Jumat, 19 Juli 2013

Jakarta Undercover #3 (Forbidden City 3)



 (12) UNDERWEAR DINNER
PESTA dan pesta. Barangkali, satu kata itu terlalu sering didengar oleh masyarakat perkotaan. Tidak cuma tempat hiburan yang berlombalomba menggelar pesta dengan tema yang sangat beragam tapi juga kelompok atau malah perorangan. Tak heran, kalau setiap bulan bahkan setiap minggu hampir selalu ada tren baru yang muncul. Salah satunya, pesta yang erat kaitannya dengan tema "orgy" sebagai entertainmentnya.
Ngomong soal pesta, kalau anak gaul bilang: NGGAK ADA MATINYA! Pesta yang satu ini, bagi masyarakat Jakarta, apalagi yang sudah terbiasa dengan budaya hidup malam, sepertinya menjadi sebuah kewajiban. Setiap ada yang mau menikah, tak peduli laki atau perempuan, mesti ada pesta lepas lajang sebagai bagian tak terpisahkan sebelum menuju ke pelaminan. Atau kalau ada yang lagi berulang tahun, bukan lagi pemotongan kue yang jadi prosesi utama, tetapi yang lebih penting lagi adalah hiburan penari-penari telanjangnya. Iiiihhh, gila ya(?).
Saya masih ingat dengan beberapa pesta lajang yang digelar teman-teman karib belakangan ini. Pesta terakhir yang saya ikuti adalah pestanya Vanda—sebut saja begitu, berusia 26 tahun, saha-bat perempuan saya, yang sehari-hari mengelola salon dan butik. Perempuan berambut blonde ini (yang pasti bukan asli, tetapi dicat) punya gang arisan yang kerap meluangkan waktu dengan nongkrong dan ber-window shopping di mal-mal. 
‘Pria-pria-X
SEMINGGU menjelang hari H pernikahannya, Vanda menggelar bachelorette party di sebuah kafe di sekitar Blok M, Jakarta Selatan. Temanya sih sederhana: X-RED PARTY. Tamu undangan yang sebagian besar adalah teman dekatnya harus mengenakan pakaian serba merah sebagai dress code. Untuk pestanya itu, Vanda rela mem-booking 
kafe tersebut semalam suntuk. SORRY, WE ARE CLOSED 4 PUBLIC! Kira-kira begitulah tulisan singkat yang dipasang di pintu masuk. Jadi, maaf, yang bukan undangan untuk malam ini tidak boleh masuk. 
Tamu undangan yang datang sebagian besar memang perempuan dalam balutan busana serba merah. Pesta dimulai sekitar pukul sepuluh malam. Sebagai pembukaan, acara diisi dengan ber-toast bersama. Karena free flow, setiap tamu bebas me-mesan minuman favorit, pesta berlangsung meriah dengan iringan musik DJ. Puncaknya, muncul lima penari cowok: keren, berotot, pandai menari, yang beraksi di atas bar. Vanda yang punya gawe langsung didaulat naik ke bar dan dikeroyok lima penari laki-laki yang hanya mengenakan cawat tipis warna hitam itu.
Mudah dibayangkan, kemeriahan pesta pasti-nya makin menggila dengan tontonan lima penari laki itu. Belum lagi pengaruh alkohol membuat sebagian besar tamu, larut dalam suasana pesta. Hingar-bingar dan so pasti, liar tapi terkendali. Maksudnya, keliaran pesta tidak sampai menjurus pada aktivitas-aktivitas seksual. Yang ada hanya ledakanledakan kecil yang membuat tamu berteriak dcngan nyaring. Misalnya ketika Vanda "dikerjain" lima penari laki-laki yang dengan aktif meraba, memeluk, dan meliuk seksi secara bergantian. Dan Vanda menjadi "ratu semalam" yang dijadikan piala bergilir sekitar satu setengah jam lebih. Selebihnya adalah suara tawa, denting gelas, musik disko yang mengalun keras dan aroma alkohol yang berembus bersama dinginnya air conditioner.
X-Red Party, pastinya hanya satu dari sekian puluh jenis pesta yang digelar untuk merayakan lepas lajang atau ulang tahun. Bagaimana dengan pesta yang ada hubungannya dengan gathering perusahaan atau untuk urusan lobi-lobi dalam bisnis? Sama saja. Malah, dalam skala besar, pesta yang digelar bisa lebih gokil dan dikonsep dengan perencanaan matang.
Sex gathering
SEPERTI pesta "sex gathering" yang satu ini. Tujuannya sih sederhana: perjamuan klien. Tapi kalau cuma dinner di ballroom hotel dan menyewa penyanyi papan atas, rasa-rasanya sudah terlalu biasa. Makanya perlu ada "sex-entertainment" di tengah perjamuan. Ruangan private dan berskala besar. Suguhan utamanya: sex-tainment, 
Diawali dengan sebuah perjamuan di ruangan besar dengan kapasitas lebih dari seratus orang, 25 gadis yang rata-rata hanya mengenakan baju bikini, underwear atau g-string berenda itu berpose di tempat duduknya masing-masing.
Sebuah ruangan besar dengan dekorasi ala zaman Romawi itu terlihat mewah. Ruangan kelas president suite yang bisa menampung lebih dari 80 orang itu berada di Karaoke MH, di Kawasan Monas, Jakarta Pusat. Sofa panjang warna merah darah yang ditata melingkar lengkap dengan dua meja panjang menjadi perabotan utama di ruang tengah, ditambah dengan dua TV berukuran besar. Ada fasilitas tambahan berupa satu kamar tidur dan satu kamar mandi.
Di sofa itulah, ke-25 gadis itu duduk dengan anggunnya. Masingmasing memegang piring ber-isi handuk basah yang masih hangat. Terlihat uap tipis mengepul dari handuk itu. 
Dari arah pintu besar yang terbuat dari ukiran kayu jati, muncul 16 laki-laki yang rata-rata mengenakan pakaian santai. Mereka segera disambut oleh 25 gadis yang sejak tadi sudah stand by di ruangan. Lantaran jumlah laki-lakinya lebih sedikit, ada yang mendaparkan teman kencan dobel.
Saya kebetulan datang karena diundang oleh yang empunya acara. Siapa lagi kalau bukan, Mas Sapto, sang big bos. Sebagai pengusaha yang memasok peralatan untuk otomotif, Sapto punya beberapa distributor yang tersebar di sejumiah kota besar di Indonesia. Sekali dalam setahun, dia memberikan bonus spesial kepada distributor yang melampui target penjualan. Bonus itu bisa berupa liburan ke luar negeri sampai pelesir seksual yang dikemas seperti halnya "sex gathering'. 
Beruntung juga saya tidak absen malam itu. Paling tidak, ada dua gadis yang ditugaskan menemani saya dan Mas Sapto. Saya memanggil Sapto dengan "mas" karena dia lebih tua dari saya. Umurnya lebih dari 40 tahun, nggak enak saja kalau saya memanggil namanya langsung. 
Hubungan saya dan Mas Sapto lebih karena faktor kebetulan. Sebagai pria berduit yang sudah berkeluarga, rupanya Mas Sapto punya cem-cem-an alias PR (baca= piaraan). Nah, si cem-cem-an itu, sebut saja namanya Shinta, 23 tahun, nggak tahunya saya kenal dengan baik. Shinta adalah seorang foto model majalah khusus laki-laki yang berani dan terbiasa tampil seksi. Saya mengenalnya dua tahun lalu pada sesi pemotretan sebuah majalah. Dari Shinta inilah, saya dikenalkan dengan Mas Sapto. Dalam beberapa bulan terakhir, saya lumayan sering diajak jalan bareng mereka berdua. Entah cuma berkaraoke atau nongkrong di kafe.
