mereka terus saja bergoyang dan meliuk-liukkan tubuhnya. Keringat dingin tampak membasahi sekujur tubuh mereka. Roy yang dalam telanjang, tidak memungkiri gejolak birahinya. Bagaimana tidak? Berulang kali para penari striptis itu dengan sengaja menjamah dan meremas-remas sekujur tubuh Roy. Semuanya tanpa terkecuali. Apesnya, Roy sama sekali tidak bergerak dan hanya bisa menjadi bulanbulanan para penari striptis itu. "Ampun!" teriaknya berulang-ulang. Setelah satu jam berlangsung, kawankawan Roy segera melepaskan tali yang membelit tubuh Roy. Mereka terbahak bersama. Sementara Roy mukanya merah padam. Badannya bermandikan peluh. "Wah, lu gila semua. Ngerjain sih ngerjain. Ini sih kebangetan," ceplosnya sambil mengelap keringat di tubuhnya. Para penari striptis itu sudah mengenakan bajunya kembali. Selesai? Belum. Kami pun salah sangka. Setelah pesta dengan penari strip selesai, kawan-kawan Roy segera mengeluarkan kaos compang-camping dan celana pendek kusut dan robek-robek. Roy pun dipaksa mengenakan busana compang-camping itu. "Mau apa lagi lu. Gue disuruh makai kaos beginian?" sergah Roy menolak. Namun ia ak bisa apa-apa. Dengan terpaksa Roy mengenakan kaos compang-camping itu. Lima gadis penari striptis itu tertawa cekikikan menyaksikan Roy kami kerjain. Tak lama, kami pun keluar bersama-sama menuju halaman parkir. Sepanjang lorong menuju parkir, semua pasang mata melihat ke arah Roy. Apalagi ketika melewati ruang lobby yang dipenuhi gadis-gadis escort yang tengah menunggu order tamu. Roy tak bisa menyembunyikan malunya dan segera mempercepat langkahnya.
Arabian Nite. Masih mengenakan kaos compang-camping dan tanpa alas kaki, kami membawa Roy ke sebuah hotel bintang empat di kawasan Matraman. Roy sama sekali tak tahu menahu dengan rencana ini. Yang menjadi otaknya, tentu saja Budi Cs. Jam sudah menunjuk pukul 22.25 IB ketika kami sampai di tempat tujuan. Budi Cs, rupanya sudah menyiapkan satu kamar katagori suit. Kami segera dipersilakan masuk oleh dua orang penjaga yang berdiri di depan pintu masuk. "Di dalam sudah beres semua belum?" tanya Budi dua penjaga pintu. Mereka hanya mengangguk pasti. Begitu masuk kami disambut oleh dua orang wanita yang mengenakan cadar. Akan tetapi betapa kagetnya kami ternyata dua wanita itu hanya mengenakan BH dan celana model Aladdin dengan perut terbuka. Tamu-tamu lain sudah berdatangan. Semua laki-laki, sekitar 10 orang. Yang kaget tentu saja Roy. Sama sekali ia tidak menyangka akan mendapat sam-butan seperti itu. Ke sepuluh pria yang menjadi tamu undangnnya, tak tahunya karib dan relasi bisnis. "Ini, pasti kerjaan lu, Bud," ujar Roy sambil meninju Budi dan mereka tertawa bareng. Seluruh ruangan didesain ala Timur Tengah. Karpet warna-warni terhampar menutupi lantai. Aneka makanan dan minuman ditempatkan pada meja-meja mini. Sekitar 5 orang pelayan wanita melayani para tamu. Wanitawanita itu semua bercadar tipis sehingga bibirnya yang dipoles lipstick warna merah darah samar-samar kelihatan. Yang tampak jelas hanya mata dan eyeshadow warni-warni yang menghias di atas pelupuk mata mereka. Tonjolan buah dada mereka tampak transparan karena hanya bra yang menutup sekujur badannya. Perut dan pusarnya mendatangkan pemandang-an yang indah karena para wanita itu sengaja mempertontonkannya. Celana mereka serba kedodoran. Lamat-lamat terdengar alunan musik padang pasir. Habibie dan Aisyah adalah salah dua dari beberapa lagu padang pasir yang mengalun merdu memenuhi isi ruangan dan membius badan. Lewat pukul 22.45 WIB, Roy mengundang semua karibnya untuk toastbersama. "Sebentar lagi saya akan jadi suami, lho, ingat itu baik-baik," ucapnya sambil mengangkat segelas red-wine. Roy segera mempersilakan kawankawannya untuk berpesta. "Ya, mungkin ini menjadi malam terakhir bagi saya menjadi bujangan. Maka-nya, mari kita berpesta pora," sambung Roy. Musik pun makin keras terdengar. Dari sebuah ruangan, muncul sepuluh wanita dengan busana amat tipis. Mereka mengenakan busana seperti busana yang dikenakan para pelayan. Mereka segera menari. Perut meliuk-liuk, mata genit menggoda. Beberapa orang pria karib Jaka segera menceburkan diri untuk menari bersama. Para penari itu dengan senyum lega menyambutnya. Tak jarang, para penari itu mendapat tips dari para pria yang ikut menari. Para pria itu enak saja memasukkan tangannya, maaf, ke belahan payu dara para penari yang memang menantang itu. Toh, para penari i tu hanya tertawa seolah ke-senangan. Menilik dari polah mereka pasti profesional di bidangnya. Suguhan tarian perut itu makin lama makin panas saja. Aneka minuman beralkohol menambah semangat para pria yang datang untuk ikut berjoget. Sepuluh wanita yang melayani tamu undangan tak kalah gesitnya. Mereka berpindah-pindah dari satu pria ke pria lain sambil terus me-nyuguhkan aneka minuman. Suasana pes-ta seolah berubah menjadi ajang mabuk bersama. Para pria itu makin berani. Kali ini tidak segan-segan lagi mereka memeluk, mencium para pelayan maupun penari yang tampaknya memang ready for everythingitu. Bahkan, banyak yang nekat menyusupkan hidungnya ke sekujur tubuh si penari, terutama bagian-bagian terlarang dan sensitif. Pemandangan yang saya lihat saat itu tak ubahnya seperti 'pesta perempuan'. Di tiap sudut kami dapati pasangan pria-wanita saling bermesraan. Ada yang cuma sekedar bincang-bincang tapi ada juga yang sampai berciuman dan saling meraba. Sementara Roy sendiri tampak asyik bermasygul ria dengan salah seorang pelayan wanita. Bau alkohol dan asap rokok yang mengepul seperti menjadi satu. Suara wanita yang kegenitan dan para pria yang sudah mabok itu, tumpah sudah. Lewat dua jam kemudian, saya pun tak tahu lagi apa yang terjadi. Ketika pada pagi harinya saya terbangun, saya mendapati suasana yang sama sekali tidak terduga. Pakaian yang dikenakan semua yang hadir pada pesta malam itu tidak ada yang sempurna. Para wanita yang menjadi penari dan pelayan malam itu malah boleh dibilang telanjang bulat. Semua berlalu begitu saja tanpa saya sadari sepenuhnya apa yang terjadi malam itu. Di atas sebuah sofa, tampak Roy pulas dalam tidurnya. Di sebelahnya, tergolek manja seorang gadis dengan baju tak karuan. Budi sudah asyik duduk santai menyeruput teh hangat ditemani seorang gadis cantik yang masih mengenakan busana semalam. Hanya saja, make-updan cadar yang menutupi wajahnya, sudah tak ada. Wajah gadis berkulit kuning langsat tampak lebih segar dalam keadaan alami. Wajahnya khas pribumi. Sebagian tamu pria, tampaknya sudah ada yang pulang meninggalkan arena pesta. "Selamat pagi, mau ikut bergabung?" tawarnya. Saya pun mengiyakan dan ikut terlibat dalam obrolan pagi. Dari obrolan pagi itu, saya jadi tahu, kalau pesta ala Arabian Nite yang digelar semalam, ternyata diselenggarakan oleh sebuah perusahaan Event Organizer di Jakarta. Wanita-wanita bercadar yang dihadirkan malam itu, bukan wanita Arab asli, tapi hanya dandanan belaka. Seperti gadis di samping Budi yang mengenalkan diri sebagai Reny, dan mengaku berasal dari Tasikmalaya, Jawa Barat. Pekerjaan tetapnya menjadi tenaga profesional untuk orderorder khusus lewat sebuah agency. Salah satunya, ya, seperti tadi malam, menjadi penari sekaligus wanita pekerja seks profesional. Untuk mendapatkan paket pesta tersebut, kata Budi, ia mesti membayar tak kurang dari Rp 20 juta. "Tergantung dari jenis paketnya. Lebih mahal, pastinya akan lebih gila," tukasnya.[]
5
Chicken Nite Private Party
Chicken Nite Private Party
Vesta meriah dan panas digelar sejumlah bule tajir di sebuah rumah mewah. Tidak saja sarat dengan prilaku masygul tapijuga dihadiri puluhan gadis-gadis cantik dengan dandanan seksi dari kalangancallgirls sampailadyescort simpanan.
Sudah bukan rahasia lagi, kalau banyak bule di Jakarta mempunyai kekasih, pacar, simpanan atau pasangan kencan — boleh juga pasangan kumpul kebo— wanita pribumi. Bahkan, dari sekian banyak callgirls yang berkeliaran di Jakarta, ada yang mengkhususkan diri dengan klien bule. Dari menjadi pasangan kencan, pasangan kumpul kebo sampai transaksi one short time.
Jangan heran, kalau di beberapa tempat hiburan malam yang tamunya kebanyakan bule, di situ selalu berkeliaran gadis-gadis pekerja seks profesional yang siap mencari mangsa.
Pemandangan seperti yang biasa terjadi di kafe JC di bilangan Senayan, diskotek TM di kawasan Tanah Abang, atau kafe BT di sebuah hotel berbintang lima di bilangan Sudirman misalnya saban malam selalu dipadati bule dan tentu saja 'wanita-wanita malam' penjaja cinta, yang siap menampung hasrat cinta laki-laki bule untuk semalam.
Bagi saya pemandangan seperti itu sudah biasa. Tapi, yang saya alami pada pertengahan Agustus 2001 lalu,barangkaliboleh dibilang luar biasa. Untuk kali ke-sekian, saya diajak seorang teman, meng-hadiri sebuah pesta malam di rumah mewah.
Teman saya itu sebut saja Johan —tentu bukan nama sebenarnya, bujangan berumur 30 tahun yang sehari-hari bekerja sebagai marketing directordi sebuah periklanan yang memiliki klien-klien asing.
Ini untuk kali ketiga, Jo —begitu ia disapa, mengajak saya untuk menghadiri pesta serupa. Pada tahun 1999 lalu, Jo pernah juga mengajak saya menghadiri pesta pribadi yang digelar di sebuah rumah mewah di kawasan Kemang. Dalam pesta itu, terus terang, saya sempat terkaget-kaget karena tiap tamu yang datang —tidak saja tamutamu pribumi tapi juga kalangan bule, mesti menanggalkan salah satu baju yang dikenakan. Mau pilih baju atas, atau bawah, terserah kemauan tamu.
Tentu saja, pesta yang berlangsung sejak pukul 21.00 WIB hingga dini hari itu diwarnai sejumlah acara yang tidak saja membelalakkan mata laki-laki tapi juga membuat histeris puluhan wanita yang datang. Bisa dibayangkan, sekitar seratus pria dan wanita berada dalam sebuah rumah mewah dengan busana nyaris telanjang.
