Moammar Emka
FINALLY, buku Jakarta Undercover #3 {Forbidden City) ini kelar juga. Butuh waktu sekitar enam bulan untuk menyelesaikan draft yang sebagian masih mengendap di kepala dan sebagian lagi masih berbentuk potongan cerita di dalam laptop.
Sengaja buku ini terbit seminggu sebelum film Jakarta Undercover produksi Rexinema (Velvet Film) dirilis ke pasar. Ya, biar kompak dan satu irama saja, itu alasan utamanya.
Untuk itu saya mengucapkan terima kasih yang sedalamdalamnya, pertama, untuk my creator.Allah subhanahu wata'ala, sumber segala kehidupan.
Kedua, untuk abah H. Markun dan Hj. Musri'ah serta kakak + adik di Tuban (Muflihah, Mashfufah, Nafisah, & Mutammimah) yang tak pernah habis mengalirkan doa restunya.
Ketiga, untuk "Mas" Antonius Riyanto, "Kang" Hikmat Kurnia, "Aa" Clay Siahaan, "Aa" Ipong Samuel, Neneng Sugandhi, Budi Akhyar, Angel, Morin, dan semua pasukan di AgroMedia Group yang selama ini selalu jadi "teman" meng-gembirakan. "Maju terus, pantang mundur. Kita bisa!"
Untuk "Mas" Erwin Arnada (Executive Producer) dan Lance (Director) serta para aktris + aktor: Luna Maya, Lukman Sardi, Fachry Albar, dan all crew, yang telah bersusah payah menyelesaikan penggarapan film Jakarta Undercover, saya cuma bisa berkata: Salute!
The unforgettable "Neng" Ussy: "Titip bahagia di setiap jejakmu".
Sahabat-sahabat tercinta: Aip Leurima, Chris Luhulima + Dina, Cornelia Agatha + Sonny Lalwani + the Twin, Rizal Mantovani, Abdee "Slank" Negara, dan "Aa" Clay Siahaan + Poppy + Jeimys Bebiclay, dan Kiki Susilo. "Luv u, nggak ada matinye...."
Kakak-kakak saya: Desmond J Mahesa, Budi Santoso, "Mbakyu" Noni + "Mas" Budi, Om Silo,
dan "Cak" Henry Soeryadi. "Doain saya cepet dapat jodoh, dong...biar bisa momong si kecil."
"Tante" April, Dewi Kemal, Novia Ardhana, dan Herawary Helmi: " Thanks ya, Say... untuk pertemanan q-ta selama ini. Hari-hari jadi indah dan penuh ketawa-ketiwi kalo ada dikau berempat, yuuuk...."
Om Farhan dan "Mas" Arswendo Atmowiloto: terima kasih untuk good-comment-nya. Untuk Kathleen: "I miss u, full...!!!" Tak ketinggalan: Windy Ariestanty yang setia mengedit dan memelototi tiap kata dalam buku ini hingga jadi enak untuk dibaca. "Jangan kapok ya...!"
Anak-anak Menteng: Doddy Dosen, 'De' Miko, Dedi Sirait, Satria + Dina Nirmala, Boy + Shofa, Gugun Gondrong, David 234, Opa Luftan, Mas Eko, Mas Budi BNI, Budi "Nying-nying", Budi "Lacur", Indra, dan Ahmad, Rieza "Say", Laura, Jo + Mami Like, Wisnu "Nyo", Ogee, Dessy dan Lisa+Yenny+Gilbert: "Thanks banget brur & sista untuk support dan jadwal nongkrong-nya."
Satu lagi, untuk Simon, "lurah" Coffee Club Plaza Senayan, yang merelakan tempatnya saya jadikan sebagai rumah kedua. "Thanks, Bro!"
Sekadar catatan, beberapa tulisan dalam buku ini pernah dimuat di majalah X-Magazine selama rentang tahun 2006. Saya memang sempat menjadi kontributor untuk majalah tersebut selama enam bulan. Karenanya saya mengucapkan terima kasih untuk "Mas" Hani Moniaga dan "Bang" Jim Barry Aditya atas kerja sama dan dukungannya.
Note: Selamat membaca! Dan jangan lupa menonton film JAKARTA UNDERCOVER yang akan beredar Maret 2007 ini.
Thank You
Daftar Isi
Forbidden [or] Paradise City?
1. 1. Seks Kinky Helikopter
2. 2. The Flying Bra
3. 3. Quicky Sex Party
4. 4. The Lapdancer
5. 5. Suite Salome
6. 6. Harem-Harem Sauna Basah
7. 7. Gadis Gadis Es Batu
8. 8. Uzbek "V"
9. 9. Sandwich Body Massage
10. 10. Club BDSM 185
11. 11. Waxing Bikini Area
12. 12. Underwear Dinner
13. 13. Baby Face
14. 14. 12 Pussy girlss Party
15. 15. Debus "V
16. 16. Bunny Girls / Seks Face Off
17. 17. Sashimi Jail House
18. 18. Sashimi Boy
19. 19. Seks Locker Room
20. 20. Seven Steps to Heaven
21. 21. Epilog: Swing Couple. How Come? Coming Soon
Forbidden [or] Paradise City? (*)
JAKARTA = Forbidden City atau Paradise City.
Predikat mana yang paling cocok dan pas? Bisa jadi dua-duanya. Buat saya, sebutan forbidden city jadi satu ukuran betapa segala jenis hiburan—termasuk alkohol, drugs, dan seks di dalamnya—bisa diakses dan dibeli kapan saja dan di mana saja. Padahal, menurut aturannya, segala hiburan yang berbau seks itu jelas "forbidden" di Jakarta (Well, tepatnya di Timur). Nyatanya? Bagi sebagian orang, hiburan yang notabene "forbidden" itu malah jadi "paradise" yang menawarkan kesenangan tak terhingga.
Istilah Forbidden City atau Gugong Bowuguan dalam bahasa Cina, yang menjadi sub-judul buku ini, secara sejarah mungkin tidak banyak berhubungan dengan salah satu peninggalan Emperor Mid-Ming tahun 1422 yang sampai sekarang masih kokoh berdiri di pusat Kota Beijing itu.
Forbidden City hanyalah sebuah istilah saja. Karena buat saya, maknanya beda-beda tipis dengan kondisi Jakarta saat ini. Makanya, saya lebth suka menggunakan judul Jakarta Undercover (Forbidden City) up [to] date dan [re] visited. Ooo.. seperti apa kira-kira gambarannya? Makin keren, gemerlap, dan ehmmm...edan, Man! Barangkali, kalimat itulah yang pas untuk untuk menggambarkan kondisi dan situasi Jakarta menjelang akhir tahun 2006 ini. Gimana nggak keren, gemerlap, dan edan, kalau ternyata dari hari ke hari, kawasan "abu-abu" di Jakarta jumlahnya makin bertambah dan menu-menu seks yang disajikan pun sangat variatif + inovatif. Layaknya sebuah supermarket, setiap mata yang datang disuguhi aneka menu pilihan beragam. Tinggal pilih dan sesuaikan dengan duit di kantong. Money talks, itu sudah jadi rumus nomor satu di dunia pelesir seks. Ada uang, segala kesenangan—dari yang softcore sampai hardcore—bisa didapatkan.
Belum lagi aktivitas private party yang belakangan ini juga muncul dengan segala kegilaan-nya. Mulai dari swinger party, oral sex competition sampai BDSM Club.
"Stop, stop dulu! Jangan ngomong teori melulu. Gambaran edannya Jakarta itu seperti apa detailnya" sergah Nadia, 28 tahun, salah satu peserta arisan gaul yang sering ber-window shopping di Plaza Senayan.
"Sorry. Jadi langsung ke pokok masalah nih?" pancing saya.
"Ya iyalah. Hare gene, bosen dengerin teori soal gaya hidup orang-orang perkotaan," sambung Nadia.
"Okay. Done!"
Bener juga kata Nadia, daripada ngobrolin teori, mendingan langsung ke reality show-nya.. Lagi pula, saya juga nggak jago-jago amat kalau disuruh menjelaskan dari A sampai Z mengapa banyak lakilaki berduit menghabiskan waktunya di karaoke, nite club, kelab kebugaran, atau strip-bar yang di dalamnya menyediakan aneka macam jasa sex-entertainment. Saya hanya percaya, semua orang punya alasan masing-masing. Ya nggak?
Supermarket Sex-tainment
MARI kita mulai dari Jakarta Utara dulu. Selama ini, banyak orang beranggapan kalau Red District yang paling
"Lho, kok dari sana? Bukannya di Jakarta Barat yang paling banyak?" sergah Nadia, memotong pembicaraan saya.
"Aduh, dengerin gue kelar ngomong dong. Kalo nggak, ketik ABCD."
"Maksudnya?"
"Aduh, Bo' Cuapek deh!"
"Sorry, sorry. Terusin aja omongan lo. Gue jadi pendengar yang baik," kata Nadia.
Ya, selama ini Red District yang paling terkenal di Jakarta adalah wilayah Barat, terutama di Kawasan Mangga Besar dan sekitarnya. Kenapa saya mulai dari Jakarta Utara, itu lebih karena persoalan up to date tempat dan menu-menu yang disajikan. Artinya, di wilayah itu belakangan ini tengah ramai jadi pembicaraan di kalangan para traveler malam, entah yang berprofesi sebagai pejabat, pengusaha, esmud sampai anak gaul sekalipun. Tahun lalu, sempat terdengar nama satu tempat kebugaran di Kelapa Gading berinisial MS yang heboh dengan menu gadis Uzbek dan Cungkok-nya. Belum lagi ditambah dengan desain dan besarnya tempat tersebut. Pada rentang waktu yang hampir bersamaan, di kawasan yang sama santer terdengar soal nite-club berinisial BQ yang populer dengan sajian sexy show di atas panggung. Dan, tak kalah menariknya adalah tontonan striptease bule yang bisa dinikmati di kamar khusus.
"Striptease bulenya dari mana? Cowoknya ada nggak?" tanya Nadia.
"Striptease bulenya kebanyakan dari Rusia dan Uzbekistan.Yang dari Amerika atau Australia belum ada. "
"Ooo.. .kirain ada cowoknya. Lucu juga buat bachelor party" kata Nadia sambil tersipu.
Berbeda dengan para stripper lokal yang biasanya hanya menarinari tak lebih dari setengah jam dan selebihnya melakukan pendekatan personal untuk urusan kencan lanjutan, para stripper bule itu lebih banyak unjuk kebolehan dengan menari seksi. Makin banyak tip yang ke luar, makin liar mereka menari.
Lain MS dan BQ, lain lagi dengan AS. Sebuah tempat yang berada di sekitar Kawasan Ancol itu saat ini tengah jadi trendsetter. Tak ubahnya supermarket, AS menyajikan konsep one stop sex-tainment di setiap lantainya. Ada bar yang didesain menyerupai kapal pesiar lengkap dengan suguhan tarian seksi dan siluet striptease di belakang bar. Mau mengolah vokal di ruang ruang karaoke bersama para Lady Companion (LC) dan stripper yang setiap saat bisa di-booking pun ada di sini. Belum lagi puluhan private-room untuk menikmati pelayanan khusus gadisgadis Cungkok dengan menu akrobat seks. Tak ketinggalan juga, ruangan spa dan steam-bath yang disesaki gadis-gadis cantik dari lokal dan mancanegara: Vietnam, Thailand, China, Rusia dan Uzbekistan. Mereka semua siap melayani para tamu.
"Akrobat seks kayak apa? Terus terang gue nggak ngerti?" tanya Nadia.