Makanya, begitu Sapto mengundang saya untuk hadir di acara sex gathering, saya jadi susah menolaknya. Ada beberapa alasan kenapa saya sampai ikut di pesta itu: 
1. nggak enak menolak undangan teman,
                        2. aji mumpung dan tidak menyia-nyiakan ke-sempatan. Soalnya gratis alias gretong bo'!,
                        3. penasaran dengan ide pesta "sex gathering", 
         4. ketemu orang-orang baru (orang baru berarti informasi baru, itu prinsip saya).


12 Underwear Dinner
TIDAK percuma saya hadir. Ini menjadi pe-ngalaman pertama mengikuti sex gathering. Me-narik, sebagai sebuah ide meskipun isi yang ditampilkan ujung-ujungnya seks juga. 
Hidangan makan malam sudah tersedia di meja bulat. Mereka menempati kursi yang dise-diakan. Sambil menunggu makan malam dimulai, ke-25 gadis itu mulai mengelap pasangannya masing-masing. Bukan sekedar mengelap, tetapi dibumbuhi dengan pijatan kecil, mulai dari bagian wajah, punggung, dan tangan. Begitu seterusnya. 
Acara dinner malam itu menjadi ajang ramah tamah dan perkenalan. Sebuah pemandangan yang agak lucu, pikir saya. Gimana nggak? Yang laki-laki masih mengenakan baju lengkap sementara yang perempuan hanya menutup tubuhnya dengan baju underwear. Sangat kontras!
Tapi justru di situlah uniknya. Ini memang dinner yang luar biasa. Menggabungkan konsep dinner dengan bumbu "' sex-entertainmnent" Bagi tamu yang datang ke perjamuan, kehadiran 25 gadis underwear ini memang jadi kejutan tersendiri.
Mereka tidak menyangka bakal mendapatkan suguhan makan malam yang beda dari biasanya.
Mereka diundang liburan ke Jakarta oleh Mas Sapto selama lima hari. Gratis! Semua biaya akomodasi, transportasi, dan entertainment ditanggung oleh perusahaan Mas Sapto. Boleh bawa keluarga, tetapi sangat dianjurkan untuk datang sebagai "bujangan". Bukan apa-apa, sedari awal, Mas Sapto sudah memberikan "warning" bakal ada acara gila-gilaan. 
Ini adalah hari ketiga mereka berlibur di Jakarta. Dua hari sebelumnya, mereka diberi kebebasan untuk berjalan-jalan pada malam hari selepas pukul tujuh malam. Maklum, siang harinya ada acara kunjungan ke pabrik dan beramah tamah dengan awak perusahaan Mas Sapto.
Rupanya, Mas Sapto sudah mengatur segalanya. Dia menyewa event orgaziner (EO) untuk menyiapkan konsep perjamuan yang penuh dengan suguhan hiburan. Tidak saja fun, tetapi juga "full-sex-entertainment". Di hari ketiga itulah, perjamuan dimulai. Underwear dinner, menjadi perjamuan pertama. 
Usai menyantap hidangan "maincourse", kini para tamu mulai mengunyah makanan penutup. Suasana jadi lebih rileks. Sebagian lakilaki pindah duduk di sofa yang letaknya di ruangan tengah bersama pasangannya. Perkenalan di meja makan itu cukup membawa hasil. Terbukti, mereka lebih akrab satu sama lain. Obrolan, canda, dan tawa tampak lebih intens dari sebelumnya. 
Di atas meja disediakan berbagai macam botol minuman beralkohol. Wiski, wine, vodka, semua ada. Tinggal racik sendiri, dan silakan minum sepuasnya. Mereka yang tak mau repot, tinggal menenggak langsung dari botol. Mereka yang tidak begitu menyukai minuman berat, ada puluhan botol bir yang diletakkan di dalam box. 
Yang cukup mengagetkan lagi, usai acara makan malam, skenario hiburan berikutnya adalah Massage Session. Para laki-laki kali ini "dipaksa" untuk melepaskan baju atasan mereka tanpa ter-kecuali.
Di sela-sela pemijatan, sebagian gadis yang "nganggur" berunjuk atraksi dengan menari-nari mengitari ruangan. Sesekali menghampiri para laki-laki yang lagi dipijat. Menggoda mereka dengan gerakangerakan sensual.
Tidak hanya sampai di situ, para gadis yang tengah memijat, tak mau ketinggalan ikut menari di atas tubuh para laki-laki. Dalam hitungan menit, beberapa gadis mulai membuka bra mereka. Inilah babak pesta yang sebenarnya. Sejumlah laki-laki yang sudah tak mampu menahan hasrat biologisnya, buru-buru masuk ke kamar tidur yang tersedia. Mereka yang kalah cepat, terpaksa menunggu giliran berikutnya. 
Sebagian lagi, tanpa pikir panjang melakukan permainan seksnya di atas sofa. Ada juga yang bergantian menggunakan kamar mandi sebagai tempat alternatif. Benar-benar pemandangan yang membuat kepala saya jadi pusing. Mas Sapto hanya tersenyum melihat semua kejadian yang berlangsung.
Perjamuan "underwear" malam itu memakan waktu empat jam lebih. Pesta di ruangan president suite itu memang sudah usai. Tapi bagi sebagian laki-laki yang melakukan transaksi "booking out", masih ada pesta lanjutan di kamar hotel.
Ini adalah skenario terakhir. Ke-25 gadis yang menjadi pengisi perjamuan, memang diberi keleluasaan untuk melakukan transaksi seks lanjutan. Namun, untuk yang satu ini, pihak EO tidak ikut campur lebih jauh, terutama soal tarif. Semua diserahkan sepenuhnya pada peserta perjamuan, person to person! 
"Udah pada gede ini. Biarin saja kalau mereka mau bawa ceweknya ke hotel," bisik Mas Sapto. 
Dalam perjalanan menuju lobby, saya jadi penasaran dari mana 25 gadis yang menjadi bintang pada sex gathering malam itu? Pertanyaan itu sangat mengganjal di benak saya sejak kali pertama saya datang ke pesta perjamuan.
"Tanya saja langsung sama dia," jawab Mas Sapto sambil menunjuk seseorang di samping kirinya. 
Perempuan? Lho, jadi EO yang mengurus pestanya Mas Sapto itu perempuan. Sendirian pula! Standar normalnya, sebuah EO yang bikin acara musik di kafe saja butuh tiga hingga lima orang yang in charge di lapangan. Agak nggak masuk akal buat saya.
Mimi, begitulah ia mengenalkan namanya. Masih muda, kira-kira baru berumur 25 tahun. Wajahnya cantik, dan punya bentuk badan yang bagus. Keterlibatan Mimi tidak tanggung tanggung. Selain terjun sebagai EO, dia juga sekaligus menjadi salah satu "bintang" acara di pesta perjamuan itu. Pantas, dari tadi saya tidak melihat siapa sebenarnya yang mengatur acara dari A sampai Z.
Cewek-cewek yang didatangkan Mimi, ter-nyata berasal dari berbagai komunitas. Mulai dari yang berprofesi sebagai LC di karaoke, tercantum di bawah bendera sebuah agency, SPG "bispak", sampai freelancer yang dimanajeri seorang germo atau broker.
"Gila juga ya pestanya," sergah saya tanpa malu-malu. 
"Itu belum seberapa, Mas. Yang lebih gila lagi, masih banyak kok. Kalau nggak percaya, datang saja ke pesta saya minggu depan," tantang Mimi.
Sebuah tawaran yang sayang kalau disia-siakan. Jarang-jarang kesempatan seperti ini datang dengan tidak disangka-sangka. Namanya juga rezeki, kaliii...!
"Beneran nih. Boleh minta nomor hand-phone-nya?" 
Saya menghambur ke dalam mobil. Mimi masih terlihat ngobrol dengan salah satu tamunya Mas Sapto di depan lobby. 