Singkat cerita, dalam pesta pribadi itu selain bisa menikmati aneka suguhan tarian syahwat, tamu bisa juga mendapatkan pasangan kencan di tempat. Pesta yang diberi tema 'half-body' itu pun dari menit ke menit tak ubahnya menjadi arena "sexparty". Dinner Plus. Nah, dalam satu kesempatan di awal Februari 2002, saya kembali bertemu Jo setelah hampir enam bulan putus kontak. Maklum, menurut kabar, Jo mendapat kesempatan untuk memperdalam ilmu marketingnyadi Singapura atas biaya kantor. Kami bertemu di tempat favorit, persisnya di kafe BQ, di Plaza Senayan. Di kafe inilah, sebelumnya kami sering menghabiskan sore menikmati secangkir kopi panas sambil bertukar cerita tentang petualangan malam Jakarta yang seru. Sebagai seorang marketing director, Jo bukan tipikal orang yang suka duduk di belakang meja. Dan untuk ukuran jabatan yang dipegang di sebuah perusahaan bonafit dengan klien asing, Jo termasuk esmud yang secara material lebih dari cukup. Belum lagi latar belakang ke-luarganya yang berasal dari keluarga berada. Maklum, ayahnya sampai kini masih menduduki jabatan direktur di sebuah perusahaan tekstil. Tak heran kalau gaya hidup Jo tampak serba kosmopolis. Dari dandanan sampai tempat clubbing yang dipilih. Di jajaran kalangan nite-society,nama Jo cukup familiar. Hampir tiap Rabu Gaul dan weekend, Jo selalu menyempatkan diri menyambangi sejumlah tempat clubbing favorit seperti Zanzibar dan Prego di Jl. Iskandarsyah, Jakarta Selatan atau Hard Rock Cafe di Jl Thamrin, Jakarta Pusat. Tidak hanya itu saja, Jo juga sering menghabiskan malam di sejumlah club atau karaoke kelas atas. Tentu saja karena pergaulannya yang selalu bergumul di dunia nite-society, Jo boleh dibilang kaya informasi. Apalagi yang berhubungan dengan dunia malam bawah tanah yang sarat peristiwa-peristiwa aktual seputar perilaku sex-metropolist.Dari tempat pelesir cinta sampai partypartyrahasia. Jam baru beranjak dari pukul 19.35 WIB ketika kami sama-sama meneguk gelas bir ketiga. Suasana di kafe BQ makin ramai. Semua meja tampak terisi. Maklum pada Rabu sore, kafe BQ memang menjadi tempat singgah sejumlah kalangan. "Time to go," ceplos Jo mengajak saya untuk bergerak dari kafe BQ. Padahal, sore itu beberapa meja di kafe BQ dipenuhi gadis gadis cantik. Agak sayang kalau melewatkan pemandangan indah seperti itu. Katanya, undangan dinnermestinya dimulai pada pukul 19.00 WIB. Namun Jo sengaja tak mau ikut prosesi acara dari awal. Makanya, dengan ringan ia mengata-kan, mendingan datang terlambat. "Yang penting bukan makan malamnya, tapi embel-embelnya itu lho, ok punya," tandas pria berambut hitam dengan potongan model Tom Cruise. Kami mengendarai sedan BMW warna merah dengan kecepatan sedang. Dari kawasan Senayan, kami langsung masuk jalur Jl. Sudirman. Lalu lintas tampak ramai. Arus balik malah masih dipenuhi deretan mobil yang berjalan merayap. Arah perjalanan kami malam itu menuju sebuah komplek perumahan elit di kawasan Kelapa Gading. Jarum jam menunjuk angka 20.25 WIB ketika kami memasuki kawasan perumahan elit tersebut. Selama perjalanan kami tak menemui kesulitan berarti. Paling-paling, sesekali kami mesti mengendarai mobil dengan ngantri.
Rumah bernomor 45 yang terletak di Jl. PN II itu tak begitu sulit kami temukan. Petugas jaga di gardu pintu masuk, dengan cermat menunjukkan arah jalan. Setelah melewati sebuah rumah mewah bercat krem dengan pagar besi silver mengelilingi halaman depan yang lebih mirip petamanan, kami berbelok ke kiri. Sekitar sepuluh meter kemudian, kami menemukan rumah bernomor 45. "Ini dia rumah Michael yang kita caricari," ujar Jo tersenyum. Rumah tersebut cukup besar dan tampak mewah dengan model bangunan modern. Di halaman depan, tampak beberapa mobil parkir. Tampak mewah memang. Menurut Jo rumah itu milik salah seorang kliennya bernama Michael yang berwarganegara Jerman. Michael sendiri menjadi bos di sebuah perusahaan elektronik yang adversiting-nya banyak ditangani perusahaan, di mana Jo bekerja. Rumah Michael sama seperti rumah-rumah lain yang dari luar tampil mentereng. Dikelilingi pagar besi tinggi warna silver dan sebuah pos penjagaan. Kami berada di depan rumah Michael sekitar pukul 20.30 WIB ketika satpam membukakan pintu gerbang. Sudah ada sedikitnya enam mobil parkir di halaman depan. Tiga diantaranya mobil mewah yang harganya sudah bisa ditaksir di atas lima sampai tujuh ratusan juta. Di teras depan, tampak Michael tengah mengobrol dengan sepasang priawanita. Begitu melihat kami, dengan ramah Michael langsung menyilakan kami ikut bergabung. Di ruang tamu sudah tampak beberapa wanita dengan busana-busana khas pesta dan enam laki-laki berpakaian rapi. Tak lama kemudian, kami masuk ke ruang tamu bersama-sama. Dan Michael mulai mengenalkan kami kepada semua tamu undangan yang hadir. Paling tidak, ada sekitar 22 tamu atau lebih —12 diantaranya adalah wanita, saya tidak begitu tahu persis jumlahnya. Tapi, dari tamu pria yang dikenalkan, dua diantaranya saya masih ingat nama-nya. Pertama bernama Paul, kira-kira berumur 32 tahun, asal Australia dan menjadi mitra kerja Michael. Orang kedua adalah John, berusia 29 tahun, berasal satu negara dengan Michael, Jerman, dan sehari-hari menjadi project director di perusahaan yang dikomandani Michael. Sementara beberapa tamu pria lainnya, saya tidak ingat namanya. Wajah-wajah mereka seringkali beredar di sejumlah kafe. Dan kalau ada acara tertentu yang temanya berhubungan dengan company-party, Michael, Paul maupun John,seringkali ada. Tak heran karena konon mereka memang terkenal sebagai biangnya pesta. Yang menarik, dari sejumlah tamu wanita yang datang, hanya ada dua atau tiga yang berwajah bule. Lainnya, alamak, sisanya berwajah pribumi. Dan yang cukup mengagetkan, wajah-wajah mereka, bagi saya maupun Jo sudah tak begitu asing. Empat diantara tamu wanita pribumi tersebut, cukup familiar di mata kami. Susan misalnya, gadis berumur 24 tahun, memiliki badan berisi dengan kulit sawo matang, seringkali kami jumpai di sejumlah kafe-kafe elit di Jakarta yang menjadi pusat tongkrongan para bule. Susan biasanya selalu ada pada malam-malam weekend di kafe KT, di sebuah hotel berbintang empat di kawasan Jakarta Pusat.
Sementara Maria, yang memiliki postur tubuh selera laki-laki, kami tahu persis menjadi lady-escortdi karaoke BK, di Jl. Sudirman, tepatnya di kawasan yang menjadi sentral bisnis. Gadis berambut panjang dicat blonde itu yang usianya sekitar 26 tahun itu, selain berstatus singerjuga menjadi penari striptis idola di karaoke BK. Boleh dibilang, Maria adalah toptenladies di BK yang saban malam tak pernah lepas dari jaring 'booking' laki-laki berduit. ua wanita lainnya, Diana dan Noni, kami juga mengenalnya cukup baik. Bukan kenal secara pribadi dan akrab, tapi karena jam terbang mereka yang tak pernah lepas dalam roadshow ke kafe-kafe atau pub malam. Umur keduanya, kami taksir tak lebih dari 25 tahun. Menurut sejumlah teman yang sering jalan dengan kami di kafe-kafe gaul, Diana dan Noni masuk kelompok gadis-gadis ca girl yang memilih transaksi bawah tanah. Mereka mempunyai dua orang broker,satu wanita dan satu lagi seorang binan — sebutan untuk laki-laki yang kewanita wanitaan. Kedua orang inilah yang seharihari menerima order booking. Kalau tidak begitu, Diana dan Noni seringkali jalan berbarengan ditemani salah seorang brokernya. Biasanya, Diana dan Noni ini seringkali menghabiskan malam di kafe yang notabenebanyak dikunjungi tamu bule salah satu-nya di kafe UT, di bilangan Kuningan yang baru sekitar enam bulan ini beroperasi. Sebelumnya, mereka sering mangkal di kafe JC, di sebuah hotel di bilangan Senayan. Jadi, saya tak heran kalau mereka ada dalam pesta itu. Menurut dugaan saya, pasti mereka datang karena diajak salah satu atau dua dari tamu bule pria yang diundang, malam itu.
Chicken Party.
Layaknya sebuah pesta, para wanita itu mengenakan busana yang rata-rata serba gaun dan sack-dress.Dan yang menarik, semua serba seksi. Susan misalnya mengenakan gaun panjang biru dengan belahan V, sementara Noni membungkus tubuhnya dengan sack-dress merah dan tipis hingga bra dan under-wearnya nyaris kelihatan.
Di ruang tamu telah siap meja panjang dengan desain rapi. Piring, gelas, sendok, garpu dan semua perlengkapan makan tertata berurutan dan rapi lengkap dengan hiasan bunga di tengah-tengah. Beberapa botol reddan white wine terhidang menggiurkan di atas meja. Buah-buahan segar menantang untuk disantap. Sementara aneka menu makanan dihidangkan secara prasmanan.
Ketika jam dinding menunjuk angka 21.15 WIB semua tamu mengambil tempat duduk masing-masing. Terus terang, ruangan tamu itu tampak mewah. Lantai putih bermotif bintik-bintik hitam. Sebuah sofa berwarna cokelat tua mengilat menjadi perangkat utama di tengah ruangan. Di bawahnya terhampar karpet bulu warna merah menyala. Sebuah lampu kristal membiaskan cahaya di atas meja makan.
Pada beberapa sudut ruangan, tampak sejumlah alat-alat audio dari televisi besar sampai Compact Disc. Sebuah lemari panjang, penuh terisi dengan koleksi buku bacaan, barang-barang antik dan dinding ruangan berwarna krem tampak penuh dengan hiasan foto dan lukisan. Di sudut sebelah kanan, terdapat bar mini lengkap dengan meja melingkar, kursi dan di atas rak tersedia aneka botol minuman. Tampak dua bartender sudah stand-bymenanti ordertamu. Untuk beberapa saat lamanya, kami larut dalam suasana makan malam dengan menu serba Eropa. Seperti kebanyakan tradisi Eropa, wine menjadi pembuka pertama. Kami melakukan toast bersama untuk kemudian kami dipersilakan menyantap appertizer, kemudian main-course dan berakhir dengan dessert. Saya tak henti-hentinya memperhatikan dan menatap ke sekeliling. Empat wanita yang ada di meja makan malam itu, saya sudah kenal, begitu juga Jo. Tapi ada sekitar tujuh wanita lain, yang kami tak begitu tahu. Samar-samar, tapi tak pasti, ketujuh wanita lain tersebut mungkin pernah kami jumpai di beberapa night-club.Hanya saja, kami tak begitu yakin. Maklum, cahaya lampu malam itu bersinar terang membias di semua ruangan. Sementara kami, biasa melihat mereka di keremangan cahaya lampu disko. Saya kebetulan duduk di samping seorang gadis dengan baju sack-dress pink berambut ikal melebihi bahu. Dalam percakapan ringan yang berlangsung selama dinner, saya sedikit banyak tahu tentang gadis yang mengenalkan namanya sebagai Erna, 26 tahun, berdarah Palembang dengan kulit kuning langsat. Selama dua tahun ini bekerja sebagai counter-girl di sebuah toko kosmetik yang menjual barangbarang branded. Seringkali menghabiskan malam weekend di beberapa kafe, pub atau diskotek. Tentu saja, kafe-kafe favorit yang dikunjunginya selalu ada bule-bulenya. Ditilik dari dandanan, paras, postur dan penampilan, ketujuh gadis tersebut tak kalah dengan Maria, Diana, Noni maupun Susan. Rata-rata mempunyai wajah good-looking,seksi dan selalu mengembangkan senyum. Erna misalnya secara paras, gaya dan dandanan, bisa disepadankan dengan Maria. Malah, aroma parfum badan Erna lebih eksotis. Suasana makan malam berlangsung cukup hangat diselingi canda tawa ringan dan musik-musik lembut.