Menu yang satu ini, terus terang, rada susah untuk menggambarkannya. Terlalu hardcore dan kalau diceritakan dengan detail takut dibilang "porno". Bukan apa-apa, suguhan yang diberikan memang tak tak lepas dari gerakan akrobat. Bahasa sederhananya, pelayanan seks yang dipadukan dengan unsur gerakan dalam akrobat. Di dalam kamar, terdapat besi segiempat yang ditempatkan persis di langitlangit kamar, lalu ada juga sebuah selendang besar warna merah menyala yang diikatkan pada besi. Dari situlah, akrobat seks dipertontonkan. Dan tentu saja, melibatkan tamu laki-laki sebagai kelinci percobaannya.
"Hah, memangnya diapain?" tanya Nadia, penasaran.
"Hus! Bayangin aja, jangan nanya melulu!"
Kali ini saya tidak meladeni pertanyaan Nadia. Aduh, ibu gaul yang satu ini memang terkenal cerewet dan banyak tanya. Daripada ngobrolin akrobat seks, mendingan ganti topik pembicaraan.
"Udah ya. Kita pindah ke wilayah Jakarta Pusat," sergah saya mengakhiri topik Red District di Jakarta Utara. Kalau mau dirinci satu per satu, pastinya membutuhkan ribuan lembar kertas. Yang pasti, tempattempat seperti MS, BQ, dan AS cukup sebagai sampel tentang gemerlapnya reality show di tempat pelesir seks.
note :
Di Jakarta Utara, mulai dari Ancol, Gunung Sahari, Pluit sampai Kelapa Gading setidaknya terdapat lebih dari lima puluh tempat yang menyajikan menu seks. Sebagian besar menggunakan label kebugaran seperti tempat pijat, spa, atau sauna. Sebagian lagi menggunakan label karaoke, hotel, dan rumah penampungan atau biasanya disebut rumah cinta yang di dalamnya berisi para gadis cantik (di beberapa tempat ada juga yang menyediakan cowok cakep) yang setiap saat bisa dipanggil untuk kencan instan. Pemesanan bisa melalui booking call, bisa juga datang langsung ke lokasi.
Brand Ralem, Service Serem
JAKARTA PUSAT.
Pernah terbayang nggak kalau suatu ketika Anda masuk ke sebuah lounge atau bar dan tiba-tiba menemukan pemandangan yang begitu wild, bertemu gadis cantik dan tanpa Anda sadari, sudah hampir empat jam Anda larut dalam pesta. Kalau belum, saya (lebih tepatnya: bersama sejumlah teman) pernah mengalaminya.
"Teman apa teman.. .jangan-jangan lo sendiri kali?" ledek Nadia.
"Lutuye...bawaannya curiga melulu. Gue ama temen-temen. Kalo sendiri, gimana mau party!' sergah saya membela.
"Bercanda lagi. Ya udah, terusin ceritanya," ceplos Nadia.
Begini ceritanya. Seperti biasa, setiap Rabu, di sejumlah nite club punya acara spesial. Daripada bengong di rumah, saya dan dua orang teman, iseng-iseng spending time di kelab NZ, Kawasan Thamrin. Mau dugem, soalnya sudah terlalu sering. Sesekali, rasanya perlu mencari suasana yang agak berbeda. Dan ternyata, baru saja masuk ke lounge, saya bersama teman-teman sudah disambut dengan hangat.
"Mau duduk di mana?"
Suara itu terdengar merdu di antara alunan musik garage yang menyapu di setiap sudut ru-angan. Di atas bar melingkar, enam orang penari dengan baju seksi mempertontonkan gerakan-gerakan indah. Tak ubahnya sang ratu, mereka menebar pesona tanpa henti meski peluh sudah membasahi tubuh. Astaga! Tiba-tiba dari arah kerumunan tamu, dua orang gadis cantik naik ke bar dan dengan cueknya menari-bari sambil melemparkan bra-nya. Tak hanya sampai situ, dalam hitungan menit, gerakan dua gadis itu makin berani dan tak tanggung-tangung, mulai membuat tamu gerah dengan aksi buka-tutup pada bagian rok mininya.
Puluhan pasang mata tanpa lepas memerhati-kan aksi mereka dari menit ke menit. Duduk di kursi bat sambil meneguk segelas bir dingin atau betsantai di sofa ditemani gadis-gadis cantik, sepiring buah segar, sebotol red wine atau Jack Daniels.
"Lho, kok buahnya nggak dimakan. Apa mau aku suapin?"
Walah, selingkuhan bukan, pacar apalagi. Tapi mengapa begitu mesra dan hangat melayani tamu. Lagi-lagi, suara itu untuk kali kesekian terdengar begitu merdu di telinga. Di atas sofa hitam, di dalam Ceilo yang diterangi bohlam lampu agak temaram, saya bersama dua orang teman, menghabiskan malam dengan ditemani tiga orang LC (Lady Companion). Mereka masih muda-muda, cantik, smart, ramah, dan yang pasti, enak diajak ngobrol. Yang tak kalah menarik, mereka berdandan gaul banget; dari tanktop, gaun malam dengan belahan V, baby-doll sampai sack-dress di bawah lutut. Satu irisan buah pir yang disuapkan ke mulut saya meninggalkan rasa manis di lidah.
"Mau nge-dance?" ajak Sasha, begitulah ia mengenalkan namanya. Berusia tak lebih 21 ta-hun dengan tinggi sekitar 167 cm dan berambut hitam panjang. Malam itu, dengan gayanya yang khas, Sasha bergoyang. Saya pun tak urung larut dalam kegembiraan. Ikut berjoget ria sampai lagu berakhir. Malam terus merambat. Tanpa terasa, sudah pukul 12 lewat 10 menit. Suasana di bar belum juga surut. Sekitar 80 tamu yang memenuhi bar dan Ceilo, masih setia di tempatnya masing-masing.
"Ke karaoke aja yuk. Nyanyi-nyanyi bentar. Ntar ke sini lagi," usul Sasha. Semua setuju. Di ruangan karaoke 703 dengan dinding serba krem yang dilengkapi sofa, dua TV 29 inci dan dua meja kaca, Sasha menunjukkan kepiawaian dalam menyanyi. Lagu-lagunya Krisdayanti, Ratu, Rossa, Jennifer Lopez, Mariah Carey dan Beyonce dilahapnya dengan fasih.
Empat jam yang begitu hangat di NZ Club. Bar yang mengasyikkan, karaoke yang nyaman, LC yang cantik dan ramah, serta tamu-tamu yang bersahabat.
"Besok jangan lupa ke sini lagi ya?" ucap Sasha begitu saya berpamitan. Sebuah kecupan di pipi kiri dan kanan membuat saya jagi pengen balik ke NZ lagi. Mungkin besok malam atau minggu depan.
"CUMA begitu doang? Terus, apa hebatnya?" tanya Nadia.
Tentu saja bukan cuma tontonan tarian seksi dan kehangatan LC yang bisa didapatkan di NZ. Untuk layanan yang bersifat hardcore pun juga tersedia. Striptease, tinggal pesan dan bisa ditemukan di ruang karaoke. Transaksi seks instan pun bisa diorder di tempat. Kuncinya?
"Hardcore-nyz seperti apa sih?" tanya Nadia, lagi.
"Pesta seks rame-rame di dalam kamar yang hanya ditutup kelambu tanpa lepas baju. Kalau mau seks Sashimi Girl, juga tinggal pesan."
"Ah, yang bener?"
Pasti bener karena ternyata, untuk urusan private party yang melibatkan segala macam unsur sex-tainment, bisa didapatkan di tempat itu. Kalau tidak berani on the spot, toh tinggal bilang BO sa-ma mami atau papi yang bertugas malam itu.
"BO apaan? Gue nggak ngerti?" sergah Nadia.
"Booking Out, bawa ke luar. Ke hotel kek, apartemen kek. Ke rumah juga boleh."
Nadia hanya manggut-manggut. Saya hanya geleng-geleng kepala.
note:
Kawasan abu-abu di Jakarta Pusat, sebagian tampil dengan nuansa sopan dan ekslusif. Tapi jangan salah duga, biar smooth tapi dalam hal pelayanan seks, tidak kalah dibanding kawasan lain. Misalnya :
1. 1. di Kawasan Sudirman, ada juga karaoke KB yang punya bangunan besar dan juga menyediakan tarian striptease,
2. 2. di tempat kebugaran TO, setiap tamu yang memesan kamar VIP bisa mendapatkan pelayanan mandi susu bareng massage girl di dalam whirlpool (tentu saja dengan bonus layanan seks yang disepakati),
3. 3. di tempat kebugaran DO hotel KN, ada pelayanan seks duo. Artinya, kalau tamu laki-laki menginginkan laki-laki bisa langsung order. Atau laki-laki menginginkan perempuan, juga tersedia. Mau dobel? Tentu saja sangat bisa dinegosiasikan,
4. 4. di tempat kebugaran hotel MM, di sebuah kawasan yang di sekelilingnya terdapat sebuah pasar grosir, tersedia kelab kebugaran yang kini jadi gay-society. Tentu saja, selain bisa mengorder pemijat laki-laki, tamu bisa "nge-date" dengan sesama tamu atau anggota kelab.
Pusat Jajanan Seks
WELCOME to Paradise City! Itu sebutan yang pas untuk wilayah Jakarta Barat. Pusat jajajan seks ada di sini. Tidak tanggung-tanggung, dari segala kelas apa pun, tersedia. Bawah, menengah, dan.atas. Dari tempat pijat, karaoke, sauna, spa, karaoke, kelab, hotel bahkan sampai rumah penampungan dan kost-kostan.
Tengok saja salah satu suasana di sebuah nite-club, sebut saja TE, di Kawasan Hayam Wuruk.
Kelab yang pantas disebut sebagai one stop shopping. Bukan sembarang belanja biasa, tetapi belanja beberapa alternatif hiburan yang mengasyikkan dan menegangkan. Boleh untuk sekadar senang-senang tapi juga sah sebagai hobi keseharian. Apalagi buat mereka yang sudah bosan dan stres dengan aktivitas di kantor. Better, menikmati sajian hiburan adalah pilihan yang mungkin paling pas. Sekadar hiburan biasa, sampai yang berbau seks sekali pun.
Mau joget? Tinggal ke dancefloor berbaur dengan puluhan tamu pria dan wanita yang begitu happy menggerakkan badan ke kiri dan ke kanan. Mau melihat penari-penari seksi? Tinggal memusatkan pandangan di atas panggung. Mau duduk santai sambil menikmati live-band? Ada. Mau berkaraoke? Tak perlu khawatir. Tinggal pesan saja di meja resepsionis, dijamin pasti ada. Kecuali weekend, sebaiknya sih booking tiga hingga enam jam sebelumnya.
Jangan kaget juga kalau tiba-tiba ada paket Free KTV. Kalau bukan karena sebuah SMS yang masuk ke ponsel saya, mungkin saya masih berleha-leha di sofa apartemen sambil melihat tayangan fashion di TV. Beruntung ada SMS yang membuat saja buru-buru ke luar dari pintu apartemen.
Feast ur eyes w/ our bikini clad ladies on Wednesday, April 11, 2006 We present BLUE LAGOON NITE. Beachwear MODELS, THAI DANCERS 8 live band perform. Book 2 companion-GET FREE KTV!
Sebuah SMS yang cukup menggoda bukan? Gimana nggak menggoda, sekali datang, bisa mendapatkan aneka hiburan yang bervariasi. Sayang kan kalau dilewatkan begitu saja. Habis, bosen juga setiap malam gaul paling-paling jadwalnya clubbing di diskotek, berbaur dengan ratusan tamu di lantai disko, minum dan joget sampai mandi keringat. Sekali waktu, butuh dong suasana dan sensasi yang lain!