(13) Baby Face
INI lebih pada soal menu. Seksrame-rame, threesome, atau pun sandwich 1 for 3 memang tidak jauh berbeda. Tapi namanya juga jualan, merek tetaplah jadi iklan untuk menggaet tatnu. Tapi iklan tidak ada artinya tanpa model yang oke-oke. Baby face— gadis belia berumur antara 14-18 tahun adalah satu daya tarik yang cukup menggoda dan dijadikan sebagai "main-course" untuk mengundang tamu berdatangan. Wow!
Kalau bukan karena hujan dan kemacetan, mestinya saya tak perlu repot-repot mampir ke Plaza Semanggi, menghabiskan waktu sore di Coffee Break sambil cuci mata. Sebel memang. Jalanan macet dengan antrean mobil panjang di jalan-jalan utama, membuat saya tak punya banyak pilihan. Daripada stres di mobil, mendingan saya menghabiskan saat-saat happy hours sambil menyeruput segelas kopi panas dan menyantap sepiring sandwich tuna. 
Kalau juga bukan karena Donny, mestinya saya tak usah berlamalama sampai hampir pukul sembilan malam. Donny muncul begitu saja di depan meja yang saya tempati. Laki-laki ini termasuk kawan lama, dan sudah lebih dari satu setengah tahun saya mengenalnya. Bujangan yang hari-harinya sibuk mengurusi usaha kontraktor itu termasuk bujangan sukses untuk ukuran pria seusianya. Umur 27 tahun tapi sudah punya rumah, mobil sendiri, dan penghasilan yang cukup besar setiap bulannya. Pantas kalau di waktu senggang, ia sering menyempatkan diri cuci mata di kafe, mal atau mampir ke sejumlah diskotek, dan tentunya, tempattempat pelesir yang menyuguhkan menu-menu seks. 
Bujangan dan banyak duit, tinggal di Jakarta pula, apalagi kalau bukan mencari berbagai ma-cam kesenangan untuk mengisi jam-jam kosong. Entah karena boring dengan aktivitas sehari-sehari, bete dengan pekerjaan, sekadar iseng mencari kencan baru yang berbeda atau karena dihinggapi segala kecanduan seks. Yang jelas, beberapa alasan itu menjadi pemicu mengapa banyak laki-laki berduit enggan bersenangsenang di rumah. 
Seperti juga Donny. Selain karena alasan senang-senang, saya tidak banyak bertanya kenapa dia suka berpelesir cinta. Habis, saya jarang sekali melihat dia susah atau bete. Setiap kali ketemu, selalu berseri-seri bahkan dalam keadaan tipsy (setengah mabuk) sekalipun. Jujur, untuk urusan informasi seputar isu-isu kehidupan malam di seputar Jakarta, saya kalah jam terbang kalau dibandingkan dengan Donny. Sejumlah teman malah bilang: jangan deket-deket dengan Donny kalau mau jadi laki-laki setia. 
Pantas, sore yang mestinya hanya menjadi persinggahan satu atau dua jam itu, malah molor hingga malam menjemput. Kalau dihitunghitung, tak kurang dari empat jam kami nongkrong di kafe. Dari sekadar minum kopi sampai akhirnya tak kurang dari tiga gelas vodka Cranberry saya tenggak, sementara Donny tak kurang dari lima gelas Jackdaniel, on the rock\
The First Sex(ualit^) 
Selama ngobrol di kafe, akhirnya kami sampai pada isu seputar maraknya gadis-gadis belia yang mulai jadi dagangan utama di dunia prostitusi. Ada sebuah jaringan germo yang menjual anak-anak SMU dengan harga tinggi. Modus transaksinya pun tidak tanggung-tanggung.
Klien langsung di-bawa menjemput ke sekolah. Maklum, kalau tidak "on the spot", siapa yang percaya kalau gadisnya memang anak SMU betulan.
Fenomena gadis-gadis SMU yang dijadikan sebagai dagangan seks, bisa dikatagorikan sebagai transaksi "hi-class". Gimana nggak kelas atas kalau sekali transaksi saja bisa mencapai puluhan juta rupiah. Lucunya, kok ada saja supply dan demand-nya. 
"Sudahlah. Kalo anak-anak SMU, lupain saja. Mahal dan ribet prosesnya. Mending nyari yang gampang tapi kualitas sama," kata Donny.
"Gue nggak ngerti omongan lo!" 
"Maksud gue, mending kita nyari yang pasti-pasti. Datang ke tempatnya, bayar, eksekusi di tempat, beres deh," imbuh Donny. 
Ternyata, jasa pelayanan seks seperti yang dimaksud Donny jelas tersedia. Kedoknya memang bukan anak-anak SMU tapi secara umur, tidak jauh berbeda. Ya, apalagi kalau bukan gadis-gadis belia berumur antara 14-19 tahun!!!
Memang agak pusing kalau memikirkan fenomena remaja sekarang ini. Yang jadi PSK jumlahnya banyak, yang secara perilaku dan pergaulan sehari-hari sangat berisiko, juga tak kalah banyak. Kalau PSK remaja, memilih profesi itu memang sebagai ladang mata pencaharian. Tapi remaja kebanyakan, entah yang menyebut dirinya sebagai remaja mal, remaja dugem, remaja sekolahan sampai remaja rumahan, boleh dibilang sudah masuk area "lampu kuning". Tidak saja dari sisi gaya pacaran tapi sudah sampai pada tahap berhubungan seks.
Data yang saya dapat dari Lembaga Demografi Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia 2005 saja misalnya, menyebutkan bahwa : 
% 23% remaja (cewek-cowok) berumur 14-19 tahun melakukan hubungan seks dengan pacar pertama.



(17) Sashimi Jail House
SEKS Sashimi Girl. Menu yang satu ini pernah jadi salah satu ikon seks di rentang waktu 2002-2004. Menikmati sajian daging sushi— makanan khas Jepang—dengan nampan gadis telanjang di sebuah ruangan tertutup. Cara makannya? Boleh menggunakan sumpit atau tangan, tetapi 180% dianjurkan dengan mulut. Hanya saja, harganya memang relatif mahal, sekitar Rp 2,5 juta untuk satu gadis sashimi selama satu jam. 
Dalam perkembangannya, seks Sashimi Girl kini tak lagi jadi menu di kelab tertentu, melainkan jadi tema private party yang digelar sejumlah komunitas tertentu. Cara penyajiannya pun bukan lagi membiarkan gadis sashimi telentang di atas segelintir orang yang membooking, melainkan dipertontonkan di depan orang banyak dan siapa pun boleh "menikmatinya". 
Seperti apa bentuknya? Well, saya mendapat-kan gambaran detailnya kira-kira di pertengahan Agustus 2006. Kejadiannya bermula dari sebuah SMS yang langsung dikirim oleh sebuah kelab berinisial NZ di Kawasan Thamrin. SMS itu berisi tentang program spesial dengan tema Jail House yang digelar pada Rabu malam. Buat saya, NZ memang jadi salah satu tongkrongan alternarif bersama teman-teman, terutama pas hari-hari bia-sa. Maklum, setiap hari selalu ada "pesta" di kelab yang di dalamnya dilengkapi fasilitas lounge, resto, dan karaoke. 
Singkat cerita, pesta Jail House yang digelar di area lounge itu dihadiri oleh puluhan tamu laki-laki. Area lounge didesain seperti sebuah penjara. Acara dibuka dengan sexy dancers yang mengenakan baju seperti Jeng Iskhan dalam acara Bintang-bintang di RCTI yang dipandu "Teteh" Tika Panggabean. Busana serba hitam lengkap dengan topeng, sepatu bot, dan pecut. Hanya saja, busananya jauh lebih "krisis", artinya minimalis dan terbuka di beberapa bagian. Seperti biasa, mereka menari dengan seksi dan mengajak tamu untuk berinteraksi. Sekadar joget bareng di atas bar, atau bertukar minuman dari bibir ke bibir.