Prosesi dinneritu tak ubahnya menjadi ajang untuk saling mengenalkan diri lebih akrab. Dan terbukti, dalam hitungan menit, pembicaraan terus saja mengalir sampai akhirnya Michael mengajak pindah ke bar. Musik-musik berirama lembut yang mengiringi dinner itupun berubah menjadi musik disko yang memenuhi di ruangan bar. Di depan bar, terdapat mini dancefloor yang disekelilingnya sudah ditata rapi perabotan meja-kursi. Suasananya tak ubahnya seperti pub atau bar kebanyakan, hanya saja spacenyalebih kecil. Di atas meja sudah tersedia sejumlah menu makanan kecil. Dua bartender yang sudah stand-by, mulai meracik ragam minuman yang dipesan para tamu. Sudah bisa dibayangkan, yang terjadi kemudian, adalah pesta minum dari menit ke menit. Semua tamu yang datang tampaknya sudah terbiasa dengan aneka jenis minum-an yang mengandung alkohol berkadar berat. Apalagi Paul, Michael dan John yang pada dasarnya memang bule, nyaris tak pernah berhenti. Sementara para tamu wanita pun tak kalah gesit dan agresif. Hampir tak boleh ada gelas kosong. Tiap menit terdengar genting gelas beradu diiringi derai tawa lepas dan canda manja para tamu wanita. Pesta di bar itu berlangsung layaknya gatheringkeluarga. Mereka lebih banyak bercakapcakap sambil sesekali bergoyang di dancefloor.Ada juga yang memilih berjoget di tepi meja. Say a dan Jo tak luput terus mengikuti ke mana arah angin berarak. Ketika Michael, Maria atau Susan mengajak toast,kami tak bisa menolak. Tapi, kalau hanya sekedar minum-minum ditemani wanita, apanya yang spesial. Tiap pergi ke kafe atau diskotek, kami pun merasakan hal serupa. Begitu pikiran yang berkecamuk di otak kami. Rupanya, rasa penasaran kami terjawab. Apa yang menjadi main course dari pesta malam itu terjawab. Dan apa yang paling dinanti-nantikan pun datang juga. Main course-nyaternyata bukan stik iga sapi khas Eropa dengan aroma yang menggiurkan, tapi main-course-nya benar-benar beda karena bukan makanan. Entah bagaimana awalnya, tahu-tahu, beberapa gadis yang malam itu tampak anggun dengan busananya, berubah menjadi gadis-gadis wild dalam balutan busana underwear. Alamak, boleh percaya boleh tidak, ketujuh wanita yang malam itu menjadi primadona, semua sudah melepas busana kebesarannya. Tak ada lagi gaun atau sackdress Yang ada hanya bradan under-wear yang tersisa. Gelak tawa manja dan genit mengiringi tiap kali ketujuh wanita, empat diantaranya Maria, Susan, Noni dan Diana, bergoyang seksi. Yang terjadi kemudian, sudah bisa ditebak. Tarian-tarian eksotis, sentuhan menggoda, tawa manja dan senyum genit mewarnai malam yang terus merambat. Genderang pesta itu mulai memanas ketika jam mendekati pukul 23.00 WIB. Busana under-wear yang mulanya masih melekat di ketujuh wanita tersebut, sudah tak ada lagi. Maaf, yang terlihat kemudian adalah tujuh wanita nyaris tanpa busana terus meliuk dengan gerakan erotis. Kadang naik ke meja, kadang mendekatkan tubuhnya pada tamu pria maupun wanita. Paul dan John kadang ikut bergoyang sambil berteriak kegirangan. Aroma alkohol tercium setiap saat dari mulut. Sementara beberapa tamu wanita, tak luput ada juga yang hanya membelalakkan mata sambil terus menikmati minuman. Rupanya, pertunjukan tak hanya berhenti sampai di situ. Show striptis itu ternyata hanyalah sebagai pembuka. Karena apa? Dengan entengnya Michael yang menjadi 'tuan rumah', enak saja mengatakan, kalau ada yang mau, dari ketujuh wanita tersebut bisa di'eksekusi'. Tentu saja beberapa tamu pria yang ratarata sudah kepanasan karena alkohol dan tarian syahwat tak melewatkan kesempatan tersebut. John misalnya, langsung menggamit salah satu wanita, kalau saya tidak salah, Lusi, dan dibawanya naik ke lantai satu. Michael hanya tertawa-tawa saja menyaksikan semua itu. Saya dan Jo hanya geleng-geleng kepala. Gila memang, pada saat yang sama, ada tujuh wanita menari striptis dan pada detik itu juga Michael cuek saja wanita-wanita itu dibawa ke kamar. Akhirnya saya sadar, kalau ternyata, ketujuh wanita tersebut memang disewa Michael untuk memanaskan pestanya. Status mereka memang gadisgadis order callgirl, chicken atau apapun namanya. Istilah chicken nite, sebenarnya untuk menggambarkan bahwa wanita-wanita yang datang ke pesta malam itu memang statusnya wanita penjaja cinta. Order kontrak mereka jelas, yaitu memanaskan pesta dengan tarian striptis sampai memberikan layanan full service bagi tamu yang terlanjur 'jatuh cinta' dan ingin menuntaskan hasrat kelaki-lakiannya. Dalam perjalanan pulang, saya dan Jo hanya tertawa-tawa. Berusaha untuk tak terlalu berpikir panjang tentang apa yang terjadi malam itu. Pesta di tengah gadisgadis dengan label "chicken" yang menarinari tanpa busana, mabuk dan bersedia menerima ajakan pria yang tergoda dan mabuk kepayang, untuk sesaat. Bahkan, sangat mungkin berlanjut di kemudian hari. Bukan tak mungkin menjadi "pasangan kencan" resmi atau pasangan kumpul kebo yang setia menemani setiap saat. []
6
Ladies Escort
"No Hand Service"
Ladies Escort
"No Hand Service"
Sebuah tempat hiburan malam dengan pelayanan wild dan hot. GadisgadisNo Hand Service menjadi paket utama diprivate suite room. Kencan gaya baru untuk laki-laki yang hauscinta.
Sebenarnyalah paket pelayanan seks yang ditawarkan aneka tempat hiburan plus, sungguh tak pernah kekurangan inovasi. Ada saja ide-ide segar dan fresh yang mengundang daya tarik, tidak saja untuk laki-laki tapi juga kaum hawa. Paket-paket pelayanan cinta seperti Seks Pajero Goyang yang begitu inovatif disediakan untuk laki-laki pencari cinta, atau juga paket judi kasino dengan Nude Sexy Ladies di sekeliling ruangan, ternyata itu hanya salah beberapa bentuk pelayanan cinta yang digarap dengan 'konsep' jual yang matang dan menantang.
Seperti mata rantai yang tak berkesudahan, inovasi bentuk pelayanan cinta, selalu tumbuh dari waktu ke waktu. Walau maincourse-nya satu, ya apalagi kalau bukan seks, tapi dengan inovasi baru, menjadi dagangan yang menantang. Yang tak kalah serunya dalam beberapa tahun terakhir adalah muncul satu lagi bentuk jasa pelayanan cinta yang tak kalah seru dan tentu saja menantang hasrat laki-laki. Kalangan laki-laki malam menyebutnya sebagai seks NHS. Sebutan itu tak lain kepanjangan dari
0 0 0
Royal Suite. Bagi saya, semua masih begitu samar. Pertama kali mendengar NHS, saya tak tahu persis model dan gaya kencan yang ditawarkan. Cerita itu, saya dapat dari seorang rekanan yang bekerja sebagai general manager di TW, sebuah pubkaraoke di kawasan Mangga Dua. Sebut saja namanya Michael, 32 tahun, bujangan tambun yang gemar gerilya malam ke beberapa tempat hiburan elit di Jakarta.
Seperti biasa, awalnya memang sekedar perbincangan biasa. Pertemuan saya dengan Michael terjadi di kafe MT, kawasan Sudirman. Pada pertemuan berikutnya, pria kelahiran Surabaya itu mulai berbicara bebas dan blak-blakan. Salah satu hal yang kerap muncul adalah cerita tentang petualangannya menjelajah kehidupan malam. Begitu ia menyebut sebuah pub-karaoke yang menyuguhkan pelayanan No Hand Service, terus terang saya penasaran. Bukan apa-apa, untuk kehidupan malam Jakarta, istilah itu masih terdengar asing. Saya mengaku terus terang, tak mengerti apa yang dimaksud dengan pelayanan NHS yang menurut Michael, dahsyat dan tiada ada bandingannya. Katanya, itu pelayanan model baru dan resmi dipraktekkan dalam satu tahun terakhir. Wah, ini mesti tak bisa dilewatkan. Didorong rasa ingin tahu, saya pun bersepakat dengan Michael untuk 'jalan' bareng. Jumat malam, minggu terakhir di bulan Juli 2001, saya janjian di kafe PC, yang berada di mal SP, Jakarta Selatan. Michael datang bersama seorang kawan pria, sebut saja Josep, 29 tahun.
Pria ini diakui Michael sebagai teman dekat dan bekerja satu kantor. Jam baru saja menun-juk pukul 20.25 WIB ketika saya masih asyik memperbincangkan keistimewaan NHS. Baru lima belas menit kemudian, Michael mengajak saya bergerak menuju lokasi. Mengendarai Wrangler hitam, saya bersama Michael dan Josep menyusuri jalanan utama menuju kawasan pusat kota. Lalu lintas ramai oleh kendaraan yang berlalu lalang silih berganti. Malah, arah arus balik menampakkan suasana padat. Saya memutar di Jl GT masuk ke Jl TH di kawasan Jakarta Pusat. Dari pintu belakang, saya menjalankan laju mobil perlahan memasuki area parkir sebuah mal, SP —begitu orang sering menyebutnya. Mal SP memang berada di Jl TH yang menjadi ruas jalan utama di Jakarta Pusat. Jam baru beranjak dari pukul 21.15 WIB ketika kami bertiga keluar dari lift di lantai lima belas.
Di lantai itulah terdapat sebuah tempat hiburan yang dikemas dengan konsep one-stop-entertainment. Ada diskotek, restoran dan karaoke di dalam ruangan yang luasnya sekitar 500 meter persegi. Tempat hiburan tersebut populer dengan sebutan NW. Terdengar lantunan lagu-lagu berirama R&B, trance dan Acid Jazz yang diusung DJ mengerubung tiap sudut ruangan. Puluhan tamu di area dancefloor meningkahi alunan musik dengan ajojing di tengah kilatan lampu yang menyambar. Di meja-meja, tamu lainnya tertawa sambil menenggak minuman sampai tetes terakhir. Itu baru pemandangan pertama yang saya temui. Ruangan diskotek itu terletak di tengah ruangan. Sementara restoran berada di sudut kanan, tak jauh dari diskotek. Dengan beriringan saya, Michael dan Josep tak berlamalama di diskotek yang terus dihujani aneka lagu menghentak. Detik berikutnya, kami sudah berjalan menjauh menuju meja resepsionis yang letaknya sedikit menjauh dari diskotek dan restoran. Setelah melewati lima sampai tujuh meja, kami bertemu dengan dua resepsionis wanita mengenakan seragam blazer serba biru tua. Michael rupanya sudah bookingterlebih dulu.