Makanya, sekitar pukul 21.00 WIB, saya dan tiga orang teman sudah stand-by di lokasi. Rabu gaul yang menyenangkan. Berada di kamar 208 ditemani empat lady companion (LC) yang cantik-cantik. Nggak betah di ruangan, tinggal buka pintu dan melihat aksi model dalam balutan busana beach suit tengah melenggang di atas panggung. Setengah jam kemudian penari-penari dari Thailand dengan busana yang sama, beraksi dengan indahnya. Capek berdiri, tinggal masuk lagi ke ruangan karaoke. Duduk di sofa empuk, mencicipi sepiring tahu goreng dan menenggak segelas Martel Golden Blue. Belum lagi, ditambah dengan keceriaan dan kehangatan yang diberikan para LC.
"Mau dengerin saya nyanyi apa? Dangdut oke, pop boleh, RnB juga tak masalah. Semua saya bisa kok," kata Poppy, 20 tahun, gadis berambut panjang asal Bandung yang baru sekitar lima bulan bekerja di tempat itu.
Selesai? Tidak. Di kelab ini, juga ada layanan full body contact dengan menu gadis lokal, China bahkan Uzbek. Bosan dengan liukan para penari dari Thailand di atas panggung, tinggal order stripper yang bisa menari lebih sensual dan vulgar. Sore hari, pada saat traffic jam di mana-mana, di kelab ini menyediakan half naked dancer dari pukul lima sore. Bisa ditonton di atas panggung sambil menyeruput segelas bir. Open for public!
From Turki with Sex
TAK puas dengan menu yang ada di kelab TE, tinggal starter mobil dan dalam waktu lima sampai sepuluh menit, sebuah tempat yang tak kalah hangat dan menegangkan sudah ada di depan mata. Namanya kelab MO. Lokasinya berada di Jalan GM. Tempat yang terakhir saya sebutkan ini punya variasi entertainment yang berbeda.
Kalau nggak salah, ini kunjungan saya yang ketiga ke MO. Kali ini, saya sengaja datang bersama Jojo, 28 tahun. MO bukan tempat baru sebenarnya. Tapi sejak direnovasi, tempat itu seperti reborn dengan menu seks yang lain dari biasanya.
Dilengkapi fasilitas resto, bar, spa, dan hotel, MO menyediakan paket superspesial berupa menu cewek-cewek Turki. Agak sedikit beda dengan tempat-tempat lain yang selama ini memboyong cewek-cewek dari Uzbek, Rusia, Thailand, dan Cina.
Meskipun jumlah cewek lokalnya jauh lebih banyak, tetapi kehadiran cewek asal Turki itu membawa magnet tersendiri di MO. Untuk ukuran Jakarta, menu seks dengan cewek Turki memang tergolong baru dan ekslusif. Sama ekslusifnya dengan cewek Spanyol, Manchuria, atau bahkan Mongolia. Maklum, jumlahnya relatif sedikit. Misalnya, MO. Tempat ini hanya memiliki dua cewek Turki. Nah lho!
Kondisi serupa juga terjadi pada cewek-cewek asal Spanyol atau Manchuria. Di sebuah kelab kebugaran di Kawasan Pecenongan, sekitar awal bulan Mei 2006, pernah menyediakan menu cewek asli Spanyol meskipun cuma satu orang. Hanya sayang, setelah tiga bulan bekerja, cewek yang berganti nama Sarah itu, langsung banting stir jadi model iklan dan freelance sebagai hi-call girl.
"Yang gue tahu, Turki terkenal dengan kar-petnya. Ternyata...." Nadia hanya manggut-mang-gut.
Kualitas karpet Turki yang terkenal awet dan tahan lama itu, ternyata juga menjadi ciri cewek Turki. Paling tidak, itu yang direkomendasikan Jojo, si laki-laki petualang yang "gatel" kalau nggak "sauna+massage" seminggu minimal 2 kali. Terbukti, magnet mereka mampu membuat MO jadi perburuan puluhan laki-laki, dari yang berstatus hidung belang, hobi pelesir sampai hidung pesek juga ada.
Nadia tertawa malu-malu mendengar istilah laki-laki hidung pesek. "What the maksud??!'" ta-nyanya.
"Pesek beneran, gilaaa...!"
Nadia terkekeh.
note :
Siapa tak kenal Mabes atau Mangga Besar? Kawasan yang berada di wilayah Jakarta Barat ini memang dijejali aneka tempat yang menjual jasa seks. Selain Mabes, kalau boleh jujur, rasa-rasanya hampir di setiap sudut wilayah sekitar Mabes, juga disesaki tempat hiburan berbau seks. Hayam Wuruk, Gajah Mada, Pecenongan, Lokasari, Krekot, Batu Ceper, Beos dan Jayakarta adalah sederet kawasan yang menawarkan rileksasi, kebugaran, dan hiburan di setiap ruas jalannya. Tapi ingat, tidak semua berakhir pada transaksi seks. Itu semua tergantung Anda.
NADIA mengisap rokok Capri-nya dalam-dalam. Tumben, kali ini dia tidak banyak bertanya.
"Udah ah. Gue bosen dengerin cerita lo," ujarnya.
"Bosen atau penasaran?" pancing saya. "Dua-duanya. Bosen karena tempatnya keba-nyakan buat laki melulu. Yang buat cewek mana?"
Oooo
"O, ingin tahu juga. Gampang, ntar malem lo gue tunjukkin tempatnya."
"Janji ya?" Nadia kembali mengisap rokok-nya.
Saya baru saja beranjak dari kursi ketika Nadia kembali melontarkan suaranya yang nya-ring.
"Jangan pergi dulu. Lo belum ceritain Red District di Jakarta Selatan," tukasnya.
Benar juga. Tanpa banyak basa-basi dan agar menghemat waktu, saya mulai bercerita soal kawasan abu-abu di Jakarta Selatan yang cenderung sopan secara penampilan. Di kawasan Melawai, Fatmawati, dan Wijaya misalnya, puluhan tempat dengan label kebugaran rata-rata tidak secara vulgar memberikan paket-paket tertentu. Biasanya, urusan full body contact menjadi "diskusi pribadi" di dalam kamar. Walaupun di beberapa tempat di Kawasan Mayestik, ada juga yang dengan blakblakan menawarkan paket seks instan. Mulai dari duo-sex-massage, mandi susu, sampai lulur triple-X. Ya, getu deh.
"Thanks, ya," Nadia melenggang di antara kursi-kursi kafe.
note :
1. 1. Salah satu kawasan di wilayah Jakarta Selatan yang disesaki tempat kebugaran (spa, sauna, dan pijat) adalah Wijaya dan Fatmawati. Nggak usah disebut satu per satu, pokoknya banyak deh.
2. 2. Kawasan lainnya adalah Arteri Pondok Indah, Pondok Pinang, dan Mayestik.
3. 3. Yang tak kalah heboh adalah Kawasan Melawai, Bulungan dan sekitarnya. Ada burespang alias bubaran restoran jepang, hotel yang dilengkapi fasilitas sauna (minimal pijat) dan PSK on the street. Ada juga karaoke dan kelab hi-class yang menyediakan jasa LC (Lady Companion) dengan harga di atas rata-rata.
Welcome to Forbidden City
SELEPAS kepergian Nadia, saya jadi mikir. Kalau kondisi riil Jakarta sudah sedemikian sesak dengan tempat hiburan yang menawarkan layanan menu seks softcore maupun hardcore, kayaknya sebutan Paradise City pas banget. Tapi, sekali lagi, predikat sebagai Forbidden City bisa juga matching, katena bisnis yang mengandung unsur "yang enak-enak" dan berbasis pada "sex-service", aturan mainnya memang nggak boleh kali (baca = kaleee).
Tapi nyatanya, wisata hiburan yang ada di Jakarta, praktik riilnya serba salah kaprah. Diskotek sebagai salah satu wisata clubbing, puluhan di antaranya malah jadi ajang untuk bertriping ria. Karaoke sebagai tempat rileks sambil makan dan bernyanyi, malah disisipi menu-menu seks yang luar biasa. Dari striptease, LC plus, no hand service girls sampai Sashimi Girls. Tempat seperti sauna, spa, dan pijat, sebagai wahana kebugaran, ujung-ujungnya berakhir pada layanan seks juga. Hotel sebagai tempat menginap dan beristirahat, eee...banyak juga yang menyediakan jasa selimut hidup untuk kencan sejam atau one nite stand. Bar atau lounge yang sedianya enak untuk tempat nongkrong pada saat after hours, kini dibumbui half-naked dancer alias penari tangju (tanggal baju) sebagai live entertainment-nya..
Ai...ai...rasanya nggak salah saya mengucap-kan selamat datang di Kota Terlarang. Sekadar warning, atau bisa juga dianggap sebagai advice, di Forbidden City segala kejadian paling menyenangkan bisa ditemui. Tapi, jangan salah, kejadian yang bisa bikin nightmare pun sangat mungkin tak terelakkan. Situasinya memang tidak bisa ditebak. Bisa menyenangkan, andai kata acara bobo bareng cewek Rusia di kamar suite, berjalan aman dan tidak ada gangguan apa pun. Menjadi mimpi buruk, andai kata acara wisata seks di sebuah kolam sauna terkena razia aparat keamanan. Sudab kentang alias kena tanggung, harus pula ditanya kiri-kanan. Salah-salah, masuk koran lagi. Amit amit! Namanya juga Forbidden City, so... titi dj jangan bucek : ati-ati di jalan, jangan buru-buru check-in.
Selamat membaca!
(*) Sebagian isi dalam artikel ini pernah dimuat di majalah Area, November 2006 dengan judul Jakarta's Red Light District.
(1) Seks Kinky Helikopter
PARADISE for men. What do you think?
Hmmm...
Agak bingung membayangkan isinya seperti apa. Tapi kalau sekadar penggambaran sekilas, barangkali sebutan paradise itu untuk menerangkan betapa segala bentuk kesenangan ada, tersedia dan bisa dinikmati setiap saat. Dan yang pasti, semua serba indah dan begitu menggiurkan.
Menolak atau malah dengan senang hati menerima, kalau tiba-tiba ada tawaran pelesir ke paradise? Silakan pikir-pikir sendiri.
Tapi sekadar info dan asal tahu saja, "Paradise itu surga kaliii," ceplos Nino, 28 tahun, ketika kami nongkrong di Coffee Club, Plaza Senayan.
Yup! Sangat mungkin. Nah, tempat hiburan untuk pelesir seks yang pantas disebut paradise itu, di Jakarta jumlahnya bisa dihitung dengan jari.
Kalau hanya mencari tempat pelesir seks di Jakarta yang buka dari siang sampai malam, pasti bukan pekerjaan sulit. No wonder karena jumlahnya puluhan dan tersebar di mana-mana. Tapi mencari tempat pelesir yang pantas disebut sebagai "paradise for men" berskala internasional, tentu tidak mudah. Bukan apa-apa, untuk kategori ini, di Jakarta jumlahnya jumlah hanya ada beberapa. Apalagi kalau tempatnya dilengkapi interior yang supermewah tak ubahnya tempat hiburan di Las Vegas. Belum lagi, secara menu, disediakan ragam layanan seks rekresional dengan cewek-cewek impor berstatus model. Wuih.,. kalau yang tipe begini, rasa-rasaya baru ada satu tempat di Jakarta.
Sore itu, lagi enak-enak nonton TV ketika seorang kawan mampir ke apartemen. Entah dari mana idenya, tiba-tiba Nino dengan bersemangat menyebut-nyebut nama sebuah tempat hiburan berinisial AS di Kawasan Ancol yang baru beberapa bulan ini beroperasi. Cowok berwajah keren yang banyak menghabiskan waktunya dengan "dagang mobil" itu, terlihat begitu bersemangat menceritakan segala hal yang ada di kelab AS.
"Ceweknya, Man... keren-keren. Body dan mukanya, nggak ada yang 'gagal'," sergah Nino, ekspresif.