Lalu, acara dilanjutkan dengan fashion dance yang menampilkan lima model cewek dan dua model cowok. Kalau sekadar fashion show biasa, mungkin nggak ada geregetnya. Tapi, kalau model ceweknya mengenakan baju lingerie "nyaris terbuka", tentu jadi tontonan yang dijamin bisa "memanjakan" mata laki-laki. Sementara model cowoknya hanya membungkus raganya dengan sehelai cawat transparan saja, dan pertunjukan itu, ternyata cukup sukses membuat beberapa tamu cewek yang datang berteriak histeris. Entah geli, terbawa euforia, atau malah tergoda, saya juga nggak ngerti.
Puncak acaranya berupa: kemunculan se-orang gadis cantik dalam kerangkeng buatan dan ditandu empat laki-laki bertelanjang dada. Ini dia Sashimi Jail House. Gadis cantik itu tiduran dengan menyandarkan kepalanya di bantal warna merah. Tubuhnya yang hanya terbungkus kain seadanya itu terlihat dipenuhi irisan daging sushi, terutama di daerah perut dan sekitarnya.
Dengan menebar senyum, gadis itu diarak mengelilingi bar. Para tamu boleh menyomot daging sushi yang menempel di tubuh gadis itu dengan satu syarat: membayar Rp 50 ribu untuk satu irisan daging, begitu seterusnya. Tamu cowok boleh, cewek pun dipersilakan. Tak ada larangan. Pokoknya: bayar! 
Dan yang terjadi, terjadilah. Sebagian tamu yang rada malu-malu kucing, menyomot daging sushi dengan tangan. Sementara sebagian yang lain, cuek saja melumat sushi dengan mulutnya. 
Sebuah ide lama dengan gaya entertainment baru, pikir saya. Awalnya, Sashimi Girls identik sebagai menu seks yang hanya bisa dinikmati di ruang tertutup, ekslusif, mahal, dan hanya untuk private booking. Belakangan, Sashimi Girls dibuat di tempat terbuka, siapa pun bisa interaktif, diletakkan dalam kerangkeng buatan dengan prototype penjara, dan dipadu dengan sexy dancers plus lingerie fashion dance. 
Kebetulan, malam itu saya ketemu dengan konseptor yang bertindak sebagai Event Organizer (EO)-nya. Tara, begitu nama panggilannya, berusia 28 tahun, sehari-hari mengelola sebuah agensi model yang seringkali juga bertindak sebagai EO untuk acara-acara tertentu.
Ooo... pantas. Tara bukan nama baru lagi di dunia entertainment malam. Pria yang mengkoordinir lebih dari 50 model itu punya spesialisasi sebagai EO basah. Artinya, ladang garapannya tak jauh dari aneka acara yang berbau "syur-syur".
"Nggak nyangka, bisa serame ini," tukasnya ketika berbicara dengan saya setelah gadis sashimi dalam Jail House keluar dari area lounge dan menghilang di kamar ganti.
Private Jail House
NAH, ternyata konsep Jail House itu oleh Tara dikembangkan menjadi private party yang tak kalah serunya. Bahkan, lebih gokil, vulgar, dan amburadul. 
Kok tahu? Ya, iyalah. Seminggu setelah pertemuan pada acara Sashimi Jail House itu, Tara mengundang saya ngupi-ngupi di salah satu kafe di Senayan City, Jakarta. Tak tanggung-tanggung, sore itu Tara membawa empat modelnya yang masing-masing menenteng satu buah tas besar.
"Mereka mau show ntar malem di daerah Pondok Indah," jelas Tara.
"Show krisis?" pancing saya.
"Ya, iyalah. Kalo show baju ketutup sih, bukan kelas gue kali," timpal Tara dengan logat "keriting"-nya. 
Di Jakarta, untuk urusan fashion show yang digelar sejumlah tempat hiburan malam, rata-rata memang menjual tema sensualitas. Apalagi kalau tempat hiburan itu—entah kafe, lounge, resto, karaoke atau kelab—terkenal dengan brand triple X. Golnya? Memberikan entertainment yang berbeda buat member-guest dan menjaring
costumer baru.
So...
Ada beberapa skenario yang muncul sore itu. Pertama, Tara mengajak saya datang ke acaranya nanti malam. Kedua, Tara melontarkan ide untuk membuat private party dengan tema Sashimi Jail House, sekaligus sharing-idea. 
Skenario kedua, jelas lebih menarik buat saya. Lingerie show, half-naked dancing, topless fashion hampir setiap hari jadi pemandangan biasa di sejumlah tempat hiburan malam di Jakarta.
Private party? Dalam seminggu, belum tentu saya bisa dapat satu undangan. 
"Enak banget jadi elo, dapet undangan terus. Ajak-ajak napa," tukas Nino, karib saya, waktu saya bercerita soal undangan private party dari Tara.
"Bisa diatur. Yang penting, elu bayar, Jo!" 
Hari H itu datang juga. Tara mengirim SMS ke ponsel saya untuk re-confirm. U re invited. Sashimi Jail House 8 Lelang Cewe. Private Party. Friday, 17 November Z006. 9pm until drop. Only Rp. 500 ribu 4 free-flow Jl. BD Kav. 15, Kemang Utara, Jakse1. Kira-kira seperti itu isi undangannya. 
Saya pun membalas SMS-nya, sekadar mem-beritahu bahwa saya akan hadir dalam private party itu.
Malamnya, mendekati pukul sembilan, mobil saya mendekati lokasi sebagaimana yang tertera dalam SMS. Dari luar, rumah itu dikelilingi pagar tembok yang ditumbuhi tanaman rambat. Puluhan mobil tetlihat parkir berjajar. Saya melirik Nino yang duduk di belakang kemudi. "Pukul berapa sih? Kok udah rame banget, ya?" tanya saya. 
Nino melirik ke jam tangan metal yang melingkari tangan kirinya. "Sembilan kurang seperempat," Jawabnya sambil celingukan mencari tempat parkir yang kosong.
Setelah memarkir mobil, berdua kami memasuki rumah besar itu. Suasana di dalam rumah sudah mulai ramai. Tara sebagai tuan rumah, sibuk beramah tamah dengan puluhan tamu laki-laki. Ia didampingi lima model cantik yang bertindak sebagai host. Tampang kece, body oke, baju terusan bertali yang menampakkan bagian punggung dengan belahan V.
Rumah besar itu ternyata cukup mewah. Di dalamnya ada bar tersendiri, ruang tamu besar, kolam renang, dan garden terrace. Untuk tempat pesta, rasa-rasanya lebih dari memadai. 
Tak disangka, di antara puluhan tamu undangan itu, saya bertemu dengan Jody—sebut saja begitu—bos yang punya puluhan gerai bakery di Jakarta, Surabaya, dan Bandung. Saya nggak kaget karena Jody memang terkenal sebagai biang pesta, dari yang private sampai yang terbuka untuk umum seperti di kelab-kelab hiburan malam. Selain itu, saya juga melihat setidaknya dua wajah pengusaha muda yang namanya sudah tak asing di bidang bisnis property. 
Suguhan Sashimi Jail House malam itu agak berbeda dengan yang saya lihat sebelumnya. Perbedaannya lebih pada menu ceweknya. Tak tanggung-tanggung, Tara menampilkan lima Sashimi Girl yang diusung di
atas tandu berbentuk mirip kerangkeng penjara.
"Lima cewek? Nggak salah nih?" bisik saya ke telinga Tara. 
Uniknya, masing-masing mengenakan baju seksi yang berbedabeda. Dari warna, model sampai standar ke-krisisan alias kevulgaran. Tapi yang pasti, kelima Sashimi Girl itu membiarkan bagian perut terbuka karena di bagian itulah, irisan daging sushi ditebat secara acak. 