"Kalau nggak booking,pasti waiting list dulu. Di sini ramai terus," ungkap pria berbadan tinggi besar itu. Seorang pelayan wanita mengantar kami ke ruangan. Kami dibawa melewati lorongyang diisi deretan kamar. Di sepanjang lorong itu, tampak beberapa waiter stand-by di depan pintu. Lamat-lamat, dari tiap kamar itu terdengar lantunan musik. Kamar yang jumlahnya mencapai lima belasan buah itu, tampaknya sudah terisi. Oleh pelayan, saya diantar ke sebuah kamar yang masuk deretan kelas VIP. Di pintu tertulis Royal Suite—seperti nama kamar di hotel-hotel berbintang. Royal Suite itu terletak di deretan paling ujung, berada satu tembok dengan empat kamar VIP lainnya. Ruangan kamar suite itu luasnya lebih dari 12 X 12 meter persegi. Kapasitasnya muat untuk menampung sekitar 15-20 tamu. Biasanya, di ruangan inilah private party sering digelar beberapa eksekutif berduit. Dari sekadar have-fun menjamu klien, merayakan ulang tahun sampai pesta lepas bujang. Di dalam ruangan yang dindingnya serba berwarna pink terdapat tiga sofa krem dengan meja warna hitam metalic dan dua televisi ukuran 29 inci. Interior ruangan yang saya tempati malam itu, sungguh nyaman. Kenyamanannya setaraf dengan kamar kamar suite hotel. Lantai beralaskan karpet, hawa air-conditioner menebar dingin ke seluruh sudut, ruangan kedap suara dan tiga buah lukisan wanita abstrak menempel di dinding. Di samping televisi, terdapat lemari mini yang memajang aneka jenis botol minuman dalam keadaan terkunci. Begitu digeser, lemari itupun bergerak. Dan yang saya dapati adalah sebuah ruangan yang dilengkapi spring-bed dengan kamar mandi. Spring-bed itu dilengkapi bed-cover warnawarni, bantal dan guling. Di atasnya, sebuah bola lampu menyala redup. Tak lama setelah saya duduk dan memesan minuman plus makanan, dari arah pintu masuk muncul seorang wanita mengenakan busana rapi, layaknya pegawai kantoran —blazer hitam, rok mini dipadu baju kemeja krem, menghampiri saya. Sembari berdiri, wanita itu yang saya tahu sebagai salah satu 'Mami' di NW itu menawarkan beberapa koleksi LC {ladyescort) yang ia punya. Tampaknya, Michael sudah punya pilihan sendiri. Pasalnya, sudah beberapa kali ia mampir untuk 'pelesir' malam di NW. "Tadi say a sudah booking Vita sama Dina. Tolong panggilkan mereka dong," ungkapnya kepada 'Mami'. Dan dalam sekejap, Mami mengangguk untuk kemudian hilang di balik pintu.
0 0 0
En-ha-es.
Operator meminta saya untuk memilih lagu-lagu yang ingin dinyanyikan.
Di atas meja, terdapat tiga buah songlistyang dibungkus rapi dalam map berhias. Masing-masing berisi song-list dari dalam negeri, Barat dan Mandarin. Hitung-hitung sambil menunggu gadis lady escort datang, saya pun iseng melantunkan dua-tiga lagu. Vita dan Dina muncul dengan mengentuk pintu diantar langsung oleh 'mami'. "Boleh juga pilihan Michael," pikir saya begitu melihat dua gadis yang masih tampak muda itu. Tanpa banyak basa-basi, kedua gadis itu langsung mendudukan diri dekat saya. Layaknya sebuah permainan, awalnya mereka mengajak bernyanyi biasa sambil terus menempelkan tubuhnya. Vita bermesraan dengan Michael, sementara Dina menjadi pasangan Josep. Saya sendiri, tak usah heran, cukuplah menjadi part of the nite-party. Mereka berduet fals menyanyikan lagu demi lagu. Tapi sepertinya, menyanyi hanya menjadi polah pelengkap saja, lain tidak! Justru yang menarik adalah polah genit dan menggoda yang diperagakan Vita dan Dina. Tawa manja, rayuan gombal, belaian mesra selalu mengiringi dari menit ke menit. Layaknya sebuah kencan, mereka terus bermesraan. Bayangan dua sepasang kekasih yang saling bermasygul ria tak terelakkan. "Mau yang lebih 'hot' nggak? Masa Cuma begini-begini saja." Sebuah ucapan dengan nada pelan dan penuh rayuan keluar dari bibir Vita diikuti dengan senyum simpul Dina. Sembari berucap mereka menggayut manja di pundak Michael dan Josep. Sebenarnya, Michael bukan tak tahu kemana arah pembicaraan Vita. Sebagai pria yang sering mampir ke tempat-tempat hiburan, ucapan Vita berarti pancingan plus penawaran. Dan Michael bukan sekali dua kali killing & spending time di NW. Mereka sebelumnya sudah pernah menjajal pelayanan 'hot'yang ditawarkan gadis-gadis NW. Sambil menyomot hidangan buah segar yang ada di atas meja, Vita sontak beranjak dari tempat duduknya. Dia melangkah ke depan diikuti Dina. Musik pun berganti dengan hentakan-hentakan house-mania. Di layar kaca, terpampang gambar-gambar penari tengah meliuk seksi penuh keringat. Gadisgadis bule itu pun perlahan melepas satu per satu baju yang membalut tubuh. Pada gerakan lain, Vita dan Dina pun melakukan liukan-liukan yang sama. Tak persis memang. Tapi, gerakan-gerakan mereka tak kalah erotis. Layaknya sebuah kontes, mereka menari penuh semangat bersaing dengan penari bule di layar kaca. Seiring musik yang menghentak dari detik ke detik, lembaran baju yang melilit di tubuh Vita dan Dina perlahan ditanggalkan. Begitulah, layaknya sebuah show, mereka mempertontonkan tarian striptis. Sesekali mereka mendekat ke arah Michael dan Josep. Menggoda penuh rayuan mematikan. Tapi bukan itu inti pertunjukan. Setelah sekitar dua puluh lima menit berlalu, Vita dan Dina mendekatkan tubuhnya, rapat. Gerakan tarinya tak berhenti. Dari bibir Vita telontar kalimat dengan nada menantang. "Sekarang giliran aku yang jadi Ratu. No Hand Serviceya, Abang hanya boleh diam dan duduk yang manis," ucapnya perlahan dengan senyum melebar.
Michael menuang XO Hannesey —sejenis cognag, untuk kemudian menenggak-nya dalam-dalam. Entah sudah berapa gelas yang ia habiskan. Josep pun tak jauh beda. Tampaknya, minum sudah jadi bagian dari aktivitas sehari-hari. Tak lama seusai Michael meletakkan gelas, Vita mulai memburunya. Begitu juga dengan Dina. Dengan agresif, mereka mulai mempreteli baju yang melekat di tubuh Michael dan Josep. Sementara musik terus saja menghentak dengan iramairama keras. Ruangan VIP itu berubah menjadi pesta memabukkan dan panas oleh gelora nafsu membara. Michael dan Josep pun seolah menjadi patung. Mereka tak boleh membalas reaksi yang diperagakan Vita, maupun Dina. Mereka hanya boleh menikmati dan merasakan, lain tidak. Pemandangan yang tergambar ibarat sebuah pertempuran yang tak seimbang. Dua wanita dengan polah agresif yang dari setiap gerakannya bisa membuat laki-laki bertekuk lutut dan mati kutu 'memplonco' dua pria yang hanya boleh diam dan pasrah. Layaknya sebuah pertunjukan di atas pentas, Vita meletakkan beberapa potongan buah segar di atas tubuh Michael. Pada detik berikutnya, apa yang terjadi tak ubahnya seperti tontonan seorang gadis cantik dan seksi tanpa mengenakan busana tengah menyantap buah-buahan segar di atas tubuh pria yang menjadi meja perjamuan. Wah, adegan yang satu ini mengingatkan saya pada seks sashimi yang juga diberikan sejumlah gadis-gadis escort di VIP karaoke. Sementara di sudut lain, Dina tak kalah panasnya bereaksi. Gadis yang dalam pandangan umum pantas mendapat nilai A dari sisi paras dan kemolekannya itu menyipratkan red-wine ke tubuh Josep untuk kemudian melenyapkannya dengan sentuhan bibirnya. Bisa dibayangkan, gelora nafsu yang tumpah menyatu dalam irama musik tanpa henti sampai titik penghabisan. Yang terbayang di benak saya saat itu adalah sebuah service gaya baru dari satu tempat hiburan yang ingin menyuguhkan pelayanan seks yang berbeda dan menantang. Di akhir pesta, Michale dan Josep menyelipkan lembaran ratusan ribuan. Entah berapa jumlahnya. Namun yang pasti, pesta itu berakhir dengan senyum dan tawa menggelegak. 3In One. Prosesi selama kurang lebih setengah jam itu, akhirnya membuat saya mafhum apa yang dimaksud pelayan-an No HandService.Satu bentuk pelayanan seksual yang dari para gadis LC yang sifatnya fullservice. Tamu hanya boleh menikmati dan merasakan tanpa boleh mengadakan perlawanan. Gambaran yang disuguhkan Vita dan Dina makin membuat saya tahu detailnya. Betapa NHS menawarkan satu service yang memang lain dari yang ada. Ujungujungnya memang sama, seks juga. Tapi, 'bumbu' yang ditawarkan resep dan kemasannya berbeda. Paket NHS inilah yang menjadi jualan utama. Setidaknya, ada tiga puluh lady escort yang siap melayani tamu yang menginginkan pelayanan three in one. Striptis, sashimi dan NHS. Mereka ditempatkan dalam sebuah ruangan tersendiri dan dibiarkan terbuka. Dalam bertransaksi mereka dibawahi mami. Mami inilah yang mengatur semuanya. Dari order di tempat sampai order booking. Dalam perjalanan pulang, saya menyempatkan diri untuk melihat-lihat suasana. Seusai pesta aurat yang berlangsung panas dan memabukkan, Antoni mengajak saya bersantai sejenak sambil menikmati sisa hidangan. Antoni banyak mengumbar cerita seputar kedahsyatan NHS yang menurutnya tak ditemukan di tempat hiburan lain. "Yang satu ini memang top," ujar pria yang juga doyan ke kasino itu dengan nada tinggi. Pelayanan striptis dan sashimi yang juga disediakan para lady-escort di NW, baginya sudah bukan hal yang baru. Sebagai laki-laki yang gemar jalan malam dan sudah pasti berduit, striptis dan sashimi sudah berulang kali dijajalnya. Namun NHS, baru dua kali ia mencobanya. "Yang lebih seru, kalau digabung jadi satu. Striptis, sashimi plus NHS. Dahsyat betul itu," ungkapnya blak-blakan. Dan seorang Michael sudah membuktikannya. Namun, tidaklah murah untuk mendapatkan paket three in one. Untuk order ruangan VIP saja, minumnya charge-nya tiga jam dengan harga Rp 125 ribu per jam. Sementara untuk order striptisRp 500 ribu dan sashimiRp 750 ribu. Tarif termahal ada di paket NHS. Bayangkan saja, untuk mendapatkan pelayanan super hotitu tiap tamu mesti membayar Rp 1 juta. Tentu saja semua harga itu yang mesti dibayar ke kasir. Saya masih ingat ketika Michael merogoh beberapa lembar uang lima puluh ribuan usai berpesta. Itulah yang ia sebut sebagai uang pelicin. "Supaya besok kalau kita datang, pelayanannya makin oke dan hot terus," timpal Josep sambi tertawa lepas. Malam beranjak dari pukul 24.45 WIB ketika saya keluar dari ruangan. Vita dan Dina sudah menghilang lima belas menit sebelumnya. Sepanjang lorong kamar, saya masih mendengar dentuman musik dan desah bercampur tawa manja. Entah apa yang sedang terjadi di dalam. Mungkin memang sekelompok pria tengah jatuh dalam pelukan lady-escortsambil bernyanyi atau mungkin juga ada dua tiga pria tengah berjibaku dalam lumatan ladyescort No Hand Service.Betapa dunia gemerlap selalu menawarkan anggur kenikmatan. Dan betapa banyak pria berduit yang tenggelam dalam kubangan anggur itu hingga terlena. Seperti mereka yang jatuh dalam pelukan para lady-escort NHS sambil terbuai di alam mimpi kahyangan.[]
7
Sex Sandwich
Sashimi Girls
Sex Sandwich
Sashimi Girls
Paket cinta plus-plus dari gadis-gadissashimiuntuk para lelaki petualang cinta sesaat. Mengunyah daging sushi di atas tubuh wanita cantik dan seksi tanpa busana. Layanan 'blue service' untuk kalangan eksekutif muda.