Dari mulut mulai terurai segala macam hal yang ia temui di kelab AS. Bukan hanya Nino saja yang ikut sibuk membicarakan keberadaan kelab AS. Sejumlah profesioanal muda dan laki-laki yang "doyan" pelesir ke sejumlah tempat hiburan juga membicarakan hal kelab ini.
Buat saya, ini memang jadi fenomena menarik. Mengapa setiap kali ada kelab baru selalu saja jadi "tempat perburuan". Tidak usah jauhjauh bicara tempat hiburan yang notabene menyuguhkan paket sex-entertainment, setiap kali ada kafe atau diskotek yang baru beroperasi, cenderung diserbu pada clubber-mania. Sekadar mencoba-coba, atau malah menjadikannya sebagai ladang baru.
Gaya hidup latah, bisa jadi itu istilahnya. Kecenderungan orang untuk tertarik dengan segala sesuatu yang berbau "baru" dan "berbeda", apalagi kalau itu menyangkut urusan entertainment. Saya tidak terlalu heran kalau sosok seperti Nino, yang memang tak asing dengan dunia malam itu, begitu antusias dan bersemangat membicarakan keistimewaan kelab AS. Setiap kalimat yang ter-ucap, tak lepas dari pujian dan kekaguman.
"Serasa berada di Las Vegas, Bro," tukasnya.
Saya bukannya tidak tahu soal AS yang belakangan memang lagi marak jadi bahan pembicaraan di kalangan laki-laki petualang dunia "pelesir biologis". Sebulan sebelum AS melakukan soft opening, saya malah sempat diundang untuk "tour" selama beberapa jam. Kebetulan, saya kenal baik dengan salah satu owner-nya. Karena kenal dengan owner, saya jadi dekat dengan beberapa karyawan AS, terutama dengan general manager-nya, Bob, 33 tahun.
Sekitar awal Maret 2006 lalu, Bob meng-undang saya melihat-lihat desain AS. Satu kesem-patan yang sayang kalau dilewatkan. Bukan apaapa, saya penasaran dengan konsep baru yang dita-warkan oleh kelab AS, terutama dari segi interior dan so pasti, menu entertainment yang ditawarkan. Apakah benar-benar beda dengan sejumlah kelab elit yang selama ini jadi trendsetter di Jakarta, atau cuma menambal sulam saja, tak lebih.
Sesuai hari yang dijanjikan, saya bertemu Bob di kelab AS, sekitar pukul tujuh malam. Kebetulan, ini hari pertama kelab AS melakukan uji coba, semacam trial opening. Tidak banyak tamu yang datang, hanya ada beberapa puluh orang yang tampaknya memang sengaja didatangkan untuk memberikan kritik, saran, dan masukan. Di antara puluhan tamu undangan, terlihat beberapa wajah laki-laki yang sudah tak asing lagi bagi saya. Maklum, selama ini mereka menjadi member-face di sejumlah tempat hiburan malam di Jakarta. Tak ketinggalan, dua dari lima owner kelab AS juga terlihat membaur bersama para undangan.
Malam itu, trial opening itu dipusatkan di area nite-club, di lantai dua. Bob dengan ramah menjelaskan segala macam fasilitas dan pelayanan yang ada di kelas AS. Lounge, bar, resto, karaoke, bath & sauna, dan lain-lain. Yang menarik, tentu saja, bukan sederet fasilitas itu. Tapi, hmmm... lebih pada sex-entertainment-nya. Desain nite-club di kelab AS cukup membuat sebagian besar tamu—dan saya, tentunya— terkagum-kagum. Area dancefloor di-setting tak ubahnya kapal pesiar dengan tiang-tiang besi di sekelilingnya.
Di area ini juga ada dua buah private room untuk menikmati pertunjukan striptease. Tahu sendirilah, namanya juga private, tontonan yang disuguhkan pastinya berbau seks. Ya apalagi kalau bukan tarian striptease dengan menu lokal dan impor. Semua tinggal pilih: dari pribumi, Cina, sampai Rusia.
"Sebulan lagi, kita akan soft launching kok. Tunggu saja tanggal mainnya," celetuk Bob yang menjadi "tour leader" malam itu.
Dari lounge bar, semua tamu dibawa melihat-lihat ke resto, karaoke, dan area untuk bath & sauna untuk beberapa saat lamanya.
Setelah itu, sebagian tamu ada yang memilih diam di nite-club, sebagian lagi memilih "cabut" dari kelab AS.
BEBERAPA bulan kemudian, sekitar pertengahan bulan November 2006. Di lounge yang sekeliling-nya diapit dinding serba kaca, puluhan gadis cantik duduk dengan busana supermini. Mereka memiliki wajahwajah yang khas. Mereka dibagi dalam beberapa kelompok disesuaikan dengan asal muasal mereka. Baju yang mereka kenakan pun sengaja dibuat berbeda. Kelompok gadis asal China misalnya, rata-rata mengenakan baju terusan transparan warna hijau. Saking transparannya, yang menonjol malah baju dalaman mereka. Sementara gadis-gadis asal Thailand mengenakan gaun terusan serba hitam. Tidak terlalu seksi, hanya pada bagian belahan paha saja yang agak terbuka.
Di bagian lain, para gadis Uzbek dan Rusia yang jumlahnya tak lebih dari sepuluh orang itu, beberapa terlihat hanya mengenakan bajubaju kasual, selebihnya memaki rok mini dengan baju atasan ketat dan agak terbuka di bagian punggung dan dada.
Well.
"Silakan duduk!" ujar Mami Tania. Suara yang ke luar dari bibir wanita berambut panjang mengikal itu terdengar ramah di telinga.
Hiasan lampu warna putih yang ditempatkan dalam kotak segiempat dengan ornamen kelambu warna merah menempel di dinding menciptakan nuansa hangat dan bergairah di lounge. Sofa-sofa warna hitam tertata rapi di beberapa titik ruangan.
Suara musik berirama chill-out melantun syahdu, beradu dengan renyah tawa dan canda yang menyeruak.
"Saya tinggal dulu. Silakan pilih-pilih dulu. Kalo ada yang cocok, panggil saya." Mami Tania berlalu, dan langsung menyambut beberapat tamu lain yang baru masuk.
Memilih apa? Ah, tentunya yang dimaksud Mami Tania adalah memilih puluhan gadis cantik yang bertebaran di lounge. Mereka tak ubahnya bunga mekar yang memenuhi taman. Bau parfum tercium semerbak mewangi di hidung. Senyum-senyum manis tampak mengulas di wajah mereka tanpa henti.
So what?
Saya cuma melihat-lihat keadaan. Malam ini, semua terserah Nino. Dia yang jadi cukong, he is the boss. Saya hanya mengikuti ke mana arah angin bertiup. Nino mengajak saya duduk di sofa tak jauh dari bar, saya pun ngikut. Karena bukan kali pertama datang, saya sudah tak begitu asing dengan suasana di lounge AS.
Dari sini, saya bisa melihat sebuah lorong yang terhubung dengan kolam sauna. Lorong ini juga menjadi jalan masuk alternatif menuju kamar-kamar hotel di lantai 6, 5, 4 dan seterusnya.
Nino sibuk melemparkan senyum pada be-berapa gadis cantik yang ia pernah temui sebelum-nya. Saya lebih suka mengamati pemandangan orang-orang yang hilir-mudik mengenakan baju kimono tebal warna putih dengan ditemani pa-sangannya masing-masing.
Bob muncul dari pintu masuk. Pria yang menjadi komando kelab AS itu langsung meng-hampiri saya dan Nino.
"Hai, Bro.... Udah ketemu yang cocok belom?" Bob mengedarkan pandangannya ke se-keliling lounge.
Seorang gadis berambutpanjangmelambaikan tangan. Bob membalasnya dengan ramah. Mami Tania menampakkan batang hidunganya tak lama kemudian.
"Mami, ini teman-teman saya. Coba diatur dong cewek yang paling oke buat mereka," kata Bob kepada Mami Tania.
Mami Tania dengan sigap menyambut permintaan Bob. Wanita berumur 31 tahun yang sangat familiar di dunia hiburan, khususnya kelab kebugaran khusus laik-laki itu, memang kaya pengalaman. Jam terbangnya sudah tak diragukan lagi. Setidaknya, ia pernah bekerja di empat kelab malam elit yang ada di Jakarta. Begitu kelab AS buka, ia langsung "dibajak" dari tempat ia bekerja sebelumnya.
Orangnya cantik, ramah, dan pandai berbaur dengan tamu, itu yang paling penting. Tak peduli tamu lama atau pun baru. Pokoknya, begitu di-handle ama Mami Tania, semua urusan dijamin beres.
"Bos Nino seleranya belum berubah kan... putih, tinggi, langsing, dan rambut panjang?" pancing Mami Tania.
Selera. Kadang saya merasa geli sendiri kalau mendengar sejumlah laki-laki berdebat soal selera mereka terhadap perempuan. Ada yang doyannya tipe kutilang darat (kurus, tinggi, langsing, dada rata), tetapi ada juga yang berselera kutilang dasar alias kurus, tinggi, langsing, dada, besar.
Tak ubahnya selera orang terhadap makanan.
Ada yang doyan banget makan masakan padang di restoran Salero Bundo, ada juga yang memilih menyantap steik di Tony Roma's atau Sashimi di Sushi Tei. Ini memang sangat complicated dan tergantung pada pribadi masing-masing orang.
Kerika sampai pada giliran saya, dengan santainya wanita yang memilih menjadi single parent itu menyodorkan beberapa nama yang masuk kategori Top Ten Girls.
Mami Tania menunjuk ke beberapa gadis yang menjadi favoritnya.
"Mau saya kenalkan satu per satu?" tawar Mami Tania.
Saya menggelengkan kepala, tetapi Nino malah mengiyakan dengan ekspresi senang. Mami Tania memanggil satu per satu "anak didiknya" lalu menyuruh mereka berdiri berjajar untuk berkontes.
Inilah fungsi dan gunanya lounge. Selain bisa unruk bersantai sambil makan dan minum, tamu juga bisa berendezvous dengan calon lawan main. Kenalan, ngobrol basa-basi dalam rangka pendekatan, minum bareng sampai akhirnya berlabuh di kamar tidur.
Kalau sebelumnya, ya kira-kira tiga hingga lima tahun lalu, ada fasilitas aquarium atau ruang berkaca untuk melihat koleksi perempuan/laki-laki di sebuah kelab malam atau karaoke, kini tak lagi jadi tren.
"Lebih enak face to face dong. Bisa pangku-pangkuan lagi," celetuk Nino sembari tertawa renyah.
Dan, Nino menjatuhkan pilihannya pada gadis Thailand. Lantaran bingung memilih, saya mengikuti saran Bob.
"Better, you pilih juga cewek Thailand. Di-jamin oke deh!"
Yes!
Un-rated Thai Model$
"SAWADEEKA"
Gadis cantik berbusana terusan hitam trans-paran itu melipat tangannya sambil membungkuk. Senyum manis tersungging di bibirnya.
Ucapan dalam bahasa Thai yang berarti apa kabar itu meluncur dari bibir Sonia. Berperawakan seksi dengan tinggi 174 cm, rambuat panjang, dan kulit bersih kecokelatan. Longdress warna hitam dengan belahan panjang pada bagian kaki hingga pinggul melilit tubuh liatnya.
"Mau tambah minum apa? Bir atau wine?" tawar Sonia.
Sonia memesan segelas red wine, saya meng-order segelas bir putih. Suasana di lounge cukup ramai pada pukul tujuh malam. Beberapa tamu laki-laki memenuhi sofa. Rata-rata datang bersama teman atau grupnya. Di setiap meja, terlihat juga pemandangan beberapa wanita cantik dengan busana seksi yang aktif melayani tamu laki-laki. Sekadar menemani ngobrol atau menuangkan mi-numan.