Yang mengagetkan kemunculan gadis sashimi ketiga yang berdandan tak ubahnya "putri laut". Ia menutup bagian dadanya dengan mie jepang— kira-kira seperti bihun—yang di atasnya ada beberapa irisan sushi. Sementara di sekitar bikini area, ia menutup bagian V-nya dengan sebuah kerang ukuran besar yang di dalamnya juga berisi irisan sushi. Ya, kira-kira sebagai pengganti underwear. 
Dandanan Sashimi Girl nomor tiga ini ternyata mendapat respon yang luar biasa dari undangan. Puluhan tamu laki-laki yang datang terlihat begitu antusias.
Ajang untuk berinteraksi dengan Sashimi Girl pun tidak disiasiakan. Beberapa laki-laki dengan bersemangat menyomot irisan sushi di tubuh Sashimi Girl langsung dengan mulut. Maklum, aturan mainnya: siapa saja yang mau makan daging sushi harus menggunakan mulut. Tidak boleh pakai tangan, apalagi sumpit.
Gratis? Ya, nggak lah. Untuk satu iris sushi, tiap tamu mesti memberikan tip sebesar Rp. 100 ribu. Harga itu berlaku untuk irisan sushi yang ada di daerah perut. Sementara untuk sushi yang bertebaran di bagian dada dan bikini area, satu irisan bertarif Rp. 200 ribu. 
"Lumayan mahal ya, Jo?" sindir Nino. "Eit, siapa dulu sashimi girlnya. Model bo' bukan cewek asal comot lho," bela Tara tak mau kalah. 
Toh, nggak ada kata mahal buat sebagain tamu undangan yang berpesta malam itu. Kelima Sashimi Girl Jail House yang berputar-putar mengelilingi ruang tamu, garden terrace sampai berpose di pinggir kolam renang itu, rata-rata kecipratan tip dalam jumlah besar. 
Tapi, teteeep..., sashimi girl nomor tiga yang bergaya a la putri laut, meraup uang paling banyak. Daging sushi yang menghias di tubuhnya, terutama di bagian perut dan dadanya, hanya tersisa beberapa irisan saja.
"See...dagangan gue laris manis kan," tukas Tara dengan senyum lebar.
Dagangan? Yup. Buat Tara, pesta yang ia bikin malam itu memang berkonotasi bisnis. Segala bentuk hiburan bahkan sampai urusan makan
+ minum saja, Tara mengambil keuntungan. Sebagai EO yang biasa bergerak di bidang acara "syur-syur", ia paham dengan pangsa pasar yang dibidik. Ia tinggal memanfaatkan jaringan dan komunitas yang ia miliki. Dan tentunya, membuat pesta dengan tema yang extra-ordinary atau super-extreme sekalian. Yang pasti, sarat dengan hiburan bernilai unik, aneh, dan lain dari pada yang lain. 
Pertunjukan kelima cewek Sashimi Jail House itu baru jadi ajang pemanasan. Segala jenis minuman yang diracik dua orang bartender, kapan pun bisa ditenggak. Lagu-lagu berirama classic disco, garage, R'nB sampai progesif yang dimain-kan seorang DJ makin menyemarakkan
suasana.
Lelang Cewek
"MYRA," gadis sashimi yang berdandan a la putri laut itu menyebutkan namanya. 
Kali ini, Myra memang tak lagi berada di dalam kerangkeng. Dan, astaga, ia sama sekali tak mengubah dandanannya. Kerang besar masih melilit di bikini areanya. Kerang itu dibuat menyerupai G-string bertali. Sementara bra trans-paran yang menutup wilayah dadanya dihiasi asesori mie jepang. Keempat sashimi girl lainnya juga mengenakan dandanan yang sama. 
"Berani terima tantangan?" kata Myra sete-ngah berbisik di telinga saya.
Tantangan yang dimaksud Myra adalah ber-lapdance ria di atas sofa yang ada di ruang tamu. Ini memang menjadi salah satu babak entertainment yang bisa dinikmati dalam pesta. Myra akan memberikan tarian lapdance—menari-nari di atas pangkuan—selama kurang lebih lima belas menit kepada setiap tamu yang berani menyelipkan uang Rp. 300 ribu ke dalam underwear kerang-nya. 
Inilah sesi acara yang paling dinanti-nanti. Selain bisa menari lapdance, para undangan bisa mengikuti acara Lelang Cewek! Tak hanya Myra yang mulai melakukan tebar pesona, keempat Sashimi Girl lainnya pun sudah membaur bersama para undangan. Mereka berjalan memutar seperti halnya para model yang lagi ber-fashion show. Semenit kemudian, dua belas gadis cantik yang memakai baju-baju seksi dan dijamin no bra, muncul dari sebuah kamar, tak jauh dari ruang tamu.
Lima orang naik ke atas bar, langsung berpose dan bergoyang mengikuti irama lagu. Sementara lima lainnya berkeliling sambil menyapa para undangan. Di bahu kiri mereka, masing-masing ada hiasan pita dengan warna berbeda.
The Red Diva! Pandangan mata saya tertuju pada salah seorang gadis yang membungkus raga liatnya dengan baju warna merah menyala. Ia memoles bibirnya dengan lipstik warna merah juga. Ia mengenakan pita warna hitam. Rambutnya yang ikal tergerai sampai ke punggung. Sorot matanya tajam menukik. 
"Miss Sisy," seru Tara mengenalkan The Red Diva lewat microphone. Oh, rupanya Tara juga bertindak sebagai MO Sisy membungkukkan badan sebagai salam hormat. 
Layaknya sebuah lelang, Tara mengenalkan kesebelas gadis lainnya satu per satu. Tak ketinggalan, Tara juga mengenalkan kelima Sashimi Girl yang membuat suasana pesta tambah panas. 
Dalam acara lelang cewek itu, ada dua penawaran diberikan. Pertama, lelang cewek hanya untuk menemani dinner after midnite & companion saja, Kedua, Lelang cewek untuk transaksi seks one nite stand.
Misalnya, Miss Sisy. Perempuan yang terlihat sangat menggoda dalam balutan warna merah yang melekat ketat ini oleh Tara dibuka dengan harga Rp. 2 juta untuk dinner after midnite & companion.
Dengan harga segitu, setidaknya ada delapan hingga sepuluh orang undangan langsung angkat tangan untuk mem-booking~nya. 
Banyaknya peminat membuat lelang berjalan cepat. Dari Rp 2 juta naik ke Rp 3 juta, lalu me-nembus angka Rp 5 juta sampai akhirnya lelang ditutup di harga Rp. 8 juta. Dan pemenangnya adalah Jody. 
Hah, untuk dinner doang Jody bela-belain bayar Rp. 8 juta? "Itu biasa terjadi di kota-kota besar seperti Jakarta," kata Nino, antara sok tahu dan setengah bercanda. "Kalo gue kelebihan duit, jangankan Rp. 8 juta, lebih dari itu juga gue bayar," lanjutnya dengan pede. 
Kalau dipikir-pikir, harga itu kayaknya cukup setimpal untuk Sisy. Model didikan Tara itu bukan anak kemarin sore. Wajahnya beberapa kali pernah menghiasi sampul majalah pria di Ibukota. Lagi pula, untuk ukuran seorang gadis yang pantas mendapatkan predikat cantik dan seksi, Sisy boleh dibilang perfect. 
"Judulnya sih dinner. Setelah itu, kita kan nggak tahu. Kalo harga cocok, bisa-bisa jadi dinner in bed" ceplos Nino.
Ketika tiba pada giliran Myra, Tara memasang harga pembuka Rp 4 juta untuk seks one nite stand. 