Paket pelayanan seks yang disuguhkan sejumlah tempat hiburan di kota-kota besar seperti Jakarta, makin hari makin beragam dan tergolong 'aneh aneh' alias ganjil. Dalam satu kesempatan di pertengahan Februari 2002, saya bersama seorang rekan wartawan yang biasa menggarap infotainment untuk beberapa televisi swasta, menghadiri pesta ulang tahun salah seorang artis terkenal —profesinya penyanyi dan pemain sinetron, sebut saja SM, 27 tahun, di salah satu kafe di kawasan Taman Ria Senayan. Pesta tersebut sebenarnya tertutup untuk wartawan dan hanya dikhususkan untuk tamu undangan. Tapi, lantaran saya dengan SM cukup akrab dalam kapasitas sebagai teman sepergaulan, saya termasuk yang diundang. Tamu yang datang amat beragam. Dari kalangan artis, produser sampai eksekutif muda sukses yang notabene'berduit' dan doyan gaul. Dari sekian esmud tersebut, saya dikenalkan SM dengan salah seorang diantaranya. Namanya, Hans, 32 tahun, bekerja sebagai Account Director di sebuah perusahaan elektronik terkenal made-in Jepang. Sambil menikmati aneka minuman khas yang disuguhkan, kami terlibat percakapan serius. Entah dari mana mulainya, tiba-tiba saja kami saling bertukar cerita ihwal ke-hidupan malam Jakarta. Awalnya hanya cerita soal pergaulan anakanak malam di kafe, pub atau diskotek. Lama-lama, cerita berkembang seru karena mulai menjamah soal para ladies-escort yang menyediakan jasa layanan cinta kilat plus ragam 'bentuk' paket pelayanan yang diberikan. Sebagai laki-laki yang dari sisi finansial tercukupi, Hans termasuk pria yang suka sekali akan hiburan, terutama yang ada di kafe, pub maupun diskotek. Selepas jam-jam kerja, ujarnya, biasanya ia selalu menyempatkan diri untuk melepas sejenak di kafe mal sambil menyeruput segelas bir dingin atau red-wine. Pada hari-hari tertentu, apalagi hari libur, Hans selalu menyempatkan diri mampir di sejumlah kafe, diskotek atau pub. Kalau tidak begitu, dalam beberapa kesempatan ia mesti menjamu klien dengan membawanya road-show ke beberapa tempat hiburan, dari sifatnya sekedar hura-hura di meja bar sampai yang langsung berhubungan dengan urusan laki-laki punya selera. Ya, apalagi kalau bukan urusan seks.
0 0 0
Variasi Sashimi.
Sebagai pria yang sering bergelut di dunia malam, Hans sedikit banyak tahu beberapa tempat hiburan yang menyuguhkan paket spesial untuk tamunya. Nah, salah satunya yang ia temukan adalah menu spesial Sashimi yang lain dari biasanya. Lain dari biasanya, karena daging 'sushi', yang aslinya memang sejenis masak-an khas Jepang, tidak lagi dihidangkan di atas nampan atau piring lengkap dengan sumpit. Dan biasanya, mudah sekali di-temukan di restoran-restoran Jepang yang tersebar di Jakarta.
Tapi daging 'sushi' yang dimaksud Hans, ternyata dihidangkan di atas tubuh wanita. Kalau tubuh wanita itu mengenakan busana lengkap layaknya seorang pramusaji kebanyakan, tentu saja sangat biasa. Akan tetapi, daging sushi yang satu ini justru diletakkan di atas tubuh wanita cantik dan seksi tanpa mengenakan sehelai benangpun.
Astaga!
Bagi Hans, model pelampiasan seks seperti itu sudah melampaui batasan perilaku seks normal. Akan tetapi, dia tak habis mengerti mengapa justru paket sashimi itu laris manis dan digemari. Dan peminatnya, sudah pasti para pria berduit karena ditilik dari harga yang ditawarkan jumlahnya bisa jutaan rupiah. Dan praktek sashimi itu dari hari ke hari terus saja berjalan mengikuti detakan jam dan pada akhirnya menjadi gaya hidup dan trend baru di dunia perilaku seks, terutama untuk mereka —bisa laki-laki, bisa wanita, yang suka tantangan dan variasi baru. Saya teringat apa yang dikatakan Dr. Bambang Sukamto, Program Officer On Clinic Indonesia,ketika pada satu kesempatan saya mewancarainya. Bahwa sesuatu yang sebenarnya menyimpang dari normanorma yang berlaku seperti seorang pria baru merasa puas kalau berhubungan dengan dua atau tiga wanita, pada akhirnya akan menjadi suatu gaya hidup. Bahkan, Dr. Bambang melihatnya sebagai satu mode, trendbaru. Begitu juga seks sashimi. Di mata Dr. Bambang, itu satu bentuk perilaku seks yang menyimpang. Perilaku seks yang memperlakukan tubuh wanita sebagai meja makan untuk mendapatkan kenikmatan. "Selain mendapatkan kenikmatan dari makanan, juga bisa meraih kepuasan seksual melalui pemandangan erotis tubuh wanita," tukasnya. Boleh jadi sashimi memang menyimpang, tapi dalam prakteknya peminat seks sashimi bukan makin surut tapi terus bertambah. Dan yang pasti, paket itu disuguh- kan oleh sejumlah tempat hiburan yang semata-mata memang ingin menarik perhatian tamu dan menguras duitnya, dengan menawarkan satu bentuk pelayan-an seks yang berbeda dari yang sudah ada. Seks memang kaya variasi. Dan variasi yang beragam itulah yang dimanfaatkan sejumlah tempat hiburan untuk membuat menu baru dalam hal pelayanan seksual. Maka ketika orang sudah bosan dengan suguhan striptis atau bolak-balik ke panti plus menuntaskan hasrat dengan massagegirl, seks sashimi menjadi menu baru yang mungkin bagi sebagian laki-laki menarik untuk dicoba. Striptis bisa dengan mudah ditemukan di sejumlah tempat hiburan di kota-kota besar seperti Jakarta dan Surabaya. Apalagi pantipanti plus atau rumah-rumah penampungan yang menawarkan seks one short time dengan ragam service, dari mandi kucing, oral-service sampai fullbody-service, menjamur di tiap sudut kota-kota besar Jakarta, Surabaya, Bandung, Medan dan Batam. Tapi seks sashimi, tak banyak tempat hiburan yang menyuguhkannya. Dan dari sisi variasi, sashimi boleh jadi menawarkan sesuatu yang berbeda buat laki-laki petualang malam yang berduit. Bisa dibayangkan, dua atau tiga pria —tentu saja, tak ada larangan seorang diri, berada dalam satu ruang tertutup, sementara dari layar kaca terus saja terdengar lantunan musik. Dan di atas meja besar, seorang gadis cantik dan seksi berkulit kuning langsat dalam keadaan tanpa busana telentang di atas meja dengan puluhan daging sushi tersebar di atas tubuhnya. Dan pada detik berikutnya, beberapa mulut pria itu sudah menari-nari, bergerak memunguti daging sushi yang sudah siap untuk dimakan.
"Seks itu kaya dengan seni lho. Dan pada seni itulah terletak keindahan dan kenikmatannya," kelakar Hans. Apa iya?
Lama &BBaru.
Karena penasaran melihat 'aksi' yang sebenarnya, saya pun janjian denga Hans. Pada hari yang ditentukan, kami bertemu di lobby salah satu hotel bintang lima di Jl. Sudirman. Lantaran lalu lintas Jakarta tak kenal kompromi pada siang dan sore hari, kami janjian sekitar jam 7 malam.
Jam 19.20 WIB, kami ketemu.
"Santai dulu, tempatnya deket kok dari sini. Kita ngopi-ngopi dulu saja. Ok! Lagipula, saya sudah boking kok," ujar Hans yang malam itu mengenakan stelan jins dan kaos merek Giorgio Armani. Setelah beberapa menit kami bersantai sambil menikmati secangkir kopi penahan kantuk, kami berangkat ke lokasi.
Awalnya, saya menduga tempatnya berada di kawasan Mangga Besar atau Kota, yang selama ini memang populer sebagai 'raja'nya kemesuman. Tapi, alamak, begitu masuk di Jl. Thamrin, mobil BMW yang dikemudikan langsung oleh Hans, berjalan perlahan, tak lebih dari 60 km/jam. Setelah melewati lampu merah, mobil mengambil
jalur lambat. Sekitar 25 meter kemudian, kami belok di salah satu pintu sebuah gedung pendulang langit. Saya tak banyak bertanya, hanya mengikuti kemana Hans pergi. Setelah parkir di halaman belakang, kami menaiki lift menuju lantai paling atas. Ternyata, gedungnya berada di deretan belakang. Bentuk bangunannya memanjang dan hanya terdiri dari 10 lantai. NZ berada di lantai 8. Warna krem mendominasi seluruh tembok gedung.
Jam delapan kurang 10 menit, kami sudah sampai di meja resepsionis. Kami disambut seorang Hansusaji wanita. Mengenakan stelan blazer hitam dipadu dengan kemeja putih dan rok selutut, gadis berambut pendek lurus itu mengenalkan diri sebagai Susan.
"Malam Pak Hans, tempat Bapak sudah kami siapkan," kata Susan sambil mengembangkan
senyumnya. Rupanya, Hans sudah cukup dikenal di klub NZ. Tak heran, kalau Susan tampak akrab dan bicara langsung pada inti persoalan, tanpa banyak basa-basi.
"Seperti biasa, Pak? Atau mau coba dengan 'barang' baru?" tanya Susan kemudian.
"Boleh juga. Langsung bawa ke kamar saja, ya," jawab Hans, spontan. Kami pun langsung diantar menuju ruangan. Cahaya lampu bersinar sedikit temaram. Tak jauh dari meja resepsionis dan ruang tunggu, lamat-lamat kami mendengar canda tawa perempuan.
"Itu ruangan khusus untuk lady-escort,"bisik Hans. Sesaat, saya sempat mengamati ruangan dengan pintu agak sedikit terbuka itu. Dan benar saja, beberapa gadis tampak keluar masuk bergantian.
Kami menempati sebuah ruangan yang luasnya sekitar 4X6 meter persegi. Dilengkapi sofa panjang memutar dan sebuah layar. Sementara meja per segi empat yang bentuknya lebar dan terbuat dari batu pualam, berada di tengah-tengah. Lampu menyala temaram.