Sebagian tamu, ada yang mengenakan baju kimono tebal warna putih, tetapi ada juga yang memakai baju sehari-hari. Suasana yang tercipta tak ada bedanya dengan kafe, bar, atau lounge kebanyakan. Hanya saja, di sini aura "wild" -nya lebih terasa karena ada sekitar 100 gadis cantik dari Rusia, Cina, Uzbekistan, Thailand, dan pribumi dengan dandanan "nyaris" telanjang.
Nino yang duduk di depan saya, sibuk bercanda dengan Catherine, gadis bertinggi tak kurang dari 172 cm dan berkulit agak kecokelatan yang juga berasal dari Thailand. la mengenakan gaun terusan warna biru dengan belahan rendah pada bagian dada.
"Kalo lagi seneng, lupa deh ama temen sendiri," ledek Nino setengah bercanda.
Saya tak menggubris ucapan Nino. Namun, coba jujur deh, lakilaki mana yang nggak senang berada di antara sekian puluh wanita cantik dan kapan pun, mereka bisa di-booking untuk menemani makan, minum, ngobrol, mandi sauna bareng bahkan sampai melakukan tour di kamar pribadi.
Pikiran saya jadi melayang ke mana-mana. Apa jadinya kalau saja ada sebuah kelab malam dengan menu seratus laki-laki ganteng berdandan nyaris tanpa busana—dengan badan atletis, bertinggi badan 170 cm
- ke atas, dan perut six packs—mengerumuni sepuluh hingga dua puluh tamu wanita? Walah, pasti suasananya tidak jauh berbeda dengan apa yang terlihat malam ini.
Sonia yang fasih berbahasa Inggris itu, tiba-tiba menyodorkan sebuah majalah full colour dengan desain lux terbitan Thailand. Sonia memperlihatkan beberapa pose dirinya dalam balutan busana swim suit dan lingerie dengan setting laut lepas dan hamparan pasir.
Pose-pose Sonia dalam majalah itu cukup indah dan artistik secara fotografi. Terlihat begitu berkelas dan bukan kacangan meskipun mempertontonkan beberapa sex-appeal yang ada di tubuhnya. "Hey, man... She is a real model!" pikir saya.
Terus terang, saya juga tidak menyangka kalau Sonia ternyata seorang model. Lalu, ngapam juga dia jauh-jauh datang dari Thailand hanya untuk menjadi "escort girt' di Jakarta dan bukan malah jadi model betulan?
"Iam realistic. To get much and easy money, I decide to be an escort girl. What do you think?" ujar Sonia tanpa banyak basa-basi. Logat Inggris-nya terasa kental sekali dengan lidah Thai-nya.
Masuk akal. Dan buat saya, memang realistis. Dengan status model yang disandangnya, tarif Sonia memang berbeda dibanding dengan gadis Thailand kebanyakan. Untuk sekali kencan short-time— sekitar satu jam—bandrol Sonia sebesar Rp 1,8 juta. Sementara untuk gadis Thailand yang bukan model, tarifnya Rp 1,5 juta. Harga itu sudah termasuk di dalamnya sewa kamar tipe standar.
Untuk up-grade ke kamar suite, ada tambahan charge sekitar Rp 150 ribu.
Dengan status model itu pula, Sonia jadi gadis Thailand nomor satu yang paling banyak diincar para tamu. Tinggal hitung saja pendapatan per hari yang masuk ke kantongnya. Yang pasti, dalam sehari, setidaknya Sonia bisa mendapatkan satu sampai tiga tamu. Maksimalnya, bisa empat hingga delapan tamu.
Dari setiap transaksi, kira-kira Sonia mengan-tongi setengahnya. Taruhlah dari sekali transaksi Sonia mengantongi uang sekitar Rp 750 ribu. Dalam dua puluh hari kerja saja, Sonia bisa mendapatkan uang tak kurang dari Rp 20 juta. Itu baru satu hari dihitung satu transaksi, lho.
"Mau sauna dulu, apa langsung ke room?" Sonia buka suara. Lengannya dengan sengaja ber-gayut di pundak saya.
Nino diam-diam mendengar tawaran Sonia. Dan, tanpa banyak bacot langsung menarik tangan saya. Namanya juga "ditarik", saya ya ngikut saja.
"Udah, nggak usah mikir lama-lama. Ikut aja!"
"Pat dui kan mai," seru Sonia dalam bahasa Thai. Kira-kira artinya mari ikut saya.
Party on Sauna
BERENDAM di kolam sauna ditemani gadis cantik. Menikmati santapan malam yang lezat diiringi lantunan musik latin atau classic disco. Pemandangan itulah yang saya temukan di arena spa dan sauna.
Di dalam ceilo atau sejenis ruangan dengan lay-out kamar yang ditutup kelambu putih, tampak beberapa laki-laki tengah bersantai.
Ada yang lagi mendapatkan perawatan pijat aroma terapi atau refleksi, ada juga yang cuma duduk-duduk sambil ngobrol. Di sudut lain, di atas bangku-bangku panjang, juga terlihat sejum-lah laki-laki yang duduk berselonjor ditemani pasangan gadisnya.
Di area Bathhouse inilah—begitu istiiahnya —saya juga menyaksikan puluhan gadis yang tengah berkontes dengan mengenakan baju bikini, two pieces. Sebagian men-display-kzn diri di depan kolam, sebagian lagi menari-nari di beberapa sudut ruangan. Ada yang di atas bar, ada juga yang meliuk-liuk di atas meja tak jauh dari kursi selonjor.
Rupanya, inilah realisasi acara yang sering dipromosikan via SMS. BATHHOUSE@Kelab AS present SPECIAL BIKINI 8 DANCING EVENT Available daily Fr ZPN to ZAN. Pls come & see 4 ur self. Don t Miss it. Ph 69Bxxxxx. Tentunya isi SMS ini hanya untuk tamu-tamu langganan di kelab AS.
Sonia dan Catherine sudah berganti baju. Mereka mengenakan underwear kembang-kem-bang dan menutupi tubuhnya dengan kimono putih. Untuk beberapa saat lamanya, kami duduk di bar dan memesan minuman serta buah-buahan segar.
Selain fasilitas ceilo dan bar, di arena sauna juga dilengkapi box DJ yang berada persis di atas kolam uap. Di dalam kolam itu, ehmm... beberapa pasangan sibuk berendam bersama. Tak ubahnya sebuah pesta, di kolam itu sejumlah pasangan bermesraan dengan cueknya. Padahal, tidak semuanya saling mengenal. Toh, pesta tetap berlangsung seru. Gadis Uzbek, Thailand, Mandarin, dan lokal, bersatu padu di dalam kolam bersama pasangannya masing-masing.
Saya jadi teringat cerita seorang teman, sebut saja Rico—sebut saja begitu, 31 tahun, yang juga menjadi pelanggan setia di kelab AS. Katanya, sssttt... ini katanya lho, pada perayaan 17 Agustus 2006 lalu, di kolam itu dibikin pesta gila-gilaan dengan tema Oral Sex Competition. Ajegile! Peser-tanya terbatas dan hanya diikuti puluhan laki-laki yang saling kenal. Peserta ceweknya, tentu saja diambil dari stok yang ada di kelab AS. Tinggal pilih! Boleh cewek impor, boleh juga cewek lokal.
Terus terang, saya jadi agak bingung mem-bayangkan pestanya: seperti apa ya jalannya acara dan bagaimana aturan mainnya? Yang pasti, dalam pesta itu, kontestan yang mendaftar dipilih secara acak dan dibagi dalam tiga kelompok. Satu kelompok terdiri dari lima pasangan. Si-apa kontestan yang paling tahan lama, itulah pemenangnya.
Uniknya, hadiah buat pemenang bukan berupa uang atau tiket pesawat plus akomodasi berlibur ke Bali atau Hongkong, tetapi berupa bonus mendapatkan free of charge pelayanan seks terusan di kelab AS. Itu tuh, mirip tiket terusan yang ada di Taman Impian Jaya Ancol. Jadi, pemenangnya mendapatkan layanan gratis nonton striptease, massage aroma theraphy, body massage bersama gadis Thai, dan terakhir, memanjakan diri di kamar suite ditemani dua gadis Cungkok yang siap mempertunjukkan layanan seks kinky a la Helikopter.
Yang bayar? Ya, dari peserta yang kalah. Mereka patungan, masing-masing orang Rp 1 juta.
Kara Rico, pesta itu lebih pas disebut sebagai acara iseng-iseng. Spontan dan tidak perlu menggunakan jasa EO alias event organizer atau party organizer.
Ada-ada saja! Perilaku seks masyarakat, terutama yang dekat dengan gaya hidup dan budaya metropolitan, makin hari makin anehaneh. Urusan telanjang bareng-bareng, bahkan sampai melibatkan aktivitas seksual sekalipun, tak lagi tabu, bahkan jauh dari kata porno. Pesta sejenis oral-sex competition itu saja hanya dianggap sebagai satu aktivitas iseng-iseng berhadiah. Gimana kalau serius?
"Gue pernah denger sih. Tapi gue malah nggak tahu banyak soal pestanya," sela Nino dengan ekspresi penuh tanda tanya.
Nino mungkin tak tahu-menahu banyak soal pesta itu. Maklum, Rico Cs sengaja memblok area lounge dan sauna selama lima jam dan tertutup untuk umum, kecuali bagi beberapa tamu yang memang sudah jadi member guest dan member face di kelab AS.
Lagi pula, buat Nino, kapan pun dia bisa berpesta kok di kelab AS. Lihat saja sejumlah pasangan yang tengah berendam di kolam malam itu. Dengan bebas mereka bisa mengekspresikan basic insting-nya, dan tak perlu harus menunggu undangan pesta. Setiap saat, setiap waktu, pesta bisa dilakukan di kelab AS. Mau yang softcore bisa, yang hardcore pun tak perlu harus minta izin lebih dulu.
"Daripada ngomongin pestanya orang, kita pesta sendiri aja sekarang. Yuuuk...!" ajak Nino. Tangannya menggandeng Catherine dan berjalan menuju kolam sauna. Sementara acara kontes bikini dan narinari telah usai. Gadis-gadis koleksi kelab AS satu per satu pergi ke kamar ganti dan kembali ke lounge.
Seks Kinky Helikopter
NINO berdiri di depan sebuah kaca besar, tak jauh dari deretan loker. Masih mengenakan kimono putih, ia mengeringkan rambutnya dengan hairdryer, lalu berkumur dengan Listerine, mengoleskan lotion ke bagian tangan dan kakinya serta terakhir menyisir rambutnya hingga tertata rapi. "Ganti baju kita?" tanya saya.
Nino mengangguk. Kami berganti baju di ruangan loker dan kembali duduk santai di lounge. Suasana sudah agak sepi. Maklum, sudah pukul sepuluh lewat. Biasanya, prime-time di kelab AS, terutama di arena lounge dan spa, terjadi pada pukul lima sore sampai sembilan malam.
Di lounge, saya bertemu dengan Sonia. Gadis Thai iru kembali berkumpul di sofa bersama geng-nya. la melambaikan tangan dan tersenyum. Saya dan Nino bergabung di meja Bob. Laki-laki yang selalu berpenampilan rapi itu rupanya tengah me-nyantap sepiring mi ayam.
"Gimana, Bro? Have a happy landing?" tanya-nya.
Happy Landing! Istilah itu begitu familiar di telinga. Artinya? Ya, pendaratan yang membahagia- kan. Maksudnya? Tentu saja pendaratan yang di- lakukan Nino bersama Catherine di dalam kamar.
Nino spontan menjawab sambil mengacung- kan dua jempolnya. "Baguzzz, baguzzz !!!" seru- nya, menirukan gaya Indie Barens saat mengiklan-kan sebuah produk di televisi.