Saya agak kaget juga melihat respon para undangan. Peminat Myra lebih dari 6 orang. Akhirnya, lelang untuk Myra ditutup pada harga Rp 12 juta. Well, harga yang nggak murah untuk orang-orang seperti saya, misalnya. Tapi untuk seorang pengusaha yang berpenghasilan Rp 200 - Rp 500 juta per bulan, apalah artinya Rp 12 juta. Nothing! 
"Trus, kita ngapain di sini. Nonton doang?" sindir saya sambil melirik ke Nino.
"Kalo cuma lapdance, gue bayarin deh. Kalo urusan check-in, bayar sendiri-sendiri," jawab Nino nggak mau pusing. 
Tak semua gadis yang dilelang Tara terjual. Ada tiga sampai lima gadis yang tersisa. Tapi bukan berarti mereka nganggur dan pulang dengan tangan hampa. Meskipun tak terjual dalam lelang, mereka tetap bisa mengeruk tip sebanyak-banyaknya dari tamu undangan. Sekadar menemani minum, berdansa sampai memberikan pelukan mesra di pinggir kolam renang sudah menambah tebal kantong mereka malam itu. 
Rupanya, tak semua tamu undangan yang datang ingin ikut lelang cewek. Ada juga yang cuma ingin berpesta di tempat, lain tidak. Toh, suguhan Sashimi Jail House sudah memberi warna tersendiri. Belum lagi, pesta beginian belum tentu kejadian sekali dalam sebulan. Ada-ada saja. 


(18) Sashimi Boy
SEX-TAINMENT for women. Why not? Seperti apa kira-kira bentuknya? Sedahsyat sex-tainment for men, atau malah sebaliknya? 
Sex-tainment for women adalah salah satu tema yang kini tengah menggeliat di Jakarta. Seiring dengan maraknya bisnis hiburan— terutama yang berjualan seks untuk kaum laki-laki, entah itu melalui media karaoke, spa, sauna, kelab, dan tempat pijat—menu seks yang diperuntukkan untuk kaum perempun pun mulai bermunculan. 
Tak banyak memang jika dibandingkan dengan industri sextainment for men. Jika dipersentase bisa-bisa 90:10. Artinya, prostitusi dengan objek perempuan jumlahnya mencapai 90%, sementara yang melibatkan objek laki-laki hanya 10%-nya. 
Toh, perbandingan yang cukup tajam itu tidak berpengaruh banyak pada soal menu yang disajikan. Dalam hal ini, menu seks untuk kaum perempuan punya kemasan yang tak kalah gokilnya. Pernah mendengar sashimi boy? Itu hanya salah satunya. Apakah pernah juga mendengar soal stripper laki-laki golongan VIP atau "gigolo" dari Afghanistan dan Afrika? Oh, satu lagi yang tak kalah menariknya, yakni pelayanan seks waxing dengan tenaga pria yang OK punya. Maksudnya, OK secara body, wajah, penampilan, dan ke-bersihan. 
Well, untuk urusan yang satu ini, rasanya rada impossible kalau saya lakukan sendiri. Alasannya bisa seribu satu macam, tetapi yang paling utama tentu saja karena saya mesti masuk wilayah industri seks untuk perempuan. Menyamar jadi perempuan, rasa-rasanya saya nggak bisa. Kalau pun bisa, ujung-ujungnya pasti bakal ketahuan. Ya, iyalah, jenggot saya mau dikemanain?? 
Makanya, pilihan paling mungkin adalah pertama, memanfaatkan semua link yang saya punya. Mulai manager, PR (public relation), GRO (Guest Relation Officer) yang bekerja di sejumlah tempat hiburan seperti kafe, karaoke, dan nite-club, tamu-tamu reguler, baik laki-laki maupun perempuan sampai objeknya langsung. Dalam hal ini, laki-laki yang berprofesi sebagai penghibur untuk perempuan.
Kedua, beruntung sekali saya mengenal baik beberapa komunitas perempuan yang biasa terlibat dalam private party, dari yang mengatasnamakan kelompok arisan, kelompok clubber sampai kelompok party animal alias kelompok tiada hari tanpa pesta. 
Kelompok party animal inilah yang banyak memberikan masukan, informasi dan tentu saja, undangan, ketika ada acara-acara seru. Tak jarang, beberapa orang dari mereka malah menjadi event organizer (EO) sejumlah private party, mulai dari bachelor, ulang tahun, farewell sampai party for fun, only. 
Ketiga, rajin berkomunikasi alias berperes-peres ria dengan para mami dan papi. Itu tuh, mereka yang bertugas sebagai koordinator atau broker para weice-wiece alias cewek-cewek dan laki-laki penghibur, baik yang menetap di sebuah tempat hiburan malam atau yang bekerja secara freelance. 
Sashimi Boy
JULIA, sebut saja begitu namanya. Perempuan berusia 29 tahun yang sehari-hari bekerja sebagai project manager di sebuah perusahaan konsultan ini, sudah terbiasa dengan urusan meng-entertain klien.
Artinya, urusan entertain yang kaitannya erat dengan urusan senangsenang di wilayah XXX Rated.
Menghadapi klien laki-laki yang biasanya selalu minta bonus entertainment dalam rangka golnya sebuah proyek, Julia tak perlu pusing. Maklum, ia cukup punya link untuk mewadahi urusan dan kepentingan bisnisnya. Dari kontak sejumlah germo, tempat-tempat berwisata cinta unruk laki-laki sampai agen yang mengoleksi gadis-gadis siap "booking', ia telah mengantonginya. Namun, entah bagaimana ceritanya, tiba-tiba Julia harus bertemu dengan klien perempuan dan tak disangka juga menginginkan "entertain" yang berbau sensualitas. 
Secara tak sengaja, saya bertemu Julia di sebuah kafe di Kawasan Kemang. Hampir tiga tahun saya mengenal Julia. Biasalah, meskipun kerja kantoran, Julia tak melewatkan ajang dugem untuk menghilangkan rasa jenuhnya. Julia menceritakan uneg-unegnya. Intinya, ia lagi pusing karena belum menemukan cara untuk memenuhi keinginan klien perempuannya yang menginginkan "laki-laki" penghibur. Boro-boro berpikir tentang menu yang mau ia berikan, mencari kontak person yang bisa "meng-handle" masalahnya saja, ia belum ketemu.
"Kasih sashimi boy aja," usul saya secara spontan. Padahal, saya juga baru sebatas "denger-denger doang". Melihat dengan mata kepala sendiri, saya juga belum pernah melakukannya. 
"Masalahnya, di mana nyarinya?" tanya Julia.
Ah, benar juga pertanyaan Julia. Di mana mencarinya? Hitunghitung membantu Julia, saya coba menghubungi Papi Eri yang selama ini saya ketahui punya koleksi anak didik yang bertugas sebagai sashimi girl di beberapa kelab malam. Papi Eri juga menyalurkan anak didiknya untuk acara-acara tertentu yang bersifat "private booking . 
Sebagai papi sashimi girl, mestinya Papi Eri rahu juga soal sashimi boy, begitu pikir saya. Dan ternyata, dugaan saya tidak salah. Selain mengkoordinir beberapa gadis sashimi girl, Paki Eri juga punya stok sashimi boy yang setiap saat bisa "di-calling" sesuai perjanjian. 
Sashimi girl, mungkin sudah biasa buat laki-laki yang kerap menghabiskan sebagian waktunya untuk pelesir malam. Tapi sashimi hoy, bisa jadi hiburan yang luar biasa buat perempuan yang menginginkan extra-entertainment. Bisa dalam rangka bersenangbersenang bersama teman, bisa juga karena keperluan bisnis. Seperti halnya Julia yang mengorder sashimi boy untuk "entertain" klien. 
Berbeda dengan sashimi girl yang dalam praktiknya disediakan tempat display tersendiri di sejumlah kelab, maka sashimi boy lebih banyak mengandalkan transaksi a la "booking call'.