"Bisa saya panggil sekarang, Pak Hans?" tanya Susan. Hans mendekati Susan. "Kalau nggak ada stok baru, mendingan yang 'sudah terbiasa' saja. Wati sama Yeni boleh juga. Tadi saya sudah bookingmereka berdua," tukasnya. Susan lalu beranjak pergi. Sambil menunggu 'pesanan' kami datang, operator memutar lagu-lagu romantis. Sesekali Hans ikut bernyanyi kecil. Susan datang selang 10 menit kemudian membawa dua gadis cantik. Usai mengantar pesanan, Susan beranjak pergi. Rupanya, yang diantar Susan memang Wati dan Yeni, sesuai dengan pesanan Hans. Wati berambut sedikit ikal sepundak dan berkulit putih. Mengenakan baju kem-bang, rok mini dan jaket hitam. Sedangkan Yeni berambut lurus memanjang sebahu, berkulit kuning langsat dan berhidung mancung. Malam itu, gadis postur tubuh tinggi itu mengenakan sack-dress ungu tua dengan belahan V. Hans tampak akrab dengan keduanya. Rupanya, kedua gadis tersebut sudah jadilangganan tetap. Hans mengenalkan saya pada mereka. Mau tak mau, saya pun mencoba ikut mengakrabkan diri dengan mereka. Prosesi awal berlangsung seperti biasa. Tahap pertama, kami asyik ber-cakapcakap. Untuk menyemerakkan suasana, kami bernyanyi sama-sama. Dan tentu saja, sudah bergelas-gelas minuman habis tertenggak. "Pertunjukannya mau dimulai sekarang, Mas?" tanya Yeni yang mesra bergayut di pundak Hans.
"Boleh aja. Temen saya, sudah nggak tahan tuh, pengen liat," ledeknya sambil melihat ke arah saya. Wati yang duduk berdampingan dengan saya hanya tersenyum manja. "Saya pesan makanan dulu ya," ujar Wati. Sekali pencet tombol, seorang Hansusaji datang. Sepuluh menit kemudian, dua piring daging sushi sudah tersedia. Lalu, layar berubah menjadi tayangantayangan sensual. Gadis-gadis seksi meliukliuk mengikuti irama lagu yang melantun. Wati dan Yeni lalu mulai beraksi. Di atas meja batu pualam yang dingin, mereka perlahanlahan mulai mempreteli baju satu per satu sampai akhirnya terlepas semua. Lalu, dijumputnya daging sushi satu per satu dan diletakkan di atas tubuh mereka tanpa busana tersebut. Untuk beberapa saat lamanya, mereka meliukkan tubuh di atas meja mengikuti alunan lagu. Saya hanya bisa terdiam menunggu reaksi Hans.
Dari bibir lelaki dengan kulit sawo matang tersebut tersungging senyum ceria. Entah apa yang ada dibenaknya. Saya tak bisa mereka-reka. "Hayo, jangan malu-malu. Sikat habis daging sushinya," teriak Hans sambil menatap saya. Terus terang, saya tak tahu mesti berbuatapa menyaksikan adegan dua gadis tanpa busana meliuk seksi tak ubahnya seperti ulat kepanasan. Dan yang tak kalah seru, ya itu tadi, daging sushinya. Saya tak bereaksi sampai akhirnya Hans mencairkan sua-sana. Awalnya, ia mengambil sumpit yang tergeletak di atas meja. Lalu, dijumputnya daging sushi dan langsung mengunyahnya. Begitu seterusnya sampai tiba pada adegan berikutnya.
Tiba-tiba, Hans membuang sumpit dan langsung mendekatkan mulutnya ke arah tubuh Yeni. Tubuh penuh sushi itu seperti menjadi sebuah piring indah. Dan Hans dengan penuh hasrat mulai melahap daging sushi itu tiada henti. Saya hanya geleng-geleng kepala. Adaada saja. NZ sebenarnya memang tempat untuk berkaraoke. Sudah lebih dari empat tahun, NZ menawarkan paket Sashimi pada tamutamunya. Pada awalnya, paket sashimi itu tidak sembarang orang bisa memintanya. Meski NZ seperti kebanyakan karaoke yang ada di Jakarta, terbuka untuk umum dan siapapun boleh masuk, tapi dalam hal paket seks sashimi, tidak semua tamu bisa mencicipinya. Selama kurang lebih dua tahun, paket seks sashimi hanya diperuntukkan bagi tamu yang berstatus member-guest. Kalau tidak begitu, hanya diperuntukkan bagi tamu yang menjadi pelanggan setia dan masuk dalam jajaran member-face. Artinya, tamu itu sudah dikenal dengan baik dan terseleksi. Namun pada tahun-tahun berikutnya sampai sekarang, paket sashimi itu lambat laun terbuka untuk siapa saja. Tamu yang datang dan ingin mencobanya, dibukakan pintu lebar-lebar. Karena tidak semua lady-escort bisa melayani seks sashimi, biasanya Hansusaji akan membantu memberikan kode petunjuk. Gaya transaksi seperti ini, memang berlaku untuk tamu yang baru. Tapi bagi member-guest, biasanya sudah punya beberapa nama yang bisa diboking via telepon atau langsung panggil di tempat seperti Hans yang sudah dikenal dan menjadi pelanggan setia. Ketika tamu sudah menentukan pilihannya, tamu tinggal menunggu di ruang karaoke dan selanjutnya, tinggal memesan makanan kepada Hansusaji. Tidak mesti daging 'sushi' yang menjadi hidangan, buah-buah segar yang sudah diiris pun, tak jadi soal. Begitulah seluk beluk paket seks sashimi yang ada di NZ. Selama lebih dari tiga tahun, NZ memang menjadi satu-satunya tempat yang terkenal dengan seks sashimi-nya. Namun tak lama setelah itu, menurut Hans, di awal tahun 1999, sebuah tempat hiburan baru memadukan tiga konsep resto, diskotek dan karaoke menjadi satu, muncul. Tempat baru itu bernama SN. Lokasi SN berada tak jauh dari NZ. Hanya saja, SN berada di salah satu lantai, tepatnya di lantai 14 di sebuah gedung pusat berlanjaan di bilangan Thamrin, Jakarta Pusat. Dari sisi konsep, SN jelas lebih unggul. Kalau NZ hanya tempat berkaraoke, maka di SN ada resto, diskotek, baru karaoke. 1 juta rupiah. Tidak hanya itu, dari sisi pelayanan plus yang diberikan, SN mempunyai tiga paket pelayanan yang lebih variatif dan menjadi menu jualan utama. Selain paket seks sashimi yang banyak diminati tamu, ada juga striptis dan paket seks no hand services. Khusus untuk seks sashimi, rupanya antara SN dan NZ memang tidak jauh berbeda. Hanya saja, lantaran SN baru sekitar dua tahun ini beroperasi, tidak sembarangan memberikan atau menawarkan paket itu pada tamu. Untuk urusan transaksi dengan gadisgadis sashimi, di SN menggunakan jasa beberapa orang mami atau germo. Mereka inilah yang membawahi paling tidak sedikitnya 50 lady-escort yang siap menemani tamu.
Tidak semua bersedia melayani paket seks sashimi, makanya para mami atau germo ini sudah mengklasifikannya dalam beberapa kelompok. Ketika tamu berkeinginan mencicipi seks sashimi, para mami ini akan memanggil beberapa anak didiknya dan langsung dibawa ke ruang karaoke. Di sinilah, tamu diperbolehkan langsung memilih. Kalau belum menemukan yang cocok, mami akan memanggil kelompok berikutnya sampai tamu menemukan gadis seleranya. Ruangan karaoke SN sedikit lebih luas dibanding NZ. Desain interior dalam tida jauh berbeda. Tapi, SN punya tipe ruangan serba modern. Maklum, masih baru dan dibutuhkan sarana wah untuk menarik tamu. SN juga dilengkapi sofa panjang dan meja lebar. Hanya saja di SN tidak menggunakan screen,melainkan televisi berukuran 29 inci. Kehadiran SN dengan menu seks sashiminya, membuat paket menikmati daging sushi atau bisa juga buah segar di atas tubuh wanita, makin populer. Meskipun belum banyak laki-laki yang tahu, tapi bagi petualang malam, paket sashimi di NZ dan SN cukup diminati. Bahkan, banyak eksekutif muda yang memburunya. Dan banyak juga lelaki Jepang, menjadi tamu setia. Harga? Mahal memang. Karena untuk sekali transaksi, tamu mesti membayar di kasir 1 juta untuk satu orang. Di NZ dan SN, harga yang dipatok sama. Itu belum termasuk hitungan ruang karaoke yang minimal order-nyatiga jam dengan tarif Rp. 125ribu. Bayaran 1 juta itu hanya yang tercantum di kertas billing. Sementara dalam prakteknya, para gadis-gadis sashimi ini selalu meminta tips kepada tamu yang mem-boking. Artinya, harga 1 juta itu hanya berlaku untuk sekali show. Ketika makanan sushi yang bertebaran di atas tubuhnya sudah hides, tugas gadis sashimi dengan sendirinya telah tuntas. Nah, biasanya banyak tamu yang merasa tak cukup dengan one action. Kalau ingin nambah, berarti tamu mesti mau memberikan tips supaya gadis sashimi bisa melanjutkan ke ronde kedua. Dan untuk tips ini, yang sudahsudah jatuhnya bisa lebih mahal dari harga yang mesti dibayar ke kasir. Bisa dibayangkan kalau ada tamu yang sampai menginginkan tiga sampai empat ronde. Untuk sekali ronde tambahan saja, gadis-gadis sashimi mematok harga minimal 200 ribu. Berapa duit yang mesti dikeluarkan untuk mendapatkan paket seks sashimi sampai tuntas? Toh, dalam prakteknya, seks sashimi ini mesti membutuhkan uang yang tak sedikit, tetap saja diminati para pria. Apalah artinya uang 3 juta untuk seorang pria yang pendapatan per bulannya bisa mencapai 10 juta atau lebih. Karena pria-pria sekelas mereka inilah yang menjadi tamu setia penikmat sashimi. Lazimkah seks sashimi yang digemari beberapa pria berduit ini? Kalau bicara lazim dan tidak lazim, barangkali seks sashimi memang sudah melampui batasan normal. Apa iya? Tapi, setiap individu punya kebebasan sendiri untuk meng-ekspresikan hasrat seksualnya. "Ini kan hanya masalah variasi saja, lain tidak. Tapi, di situlah nikmatnya. Mahal tak jadi soal, " kilah Hans.