"Mau yang lebih hardcore lagi nggak, Bro?" giliran Bob yang bertanya pada saya.
What? Memang masih ada lagi layanan seks yang lebih gokil di kelab AS, pikir saya.
"Kapan-kapan you mesti coba seks helikopter.
Atau kalau mau sekarang juga bisa, kok..." Bob
terkekeh. Mi ayam di mangkoknya sudah tinggal suapan terakhir.
Ah, saya jadi teringat cerita Rico, terutama soal seks kinky helikopter yang menjadi bonus buat pemenang oral sex competition. Karena penasaran, saya meminta Bob untuk menjelaskan lebih rinci dan detail seperti apa model dan bentuk pelayanan satu ini.
"Come with me!" ajak Bob, tangannya melam-bai ke udara, mengisyaratkan ajakan.
Bob mengajak saya turun ke lantai lima. Nino lebih suka stay di sofa ditemani Mami Tania yang muncul tak lama kemudian. Begitu pintu lift terbuka, saya disambut tiga petugas resepsionis. Satu berdiri tak jauh dari lift, sementara yang dua orang lagi duduk di belakang meja.
"Ada kamar kosong?" tanya Bob pada petugas resepsionis.
"Cuma sisa dua kamar, Bos. Lainnya, masih terisi."
Bob meminta satu kunci kamar yang lagi kosong. Lalu, saya dibawa masuk ke lorong kamar hotel. Dan, persis di kamar bernomor 5xx, Bob berhenti lalu membuka pintu yang menggunakan sistem elektrik dengan sebuah kunci berbentuk mirip jam tangan dan berwarna kuning. "See, inilah kamarnya!" jelas Bob. Sebuah ruangan yang cukup nyaman. Meski tidak jauh beda dengan tipe kamar yang ada di hotel berbintang tiga atau empat, tetapi kamar di kelab AS itu dilengkapi desain yang rada berbeda. Persis di atas kamar tidur, tepatnya di langitlangit kamar, terdapat besi segiempat warna silver. Sekilas, mirip besi untuk berpegangan yang biasa digunakan para pemijat Shiatsu. "What for?" tanya saya.
Bob menyodorkan selembar brosur atau lebih pasnya semacam leaflet berwarna. Di dalamnya ada beberapa gambar angsa putih dan animasi cewek tengah bergelayutan di sehelai kain.
Rupanya, animasi cewek itu adalah bentuk dan model pelayanan untuk seks kinky helikopter. Di kelab AS, layanan itu biasa dianalogikan dengan menggunakan binatang angsa. Apa yang membuat pelayanan seks di tempat ini berbeda dengan tempat lainnya? Jawabannya terletak di cara mereka memberikan pelayanan seks. Saya melihat sehelai kain diikatkan pada besi segiempat. Rupanya inilah yang menjadi alat untuk bergelayut para gadis kinky helikopter. Segala macam layanan seks diberikan menggunakan media ini. Pernah lihat akrobat? Ya, tidak jauh beda. Hanya saja, di kamar ini yang ada hanyalah akrobat seks. Nggak tanggung-tanggung, untuk menikmati layanan sekss model ini, kocek yang dirogoh pun cukup dalam. Sekitar sebelas juta something. "Damn!" Saya merutuk dalam hati membayangkan nominal sebesar itu untuk sebuah pengalaman seksual—yang mungkin untuk sebagian orang dianggap berbeda.
"Wait a minute!" kata Bob sambil berjalan ke luar pintu. Tak kurang dari lima menit, Bob kembali masuk kamar. Kali ini, ia darang bersama dua orang gadis yang masing-masing mengenakan topeng di bagian wajahnya.
Aha, ternyata dua gadis itulah yang menjadi "pilot helikopter" atau "akrobater"-nya. Mereka bukan gadis lokal, Rusia, arau Thailand, retapi khusus didatangkan dari Macau, satu kawasan di Cina sana. Ah, istilah pasnya seks helikopter atau seks "nyungsang", pikir saya.
"She is very well trainee," puji Bob sambil menunjuk ke arah seorang gadis bermata sipit dengan rambut panjang basah.
Menurut Bob, dalam hal transaksi, tamu tidak bisa mcmilih gadis akrobater. Tidak ada acara kontes di dalam kamar ataupun rendezvous di meja bar. Begitu tamu pesan, langsung dipersilakan masuk ke kamar dan menunggu sampai gadis akrobater atau helikopter datang.
"Justru di sini letak permainannya. Beli kucing dalam karung. Makanya, mereka dikasih topeng," ujar Bob.
Tidak hanya layanan seks kinky helikopter yang menjadi "maincourse"-nya, tetapi juga ada tahapan foreplay yang permainannya—boleh dibilang—agak-agak error. Ya, getu deh, penuh inovasi baru yang jarang ditemui di tempat-tempat lain.
Bob mengambil sebuah kotak, tak jauh dari kaki dua gadis Macau. Di dalam kotak itu, terdapat aneka asesori yang saya sendiri agak bingung menjelaskannya. Misalnya es batu, segelas wine, susu, air hangat, dan terakhir, tiga buah agar-agar yang bentuknya menyerupai alat vital angsa.
Semua itu untuk apa coba, pikir saya. Dinner? Rasannya nggak mungkin. Cemilan? Lebih musta-hil lagi. Atau hanya untuk jadi peneman minum ketika berbasa-basi di atas tempat tidur?
"No!" jawab Bob, "Semua ini untuk variasi foreplay mandi kucing," lanjutnya.
Alamak! Saya hanya geleng-geleng kepala. Bob menyilakan dua gadis Macau itu untuk meninggalkan kamar. Mereka membungkukkan badannya sebagai tanda penghormatan lalu meng-hilang di balik pintu.
Stripper Behind the Bar
MUSIK berirama chill-out masih terdengar merdu di lounge. Nino masih ditemani Mami Tania. Dan, ups... ada juga cewek cakep duduk manis di dekat Nino. Dia bukan Catherine atau Sonia. Yang satu ini, berambut blonde asli bukan bucheri alias "bule ngecat sendiri" dan hex-body agak sintal. "Sandra!"
Gadis itu mengenalkan namanya. Berasal dari Rusia dan baru dua bulan ini bekerja di kelab AS. Dibanding gadis-gadis Rusia atau Uzbe lainnya, Sandra memang mcmiliki body dengan sex appeal paling menonjol. Dengan tinggi tak kurang dari 168 cm, bra 36 C, bermata agak kebiruan, dan berbibir sedikir tebal.
Waktu sudah menunjukkan hampir pukul dua belas malam. Perlahan, suasana di lounge mulai berangsur sepi. Hanya ada beberapa sofa yang masih terisi oleh tamu. Ah, ada pemandangan menarik yang nyaris saya lupakan. Desain toilet laki-laki dan perempuan dijadikan satu dan ditutup dengan dinding serba kaca. Jadi, dari lounge, mata bisa dengan bebas mengamati kejadian di toilet. Apalagi, di situ ada kaca besar yang bisa digunakan untuk mengamati keadaan di lounge pada saat bercermin. Sekadar touch-up make-up di wajah, cuci tangan, atau menyisir rambut.
"Cabut yuuuk," bisik saya ke Nino. "Kapan elo nanemnya kok udah bilang cabut," canda Nino.
Sandra yang tak mengerti obrolan kami, hanya bengong dengan ekspresi muka penuh tanda tanya.
'"What?" tanyanya. Sepasang bola mata agak membesar menunjukkan ekspresi bahwa ia benar-benar tidak mengerti.
Bukannya menjawab, Nino malah tertawa lebar. Tiba-tiba, dengan cueknya Sandra men-jatuhkan badannya persis di atas pangkuan Nino. Roknya yang supermini atau dalam bahasa kerennya "krisis-minimalis" tertarik ke atas, menunjukkan sepasang pahanya yang putih mulus.
Untuk beberapa saat lamanya, Sandra tak betanjak dari pangkuan Nino. Malah, kali ini ia menempelkan badannya lebih erat. Kedua tangannya merangkul leher Nino. Dan, ia mulai bcr-lapdance tanpa diminta.
"Stop, stop, stop... kita pindah ke lantai dua saja," seru Nino dan melepaskan diri dari "sergapan" Sandra.
Saya, Nino, dan Sandra beranjak dari sofa, menuruni anak tangga dan masuk ke dalam lift menuju lantai dua. Bob dan Mami Tania, katanya, akan menyusul setengah jam kemudian. Maklum, mereka mesti mengkroscek berapa transaksi hari ini.
Di atas dancefloor berbentuk maket kapal pesiar, enam orang sex dancer menggoyangkan tubuhnya. Puluhan tamu yang duduk persis di pinggiran dancefloor, sesekali ikut berinteraksi
Ooo....
Ternyata, keramaian berpindah ke lantai dua ini. Meja-meja hampir terisi penuh. Bahkan, satu ruangan VIP yang didalamnya dilengkapi mini dancefloor terlihat meriah oleh kerumunan laki-laki dan perempuan. Kayaknya ada perayaan khusus, bisa jadi ultah atau ada bos yang lagi buang-buang duit, pikir saya.
"Gabung sini aja," seorang wanita menepuk pundak saya.
Ups, tak salah lagi, itu pasti Mami Elsa. Rupanya, mami tengah menemani beberapa anak didiknya, kebanyakan PR (Public Relation)— sebutan untuk LC (Lady Companion) di kelab AS. Selain itu, ada juga beberapa gadis bule yang ikut berpesta.
"Ada bos yang lagi ulang tahun. Gabung aja, semua gratis kok," jelas Mami Elsa.
Saya dan Nino memilih duduk di bar. Sementara Sandra lebih tertarik gabung bersama Mami Elsa. Kami nggak enak saja bergabung di pesta orang yang tidak saya kenal dengan baik. 'Ntar dituduh aji mumpung lagi.
Lampu di belakang bar tiba-tiba menyala. Dari dalam sebuah ruangan yang ditutup dengan vitras, muncul dua penari yang mulai mempertontonkan liukan-liukan erotis. Wajah dan body-nya tak tam-pak dengan jelas. Lebih pas kalau tarian itu disebut siluet striptease.
"Kalo mau nonton lebih jelas, masuk aja ke dalam. Cuma bayar 100 ribu kok," bisik Nino.
Saya cuma menggeleng sambil meneguk se-gelas vodka cranberry lemon yang sudah terhidang di meja bar.
"Kalau mau lebih private, ada kamar khusus kok. Tuh, di pojok sana," jelas Nino sambil menggerakkan jari telunjuknya.
Lagi-lagi saya menggeleng. Buat saya, tontonan striptease siluet yang ada di depan saya, jauh lebih menarik. Wong gratis kok! Secara entertainment, tarian yang mereka pertontonkan cukup menghibur dan memberi nuansa tersendiri.
Para penari itu melakukan gerakan-gerakan sensual bahkan terkadang menyerupai lesbian show.
"Kalo elo bosen, kita karaoke aja di lantai riga. Lebih private" usul Nino.
Busyet! Sepertinya, kelas AS tak salah kalau mendapat julukan sebagai tempat one-stop-sextain-ment. Apa yang elo mau, semua ada dan tersedia. Layaknya sebuah paradise dengan aneka fasilitas dan layanan yang variatif dan inovatif. Pantas kalau belakangan, kelab AS menjadi trendsetter yang lagi digandrungi banyak orang.
Seperti inikah potret sebuah paradise di Jakarta? Begitu menggiurkan, menawarkan aneka kesenangan dan kenikmatan. Kuncinya cuma satu: uang ada, semua bicara. Uang ada, apa pun bisa didapatkan di kelab AS. Mau berkaraoke ditemani Lady Companion (LC) yang bisa "party''—istilah untuk LC yang berani buka-buka baju di dalam ruangan karaoke—atau sekadar nyanyi, juga tersedia.