Pantas, menurut Papi Eri, jika membutuhkan sashimi boy, sebutkan dulu tipe yang diinginkan klien seperti apa—mulai dari umur, warna kulit, tinggi dan lain-lain—lalu berapa orang, di mana tempat pestanya, tanggal, pukul berapa, dan sebagainya. 
Itu pun dengan satu syarat, "booking call' harus dilakukan minimal satu hari sebelumnya.
"Bukan apa-apa, kalo dadakan, takutnya stok yang ada terbatas. Ntar nggak sesuai dengan kemauan klien," tukas Papi Eri. 
Untuk urusan tempat, Papi Eri menyerahkan-nya pada klien. Artinya, tempat bisa di mana saja. Hotel, apartemen, rumah pribadi, atau ruang karaoke.
"Tapi kalo mau aman dan nggak repot, sewa ruang karaoke atau kamar hotel saja," usul Papi Eri.
Sehari-hari, Papi Eri bekerja di sebuah kelab malam berinisial TC di Kawasan Roxy, Jakarta Barat. Di tempatnya bekerja itu, Papi Eri menjadi "koordinator" gadis-gadis lokal yang setiap harinya, dari pukul 13.00 WIB
- 01.00 WIB dini hari (last order) bertugas menanti tamu laki-laki yang ingin mendapatkan kehangatan cinta one short time. 
Meskipun bekerja di TC, tak mengurangi aktivitas Papi Eri untuk melebarkan sayapnya menjadi "agen" sashimi girl. Toh, kata Papi Eri, apa yang ia lakukan sekarang ini lebih tepatnya "sambil menyelam minum air". Pertama, di tempatnya bekerja, ia bisa bertemu tamu-tamu potensial yang bisa dimanfaatkan sebagai klien. Kedua, ia bisa mengikuti perkembangan terbaru di bisnis prostitusi, terutama soal menu dan kemasan, dan ketiga ia bisa menyalurkan beberapa orang "anakdidiknya" ke tempat ia bekerja sekarang ink 
Finally.
Sesuai kesepakatan, Julia akhirnya mem-booking dua orang sashimi boy untuk klien perempuannya. Biar nggak salah pilih, Julia mengadakan janji temu dengan Papi Eri di sebuah kafe di mal Pondok Indah 1.
Untuk itu, Julia rela mengganti uang transportasi dan mentraktir makan siang. Mau nggak mau, saya pun "dipaksa" ikut oleh Julia. 
Papi Eri membawa serta dua orang sashimi boy yang dipesan Julia. Masing-masing berumur 24 tahun dan 26 tahun. Siang itu, mereka berdandan kasual dan terlihat santai bercakap-cakap dengan Julia. 
Julia cukup puas dengan "pesanannya". Seti-daknya, apa yang ia order ke Papi Eri, tidak meleset jauh. Dengan tinggi badan rata-rata di atas 170 cm, berkulit putih bersih, dan yang paling penting, bertampang cukup ganteng untuk ukuran laki-laki. Itu yang membuat Julia tak berpikir ulang untuk mengganti "pesanannya". 
"More than enough," bisiknya ke telinga saya.
Done!
Besok malamnya, usai melakukan afternoon tea di sebuah kafe di Plaza Indonesia, Julia bersama klien perempuannya, Retno, sebut saja begitu, meluncur ke arah Kota, Jakarta Barat. 
Saya? Well, Julia lagi-lagi memaksa saya untuk turut serta. Nggak penting saya harus ngapain sesampainya di lokasi, kata Julia, pokoknya saya harus ikut menemaninya. Karena terus memaksa, saya pun mengiyakan. Daripada ribet mencari alasan untuk menolak, ya mending saya setuju saja. Hitung-hitung mencari petualangan dan informasi baru. 
Tempat yang dipilih Julia adalah sebuah karaoke di kelab berinisial KS di kawasan Beos, Jakarta Barat. Agak jauh memang, tetapi Julia mengantisipasi kalau sewaktu-waktu kliennya tidak suka dengan menu sashimi boy, ia bisa meng-gantinya dengan menu yang lain. Dan menu itu bisa ia temukan di kelab KS. Lagi pula, rumah kliennya berada di sekitar Menteng, jadi jaraknya tidak terlalu jauh dari lokasi. 
Julia memesan ruangan VIP yang berkapasi-tas sepuluh sampai lima belas orang. Julia ditemani seorang stafnya dan saya tentunya, sementara Retno didampingi dua rekan perempuannya. Ruang karaoke itu berada di lantai dua. Sekitar pukul 20.00 WIB, Julia dkk sampai di tempat. Ia memesan dua botol red wine, makanan kecil, dan buahbuahan segar. Julia juga tak lupa memesan tiga paket sashimi pada pramusaji.
Ditemani seorang pria berumur sekitar 40 tahunan yang menjadi asisten Papi Eri, dua orang sashimi boy itu datang sesuai jadwal yang dijanjikan. Sekitar pukul 20.30 WIB, mereka masuk ke ruang VIP dengan diantar seorang pramusaji perempuan. 
Skenarionya cukup sederhana. Dua orang sashimi boy itu datang layaknya tamu kebanyakan. Mereka masing-masing membawa sebuah tas. Setelah cukup berbasa-basi barang sejenak, dan tiga paket sashimi sudah terhidang di meja, mereka bersiap-siap untuk melakukan pertunjukan. 
Asisten Papi Eri menyilakan Julia memilih asesori yang diinginkan. Dua tas yang dibawa sashimi boy itu ternyata berisi berbagai macam perlengkapan untuk "show". Di dalamnya ada beberapa buah underwear dengan motif yang berbeda, ada juga beberapa macam topeng untuk menutupi sebagian wajah yang terbuat dari bahan kulit. Yang cukup mengejutkan, di dalam tas itu juga ada aneka macam kondom, seperti "glow in the dark" dan "bulu mata kucing".
"Up to you, Ma'am Mereka mau disuruh
pake underwear atau kondom. Dua-duanya juga boleh," jelas asisten Papi Eri.
Julia terlihat berbincang sebentar dengan kliennya, Retno. Entah karena alasan apa, akhirnya Julia meminta para sashimi boy untuk mengenakan topeng, underwear, dan kondom "glow in the dark". 
That's it!
Dua orang sashimi boy telah masuk ke kamar mandi untuk berbenah dan bersiap-siap melakukan tugasnya.
"For women only" bisik Julia ke telinga saya. Yes, saya juga sadar itu. Sedari tadi, saya juga tak begitu nyaman berada di ruang VIP. Apalagi, hiburannya "sashimi boy" yang memang untuk perempuan. Alhasil, dengan ditemani asisten Papi Eri, saya ke luar ruangan dan menghabiskan waktu di bar yang berada di lantai dasar. Lumayan, di sini ada "live performance" yang menampilkan para sexy dancer. (Perempuan, lho...bukan penari laki-laki). 
2 Men, 1 Lady
SATU jam berlalu. Julia mengirim SMS ke HP saya untuk kembali ke ruang karaoke. Show sudah selesai, tulisnya. 
"Seru nggak?" tanya saya ke Julia begitu sampai di ruangan dan duduk di samping Julia.
"Seru. Lumayan buat lucu-lucuan," canda Julia.
"Maksudnya?"
Menurut Julia, klien-nya sebenarnya hanya penasaran dengan menu Sashimi boy. Setelah dua orang sashimi boy telentang di atas meja dan membiarkan sekujur tubuh mereka ditaburi daging sushi, Retno— klien Julia—dan dua teman perempuannya, malah merasa geli dan bingung harus "ngapain."
"Untung ada wine dan tequila" tukas Julia. 
Ooo....
Sejenak saya melihat ke meja. Setidaknya ada lima botol wine yang sudah terbuka tutupnya dan beberapa buah gelas tequila berserakan. Maksud Julia, dengan bantuan minuman itu para klien-nya jadi berani menyantap sushi yang ada di tubuh sashimi boy. 