Bali &JJakarta. Dan ternyata, seks sashimi ini, tidak saja dimonopoli Jakarta. Di Bali pun juga tersedia. Hanya saja, nama boleh sama, tapi dalam prakteknya sedikit berbeda. Terutama dalam hal layanan yang diberikan kepada tamu. Siapa yang memungkiri kalau Bali memang aduhai. Layaknya sebuah pesta, sejumlah kafe, pub, diskotek dan bar yang ada di kawasan Kuta, Legian dan Seminyak menggelar acara dengan ragam tema. Apalagi pada hari-hari libur, seperti malam Sabtu dan Minggu. Dan di antara ratusan tempat hiburan itu, ada satu tempat yang memberikan suguhan tersendiri. Orang-orang menye-butnya tarian Sashimi Girl.Di atas meja bar, tiga orang gadis mengenakan bikini dan ditubuhnya itu tergantung daging-daging 'sushi'. Sambil terus menari erotis, tiga penari itu membagi-bagikan sushi yang tergantung dibadannya. Saya masih ingat, usai menyaksikan langsung seks sashimi di karaoke di NZ, sebulan kemudian saya berangkat ke Bali. Dan pada satu malam, saya mampir di klub NT'S di bilangan Legian. Saya menyaksikan puluhan pria berdiri nanar di bawah meja bar, dengan serta merta menyambut daging sushi itu. Jam waktu itu sudah menunjuk pukul 01.30 dini hari ketika tiga penari sudah basah oleh peluh. Dan pada menit-menit berikutnya, bra yang melekat di dada serentak mereka lemparkan pada kerumunan tamu. Tamu yang berhasil mendapatkan bra yang dilemparkan tiga penari, segera naik ke atas meja bar dan bergabung ikut menari. Malam terus saja bergelora dengan aksi tiga penari yang sudah tak lagi berbus.ana.Sementara keringat terus bercucuran, dengan tubuh dipenuhi daging sashimi, mereka terus meliuk dan menari. Melempar bra ke arah tamu dan mengajak menari bagi yang mendapatkan. Rupanya lain Jakarta, lain Bali. Kalau di Jakarta, Sashimi Girl memberikan badannya sebagai nampan atau ajang perjamuan untuk laki-laki, maka di Bali, tarian 'Sashimi Girl'lebih identik dengan tarian striptis. Hanya saja, para penarinya menggantungkan daging sushi di tubuhnya dan membagikannya kepada tamu. Ada yang hanya mendapat suapan, namun juga pria yang beruntung, langsung boleh mencaplok daging sushi yang tergantung di tubuh penari.Biasanya, pria yang berhasil menangkap bra lah, yang punya kesempatan. "Itu hanya soal penampilan dan gaya sajian. Pada prinsipnya sama kan, perempuan dan daging sushi," lagi-lagi Hansberkomentar ketika saya bercerita tentang sashimi girldi Bali. Tarian Sashimi girl yang disuguhkan klub NT'S, biasanya, hanya digelar untuk acara acara spesial dan sesuai dengan ordertamu yang masuk. Acaranya diadakan di ruangan khusus dan tidak semua tamu bisa menikmati tontonannya. Hanya member saja yang boleh masuk dan memesan order langsung. Untuk menjadi member di NT'S, tiap orang mesti membayar Rp. 7 juta untuk regular class dan Rp 10 juta VIP-class.Masing-masing member itu diberikan fasilitas yang berbeda. Untuk regular classmisalnya, pada setiap ada acara spesial bias dipastikan mendapatkan 1 meja dengan 4 kursi plus1 botolcokedan Black Labelserta free off charge.Untuk mendapatkan ladyescortyang dikehendaki, mesti membayar Rp 500 ribu. Sementara untuk VIP-class mendapatkan fasilitas yang sama dengan regular class, hanya untuk lady-escort tak perlu biaya tambahan dan boleh membawanya sepanjang malam. Tapi di NT'S tidak memberikan pelayanan seks di tempat. Tidak hanya itu, para member boleh memboking pada gadis-gadis di NT'S untuk dibawa keluar. Hanya saja, ada biaya tambahan sebesar Rp. 1 juta. Selain NT'S di kawasan Legian, di simpang Jl. TU Denpasar juga terdapat karaoke bernama KSA. Di karaoke ini juga memberikan suguhan Sashimi Girl untuk para member-guest. Tarian yang disuguhkan memang tidak beda jauh dengan apa yang ada di NT'S. Hanya saja, di karaoke KSA selain ruangan karaoke, juga dilengkapi dengan fasilitas kamar khusus. Dengan membayar Rp. 500 ribu, member guest mendapatkan sebuah kamar tidur lengkap dengan TV, Video dan AC Di ruangan inilah, para memberbisa menuntaskan hasratnya bersama gadis-gadis sashimi. Harga untuk menikmati tari-an Sashimi Girl berlangsung model bawah tanah. Artinya, transaksi dilakukan langsung dengan penari. Standar harga yang selama ini berlaku, berkisar antara Rp 500 ribu sampai Rp 1 juta untuk sekali show.Kabarnya, sashimi girlyang ada di KSA ini lebih galak dan seksiseksi. Dan mereka selain terkenal dengan goyangnya yang menggiurkan, juga populer sebagai layaknya macan kelaparan di atas ranjang dan siap menerkam lawan kapan saja, tanpa ampun.[]
8
"Meeting Date"
Club-lovers 99
"Meeting Date"
Club-lovers 99
Sebuah private club untuk lelaki jetset. Tak ada papan noma, tapi populer dengan gadis-gadispramusaji yang cantik. Hanya member-guest yang bisa masuk dan menikmatiextra-service yang menggiurkan.
Tampak luar, bangunan bercat putih dengan pagar tembok biasa itu tak adayang istimewa. Malah, tak ada bedanya dengan rumah tempat tinggal sebuah keluarga. Ditilik dari eksteriornya, rumahitu sangat biasa. Tampak depan, beberapa jendela dalam ukuran besar. Bangunan itu bentuknya tipikal rumah di zaman Belanda. Tinggi dan panjang. Sama sekali tidak ada eksterior yang mencirikan rumah elite seperti kebanyakan eksterior rumah yang ada kawasan Pondok Indah. Intinya, bangunan itu sangat biasa.
Bangunan itu terletak di ruas jalan utama, sebut saja Jl. LB, di wilayah Jakarta Selatan. Lokasinya tak jauh dari sebuah pusat perbelanjaan dan sebuah pasar. Saban hari, jalan itu selalu bising oleh aneka mobil yang berlalu lalang.
Dari mobil pribadi sampai kendaraan umum. Mak-lum, tempat tersebut memang amat dekat dengan sebuah perempatan besar di bilangan Blok M. Di kala siang, rumah itu tampak sepi seperti tak bertuan. Pelataran parkir yang kapasitasnya paling-paling hanya muat untuk 10 sampai 15 mobil itu hanya terisi 3 buah mobil. Aktifitas di luar rumah pun tampak sepi. Hanya, terlihat dua sampai tiga orang saja yang duduk sambil bercakap di teras. Tapi, suasana siang hari itu berubah total ketika malam hadir menjemput. Siang yang tadinya sepi, sontak berubah ketika jam mulai merambat perlahan dari pukul 18.00 WIB ke deretan jam-jam berikutnya. Puluhan orang, laki-laki dan wanita, menghidupkan malam dengan ragam polahnya. Di malam weekend, suasana bertambah mencolok dengan hadirnya beberapa mobil mewah yang diparkir di pinggir jalan.
Club Lovers.
Tak banyak yang tahu, ada apa di balik bangunan rumah tersebut. Kaca mata umum, paling-paling hanya bisa bertanya-tanya, ada apa sebenarnya yang ada di dalam rumah itu. Maklum, setiap malam, apalagi di malam weekend, di rumah itu terjadi aktifitas layaknya sebuah tempat hiburan kelas atas.
Seorang kenalan, sebut saja Ardi, 30 tahun, yang sehari-hari menggeluti usaha di bidang ekspor-impor peralatan berat sebagai Asst. Marketing Director PT BA, merasa penasaran. Pasalnya, aku Ardi, sebagai seorang eksekutif yang sudah mengantongi beberapa member-card dari sejumlah tempat hiburan seperti kafe, pub dan klub, atau sejumlah hotel berbintang, tak pernah tahu apa isi di dalamnya.
Dalam sebuah percakapan yang kami lakukan dengan Ardi di kafe BG, kawasan Taman Ria Senayan, pria yang hobi bermain biliar itu bertutur ihwal rasa ingin tahunya yang meledak-ledak. Maklum, sebagai 'pecinta' dunia hiburan malam, dia merasa sudah cukup malang-melintang menjelajahaneka tempat hiburan malam di kota-kota besar seperti Surabaya, Bandung dan Medan, apalagi Jakarta.
Makanya, begitu disebut Klub 99, Ardimengakui tak tahu banyak meski beberapa kawan karibnya kerap bercerita dan menyebut- nyebut ihwal klub tersebut. Yang dia tahu, sebatas cerita luarnya saja. Misalnya saja, beberapa temannya menyebut ihwal gadis-gadis cantik yang menjadi pramusaji di klub
99. Tidak hanya itu, tamu yang datang hampir semua bermobil mewah. Gambaran sekilas tentang Klub 99 itu tentu saja makin membuat Ardi penasaran.
Sampai satu ketika ia bertemu dengan salah satu rekanan bisnis yang mengajaknya dinner di klub tersebut. Rekanan bisnis kali ini, namanya sebut saja Pram, 32 tahun, Project Director PT HG yang bergerak di bidang yang sama dengan perusahaan Ardi. Pucuk dicinta ulam tiba, begitulah kirakira Ardi mengungkapkan apa yang ada di pikirannya. Hari bertemu pun ditentukan. Ceritanya, Pram mau mentraktir Ardi setelah mendatangani proyek kerja sama dalam hal ekspor-impor turbin kapal.
Hari Jum'at, di awal bulan Oktober 2001, Ardi mengajak kami bertatap muka di kafe BG, di kawasan Taman Ria Senayan pada jam-jam after hours.
Kafe yang hanya berkapasitas untuk 100 orang itu memang menjadi ajang kumpul, sekedar nongkrong dan ngobrol sambil menikmati makan dan minum. Di situlah kami bertemu dengan Ardi yang ditemani seorang temannya. Tak lama setelah itu, datanglah Pram seorang diri dan langsung diperkenalkan dengan kami. Lewat pukul 20.00 WIB, kami berangkat menuju lokasi. Pram yang memang punya hajat, melajukan mobil terlebih dahulu. Kami melewati Jl. Sudirman yang memang terkenal tak pernah sepi dari deru dan laju kendaraan. Tidak siang, tidak malam. Setelah melewati tiga lampu merah, kami masuk kawasan Jakarta Selatan. Di sebuah perempatan besar tak jauh dari kawasan shopping matkami mengambil arah kiri jalan, jl. LB namanya. Jalan itu tertetak di antara bangunan perkantoran, restoran dan sebuah plaza. Di ruas jalan itu, lalu lintas tampak ramai. Maklum, kawasan tersebut terkenal sebagai ajang nongkrong anak-anak muda yang ingin mencari angin malam dengan menikmati aneka ragam makanan yang ditawarkan puluhan warung tenda. Beberapa gadis dengan dandanan seksi, ikut meramaikan suasana malam dengan polahnya yang centil dan tawa canda manja menggoda. Tak jauh dari kawasan itulah, kira-kira tak lebih dari 125 meter kami melihat Pram memarkirkan mobil Jeep Mercy-nya. Kami mengikuti Pram dari belakang. Rupanya, kami berhenti di sebuah bangunan rumah yang tak jelas berapa nomor rumahnya. Kami tak sempat memperhatikan lebih jauh. Di depan, hanya ada sebuah papan kecil yang dipajang di dekat pintu masuk dan bertuliskan dua huruf sejenis dan ditulis secara berdampingan. Itu saja! Ah, di sinilah rupanya klub 99 berada. Seperti cerita-cerita dari rekanan kami, suasana malam itu memang ramai. Bangunan itu memang tak ada yang istimewa, tampak seperti rumah biasa. Pagar depan terdiri dari tembok memutar dengan cat putih-hitam. Cahaya lampu menyorot ke tiap sudut area depan yang dipenuhi sekitar 10-15 mobil. Untuk sesaat lamanya kami mengedarkan pandangan. Tak hanya di halaman depan, di ruas jalan depan bangunan rumah tersebut, puluhan mobil parkir sejajar. Beberapa sopir pribadi, tampak mengisi kegiatan dengan bercakap dengan sesama teman seprofesi. Alamak! Hampir semua mobil yang parkir malam itu bermerek mahal. Kami hanya geleng-geleng kepala dan makin penasaran. Ada apa sebenarnya di dalam? Pram mengajak kami masuk. Pintu yang terbuat dari kayu jati dengan hiasan ukiran khas Jepara itu terkuak. Seorang gadis mengenakan rok mini pendek dengan baju hitam dan scarfbermotif bunga, menyunggingkan senyum menyilakan kami masuk. Tak sampai lima langkah, datang lagi seorang gadis dengan baju yang sama. "Mejanya sudah siap, Pak. Di sebelah sana, dekat bar," ucap gadis bersepatu hak tinggi itu dan langsung mengantar kami ke meja. Musik mengalun sendu dengan irama perlahan dan mendayu-dayu. Suasana di dalam, tampak ramai. Hampir semua meja sudah terisi. Suara orang bercakap bebas, tertawa lepas, segera tergambar. Beberapa pria yang kenal dengan Pram segera memberi salam dan sekedar say hello
Tampaknya, rata-rata tamu yang datang saling mengenal satu sama lain. "Ini private club.Hanya member-guestyang boleh masuk," tandas Pram. Seorang pramusaji menghampiri meja kami dan menawarkan menu hidangan. Ada ragam makanan yang ditawarkan, dari menu Indonesia, Eropa sampai China. Tapi, yang paling banyak justru daftar menu masakan Jepang. Dan harga yang tercantum di daftar, sekelas dengan harga makanan dan minuman di hotel berbintang lima, malah boleh dibilang sedikit lebih mahal. Terutama untuk jenis-jenis makanan yang spesial. Sepanjang waktu, kami tak henti-henti mengamati para tamu yang datang. Dari gaya dan dandanan mereka, tampak sekali kelas mereka dari kalangan atas. Cara makan, berbicara, berbusana dan segala tingkahnya. Yang paling sederhana, mobil yang mereka kendarai, tak ada yang murah. Hampir rata-rata mobil bermerek mewah dan berkelas. Dari sekian tamu yang datang, kami melihat beberapa wajah yang sudah tak asing di kalangan publik. Sebut saja nama BO, salah seorang pengusaha muda terkenal yang punya perusahaan kontruksi dan restoran. Ada juga RF, salah seorang anak konglomerat keturunan China yang cukup populer karena punya hubungan serius dengan salah seorang artis cantik dan seksi kenamaan, BF. Tak jauh dari meja kami, tampak masih banyak lagi wajah-wajah pria dari berbagai kalangan profesi yang cukup punya nama. Mereka rata-rata ditemani pelayan-pelayan cantik nan seksi. "Jadi member-nya mahal lho. Dan nggak gampang." Tiba-tiba Pram memecah konsentrasi kami. Ucapan Pram membuat kami merasa terpancing untuk bertanya lebih jauh. Kabarnya, untuk jadi membersaja satu orang mesti membayar kurang lebih Rp 5 juta untuk jenis kartu Silverdan Rp 10 juta untuk jenis kartu Gold.