Sekitar pukul 02.00 WIB dini hari, saya dan Nino memutuskan untuk "bergerak" dari kelab AS. Habis, kalau menuruti maunya mata, bisa-bisa pukul tujuh pagi saya baru sampai di rumah. Siapa nggak betah tinggal di sebuah paradise yang begitu menyenangkan dan sarat godaan detik demi detik. Hah!!!
(2)
The Flying Bra
The Flying Bra
BRA warna hitam itu terbang jatuh di antara kerumunan laki-laki yang berteriak kegirangan di sebuah bar berbentuk melingkar. Tiga gadis bertelanjang kaki itu menari-nari tak ubahnya cacing kepanasan. Baju yang melekat di tubuh mereka nyaris berantakan. Tak henti-hentinya mereka berteriak mengajak puluhan tamu ikut bergoyang. Sesekali, mereka mendekatkan tubuh-nya pada salah tamu laki-laki dan beraksi erotis dengan menyingkap rok dan memperlihatkan wilayah dada.
Sexy dancer kah? Ups. Bukan! Mereka sama sekali bukan kelompok penari seksi yang tengah unjuk kebolehan di atas pangggung. Mereka berstatus sebagai lady escort yang tugasnya me-nemani tamu, entah di ruangan karaoke, duduk di kursi bar, atau di dalam ruangan khusus yang dilengkapi sofa dan ditutup kelambu.
Malam itu, mereka baru saja selesai service— istilah yang sering digunakan saat mereka bertugas. Saya hanya bisa diam melihat segala aksi panas itu. Lebih kaget ketika salah seorang lady escort itu menghampiri saya. Pandangan mata saya terfokus pada rambutnya yang ikal terurai, sepuhan lipstik merah di bibir, dan butiran peluh kecil mulai membahasi lehernya yang jenjang.
"Give me three hundred. And you can watch me," bisiknya sambil menyentuh bagian paling vital dari tubuhnya. Suara lembut itu terasa kental dengan aroma alkohol. Three hundred maksudnya tiga ratus ribu rupiah, bukan tiga ratus saja.
Kali ini, gadis itu menurunkan tubuhnya. Ia menari dengan bertumpu pada dua lututnya. Tangan saya setengah gemetar ketika mengeluarkan tiga lembar seratus ribuan dan menyelipkannya, maaf, di antara lipatan G-string berenda warna merah yang dikenakannya.
Saya hampir melompat dari kursi ketika tiba-tiba gadis itu melepaskan G-string-nya dengan posisi badan persis menghadap ke depan muka saya. Dengan santainya, G-string yang sudah terlepas itu dia lempar dan jatuh ke muka saya. Sambil menahan kaget, saya meletakkan G-string itu di atas bar.
"Give me five hundred, and you can touch me!'
Astaga! Rasanya, saya tak punya keberanian untuk melakukannya. Bagaimana mungkin itu saya lakukan sementara puluhan pasang mata dengan tatapan terkagum-kagum masih memadati ruangan di sekitar bar.
Tiga LC yang sudah tak lagi mengenakan bra dan G-string itu terus saja mendekati kerumunan tamu laki-laki. Makin hot dengan tariannya ketika lembaran ratusan ribu rupiah terselip di paha atau di lentik jemari mereka.
Selain saya, ternyata ada juga sejumlah laki-laki yang tak berani menerima tantangan tiga orang LC itu untuk "menyentuh" daerah terlarang. Yang yang menonton show sambil pura-pura SMS, juga ada. Namun, jangan salah duga, banyak juga laki-laki yang pede dan cuek merangsak maju. Menyentuh, meraba, mencium, dan mengeluarkan lembaran ratusan ribu (ada juga lho yang pakai dolar US) dengan ekspresi bangga.
"Masih betah?" tanya Dimas, teman dekat yang malam itu menemani saya hang-out di kelab NZ, di Kawasan Thamrin, Jakarta Pusat.
"Mau stay dua jam lagi juga boleh," jawab saya sambil terus memelototi para cewek di atas bar.
Gimana nggak betah, suasana di kelab NZ membuat orang jadi enggan bergerak lantaran variasi entertainment tak putus dari jam ke jam. Musik yang bersahabat di kuping, puiuhan LC yang ramah sampai dancer on the bar.
Kelab NZ menjadi tempat favorit buat saya dan sejumlah teman gaul lantaran mulai bosan dengan suasana clubbing yang terlalu ramai. Ratusan orang berjubel di lantai disko, berjoget sambil terus menenggak alkohol tanpa henti se-mentara musik terus saja menghentak di setiap menitnya.
Di kelab NZ, suasana lebih santai dengan tamu-tamu terpilih yang jumlahnya mungkin tak lebih dari 100 orang. Dan pastinya, ratusan lady-escort disediakan sebagai teman kencan untuk ngobrol, minum, nyanyi, dan pelayanan spesial lainnya yang bersifat lebih personal.
Lihat saja ketika prime-time, antara pukul tujuh hingga sebelas malam. Lebih dari enam puluh cewek menyesaki kursi yang ada di sekeliling bar. Aroma parfum menebar berbaur bersama suara musik dan canda tawa. Sebuah pemandangan yang sayang untuk dilewatkan. Cewek-cewek cantik dengan make-up halus, rata-rata mengenakan rok mini dan bersepatu hak tinggi. Tebar pesona dengan senyum ramah, mengerling dengan hangat.
Dari bar, sesekali saya mencuri-curi pandang, mengamati gerakgerik puluhan cewek yang ber-gerombol. Siapa tahu, sosok Cathy ada di antara mereka. Cewek berumur 20 tahun bertampang imut-imut itu sudah dua bulan ini saya kenal dengan baik. Berawal dari kunjungan kelima saya ke kelab NZ, saya bersama tiga orang teman mem-booking ruangan karaoke. Biasalah, empat laki-laki berkaraoke, rasanya sepi dan nggak seru tanpa pendamping. Mami Lan membawa sepuluh orang LC untuk berkontes dan salah satunya, Cathy. Karena tampang imutnya itu, saya akhirnya mem-booking dengan langsung membelikan tiga voucher sekaligus.
Ini bukan sejenis voucher hanphone, tetapi nilai transaksi yang berlaku setiap tamu mau booking LC. Aturan umumnya, booking satu LC= satu voucher = Rp 400 ribu. Aturan khususnya, terserah tamu. Seperti pada kasus Cathy. Hanya karena dia imut-imut dan kebetulan ada tamu lain yang mau mem-booking-nya, saya bela-belain mengeluarkan tiga voucher supaya dia tidak menerima order dari tamu lain.
Alhasil, umpan tiga voucher itu cukup ampuh dan berhasil membuat Cathy menemani saya malam itu, setidaknya untuk tiga jam lebih. Dari berjoget, minum bareng sampai kissing dalam beberapa kesempatan; di pipi oke, di daerah bibir, dan leher, wait,.. wait, itu urusan masing-masing.
Lap-dance, OP Service & Booking Out
BAGI banyak laki-laki, menghabiskan sekian jam di NZ ataupun tempat-tempat sejenis, jadi pilihan yang menggiurkan. Pulang kantor, mampir dua hingga tiga jam di karaoke. Belum puas, bisa terus melanjutkan acara nyanyi-nyanyi ditemani gadis-gadis cantik. Masih kurang puas? Pukul sepuluh ke atas, bisa pindah ke bar atau sewa satu booth— sebuah ruangan private yang dilengkapi sofa, meja, dan ditutup dengan tirai yang biasa juga disebut ceilo. Larut dalam kemeriahan pesta dan setiap saat bisa menikmati liukan sexy dancers.
Lagi-lagi, pilihannya memang tidak jauh dari LC. Para gadis yang job description-nya untuk menyenangkan tamu itu sepertinya memang jadi daya tarik tersendiri. Boleh dibilang, sebagian besar tamu laki-laki yang having fun di NZ, pertama-pertama akan memburu LC tercantik, baik hati, tidak sombong, dan cepat beradaptasi dalam segala kondisi dan situasi. Tak heran, banyak tamu yang sudah punya langganan LC. Beberapa di antaranya malah ada berstatus "pacaran", "teman tapi mesra", bahkan sampai "selingkuhan".
Tidak harus seks, itu yang mesti diingat. Jangan selalu berpikir ngeres kalau ada laki-laki pergi ke karaoke lalu menyewa LC pasti ujungujungnya seks. Nggak juga lho! Banyak tamu yang butuh ditemani LC karena ingin mengobrol ngalur-ngidul, atau sekadar butuh teman untuk tertawa.
Kegiatan seks, tak bisa dipungkiri memang ada. Tempat hiburan yang menyediakan jasa-jasa LC, rasa-rasanya memang tidak mungkin kalau nggak ada transaksi seks. Dari seks kecil-kecilan yang bersifat foreplay doang sampai seks intercoursing.
Pertama-tama, biasanya para LC yang di-booking di booth atau ruang karaoke akan memberikan pelayanan lapdance.
Kedua, ehm...jangan kaget kalau ada LC yang ngomong begini: "Mau party nggak?" atau "Party yuk, party..!" Kalimat itu berarti, para LC mengajak tamu untuk masuk ke pesta yang sebenarnya. Begitu tamu bilang iya, para LC akan segera beraksi. Mula-mula menari di atas meja sambil mulai melepaskan baju satu per satu. Seterusnya, ya, getu deh...tarian akan terus berlangsung sampai akhirnya terjadi interaksi hiperaktif.
Itu juga dengan satu catatan: tamu mesti tahu diri dan tidak raguragu untuk mengeluarkan tip dalam jumlah besar. Makin banyak tip yang ke luar, para LC makin berani menyuguhkan segala bakat dan kemampuannya. Tidak cuma sekadar ber-lapdance atau dengan sukarela menjadi supergirl yang sangat liar dan ganas.
Jujur, uang memang masih menjadi senjata sakti di NZ. Artinya, siapa yang rajin menabur uang, dijamin bisa bergelar "raja". Setiap saat dike-lilingi, dilayani, dan dimanjakan puluhan dayang cantik.
Dimas adalah salah satu dari sekian puluh member guest yang sangat populer di kalangan LC. Setidaknya seminggu sekali, ia selalu menyempat-kan diri bersenang-senang di NZ. Kalau Dimas datang, itu berarti para LC yang di-booking bisa tersenyum lebar. Dimas dikenal sebagai laki-laki yang baik hati, terutama sangat royal dalam urusan duit. Kalau Dimas datang, itu berarti bonus besar buat para LC. LC yang di-booking Dimas, minimal bisa mengantongi tip sebesar Rp 1 juta. Itu belum termasuk bonus lainnya.
Saya masih ingat ketika Dimas mengajak saya masuk ke booth yang disewanya. Bersama dua orang temannya, Dimas mem-booking lebih dari enam LC. Begitu tirai ditutup, ada tiga LC yang langsung "party" di atas meja. Dengan royalnya, dia menyelipkan lembaran seratus ribuan kepada tiga LC tersebut. Begitu baju atas terbuka, Dimas dengan bersemangat menyelipkatan uang di antara belahan bra. Begitu bra terbuka, Dimas mengeluarkan uang lagi dan menyelipkannya di antara tali G-string. Begitu seterusnya...uang berhamburan dari menit ke menit.
Apalagi ketika para LC berinteraksi secara total, mulai dari menjamah, mengelus, memeluk, meliuk di atas pangkuan sampai...ssstttt...having sex di atas sofa, uang lembaran seratus ribuan itu makin deras berhamburan.
Saya juga nggak habis pikir, kok ada ya orang yang buang-buang duit begitu gampang. Untuk apa? Prestige, kesenangan, atau memang sudah jadi gaya hidup. Well, mungkin untuk ketiga-tiganya.
"Kesenangan itu mahal, Bro!" jawab Dimas.