"Mereka udah tipsy kayaknya," kata Julia, pelan. 
Justru karena tipsy, Retno malah mengingin-kan pertunjukan lain yang lebih menghibur dan atraktif. Julia sudah mengantisipasi hal ini akan terjadi. Makanya, pilihan untuk pergi ke kelab KS tidaklah salah. 
"Gue udah pesan tiga stripper. Dua cowok, satu cewek," katanya. 
Dua orang sashimi boy yang barusan bertugas, kini sudah bergabung di ruangan. Mereka duduk bersebelahan dengan asisten Papi Eri. Julia meminta mereka untuk tinggal sejenak. Paling tidak, dengan kehadiran mereka, pesta jadi lebih ramai dan semarak.
Dua stripper cowok dan satu stripper cewek itu pun datang. Tanpa banyak basa-basi, mereka langsung ke kamar mandi untuk berganti pakaian. Kalau hiburan yang satu ini, saya sudah tak begitu asing. Di beberapa karaoke yang ada di Jakarta, lady-stripper memang jadi menu langganan yang mungkin bagi sebagian orang sudah terlalu biasa. Nah, baru menjadi spesial jika dikombinasikan dengan stripper laki-laki. Jadilah, couple stripper. Ini mungkin yang sering diklaim banyak orang bahwa entertainment di malam hari, khususnya Jakarta, memang tak pernah mati dari inovasi. Selalu saja ada yang baru. Barang lama "dikemas" menjadi barang baru yang punya nilai jual cukup tinggi. 
Dan malam itu, Julia justru memesan dua stripper cowok dengan satu stripper cewek. Lengkap sudah "entertain" yang ia berikan untuk klien-nya.
"Habis berapa, Say?" tanya saya.
"Sashimi boy, Rp 5 juta. Stripper-nya habis Rp 4,5 juta. Itu belum termasuk tip lho...," tukas Julia, "tapi it's OK lah... yang penting, proyeknya gol," imbuhnya sambil menyeruput segelas red wine. 
Note # 1: Uncut Waxing
LAIN sashimi boy, lain lagi Uncut Waxing. Menu yang satu ini sebenarnya tidak jauh dengan waxing bikini area yang biasa dilakukan oleh banyak perempuan. Hanya saja, urusannya jadi lain ketika waxingnya menggunakan tenaga laki-laki "handsome". Ini yang juga menjadi salah satu sex-tainment for women di Jakarta, saat ini. Meskipun belum banyak, tetapi beberapa salon dan kelab kebugaran khusus wanita, mulai mempratikkan layanan kemanjaan penuh aroma sensualitas dan seksualitas itu.
Sebut saja misalnya salon "rumahan" ber-inisial BS di seputaran Pondok Indah, Jakarta Selatan atau kelab kebugaran khusus wanita bernama SR di sekitar Cikini, Jakatta Pusat. Atau yang paling populer belakangan ini adalah salon SE di wilayah Kebayoran Baru. 
Sex-tainment for women yang menggunakan label salon atau tempat kebugaran, tampaknya juga menjadi incaran bagi sejumlah pebisnis untuk metaup keuntungan betlipat. Maklum, persaingan bisnis salon yang melulu menjual jasa perawatan "dalam arti sebenamya" begitu membanjir. Mungkin faktor inilah yang membuat beberapa pebisnis mulai menambahkan menu plus-plus. Salah satunya, sex-waxing.
Note # 2 :
From Afghanistan with love
GIGOLO atau dalam bahasa "jadul"-nya Lola alias "lonte lanang" adalah satu salah menu sex-tainment for women yang dari dulu sampai sekarang ada di Jakarta. Ini bukan isu baru sebenarnya. Contoh paling santer adalah gigolo on the street yang banyak mangkal di kawasan Lapangan Banteng, Jakarta Pusat. Selain mencari tamu perempuan yang butuh kehangatan, beberapa di antaranya juga mencari mangsa laki-laki. 
Dalam perkembangannya, gigolo impor pun mulai muncul di Jakarta. Contohnya, gigolo dari Afghanistan dan Afrika. Hanya saja, mereka ini tidak mangkal layaknya gadis-gadis penghibur yang didatangkan dari Rusia, Uzbekistan, Turki, Cina, Thailand, Manchuria, ataupun Amerika Latin. Selama menjalankan operasinya, sebagian besar mengandalkan jalur "booking call' melalui sejumlah germo atau broker. Kalau tidak, mereka mencari tempat-tempat nongkrong yang strategis untuk menjaring tamu. Misalnya, mengunjungi beberapa kafe atau lounge yang sering dikunjungi para wanita pekerja kantoran dan kelompok TG alias tante-tante girang. Sebut saja TH yang berada di sebuah hotel berbintang di kawasan Jalan Sudirman, atau mengunjungi sejumlah kafe yang sering dijadikan ajang kongkow para "bule". Coba saja berkeliling di sekitar kawasan Wahid Hasyim atau di Jalan Jaksa, Jakarta Pusat. 
Note # 3: Stripper Laki-laki
DALAM pesta-pesta tertentu, terutama yang melibatkan komunitas perempuan, entah itu dalam rangka bachelor, arisan ataupun ulang tahun, stripper laki-laki banyak dijadikan sebagai maskot "penghibur". Untuk kasus yang satu ini, fakta yang saya temukan di lapangan, rasarasanya banyak "banget". Hanya saja, jika sebelumnya kehadiran stripper laki-laki itu lebih banyak dimanfaatkan dalam private party, maka kini mereka mulai berani ditampilkan ke publik. Meski tidak dibeti tempat untuk ber-"display", rata-rata tempat hiburan yang menyuguhkan tontonan stripper perempuan, juga menyediakan stripper laki-laki. Sebut saja karaoke CI di Hayam Wuruk, AS di Ancol, NZ, dan SD di Thamrin, ME dan LC di kawasan Krekot, dan VL di Gunung Sahari.
Bedanya, para stripper laki-laki ini—khu-susnya lokal—terbagi dalam beberapa kelas. Ada yang biasa, menengah, dan VIP. Untuk kelas biasa dan menengah, tak perlu susah mencarinya. Karena kontak mereka ada pada para koordinator stripper yang mangkal di sejumlah tempat hiburan. Tinggal sebut saja ciri-ciri yang dikehendaki. Mau yang berbadan tegap dan berotot yang mampu mengangkat dua gadis sekaligus, tinggal panggil stripper yang biasa merawat tubuhnya di gym. Mau yang berbadan biasa tapi punya tarian mematikan, itu juga tersedia.
Nah, khusus kelas elit, dengan brandrol Rp 3 juta ke atas untuk sekali show, hanya beberapa "germo" saja yang pegang kendali. Maklum, mereka ini kebanyakan dari kalangan model atau setidaknya, punya wajah, badan, penampilan layaknya seorang model. Jadi, dengan brandrol Rp. 3 juta ke atas itu, pelanggan dijamin "puas". Biasanya, para koordinator stripper yang bekerja di kelab-kelab executive punya akses ke mereka. Kalau tidak, para EO yang biasa menggarap acara-acara dengan tema XXX Rated, dijamin punya nomor telepon mereka. 
WARNING !!! 
Hati-hati dan waspada dengan iklan yang ada di sejumlah media cetak. Bukan rahasia lagi, banyak gigolo dan tenaga pemijat laki-laki yang berpromosi di media. Biasanya, dengan tarif yang lumayan murah, antara Rp. 200 ribu - Rp. 1 juta. Tak semuanya, iklan-iklan sesuai dengan apa yang ditawarkan. Ada juga yang menjadikannya sebagai kedok untuk tujuan-tujuan tertentu. Be Worry, So, baru hepi! 



Tidak ada komentar:

Posting Komentar