Tidak hanya itu, untuk menjadi member, mesti harus ada memberguestyang merekomendasikan. "Saya saja bisa dapat memberkarena kenal dekat dengan FT, pengacara kondang itu lho," sambung Pram sambil tersenyum. Masing-masing jenis kartu, punya layanan fasilitas yang berbeda. Pemegang kartu Gold misalnya, bisa ikut dalam setiap acara yang digelar — seperti sexy-woman wild-girl dan hot-dancer party, dengan tanpa dipungut bayaran lagi. Sementara untuk pemegang kartu Silver mesti membayar lagi sekitar 50%. Pasalnya, ragam party yang sering diadakan di Klub 99 tersebut, kabarnya selalu bertema panas dan 'gila-gilaan'. Tak kalah dengan pertunjukan live show di beberapa tempat hiburan di Jakarta yang berlangsung di ruangan khusus. "Pestanya heboh dan selalu 'panas'. Maklum, temanya selalu wanita seksi," ujar Pram membenarkan ihwal beberapa acara yang kerap digelar Klub
Seminggu sebelumnya, aku Pram, di klub 99 ini diadakan acara Wet Party yang menampilkan 5 gadis seksi dengan busana transparan tapi basah. Biasanya, acara seperti itu digelar satu kali dalam sebulan.
"Pantas dong kalau di sini selalu ramai," tandas Pram.
Lewat pukul 21.45 WIB, kami baru saja menyelesaikan dessert. Selama hampir duajam, mata kami tak lepas mengamati puluhan pramusaji wanita yang hilir mudik melayani tamu dari meja ke meja. Dan yang fantastis, mereka yang malam itu berseragam serba hitam itu rata-rata berparas cantik dan berbadan seksi. Kami baru sadar ketika Pram membisiki kami ihwal pramusaji wanita yang stand-bydi tiap sudut itu. "Nggak ada yang jelek kan. Itu kelebihan Klub 99. Pelayannya cantik semua," kata Pram dengan senyum melebar.
Pelayan 'Cinta'.
Rupanya, daya tarik Klub 99 ini, yang paling utama me-mang para pramusajinya atau pelayannya. Ada juga yang menyebutnya sebagai ladiesescortnya Klub 99. Sepanjang menit berlalu, dari meja ke meja tak tampak pramusaji pria yang melayani tamu. Semuanya wanita. Alamak!
Untuk kesekian kalinya, kami tersadar dan akhirnya mengerti.
"Kalau sudah selesai. Ruangan relaksasinya
sudah siap, Pak. Di atas." Ucapan lembut dari gadis pramusaji mengakhiri makan malam kami. Berikutnya, kami diantar naik ke lantai satu dengan menaiki anak tangga. Musik dengan irama-irama syahdu masih saja menggema lamat di seluruh ruangan. Sebuah pintu terbuka. Apalagi ini, pikir kami. Di lantai satu itu ternyata terdapat beberapa ruangan kamar yang tertata berdampingan.
Seorang gadis pramusaji mengantar kami ke kamar. Tak ada label nama di pintu kamar sebagaimana layak-nya terdapat di beberapa pub-karaoke. Yang ada hanya tulisan Room 1,2,3 sampai angka berikutnya. Kami berada di Room 9 yang letaknya sedikit berada di ujung.
Dalam beberapa langkah, lamat-lamat kami mendengar desah tawa, canda, dan suara manja dari dalam kamar. Pram hanya mengedipkan mata meminta kami terus melangkah. Tak ada apa-apa, katanya.
"Paling-paling mereka sedang bercanda dan cubit-cubitan, ha...ha...," gurau Pram sambil terus berjalan perlahan.
Ruangan bernomor 9 yang kami tempati bentuknya sederhana. Sebuah sofa panjang dengan satu meja, kemudian dilengkapi dengan fasilitas AC, televisi dan VCD. Lantai terbungkus karpet warna biru tua. Di meja sudah terhidang aneka buah segar dari apel, anggur, jeruk sampai buah pir dan empat botol white & red wine.
"Semua saya yang pesan sebelum berangkat ke sini. Saya kan sudah boking duluan," ujar Pram.
Tak ada operator yang biasanya selalu ada di tempat karaoke dan mengucapkan selamat datang untuk tamu. Di dekat televisi, sudah tertata rapi koleksi CD dan VCD. Pram yang tampaknya sudah terbiasa dengan pelayanan Klub 99 langsung saja menyalakan televisi dan memutar lagu-lagu koleksi Lionel Richie.
"Gadis-gadis yang Bapak pesan sebentar lagi datang," ucap gadis yang mengantar kami lantas berlalu menghilang di balik pintu.
Sambil menikmati sajian buah segar yang tersedia, kami mendengarkan lantunan merdu lagu-lagi Lionel Richie. Hanya berjarak lima menit, terdengar pintu diketuk. Tiga gadis pramusaji mengenakan seragam serba hitam dengan rok mini dan scarf di leher masuk bergantian. Sebuah senyum dan ucapan selamat malam meng-awali malam rileksasi.
"Selamat malam, Pak Pram," satu per satu mereka memberi salam. Pram lantas menyilakan mereka bergabung duduk di sofa dan mengenalkan mereka pada kami. Tanpa diminta, tiga gadis pramusaji itu langsung memberi pelayanan. Jangan curiga dulu. Mereka bukan memberi pela-yanan ekstra dengan tarian syahwat dan sejenis, tidak. Mereka bertindak layaknya seorang pramusaji. Pertama-tama mereka menawarkan anggur. Kami mengiyakan, lantas mereka mulai menuang dan langsung membawanya kepada kami. Begitu seterusnya. Ketika kami ingin berganti lagu,mereka pun segera menawarkan mau diputarkan lagu apa dan menggantinya. Perkenalan singkat itu seperti tak menjadi batu sandungan.
Mereka dengan amat mudahnya mengakrabkan diri dan bersikap seolah-olah sudah kenal lama dengan tamunya. Bagi Pram, ketiga gadis itu boleh jadi sudah dikenal. Maklum, sebagai pemilik kartu Gold, wajahnya sudah cukup familiar. Tapi bagi kami, tentu saja itu luar biasa. Layaknya seorang pramusaji, mereka melayani tamu dengan sopan. Meski kadang kala polah mereka kelewat mesra. Apalagi kalau mereka bertemu dengan pria yang aktif dan mudah diajak bicara. Dalam sekian menit, ruangan rileksasi itu memang menjadi sebuah ajang pelepas lelah dan penat. Bersantai ditemani gadis-gadis, dilayani dan diperlakukan sebagai Raja. Ketika sang Raja ingin mendapatkan sesuap buah pir dan menyentuh dagu mungil nan halus, maka gadis pramusaji dengan senang akan menyambutnya.
Atau, ketika sang Raja ingin dibuai manja dengan peluk dan cium mesra, maka para gadis pramusaji dengan rapat akan mengapit. Apapun boleh dilakukan selain satu hal; seks di tempat! Untuk yang satu itu, gadis pramusaji dengan halus akan menampik dengan sebuah ucapan halus, dengan bibir menempel di bibir. "Maaf, jangan di sini ya!" Sebagai gadis pramusaji, seperti yang kami katakan di awal, mereka rata-rata berparas cantik dan berbadan proporsional alias seksi untuk ukuran wanita. Usianya pun rata-rata tak ada yang lebih dari 27 tahun. Dari cara berdandan, berbicara dan berpolah, terlihat sekali mereka sudah ditraining. Artinya, sebelum terjun mereka sudah diberi 'asam-garam' tentang apa yang mesti mereka lakukan pada tamunya. Maklum saja, tamu yang datang hampir semua dari kalangan berduit. Jetset! Tidaklah heran, kalau para gadis pramusaji ini pun dibekali 'modal' yang cukup. Biar pantas, sedap dan diterima. Bagaimana cara mereka memperlakukan tamu dengan pelayanan sebaikbaiknya, tanpa seks, tapi tamu terpuaskan. Mahal memang. Itu diakui Pram. Bayangkan saja untuk satu orang gadis pramusaji, dia mesti mengeluarkan uang sekitar Rp. 500 ribu. Belum lagi biaya makan dan minum serta tempat. Dengan uang Rp. 500 ribu itu, gadis pramusaji hanya bertindak sebagai 'pelayan' setia. Yang kapan saja bisa dibelai, dicium bahkan dipeluk, tapi tidak untuk memberikan pelayanan 'plus'. Bagaimana dengan yang satu itu? Seorang gadis pramusaji bermata bening dengan kulit kuning langsat dan berambut hitam sebahu yang mengaku bernama Intan, 24 tahun, merekahkan senyum.
"Itu bisa diatur. Tapi jangan di sini. Kita janjian saja." Sebuah jawaban singkat yang berarti 'ya'. Begitulah gadis-gadis pramusaji Klub 99. Di dalam ruangan rileksasi memberikan pelayanan sebaikbaiknya, entah dengan satu sentuhan mesra di dada atau dengan sekecup cium manis di pipi, tapi tidak untuk sifatnya 'service plus'. Pada akhirnya, kami lagi-lagi tersadar di detik terakhir. Klub 99 menjadikan mereka —gadis-gadis pramusaji itu sebagai daya jual utama. Di situlah, rendezvouscinta berlangsung. Di situlah, janji kencan terjadi. Di situlah meeting date yang ujung-ujungnya menjurus ke transaksi seksual terlakoni. Para pria borju tersebut, toh cukup membisikkan satu kata: ketemu jam sekian, di hotel ini, dan bayaran rata-rata bisa Rp 1, 2, 3 juta untuk semalam. The end of story and Happy LandingV. []
Tidak ada komentar:
Posting Komentar