Pantas saja, Dimas hampir kenal dengan semua LC yang cantikcantik. Biasanya, menurut standar umum yang berlaku di NZ, tamu-tamu yang bukan member face, perlu jasa mami untuk berkenalan dengan para LC. Tapi buat Dimas, aturan itu sama sekali tidak berlaku. Dia lebih banyak bersolo karier alias bunting sendiri atau dia yang diburu pada LC. Begitu wajahnya nongol, para LC langsung menyambutnya dengan hangat. Mami tinggal mencatat siapa-siapa saja yang masuk dalam daftar booking-an Dimas.
Untuk tamu seperti Dimas, semua memang serba gampang. Bagaimana dengan tamu reguler atau tamu pemula? Semua sudah diatur. Kalau hanya pengin booking LC, ada mami yang setiap waktu berkeliling dari di area lounger-bar dan karaoke. Mami siap menjadi "broker' untuk semua tamu, termasuk mereka yang menginginkan paket seks instan.
Sebagian tamu yang tidak mau repot, biasanya akan memilih jalur cepat dengan membeli paket OP Service. Ini adalah aktifitas seks ketiga yang bisa di"order" para tamu. Harganya sekali OP= Rp 1,5 juta.
Istilah OP ini berarti transaksi seks hanya bisa dilakukan on the spot, langsung di tempat. Bisa di booth atau di ruang karaoke. Tempatnya, ya bisa di sofa, bisa juga kamar mandi. Alamak! Maklum, khusus untuk ruangan karaoke saja misalnya, NZ sengaja membatasi tipe ruangan kelas VIP yang ada fasilitas kamar tidurnya. Hanya ada lima ruangan karaoke yang dilengkapi fasilitas kamar tidur.
Aktivitas seks keempat yang ada di NZ ada-lah BO, kepanjangannya dari booking out. Modus kelima ini memerlukan beberapa syarat yang agak gampang-gampang susah. Kenapa? Karena satu, butuh uang yang tidak sedikit. Dua, hanya LC-LC tertentu yang mau menerima order BO. Tiga, mesti pinter-pinter menjalin hubungan, atau setidaknya, ngelobi para mami.
Untuk sekali BO, transaksinya dihitung minimum dua kali harga OP Service. Bahkan, ada beberapa LC yang mematok harga tinggi, dari tiga sampai lima kali harga OP. Itu berarti sekitar Rp 4,5 juta sampai Rp 7,5 juta.
Party Girls Juga Manusia
"BY the way, elu mau paket tiga atau empat?" pancing Dimas.
"Kan ada elu. Ngapain gue mesti pake paket segala. Bukannya elu bisa bawa pulang lima LC sekaligus."
Dimas hanya tertawa. Suasana di bar tambah ramai. Setelah menyaksikan aksi para LC yang baru saja mempertontonkan adegan flying bra + G-string, saya dan Dimas kembali duduk santai di bar. Saya masih mencari-cari sosok Cathy di antara kerumunan. Namun, Cathy tak juga kelihatan.
"Cathy lagi service, Bos," jelas Mami Lan yang menghampiri saya di bar.
"Nggak mau ama yang laen? Banyak kok yang lucu-lucu...," sambung Mami.
"Oke. Pokoknya, gue percaya Mami, deh!"
Mami segera berkeliling dan hilang di antara kerumunan tamu. Saya dan Dimas memesan mi-numan Water Fall—sejenis minuman beralkohol yang cara penyajiannya mesti dibakar lebih dulu. Dari arah tangga, muncul tiga orang LC yang langsung menggelendot manja di pundak Dimas. Beruntung, tak lama setelah itu Mami datang dengan membawa Cathy. Rupanya, Mami sengaja "menculik" Cathy dari ruang karaoke.
"Kenalin, ini Lidya, Nona, dan Biby," Dimas mengenalkan ketiga LC-nya.
Well, ditilik dari ekspresi wajah dan cara ngomong, mereka sudah punya jam terbang cukup tinggi dan tahu bagaimana membuat tamu mau mengeluarkan tip lebih buat mereka.
"Kalo aku naek ke bar, jangan lupa tip-nya ya?" pancing Lidya sambil mengelus dada Dimas.
"Gampang. Naek aja," jawab Dimas.
Lidya, Nona, dan Biby segera naik ke bar. Mereka mulai berjoget tak ubahnya penari. Dan, ehm...adegan flying bra + G-string itu terulang kembali. Sejumlah tamu laki-laki yang berada di sekitar bar, ikut bersorak kegirangan. Beberapa di antaranya menyelipkan tip dengan spontan.
Setelah sekitar lima belas menit di atas bar, mereka turun dan bergabung bersama Dimas. Jujur, kalau melihat mereka menari, bicara, dan menyenangkan tamu, mereka pantasdisebut sebagai party girls. Mereka bisa dengan mudah menghibur dan membuat tamu betah selama berjam-jam di NZ. Mereka juga bisa membuat tamu tak sayang mengeluarkan duit dari kantongnya.
Tak jarang, karena tampangnya cakep dan nggak malu-maluin secara fashion dan manner, banyak tamu di NZ yang mengajak para LC untuk dinner-out. Sekadar menemani makan malam, nongkrong di kafe, clubbing, sampai liburan. Tentu bukan gratisan lho. Mereka mendapat bayaran yang setimpal dengan jasanya.
"Kapan-kapan kita ajak saja lima samapai sepuluh orang LC liburan ke Bali," kata Dimas.
"Gimana caranya?"
"Gampang. Semua bisa diatur, Bos," kata Dimas, pede.
Dimas mengajak saya masuk ke booth. Katanya, biar lebih nyaman dan privasi tidak terganggu. Lidya, Nona, dan Biby langsung menghenyakkan diri di sofa. Mereka menarik Dimas dan mengapitnya di tengah-tengah.
Saya tidak mau mengganggu Dimas yang lagi asyik. Saya lebih suka di dekat Cathy yang malam itu terlihat tidak begitu ceria. Padahal, biasanya dia suka ngomong, lincah, dan bisa bikin orang ketawa.
"Lagi bete?"
Cathy mengangguk pelan. Diteguknya segelas Long Island hingga sisa separuh.
"Lagi BU banget nih," ujar Cathy berterus terang.
BU alias butuh uang. Fenomena klasik sebenarnya. Konon kabarnya, para cewek yang terjun bebas ke dunia malam faktor nomor satunya adalah uang. Cathy mungkin salah satunya. Tapi persoalannya tidak sesederhana itu. Bukan semata-mata uang dan uang. Ada faktor lain yang mengintil di belakangnya.
"Mama masuk rumah sakit. Adik mesti bayar sekolah. Aku sendiri harus bayar uang semesteran," lanjut Cathy.
Hah! Cathy ternyata masih berkuliah. Fakta ini baru saya tahu malam ini. Selain harus membiayai hidupnya, dia juga menjadi separuh tulang punggung keluarga. Untuk ukuran cewek berumur 20 tahun, saya salut dengan Cathy, terlepas dari pekerjaan yang dipilihnya. Hari gini, pekerjaan apa yang menawarkan gaji besar untuk lulusan SMU seperti Cathy? Nggak ada kan.... Dari pekerjaan LC-nya, setidaknya Cathy bisa mendapatkan tiga hingga enam juta dalam dua minggu. Uang itu diperoleh dari voucher dan tip selama ia masuk kerja. Dari satu voucher seharga Rp 400 ribu, dia mendapatkan Rp 200 ribu. Tip yang diberikan tamu, sepenuhnya masuk ke kantong pribadi.
Dari uang yang diperolehnya, Cathy mesti mengalokasikan pengeluaran wajib, misalnya, (1) bayar kost, (2) makan sehari-hari, (3) make-up dan perawatan diri, (4) biaya kuliah, dan (5) biaya untuk membantu keluarganya.
"Minggu-minggu ini aku lagi banyak pengeluaran. Aku nggak tau lagi mesti ke mana nyari duit," curhat Cathy.
Ini bukan sandiwara. Bukan pula trik untuk membuat hati tamu tersentuh lalu memberikan bantuan sukarela. Bagi saya pribadi, Cathy tetap manusia biasa. Tak ada kebohongan dan kepura-puraan di matanya.
"Memang butuh duit berapa?" Saya membera-nikan diri untuk bertanya.
"Nggak ah. Aku malu. Lagian, kok aku jadi curhatnya ke kamu," sergah Cathy malu.
"Nggak pa-pa lagi. Curhat nggak ada yang ngelarang, kok. Ngomong aja kamu butuh duit berapa?"
Cathy bungkam. Dia sibuk memainkan gelas di depannya. Sesekali matanya melirik ke arah Dimas yang tengah dikeroyok tiga orang teman ceweknya.
"Kok bengong?"
Cathy kaget.
Akhirnya, Cathy buka suara juga. Tamu yang mem-booking-nya di ruang karaoke menawarkan uang Rp 10 juta asal Cathy mau dibawa ke hotel untuk semalam, one nite stand.
"Tapi aku nggak biasa begitu.... Aku takut nggak bisa nyelayani dengan baik. Ntar kecewa lagi," sambungnya.
Saya jadi muter otak dan bertanya-tanya. Mungkin Cathy termasuk salah satu LC yang tidak mau memberikan layanan seks pada tamunya. Yang dia betikan selama ini hanya sebagai pendamping, tak lebih. Kalau sekadar seks kecil-kecilan mungkin iya. Tapi untuk sampai pada transaksi bobo-bobo instan, kayaknya dia belum berpengalaman. Boleh jadi, dia begitu menggoda dan wild ketika tengah meng-entertain tamunya. Menyuguhkan aneka fore-play dan permainan yang bisa bikin tamu minum alkohol berbotol-botol dan mengeluarkan lebih dari dua voucher untuk satu LC.
"Kalo itu emang tuntutan. Kalo cuma diem doang, ntar tamunya nggak ngasih tip dong," kilah Cathy.
Tapi ternyata, Cathy tidak seperti yang saya duga sebelumnya. Bayangan saya sebelumnya,
"Kalo itu emang tuntutan. Kalo cuma diem doang, ntar tamunya nggak ngasih tip dong," kilah Cathy.
Tapi ternyata, Cathy tidak seperti yang saya duga sebelumnya. Bayangan saya sebelumnya, Cathy akan dengan mudah mengiyakan ajakan tamu mana pun yang berani membayarnya dengan harga "bagus".
"Amit-amit deh. Oral seks saja aku ogah walau diiming-imingi uang Rp 2 juta," tegasnya.
Prinsip. Ya, sepertinya apa yang saya duga ada benarnya. Tidak semua LC yang bekerja di NZ masuk kategori gampangan dalam urusan seks. Ada yang murni bekerja sebagai pendamping, ada yang setengah nakal, dan tentunya, yang "abal-abal" alias tidak menolak untuk diajak sex party, sex jam-jaman sampai sex holiday juga ada.
Cathy memesan segelas Long Island lagi. Dimas masih sibuk dengan ketiga dayangnya. Suara-suara desahan yang entah disengaja atau memang betulan, bikin kuping saya melebar. Apalagi, semua aktivitas yang dilakukan Dimas dan ketiga LC itu terjadi persis di depan saya. Dimas seperti "piala" yang sedang jadi bahan rebutan.
"Aku balik ke room karaoke dulu ya. Nggak enak ninggalin tamu kelamaan," Cathy berpamitan lalu menghilang di balik kerumunan tamu.
Saya keluar dari booth dan bergabung bersama puluhan laki-laki yang tengah asyik menikmati aksi sexy dancers di atas bar. Ada tiga tamu laki-laki dalam keadaan bertelanjang dada, ikut menari bersama para sexy dancer. Terdengar teriakan riuh, tepuk tangan, dan jeritan para penari yang menyatu bersama hentakan lagu disko.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar