Jumat, 19 Juli 2013

Jakarta Undercover #3 (Forbidden City 2)


(3)
QUICKY SEX PARTY
SWINGING sex!!! Banyak orang yang heboh gara-gara aktivitas seksual yang satu ini. Seks tukar pasangan, barter suami-istri dengan menggelar acara gila-gilaan. Temanya pun macam-macam. Ada yang melewati permainan tukar kunci, ada yang menggunakan atraksi "petak umpet" sampai mengundi nomor pasangan a la arisan ibu-ibu. 
Percaya nggak percaya, itu terserah Anda. Tapi kalau melihat tren belakangan, maraknya "club-swinging", entah dalam skala besar dan kecil, tak luput membuat pemberitaan jadi makin heboh. Dengan semangatnya, orang-orang bergosip ten-tang swinging sex meskipun pada kenyataannya, banyak yang cuma denger-denger doang. Soal praktik, entar dulu. Yang penting, gosipnya dulu saja. Cerita soal swinging sex, mungkin tak kalah serunya dengan berita infotainment yang mengupas habis-habisan tentang kasus kawin-cerai para selebriti yang setiap hari selalu jadi bead-line. Aduh, saya jadi pusing sendiri kalau lagi nonton di depan TV. Tiada hari tanpa gosip. Dalam sehari, saya bisa dijejali tayangan serupa, lima sampai sepuluh kali di stasiun TV berbeda. Ck.. ck.. .ck...hebat ya! 
Cerita yang sama juga terjadi di dunia malam. Setiap hari, temanya tidak jauh dari urusan seks dan seks, party dan party. Salah satu tema hebohnya, ya itu tadi swinging sex. Karena penasaran dengan isu terbarunya, iseng-iseng saya telepon reman lama, Beni—sebut saja begitu, yang pernah jadi salah satu member "club swinging'. Sudah hampir lima bulan ini saya tidak bertemu dengan Beni. Terakhir kali ketemu, saya diajak ke sebuah party gila yang dibikin di rumahnya, di kawasan Permata Hijau. Waktu itu, saya berpikir cuma pesta biasa. Nggak tahunya, Beni membuat party di kolam renangnya. 
Swinging "Basah-basah" 
RASA penasaran saya bertambah ketika mengetahui tamu undangan yang datang, jumlahnya tak lebih dari dua puluh orang. Cowok-cewek. Saya juga nggak tahu persis, apa mereka sengaja datang dengan berpasangan-pasangan. Saya tahunya dapat undangan dan datang bawa badan. 
Di kolam renang itu, sudah disiapkan aneka makanan dan minuman yang diletakkan di sebuah meja panjang. Tidak ada bartender atau pelayan. Semua self service! Seorang DJ, memainkan lagu-lagu disko. Singkat cerita, pool-party yang awal-nya berjalan smooth itu berubah jadi ajang tukar pasangan. Bentuk permainannya sederhana, ma-sing-masing tamu laki-laki dipersilakan menebak warna CD alias underwear yang dipakai pasangan perempuan dan sebaliknya. Begiru pasangan laki-laki menebak, saat itu juga pasangan perempuan akan memperrontonkan CD yang dikenakannya. Kalau cocok, berarti mereka bisa "dikawinkan" saat itu juga. Tinggal masuk ke kamar yang sudah disediakan, dan done\ 
Tempat eksekusi tidak melulu di kamar. Ada juga beberapa tamu yang memanfaatkan kursi di pinggir kolam sebagai tempat untuk bermesraan. Bahkan, ada juga pasangan yang langsung nyebur kc kolam renang dengan baju masih melekat di badan. Ngapain? Ya apalagi kalau tidak bercinta dan bercumbu.
"Ini party swinging kelas dua," jelas Beni. Maksudnya, karena pasangan yang datang bukan suami-istri, makanya pesta swinging-nya. masuk kategori nomor dua. 
"Di Jakarta, club swinging-nya kebanyakan bukan pasangan suamiistri betulan, tetapi pasangan jadi-jadian," jelas Beni. 
"Maksud elo?"
"Ya, bisa pacar, selingkuhan atau, memang dengan sengaja di-booking untuk dibawa ke pesta swinging. Begitu lho, Brur..!!!" imbuh Beni dengan fasih. 
Sejak dari pesta di rumahnya itu, saya hanya kontak via handphone saja. Sekedar say hello atau berha-ha-ha-hi-hi-hi, kali saja ada pesta lebih edan lagi yang dibikin Beni. Bukan kabar pesta yang saya dapat, tetapi malah soal Beni yang lagi kasmaran. Ternyata, Beni yang sehari-hari mengelola usaha bisnis peti kemas itu, sedang kesengsem sama seorang pramugari. Pantas, dia lebih banyak menghilang dari peredaran dunia malam. Laki-laki manapun kalau lagi jatuh cinta, susah memang. Bisa berubah 180 derajat dalam hitungan detik. Buktinya, Beni yang biasanya begitu doyan dengan party-party gila itu, langsung jadi "anak manis". Rada nggak masuk akal, tetapi apa mau dikata kalau kenyataannya selama hampir empat bulan, Beni menghilang dari peredaran. Urusan sehari-harinya berubah jadi sibuk mengurusi pekerjaan dan perempuannya. 
Beruntung pas saya telepon sore itu, ada kabar baik. Beni sudah putus dari cewek pramugarinya. Berita ini tentu saja tidak pernah saya duga sebelumnya. Rasa-rasanya impossible saja. Tidak menunggu lebih lama, sehari setelah saya telepon, besok sorenya Beni langsung mengundang saya pergi ke rumahnya.
"Ada pesta apa lagi?" tanya saya di telepon. 
"Nggak ada apa-apa, elo dateng aja. Sudah lama nggak ketemu elo. Gue mau curhat."
What? Laki-laki seperti Beni kenal juga yang namanya curhat. Mungkin inilah teka-teki kehidupan. Sehebat apa pun laki-laki kalau sudah bertemu perempuan, pasti bertekuk lutut juga. Buktinya, begitu sore itu saya sampai di rumah Beni, cerita tentang hubungannya dengan cewek pramugarinya menjadi bahan obrolan yang tidak ada putusputusnya.
"Gue kapok jatuh cinta!" keluh Beni.
"Kan dari dulu gue bilang, jangan pernah pake hati, pake body aja. Nggak ada risiko, paling duit doang yang abis," timpal saya. 
"Sudahlah. Daripada pusing, kita gila-gilaan lagi aja yuk?!" ajak Beni.
"Kenapa nggak elo undang saja temen-temen party di sini?" usul saya.
Untuk sejenak, Beni mengerutkan kening. Lucu juga kali ye, sore-sore party di rumah. Meneguk alkohol ditemani cewek-cewek cakep yang cuma mengenakan baju dalam. Waduh, kok pikiran saya jadi ngelantur ke mana-mana.
"Gue lagi males. Kita jalan aja deh. Ntar gue telepon si Gendut sama si Ray." 
"Atur aja deh. Gue ngikut saja. Jadi kita nakal lagi nih?" ledek saya sambil menahan senyum.
"Habis mau gimana lagi. Jomblo. Patah hati pula," jawab Beni sekenanya. Comeback lagi nih ceritanya. Beni yang dulu, telah kembali lagi. Cepat sekali ya perubahannya. 
Quicky Sex Party 
SEKITAR pukul delapan lewat lima belas menit, saya dan Beni meluncur ke arah Thamrin lalu masuk ke Jalan Hayam Wuruk. Begitu sampai di kawasan Glodok, mobil yang dikendarai Beni mengambil arah memutar. Di tengah perjalanan, Beni menghubungi dua temannya, Gendut dan Ray untuk bergabung. 
Hanya butuh waktu tak kurang dari 45 menit untuk sampai di lokasi. Setelah melewati bangunan ruko yang diapit beberapa tempat hiburan malam, saya dan Beni akhirnya sampai di tempat. Di depan sebuah bangunan besar bertuliskan CN, kami berhenti. Seorang petugas valet langsung mengurus mobil kami. 
"Kita mau ngapain? Gue ogah kalo joget-joget di dancefloor," kata saya.
"Terserah lo, Brur. Di sini semua juga ada. 
Mau karaoke ada, mau mijit plus sauna juga ada. Mau joget sampai bego, juga bisa. Tinggal pilih yang lo suka," jawab Beni. 
"Enaknya ngapain?"
"Karaoke dulu aja kali. Kalo bosen, baru kita mijit-mijit. Seru nggak?"
"Gue setuju. Serunya kita bisa nyanyi-nyanyi ditemenin cewek cakep."
Kami mengambil ruangan tipe eksekutif. Ya cukuplah untuk menampung lima hingga sepuluh orang. Lagi pula, buat apa juga pesan kamar tipe suite, kalau kita cuma berempat. Sama seperti interior karaoke kebanyakan, di dalam ruangan ada sofa panjang warna hitam di bagian tengah, dua TV 29 inci, satu kamar mandi, dan meja makan. Di ruangan ada satu pintu belakang yang menuju balkon. Dari balkon inilah, saya bisa melihat ratusan orang tengah larut dalam suasana pesta. Musik berdebam, mengalun tanpa henti. Ratusan orang berjingkrak kegirangan. 
Tak lama, setelah para pelayan menyiapkan beberapa botol minuman di atas meja, dua orang teman Beni, Gendut dan Ray, datang secara bersamaan. Saya sudah kenal dengan mereka meski tidak begitu dekat. Di setiap acara party yang dibikin Beni, dua orang itu pasti selalu ada. Biasalah, namanya juga satu geng, kalau jalan seringkali barengbareng. Kalau kata orang laki-laki itu seperti gerombolan domba, mungkin ada benarnya juga. Nonton bola, nongkrong di kafe, karaoke, bahkan sauna pun mesti rame-rame.
"Mau ditemenin LC lokal atau cewek Mandarin?" kata Mami Reni yang in-charge di ruangan kami.
Untuk beberapa saat lamanya, kami saling beradu pandang. Gendut dan Ray menyerahkan pada Beni untuk mengambil keputusan. 
"Bener, nih, gue yang milih?"
"Kan selera lo selalu pas buat kita-kita. Gue percaya deh," jawab Gendut yang sibuk mengu-nyah sandwich tuna. 
"Kalo gue kebetulan lagi bosen ama yang impor-impor. Back to nature aja deh. Yang lokal-lokal seru juga kali ya...," usul Beni. 
Sesuatu yang sudah jadi kebiasaan, seringkali membuat kita jadi bosan. Bayangkan saja kalau setiap hari kita makan sayur asem, huh, lama-lama jadi muak juga. Sayur lodeh, kemudian, menjadi sesuatu yang paling kita inginkan. Sama halnya seperti Beni. Ketika pekerja seks asal Mandarin atau Uzbekiskan booming dan ngetren di sejumlah tempat hiburan malam di Jakarta, dia menjadi salah satu pelanggan setia. Dari cuma sekadar karaoke yang berlanjut pada kencan short-time di kamar pribadi, sampai mem-booking mereka dalam pesta-pesta seks. Setelah jenuh berpetualang dengan yang impor-impor, ujung-ujungnya kembali ke lokal. Ini mungkin yang disebut siklus selera. Manusiawi banget! Kok saya jadi ngelantur ya?
Hush...stop! Kembali ke soal party. Mami Reni membawa sedikitnya sepuluh orang LC (lady companion) untuk berkontes. Setelah lebih dulu berkenalan satu per satu, mereka berdiri berjajar di depan kami.
Merry, Vera, Laura, Nanda, Wenny, dan Lala adalah nama-nama yang akhirnya terpilih menjadi teman kencan kami. Kok jadinya enam orang? Itulah seninya, kilah Beni. Kalau party 1 vs 1, apanya yang menarik? Konvensional dan tidak ada seninya. Standar. So...typical! 
Standar umumnya, satu LC berarti dihitung satu voucher senilai Rp 400 ribu. Biasanya itu berlaku untuk tiga jam. Selebihnya, tamu "dipaksa-maklum" untuk memberikan tip segede-gedenya. Tapi lantaran Beni tidak mau terikat waktu, dia memilih untuk mcmbooking mereka a la over-time. Itu berarti selain mendapatkan satu voucher senilai Rp 400 ribu, mereka juga mendapatkan uang lebih sebesar Rp 1,7 juta. Dan itu berarti, tamu yang membooking "bebas" melakukan apa saja. Mulai dari "cumi-cumi" (maksudnya cium-cium), lapdance sampai having-sex. Sebagian tamu yang nggak ngerti, pasti beranggapan kalau "over-time booked" itu cuma bisa dilakukan di kamar tidur. Padahal kenyataannya, itu bisa dilakukan di mana saja. Toilet, dancefloor, ataupun sofa. Tapi tentunya dengan satu syarat: mau sama mau. Biasanya biar kesepakatan terjadi dan sama-sama enak, tamu mesti "mau" memberikan tip dalam jumlah besar. Jadi, selain harga OP Rp 1,7 juta itu, ada lagi tip yang mesti disiapkan oleh tamu.
Kalau mau aman, sebut saja angka tip di depan, misalnya, Rp 1 juta atau Rp 2 juta per orang sebagai jaminan. Mahal sih, tetapi namanya juga pesta seks di tempat ekslusif, mana ada yang murah. 
Pesta tanpa amunisi, pastinya tidak berse-mangat. Kalau di kalangan triper, amunisi itu pastinya "ce-ce" alias ekstasi. Tapi bagi sebagian anak malam, amanusinya ya alkohol. Sudah ada dua botol Martel, satu Jack Daniels, satu Red-Label, sepuluh kaleng Green Tea, dan lima kaleng Coca Cola terhidang di meja. Terbukti, amunisi itu menambah suasana pesta jadi semakin panas dari menit ke menit.
Berawal dari sesi "cumi-cumi" sampai ak-hirnya masuk sesi "kebrutalan dan keliaran". Yang terjadi adalah swinging partner. Aktivitas utama-nya: quicky sex. Di atas sofa, di bawah penerangan lampu temaram, keenam LC itu secara bergantian menyuguhkan segala bentuk pelayanan seksual. Oral-sex, lap dance sex, petting, licking, lips kissing, sampai full body contact. Lucunya, tak satu pun dari keenam LC itu yang melepaskan bajunya. Paling-paling, dalam beberapa kesempatan mereka membiarkan bagian dada terbuka. Namun yang pasti, baju mereka sudah nggak karu-karuan. Rok tersingkap dan bra jatuh ke lantai. Tisu bertebaran di mana-mana.
Suara tawa bercampur teriakan-teriakan kecil menjadi irama yang beradu dengan musik disko. Ini main-main apa seriusan? Atau ini pekerjaan serius tapi harus dilakukan dengan cara main-main. Sepertinya yang terakhir lebih pas. Seks yang terjadi penuh dengan permainan quicky swinging. Barter pasangan mewarnai adegan demi adegan selama hampir satu jam lebih.
Beni, Gendut, dan Ray secara bergiliran mendapatkan segala bentuk kegilaan Merry, Lala, Laura, Wenny, Nanda, dan Vera. Saya hanya ge-leng-geleng kepala. Habisnya, tidak menyangka saja kalau keenam gadis yang rata-rata berumur tak lebih dari 21 tahun dan datang dari daerah itu bisa berbuat segila itu. Sangat professional, tak kalah dengan cewek-cewek impor, entah itu yang datang dari Rusia, Vietnam, Cina, Kolombia, bahkan Thailand sekalipun. 
Selepas pesta kemasygulan itu berakhir, keenam LC itu berbenah diri di kamar mandi. Mem-benahi baju, menyisir rambut, merapikan make-up di wajah mereka yang mulai pudar oleh keringat dan so pasti, menyemprotkan parfum di badan. 
Begitu keluar dari kamar mandi, mereka terlihat seperti semula. Tampil oke, wajah penuh pesona. Seperti tidak pernah terjadi apa-apa, mereka segera membaur bersama kami di sofa karaoke. Bernyanyi, bercanda, bermesraan tak ubahnya sepasang teman kencan, dan menghabiskan sisa minuman yang ada. Inilah tahapan after play yang begitu santai. 
"Kalau udah bosen, kita cabut yuk. Atau masih kurang? Gue tinggal pesen cewek lagi nih," tantang Beni.  
Ampun deje...matiin lampu dong! 
PS : Jangan lupa selalu sedia kondom di dompet. Coz, aktivitas seks bisa datang dan terjadi kapan saja. Safe sex is still number one dong!


(4) The Lapdancer
"TEQUILA single, dong!" 
Gadis itu duduk di kursi bar. Sebarang rokok Virginia Slim terselip di bibirnya yang memerah oleh lipstik. Rambumya yang panjang mengikal, dibiarkan tergerai menyentuh kaki-kaki kursi. 
"Biasa, nggak usah pake garem," sambung-nya. 
la terlihat begitu akrab dengan bartender. Beberapa pelayan yang melintas tersenyum pada-nya, begitu juga dengan sejumlah tamu lakilaki yang kebetulan berpa-pasan denganya.
Masih sama. Gadis itu—dua minggu lalu— juga memesan tequila. la juga duduk sendirian di bar. la begitu enjoy duduk di antara sekian tamu laki-laki yang memadati bar. 
Segelas tequila itu masuk ke mulutnya dengan sekali tenggak. la membasahi bibirnya dengan seiris jeruk untuk menghilangkan rasa pahit di kerongkongnya.
"Satu lagi dong!" 
Segelas tequila tanpa garam itu pun terhidang di depannya dalam hitungan menit. la tak langsung meminumnya. Sejenak, ia memutarmutar gelas shooter itu dengan jemarinya. Asap rokok mengepul dari bibirnya. Kali ini, ia menebarkan pandangan matanya pada kerumuman tamu yang asyik berjoget mengikuti hentakan lagu. Sebagian besar terdiri dari tamu laki-laki. Hanya ada beberapa tamu perempuan yang hadir malam itu. 
"Boleh saya gabung?"
Gadis itu menoleh dan tersenyum.
"Silakan!"
Saya duduk persis di sebelahnya.
"Viki!"
Ia mengenalkan namanya. Spontan, lugas dan tidak ada kesan canggung.
"Boleh saya traktir minum?"
Viki merapikan beberapa helai rambut yang menutupi sebagai wajahnya. Ia mengangguk. 
"Mau minum apa?"
"Tequila, plisss...," jawabnya singkat. 
Ini berarti sudah gelas ketiga. Sebagai tanda perkenalan, saya pun ikut memesan tequila. Sebuah perkenalan yang sangat singkat dengan obrolan ala kadarnya. 
Siapa dia? Itu yang jadi pertanyaan saya. Satu jam sebelumnya, saya menyaksikan aksi tarinya di atas bar. Bersama tiga penari laki-laki, Viki men-jadi ratu yang memesona. Ia terus bergerak atraktif dari menit ke menit. Lima menit pertama, ia menyerbu masuk di antara kerumunan tamu, lalu pada menit berikutnya tahu-tahu sudah berpindah ke atas bar. 
Tiga penari laki-laki yang hanya membalut tubuhnya dengan kain sejenis cawat itu, tak kalah-nya gesitnya. Mereka juga mempertontonkan ge-rakan-gerakan erotisnya. Sebagian besar tamu laki-laki yang hadir malam itu tampak begitu antusias menikmati wild-show yang digelar. 
Tema acara yang diselenggarakan di sebuah kelab berinisial TF di bilangan Kuningan-Jakarta malam itu memang gay nite. Uniknya, selain di-jadikan sebagai ajang berkumpulnya para gay, tetapi juga menarik perhatian komunitas lesbian dan beberapa tamu yang notabene heteroseksual. Oh ya satu lagi, yakni sekelompok tamu yang mungkin, sssttt...biseksual. 
Rata-rata, para tamu yang bergoyang di dancefloor tidak ada yang berpasang-pasangan dengan lawan jenis mereka. Yang ada hanya lakilaki berpasangan dengan laki-laki, dan perempuan berpasangan dengan perempuan. Beberapa tran-seksual juga terlihat di sana. TF memang terkenal sebagai rainbow club, tempat khusus untuk gay, lesbian, dan transgender, terutama untuk hari Kamis dan Sabtu. 
Kelompok tamu dengan kecenderungan seks berbeda inilah yang jadi bahan perhatian saya. Meskipun kelompok tamu homoseksual—gay dan lesbian—mendominasi di tiap sudut ruangan, tapi acara malam itu berlangsung meriah. Kaum gay dan lesbian "menyatu" bersama kaum hetero. Berjoget mengikuti lantunan musik DJ dan menikmati pertunjukan sexy-dancing tanpa malu-malu. 
Malam itu saya tidak sendirian. Saya bersama lima orang teman: tiga laki-laki dan dua perempuan. Kelima teman saya ini, sebenarnya datang karena didorong rasa ingin tahu. Misalnya, Susi yang dari awal "niat banget" ingin melihat aksi penari laki-laki yang rata-rata berdandan atletis itu. Saat pertunjukan tarian berlangsung, Susi tak segan merangsuk maju ke depan bar, mendekati salah seorang penari laki, dan...oh my gosh, dengan cueknya dua tangan Susi tahu-tahu menyentuh bagian perut penari laki-laki itu. Lalu, ia menyelipkan uang Rp 100 ribu ke dalam underwear. 
Di sudut yang lain, beberapa tamu yang ter-tarik dengan "goyangan" Viki, tak kalah banyak-nya. Ada tamu laki-laki yang sekadar ingin joget berdekatan, tetapi ada juga tamu perempuan yang menginginkan minum bareng Viki, dari mulut ke mulut. 
Dan kini, setelah tampil selama satu jam, Viki ada di sebelah saya. Berbeda, itu kesan pertama saya. Mengenakan celana jins dengan kaus tanpa lengan, Viki sepetti gadis-gadis gaul kebanyakan. Wajahnya tak lagi ber-make up tebal. Lipstik merah yang melukis dua bibirnya telah berganti dengan lipstik warna peach.
Interesting! Di mata saya, Viki seperti punya dua sisi kepribadian yang berbeda. Pertama, Viki sebagai penari yang begitu wild saat di atas panggung, dan kedua, Viki sebagai wanita ke-banyakan yang tampak sederhana, sopan, dan enak diajak bicara.
"Kok belum pulang, Vik? Lagi nunggu te-men?" 
Viki mengisap rokok Virginia Slim-nya, me-neguk segelas Illusion yang ada di depannya. Cocktail dengan warna hijau dan memiliki rasa manis tapi memabukkan itu rupanya kiriman dari salah seorang tamu. 
"Nggak. Lagi nunggu adikku," tukasnya. 
"Ooo...dijemput ama adikmu?" terka saya. 
"Ya, begitulah." 
Viki parnit pergi ke rest room. Lima menit kemudian, ia kembali ke bar. Selama hampir satu jam, saya menghabiskan waktu di bar bersama Viki. Ngobrol, minum, bercanda, tertawa, dan finally, bertukar nomor handphone. 
Dari perkenalan singkat itu, sedikit banyak saya mulai tahu siapa Viki. Gadis cantik berambut panjang itu rupanya baru berusia 22 rahun. Ia tinggal bersama dua adiknya di sebuah rumah kontrakan di bilanganTebet, Jakarta Selatan. Selain menekuni pekerjaan sehari-hari sebagai penari bar, ia juga punya kerjaan sampingan memberikan les private menari untuk ibu-ibu yang ingin belajar menari. Untuk pekerjaan sampingan ini, Viki langsung datang ke rumah "klien"-nya.
"Tertarik untuk les private?" tantang Viki. 
Saya tak berani menjawab. Akhirnya, Viki meninggalkan bar ketika adiknya datang. Saya kembali ke meja tempat teman-teman saya sedang asyik berpesta. 
Saya masih bisa melihat "aksi" Viki dan bertemu dengannya di tempat yang sama selama dua bulan berikutnya. Sayang, setelah itu ia tak tampak lagi. Konon kabarnya, ia telah berpindah ke sebuah kelab yang lebih elit dan ekslusif. 
CALL me Vikitra! Atau cukup dengan Viki saja. Itulah nama panggilanku. Tak banyak yang tahu namaku sebenarnya. Lagi pula, tamu hanya butuh tarianku, bukan namaku. Namaku hanya sebatas "tanda pengenal" saja, tak lebih. Lagi pula, di dunia yang aku geluti saat ini, dibutuhkan sebuah nama yang enak di telinga, gampang diingat, familiar, dan yang pasti: berbau perkotaan. Biar terkesan lebih bonafit dan nggak kampungan, katanya. Ya, sudahlah. Aku ikut saja, toh, buat aku itu juga menguntungkan. Orang cukup tahu Viki, bukan namaku yang sebenarnya.
Aku bukan pelacur. Itu hal pertama harus dicamkan oleh tamu yang mem-booking-ku. Bukan apa-apa, pekerjaanku memang bukan pelacur. Aku tidak mencari mangsaku di tempat tidur. Pekerjaan utamaku hanya membuat tamu terhibur dan senang agar tak bosanbosan merogoh uangnya dalam jumlah besar. 
Jauh di atas segalanya, aku dituntut memiliki keterampilan yang tidak saja menguras energi tapi juga memerlukan kemampuan beradaptasi dengan tamu yang punya kepribadian dan selera berbedabeda. Ada yang suka dimanja, dipuji, disanjung-sanjung. Ada juga yang sukanya "dilayani" tanpa banyak ngomong, dan Iain-lain. 
Dengan profesi pekerjaan yang aku jalani saat ini, tahu-tahu muncul beberapa gelar yang mengekor di belakang namaku. Aku sadar, ini memang risiko yang harus aku terima. 
"Escort girl?" Ehm.. biar saja kalau aku harus menyandang sebutan itu. Karena prinsipnya, pekerjaanku memang menghibur dan menyenangkan orang kok. Entah dengan satu tarian, atau bahkan cuma satu senyuman.
"Lady companion?" Bisa jadi. Pekerjaanku memang menemani tamu. Mulai dari menemani minum, ngobrol sampai memberikan tarian di depan mereka.
" Lapdancer?" Yup! Sebagian orang menyebut-ku begitu. Dan aku sadar, itu memang jadi bagian dari pekerjaanku. Ada kalanya tamu mengingin-kan lebih. Tak cukup hanya "memelototi" bagian-bagian sensual dari tubuhku, tetapi juga butuh diperlakukan secara istimewa. Ya, lapdance men-jadi salah satu caranya. Menari di atas pangkuan, menyentuh, membelai, dan memperlakukan tamu layaknya raja.
Saya susah membedakan ruang lingkup pekerjaan escort, callgirl, lapdancer, atau apa pun istilahnya. Yang aku tahu, I'm a dancer. 
"Stripdancer?" Wow...I'm not! Aku tidak mengandalkan ketelanjangan tubuh dalam menari. Aku hanya menyuguhkan keterampilan menari dan tentu saja, pesona. I mean ... bagaimana tampil cantik, smart, menyenangkan, dan bla...bla.. .bla. Pokoknya, segala pesona diri mesti aku tunjukkan untuk membuat tamu merasa nyaman. Dan itu bukan pekerjaan gampang. Pernah terbayang nggak, kalau satu waktu, aku harus menghadapi tamu laki-laki yang dari "tampang", penampilan, dan manner-nya nggak banget. Badan gemuk, bau pula, terus muka pas-pasan, dan yang nggak nahan: rese' dan banyak maunya. So? Still, I have to be a nice girl. No matter what, 'behave' is my keyword. As a entertainer, I do not have a lot of choices. Hibur dia secara profesional tanpa membedakan-bedakan tamu. 
"Bagaimana dengan seks?"
Depend on! Pekerjaan utamaku hanya meng-hibur tanpa seks. Aku bukan pelacur, itu yang aku pegang banget, jadi, please, jangan samakan aku dengan itu. Namun, jujur, aku juga wanita biasa yang punya perasaan: suka, benci, marah, dan sedih. Kalau satu ketika aku bertemu dengan tamu laki-laki yang ramah, ganteng, baik hati lagi 
pula tidak sombong dan semua iru membuat aku suka, rasarasanya aku juga nggak menolak kalau ia mengajak dating lanjutan. Soal having sex atau nggak, prinsip aku sederhana: aku hanya mau tidur dengan laki-laki yang bukan "makhluk asing" di mataku. Dan yang terpenting, secara emosional aku suka. That's it! 
"Does money talk?"
Tamu yang terhibur dengan tarianku, sudah sewajarnya membayarku lebih. Untuk orang-orang yang menekuni profesi yang aku geluti, uang lebih yang didapat bukan dari bandrol untuk sekali atau dua kali menari, tetapi dari tip. Justru itu, aku harus menyuguhkan tontonan paling baik. Kalau tamu merasa senang dan terhibur, tip datang sendiri kok. Di Jakarta ini, banyak laki-laki kaya tapi tak bahagia. Makanya, harga kesenangan begitu mahal. Dan mereka tak segan-segan membayar jutaan rupiah hanya untuk "'ditemani" minum, sedikit pelukan, dan kehangatan berbumbu kemanjaan. Ngapain juga aku harus "tidur" dengan tamu kalau dengan satu pelukan kecil, mereka sudah terpuaskan dan mau membayarku mahal. 
DI dalam kamar, di atas sofa yang diterangi pencahayaan temaram, Viki menceritakan sebagian pengalaman hidupnya dengan lancar. Sesekali bibir tipis nan seksi itu berhenti untuk mengecap minuman. Setelah pertemuan tiga bulan lalu, saya akhirnya kembali bertemu dengan Viki di kelab NN, tak banyak yang berubah dengan penampilan fisik Viki. Ia tetap menggoda, tetap mencuri per-hatian mata lelaki mana pun.
Agak sulit memang menemukan Viki. Perem-puan cantik ini bekerja di sebuah kelab yang notabene "mahal". Kelab yang berlokasi tak jauh dari perempatan CSW, kawasan Blok M itu, selama ini memang terkenal sebagai private club. Sebagian besar tamu yang ada di kelab NN adalah member. Untuk tamu baru yang bukan member, dikenakan cover charge Rp 385 ribu. Itu pun jangan coba-coba datang sendiri karena kebanyakan tamu datang secara berkelompok. Maklum, hanya ada dua fasilitas di kelab NN: restotan yang dilengkapi dance-floor dan deretan kamar. Bar berukuran tidak terlalu besar yang ada di area restoran pun lebih banyak difungsikan sebagai "tempat pembuat minuman". Jarang ada tamu yang duduk di bar.
Mereka lebih suka duduk di sofa dengan ditemani gadis cantik. Kalau tidak, ya masuk ke kamar untuk bersantai bersama pasangannya. 
Viki adalah salah satu gadis yang bekerja di kelab NN. Dibanding gadis-gadis lainnya, Viki punya kelebihan dalam hal menari. Sudah dua bulan bekerja di siru. Karena punya wajah cantik, badan bagus, dan pandai menari—terutama lapdance— tak lama setelah mulai bekerja, Viki jadi laris di antara para tamu.
Dua jam sebelumnya. 
Malam itu, sekitar pukul sebelas, suasana di resto cukup ramai. Musik classic disco silih berganti dengan musik progesif terdengar riuh. Para tamu bergoyang santai dengan pasangannya. Di bagian lain, di lantai satu yang terdapat deretan kamar-kamar, Viki tengah menjamu tamunya.
Di salah satu kamar irulah, bersama dua temannya: Manda dan Renita, ia tengah menyu-guhkan kebolehannya menari. Rupanya, terjadi lap dancing one on one. Tiga orang laki-laki sedang duduk. Di depan mereka masing-masing, menari para gadis cantik yang tak lain adalah Viki, Manda, dan Renita. 
Mereka meliuk-liukkan badan dengan sangat erotis. Tubuh mereka dibalut dengan kostum seksi yang mengundang minat. Ada aksesori berupa bulu warna-warni di leher mereka.
Viki terus bergerak. Ia menggeliatkan tubuhnya dengan penuh gairah. Senyuman menggoda tak lepas dari bibirnya. Belum lagi kerlingan sepasang mata bundar milik Viki yang makin membuat lelaki di hadapannya kian terpaku. Topi yang menutupi sebagian wajah sang lelaki tak mampu menutupi ekspresi kepuasan yang terpancar lewat senyuman di bibirnya. Sesekali tangannya mengelus dagu yang berjenggot. Jelas, lelaki itu tampak sangat terhibur dan menikmati kecantikan serta keliatan tubuh perempuan di hadapannya. 
Viki, Manda, dan Renita mulai mendekat dan menari sambil menggesek-gesekkan badan ke tamu-tamu mereka. Sesekali para lakilaki itu mencoba memegang tubuh Viki, Manda, atau Renita, tetapi tiga perempuan itu selalu menghindar dengan cara sangat halus. Mereka menurunkan tangan para laki-laki itu dengan sopan. You can watch, but please... do not touch! Begitulah aturan mainnya. 
Laki-laki berbadan agak kurus yang sedang dilayani Renita menoleh ke Viki. Dengan cekatan, Renita memalingkan kepala laki-laki itu ke arahnya, seolah cemburu. 
Viki berusaha membuka topi yang menutupi kepala laki-laki yang tengah menikmati tariannya. Begitu terbuka, Viki agak terperangah karena laki-laki itu adalah saya. "Hah...Mas...?"
Viki menghentikan aksinya sejenak. Entah karena kaget atau risih, gerakan Viki jadi kagok. Meski berusaha seprofesional mungkin, tetap saja rasa kikuk itu tampak pada diri Viki. Alhasil, saya jadi nggak enak sendiri. Awalnya, mau kasih surprise karena sudah cukup lama tidak bertemu Viki. Kok jadinya malah begini? 
Akhirnya, saya meminta Viki untuk tidak melanjutkan tariannya. Bukan sok muna atau jaim, tetapi saya tak tega melihatnya menari setengah hati. Lihat saja ketika ia berusaha merang-kulkan dua tanganya pada bahu saya, uh shit... Viki mendongakkan kepalanya ke langit-langit kamar. Sepertinya, ia berusaha menghindari untuk bertatap muka. 
Sementara laki-laki yang bersama Renita, tak lain adalah Haryo, 31 tahun, karib saya, anak seorang mantan pejabat zaman Orba yang "mewarisi" beberapa perusahaan. Satu orang lagi karib saya yang tengah bersama Manda adalah Dhani, 29 tahun, pemilik sebuah usaha bengkel mobil yang dikelola bareng kakaknya.
Haryo dan Dhani agak bingung melihat Viki menghentikan aksinya. Namun, lantaran Renita dan Manda terus "membombardir" mereka dengan gerakan lapdance, akhirnya mereka hanya no comment waktu saya dan Viki menggeser tempat duduk.
VIKI membetulkan letak bajunya yang beran-takan. Ia melepaskan aksesori bulu warna-warni yang melingkar di lehernya. Untuk beberapa saat lamanya, ia terdiam. Tangannya yang ramping terulur mengambil sebatang rokok, dan mengisapnya dalam-dalam. 
Buat saya, apa yang dilakukan Viki sangat wajar dan manusiawi. Meskipun menjalani pe-kerjaan sebagai lapdancer, tetap saja ia seorang perempuan biasa yang punya perasaan malu, suka, marah, benci, dan nggak enak hati. Makanya, kadang-kadang jadi jengah dan salah tingkah ketika harus menari di depan tamu yang ia kenal. Saya yakin, bukan hanya Viki yang mengalami perasaan seperti itu.
Ufftttt..., Viki mengembuskan napas pan-jang. Bersamaan dengan itu, asap putih rokok keluar dari mulutnya, mengudara. 
"Apa kabar, Vik?"
Ia tak langsung menjawab. Matanya sibuk memandangi kuku-kuku di jemarinya yang ke-cokelatan oleh kutek. Tak banyak yang berubah dari diri Viki. Rambutnya masih panjang tergerai, badannya juga masih terawat dengan baik. Hanya saja, ia agak kurusan dan wajahnya terlihat sangat capek.
"Yah, seperti yang kamu lihat. Aku masih seperti dulu." 
Akhirnya, Viki buka suara. Jawaban yang meluncur dari bibirnya terdengar "ala kadarnya" dan sarat basa-basi, mengingatkan saya pada lagu lama yang sempat populer di tahun 80-an. 
Meski sempat canggung di menit-menit awal, tetapi pembicaraan kami perlahan mulai mengalir. Viki menceritakan perjalanan hidupnya setelab tak lagi bekerja di kelab "Rainbow". Di satu sisi, ia merasa jenuh menari di depan komunitas gay dan lesbian. Ia butuh suasana baru yang lebih fresh dan membuatnya "excited'. Di sisi lain, ia memerlukan penghasilan lebih dari sekadar menari-nari di atas bar, atau melakukan drink & kissing bersama tamu yang mau merogoh uang Rp. 100-200 ribu untuk tip.
"Adikku butuh perawatan dan memetlukan biaya yang nggak sedikit," keluhnya.
Setahu saya, Viki punya adik laki-laki berumur tujuh belas tahun yang pernah menjemput Viki di kelab "Rainbow", tempat pertama kali kami bertemu dan berkenalan. Setelah bebetapa bulan "putus komunikasi", temyata ada banyak petistiwa terlewatkan.
"Adikmu yang waktu itu ngejemput kami di kelab 'Rainbow'?" tanya saya, memastikan.
Viki menggelengkan kepala. Ah, masih sama. Viki selalu menggelengkan kepala saat mengatakan "tidak". 
"Bukan. Adikku yang satu lagi. Masih kecil, sekitar lima tahun umurnya," tukasnya. 
Suara Viki timbul-tenggelam bersama musik yang mengalun di dalam kamar. Musik itu menjadi lagu pengiting bagi Manda dan Renita, dua teman septofesi Viki yang menjamu Haryo dan Dhani. 
Untuk bebetapa saat lamanya, kami sama-sama terdiam. Sesekali, mata Viki melirik ke arah Manda yang tinggal mengenakan pakaian dalam. Sementara Renita, pakaian yang belekat di tubuhnya sudah tak beraturan lagi. Sebagian malah terjatuh di lantai kamat. 
Diam-diam saya juga mengamati apa yang tetjadi dengan Hatyo dan Dhani. Adegan lap-dance yang diperagakan Manda dan Renita masih berlangsung, bahkan lebih hot. Sebuah tontonan yang bisa membuat
jantung betdebat tak karuan. 
"Mas...."
Suara Viki mengagetkan saya. Buru-buru saya memalingkan wajah dan astaga... mata Viki terlihat berair. la mengambil tisu di meja dan membersihkan wajahnya.
"Sebenarnya aku mau cerita banyak, tapi aku nggak enak...." Viki menghentikan ucapannya, "Aku takut dikira ada maunya lagi," sambung Viki.
Saya meyakinkan Viki untuk menceritakan apa masalahnya. Lalu, ia mengeluarkan dompet dari dalam tasnya. Viki menunjukkan selembar foto kepada saya.
"Ini Kara, adikku," gumamnya. Menurut Viki, adiknya mengidap autis yang termasuk dalam jenis ADHD (Attention Deficit Hyperactivity Disorder). Polah tingkahnya cenderung hiper aktif". Suka menjerit, menggigit, dan berlarian ke sana kemari seolah tanpa merasa-kan capek. Makanya, ia berusaha mati-matian mencari uang untuk membiayai pengobatannya. Ia tak mungkin meminta bantuan pada orang tuanya yang ada di Medan. Justru, ia ke Jakarta dalam rangka "kabur" dari ancaman bapaknya . yang suka melakukan kekerasan. Main tangan bahkan tak jarang menyakiti ia dan dua adiknya. Karena tak tahan, Viki akhirnya membawa Kara dan adiknya yang berumur tujuh belas tahun ke Jakarta. Meski tak tega meninggalkan ibunya, Viki terpaksa harus mengambil keputusan yang terbi-lang nekat itu. Semua ia lakukan demi kebaikan adik-adiknya.
Selama ini, Viki dan Kara berkomunikasi menggunakan cara yang tak biasa. Viki akan berbicara lewat sebuah tape recorder kecil yang selalu dibawa Kara. Dari tape recorder itulah, Kara akan mendengarkan omongan Viki.
Viki berencana menggunakan uang yang dia dapat dari bekerja sebagai lapdancer untuk menyekolahkan Kata di sekolah khusus. Dan tentu saja, uang itu ia gunakan untuk memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari.
"Aku hanya menggunakan semua kekuatan fisik dan pikiran untuk bertahan hidup di Jakarta," desahnya, "aku sadar, aku tak akan jadi "pemenang". Tapi setidaknya, aku telah berusaha," imbuh Viki. 
Dorongan untuk menyembuhkan bara itulah yang membuat Viki mengambil jalan pintas. Selain menjadi lapdancer di kelab NN, ia terpaksa juga menjadi "penari panggilan" untuk acara-acara yang lebih private. Hanya saja, ia tetap memilih tidak masuk pada jalur transaksi seks. Sampai saat ini, aku Viki dengan nada tegas, ia tak mau menerima tawaran "tidur" meskipun diimingi imbalan uang dalam jumlah besar. 
"Aku tahu apa yang harus lakukan," tukas-nya.
SATU bulan kemudian.... 
Viki duduk dengan anggun di atas sofa berwarna merah. Berbalut gaun a la Cleopatra warna keemasan, Viki memikat puluhan mata lakilaki yang memenuhi kelab CH di kawasan Permata Hijau, Jakarta Selatan. Di samping kiri-kanan Viki, ada empat gadis dengan dandanan serupa. Baju a la Cleopatra itu terlihat seksi karena terbuka di beberapa bagian. Bahkan, ada bentuknya menyerupai jaring laba-laba berwarna keemasan.
Viki beranjak dari duduknya, lalu berjalan perlahan menaiki anak tangga. Di atas bar berben-tuk vertikal, Viki mulai meliukkan tubuhnya. Di sudut lain, empat gadis cantik bergerak serempak mencari tempat untuk unjuk pesona. 
Dalam sebuah tatapan singkat, Viki terse-nyum kecil begitu melihat saya duduk di antara para tamu malam itu. "Tampaknya, ia memang tahu jalan yang jadi pilihannya," guman saya dalam hati. 
Lampu menyala terang. Viki menghilang entah ke mana. Mungkin ia tengah berganti pa-kaian dan bergegas pulang untuk menemui adik kesayangannya, Kara.



(5)
SUITE SALOME
JAM telah menunjuk angka 20.45 WIB. Jalanan menuju Kawasan Grogol masih ramai oleh lalu-lalang kendaraan. Biasalah, namanya juga Jakarta gitu loh. Tiada hari tanpa kemacetan. 
Pemandangan serupa juga terjadi di depan lobby hotel MR Puluhan mobil mewah parkir rapi. Ada Mercy, BMW, Jaguar, dan merek-merek favorit lainnya. Petugas valet tampak sibuk memarkir setiap mobil yang datang. Beberapa tamu laki-laki dengan dandanan modis, turun dan mobil dan berjalan melenggang penuh percaya diri. 
Apakah mereka tamu-tamu hotel yang lagi check-in? Ternyata, bukan. Begitu turun dari mobil, bukan ke resepsionis tapi langsung pergi ke kafe yang ada di sudut kiri. Hary memegang ke-mudi, Rob duduk di sampingnya, dan saya duduk di jok belakang. Mau tak mau, kami pun ikut-ikutan valet. Maklum, parkiran di lantai Bl dan B2 ternyata sudah penuh sesak.
Puluhan tamu duduk santai di kafe. Lagu-lagu syahdu sayup-sayup terdengar di telinga. Di sebuah sofa panjang, terlihat sekelompok gadis cantik tengah asyik mengobrol. Hanya sebentar kami mengamati keadaan di kafe. Setelah itu, kami langsung menuju ke lantai empat. 
Malam itu, Hary dan Rob—yang sudah seting mampit ke hotel MF, mengajak saya un-tuk menyaksikan striptease couple (maksudnya cewek-cowok) di tuang karaoke. Kebetulan, Hary mendapat undangan dari salah satu teman bisnis-nya. Tidak ada perayaan apa pun, yang ada hanya aktivitas hura-hura saja, mencati hiburan untuk melepaskan burn out di kepala. Begitu masuk, Hary mengenalkan saya dan Rob kepada dua orang temannya. 
Double Stripper "Live Show"
MALAM telah lewat dari pukul sembilan ketika kami masih di ruang karaoke sambil minum-
minum dengan ditemani LC (lady companion). Dua teman Hary itu, rupanya langsung mem-booking empat orang LC sekaligus. Di ruangan karaoke kelas VIP itu tersedia fasilitas sofa memanjang dengan dua meja terpisah dan satu kamar mandi. Di samping kiri pintu masuk, terdapat meja kaca bulat lengkap dengan empat kursi yang tertata rapi. Seluruh dinding ruangan didominasi lukisan berwarna cerah. 
Lagi asyik-asyiknya mengobrol, tiba-tiba dari pintu kamar muncul seorang wanita mengenakan ceiana panjang dan blazer berwarna hitam. Mami Yeni, begitu ia menyebut dirinya sebagai koordinator karaoke. Hary rupanya sangat kenal baik dengan Mami Yeni, begitu pula sebaliknya. Terbukti, mereka berdua tampak akrab. 
Kedatangan Mami Yeni untuk memastikan apakah pertunjukan bisa dimulai. Katanya, para penarinya sudah stand by dan tinggal tunggu perintah. Menurut Mami Yeni, karaoke di hotel MF pada dasarnya tidak menyediakan gadis-gadis striptease secara langsung. Kalau pun ada tamu yang berminat, biasanya diambil dari luar. Selama ini, Mami Yeni menggunakan jasa seorang germo sekaligus pemilik event organizer yang pu-nya sedikitnya dua puluh stripper. Mereka siap dipanggil kapan pun. Sebagian besar mereka ber-usia dua puluh tahunan. 
"Kalau ada tamu yang butuh stripper, kita tinggal panggil aja. Semua tergantung permintaan. Dari striptease biasa sampai yang berpasangan tersedia," jelas Mami Yeni.
Saking asyiknya ngobrol, Mami Yeni pun ikut-ikutan nimbrung plus minum-minum sebentar. Segelas Illusion —sejenis minuman yang memiliki campuran alkohol diteguknya.
"Kalau striptease biasa, udah banyak tempat yang menyediakan. Makanya, di sini, yang paling laku striptease couple, cewek-cowok," imbuh Mami Yeni. 
Menurut Mami Yeni, tarif per show untuk striptease couple kelas standar sekitar Rp 2 hingga 3 juta. Sementara untuk yang biasa sebesar Rp 450 ribu per orang. Harga sangat tergantung pada tipe stripper yang diorder tamu. Untuk kelas VIP, harganya bisa naik dua kali lipat dari kelas standar. 
Seperempat jam berlalu, Mami Yeni berjalan mendekati dua teman Hary yang lagi berkaraoke ditemani dua LC. Saya berpikir, pastinya Mami Yeni bertanya kapan show bisa dimulai. Dan benar saja, tak lama setelah Mami Yeni keluar, muncul sepasang penari cewek-cowok di ruangan karaoke.
Musik menghentak. Tanpa banyak basa-basi, sepasang penari itu langsung memperlihatkan ge-rakan-gerakan yang sensual. Namanya juga tarian couple, selama hampir setengah jam, kami disuguhi adeganadegan hot, tak ubahnya sex live show di atas panggung.
Ah, sudahlah! Antar percaya dan tidak, saya jadi serba salah menyaksikan pertunjukan itu. Bercampur kaget dan gugup, saya jadi salah tingkah sendiri. Bagaimana tidak? Dengan mata kepala sendiri, saya menyaksikan adegan percin-taan cewek-cowok yang begitu vulgar. Lagi pula, saya diajak Hary di hotel MF bukan mau menik-mati pertunjukan live show di karaoke tapi untuk tujuan yang berbeda. Kami punya rencana lain yang menurut Hary, jauh lebih gila. Makanya, tanpa berlama-lama lagi, kami pun pamit keluar ruangan. 
"Kita mau nonton show ato ada planning lain?" tanya saya ke Hary.
"Ya...iya. Udah nggak sabar bener," seru Hary. 
Bertiga, kami meninggalkan ruangan karaoke menuju lift, keluar di lobby lalu masuk ke kafe. Musik lembut mengalun. Lampu menyala agak temaram. Suasana makin ramai. Tidak saja oleh tamu laki-laki, tetapi juga oleh puluhan gadis dari Uzbekiskan dan Mandarin. Beberapa di antaranya, malah duduk semeja, berhadapan-hadapan. Soal dandanan? Ehm...yang pasti, rata-rata berbaju seksi. Apalagi gadis Uzbekistan yang kebanyakan punya postur tubuh tinggi dengan badan moleg. 
Rupanya, di kafe inilah ajang pertemuan antara tamu dengan gadis-gadis " booking-an" di Hotel ME Modus ini biasa digunakan bagi tamu yang baru sekali dua kali mampir di ME Bagi mereka yang sudah terbiasa, biasanya lebih suka melakukan ajang pemilihan di kamar atau di ruang karaoke.
"Kebanyakan sih lebih suka di room, nggak keliatan banyak orang," jelas Hary.
"Lagian, kalo di room, bisa lebih bebas me-melototinya," imbuh Rob.
Di kafe itu tampak juga Mami Yeni yang si-buk mondar-mandir menghampiri tamu. Gayanya persis seorang public relations yang lagi menjamu klien penting. Buat Mami Yeni, semua tamu— entah yang baru atau member, sama-sama penting. Pelayanan yang mengutamakan keramahan, mesti dinomorsatukan. Ini bisnis jasa pelayanan, Bung. Salah-salah, tamu bakal kapok balik untuk kedua kali dan seterusnya. 
Mami Yeni sudah banyak makan asam garam di dunia "permamian" alias "pergermoan". Profesi itu sudah dia geluti selama hampir empat tahun. Awalnya, waktu berumur 22 tahun, Mami pernah bekerja sebagai escort di restoran Jepang.
Wanita blasteran Sunda-Cina itu hanya ber-tahan selama 1,5 tahun sampai akhirnya mendapat tawaran menjadi trainer di sebuah agensi yang sering menyediakan gadis-gadis lokal untuk menjadi escort khusus laki-laki Jepang atau Korea. Setelah kontraknya habis, dia bergabung di sebuah karaoke di kawasan Blok M dengan status sebagai koordinator. 
"Jadi mau ngapain nih? Mau sauna plus massage dulu, apa langsung ke lantai tujuh?" tanya Mami Yeni dengan senyum manis. 
Hary berpikir sejenak. Sekarang sudah ham-pir pukul 10. Kalau mesti sauna plus massage, rasa-rasanya butuh waktu sekitar satu-dua jam. Kurang dari itu, rasa-rasanya susah mendapatkan kenikmatan rileksasi. Apalagi, ini rileksasi yang berbau seks. Untuk laki-laki seperti Hary dan Rob, urusan massage dan sauna plus, barangkali bukan lagi sesuatu yang aneh. Malah, sudah jadi agenda wajib satu atau dua minggu sekali. Mereka berdua punya beberapa tempat sauna langganan, dari yang ada di Kawasan Blok M, Wijaya, Fatmawati sampai di area Kota, Mangga Besar, dan Pluit.
Suite Room Package
"LO udah siap belom?" tanya Hary pada saya, tiba-tiba.
"Maksud elo? Siap apanya?" sergah saya, balik bertanya. 
"Nggak usah banyak nanya. Pokoknya harus siap. Awas kalo lo kabur," jawab Hary tanpa me-nunggu reaksi saya. 
Ada sesuatu yang disembunyikan Hary dan Rob. Saya tidak tahu apa yang di benaknya. Jangan-jangan mereka telah menyiapkan agenda pesta gila secara diam-diam. 
"Yang tadi saya pesan, emangnya udah siap semua, Mam?" tanya Hary pada Mami Yeni.
"Tinggal naik aja ke kamar. Semua udah siap. Atau mau pilih-pilih lagi yang ada di sini?" tawar Mami sambil mengedarkan pandangan ke beberapa gadis Cungkok dan Uzbekistan yang tersebar di restoran. 
Mau tidak mau, saya jadi ikut melihat-lihat keadaan di sekeliling resto. Alhasil, saya malah pusing kalau disuruh memilih. Rata-rata punya body bagus dan wajah cantik. Mami memperlihatkan dua gadis Uzbek yang katanya masih fresh.
"Belum ada dua minggu, mereka kerja di sini. Masih muda-muda lagi. Di bawah dua puluh tahun," jelas Mami. 
Bukan Hary namanya kalau tidak langsung tanggap. Promosi Mami Yeni disambut dengan antusias. Hary meminta Mami memanggil dua gadis Uzbek yang tengah membenahi make up di wajahnya itu. Mami mengenalkan mereka satu per satu pada kami.
Seperti sedang melihat dagangan bagus, Hary dengan cermat meneliti dua gadis Uzbek dari ujung rambut sampai ujung kaki. Meskipun mereka tidak terlalu fasih berbahasa Inggris, Hary dengan santai bercakap akrab. Menawarkan minuman, bertanya kabar, tempat tinggal sampai soal situasi di Jakarta.
"Milana boleh tuh, Mam. Ntar ajak naik ke atas ya?" Hary berbisik ke Mami Yeni yang langsung menjawab dengan senyum dan anggukan. 
Dua gadis Uzbek itu pun berlalu dari meja kami. Mami Yeni meninggalkan restoran tak lama kemudian. Katanya, mau mempersiapkan segala sesuatunya. Saya? Terus terang, menjadi makhluk paling bego malam itu. Saya lebih banyak diam mendengarkan percakapan antara Hary, Rob, Mami, dan dua gadis Uzbek. Segelas green tea di meja sampai lupa saya minum. 
Kira-kira pukul sepuluh iewat 35 menit, saya dibawa Hary naik ke lantai tujuh. Lantaran tidak tahu, saya hanya pasrah saja. 'Apa acara apa lagi di lantai tujuh?" Begitu pertanyaan pertama yang terlintas di benak saya. Apakah ada pesta yang lebih gila lagi dibanding pertunjukan striptease couple yang barusan tadi saya lihat?
Sebelum pertanyaan saya terjawab, lift ber-henti di lantai tujuh. Begitu keluar, saya melihat deretan kamar di kiri-kanan lorong. Mami Yeni tampak menunggu di depan meja resepsionis yang terletak di samping kiri lift. Ada empat orang berseragam waiter yang stand by menunggu order tamu. 
"Kamarnya ada di paling ujung sebelah ka-nan," jelas Mami. 
Ternyata, di lantai tujuh ini juga terdapat beberapa kamar yang disulap menjadi ruangan karaoke. Sisanya tetap berfungsi sebagai kamar untuk menginap. 
Tapi yang paling menarik dan bikin saya penasaran adalah satu kamar yang berada di ujung sebelah kanan. Ada apa sebenarnya? 
Di depan pintu kamar, ada seorang waiter yang berjaga-jaga. Dari luar, kamar itu tidak beda dengan kamar-kamar lainnya. Bentuk pintu, warna cat dan sebagainya. Ada tulisan "Suite Room" terpampang di pintu. Sayup-sayup terdengar suara beberapa wanita yang tengah bercakap. Tapi saya tidak begitu jelas mendengar apa isi pembicarannya. Jantung saya berdegup kencang menahan penasaran. 
Dan begitu Mami membuka pintu, saya menemukan pemandangan kamar yang begitu lux. Semua fasilitas yang disediakan sesuai dengan standar kamar kelas "Suite" yang dipakai di hotel bintang empat. 
Tapi yang lebih mengejutkan lagi, di dalam kamar itu sudah ada empat gadis Uzbekistan dan dua gadis Rusia. Salah satunya adalah Milana yang kami temui di resto.
Mereka duduk santai di sofa. Mami Yeni mengenalkan mereka satu per satu kepada kami, lalu dia menghilang di balik pintu. 
Hary dan Rob tampak terbiasa menghadapi enam gadis asal Uzbek dan Rusia itu. Dalam hitungan detik, suasana akrab sudah terjalin.
Untuk menghangatkan suasana, Hary meme-san dua botol red wine dan white wine. Hidangan minuman itu sudah tersedia di meja tamu. Dua botol white wine dimasukkan ke dalam tempat yang sudah terisi es batu, sementara dua botol red wine terhidang di meja dengan tutup setengah terbuka.
Sesi perjamuan awal dimulai dengan acara minum-minum. Biasalah, ini menjadi tahapan basa-basi untuk lebih mengenal satu sama lain. Menurut Hary, meskipun dia membayar keenam gadis tersebut, bukan berarti langsung bisa "hantam kromo" begitu saja. Tetap dibutuhkan proses dialog (meski cuma sebentar) biar ada keakraban dan tidak kaku.
Apa yang akan terjadi di dalam kamar suite malam ini? Enam gadis cantik dengan baju seksi mengelilingi kami. Minum, ngobrol, dan tertawa bareng. Ada yang mengenakan celana di bawah lutut dengan baju lengan terpotong. Ada juga yang membalut tubuh putihnya dengan sackdress dan ada yang memakai rok supermini dengan baju ketat. 
"Banyak amat ceweknya?" Sebuah pertanyaan bodoh muncul dari mulut saya. 
"Justru itu serunya. Kalo cuma tiga orang, udah biasa kaliii," jawab Hary, spontan.
"Jadi, kita bertiga mau pesta seks rame-rame?" Sekali lagi saya bertanya. "Pastinya. Makanya gue nanya ama elo: udah siap belom?" seru Hary.
Saya menggeleng pelan! 
"Ah, udah. Lo tinggal pilih cewek yang lo suka. Beres kan?" imbuh Rob dengan suara meng-gebu-gebu. 
"Lo bisa ambil dua cewek sekaligus. Kalo mau bergantian sama gue, juga nggak pa-pa," imbuh Hary. 
Ucapan Hary dan Rob itu membuat dada saya berdegup kencang. Pesta seks rame-rame? Bergantian pula?! Astaga...! Apa yang saya duga sebelumnya, ternyata menjadi kenyataan. Belum lagi ditambah dengan polah tingkah gadis-gadis Uzbek yang mulai liar dan berani.
Di Hotel MF ini, selain menyediakan karaoke dengan pelayanan LC dan dancer, juga ada fasilitas sauna plus massage di lantai tiga, dan terakhir paket seks: satu pasangan, threesome sampai "groupsex" package. Semua informasi itu saya dapatkan dari keterangan Mami Yeni, Hary, dan Rob.
Ruangan suite yang kami tempati dilengkapi ruang tamu lumayan lebar. Ada satu kamar utama, satu kamar ekstra, serta satu kamar mandi besar lengkap dengan bath up dan shower. 
"Are you ready? Milana berseru dengan suara lembutnya.
"So pasti!!!" jawab Hary.
Milana, gadis berusia 20 tahun, dengan ram-but lurus berwarna kecokelatan. Tinggi badannya tak kurang dari 170 cm dengan alis tebal dan berkulit putih bersih. Sorot matanya terlihat tajam dan memiliki bentuk bibir agak tebal. Baru sekitar enam bulan di Jakarta setelah sebelumnya bekerja di sebuah kelab malam di Singapura.
Tiba-tiba saja tangan Hary merogoh saku celananya dan melemparkan puluhan benda yang dibungkus plastik warna-warni. Kondom! Ya, benda itu adalah kondom bermerek Durex dengan tiga warna dan rasa yang berbeda: stroberi, duren, dan pisang. 
Keenam gadis "bule" itu berteriak kegirangan. Milana mengambil kondom berwarna merah dan melemparkan ke pangkuan Rozana, gadis asal Rusia. Terjadi adegan saling lempar kondom untuk beberapa saat lamanya. Sebuah pemandangan yang seumur-umur baru saya alami. 
Rozana! Ah, gadis Rusia yang umurnya baru 21 tahun itu memiliki tubuh seksi dan moleg. Rambut blonde-nyz. mengikal hingga di bawah bahu. Tampak seperti benang etnas ketika tertimpa cahaya lampu. Kaus ketat tanpa lengan yang membalut raganya, menjadikan Rozana sebagai sosokwanita cantik dan seksi yang nyaris sempurna. Apa saya terlalu memuji ya? Tapi, kalau saya perhatikan dari ujung kaki sampai ujung rambut, rasa-rasanya penilaian saya cukup obyektif. 
"Banyak amat kondomnya? Emang mau dihabisin semua?" sindir Milana.
"Siapa takut. Asal kamu kuat aja," sergah Rob, blak-blakan. 
Kalau dihitung-hitung, jumlah kondom yang kini berserakan di meja itu tak kurang dari dua puluh buah. Bagaimana mungkin bisa dihabiskan dalam semalam, sementara kami cuma bertiga? Ah, membayangkannya saja saya tidak berani. 
"Lo jangan diam terus dong. Jadi laki-laki mesti agresif," sindir Hary melihat saya yang lebih banyak menjadi patung di sofa. 
Entah bagaimana ceritanya, setelah Hary melontarkan ledekannya itu, tahu-tahu Rozana menjatuhkan diri ke tubuh saya. Dengan menahan kaget, saya beranjak dari sofa dan masuk ke kamar ekstra. 
"Maklum, dia pasti grogi. Belum terbiasa, soalnya," jelas Hary pada Rozana sambil menahan senyum geli. 
Hampir sepuluh menit saya bersembunyi di kamar. Suara canda tawa di ruang tamu dengan jelas bisa saya dengar dari dalam. Setelah merasa tenang, saya memberanikan diri membuka pintu. 
Dan...wow, saya mendapati pemandangan yang  mulai "panas". Tampaknya, pesta yang sebenarnya sudah dimulai. Milana dan Rozana Cs segera beraksi. 
Prosesi paket seks rame-rame itu pun dimulai. Secara hampir bersamaan, mereka mulai melucuti baju dua teman saya yang tampak begitu happy.
Meskipun kini hanya tinggal underwear yang melekat di badan. 
Keenam gadis Uzbek dan Rusia itu lalu meng- giring Hary dan Rob masuk ke kamar mandi.  Dengan berlarian mereka pun mencopot baju mereka satu per satu hingga tinggal g-string yang tersisa. 
Sebelum masuk ke kamar mandi, Hary sem-pat menengok ke pintu kamar dan memergoki saya yang tengah mengintip.
"Jangan beraninya ngintip doang. Buruan ke luar kamar," seru Hary. Beruntung Milana Cs segera menggamit lengan Hary menuju kamar mandi.
Apa yang terjadi kemudian di kamar mandi, pasti tidak jauh dari urusan "basah" bareng-bareng. Dua laki-laki "dimandiin" enam cewek sekaligus. Dan pastinya, sama-sama tidak memakai baju.
Ajang mandi basah rame-rame itu berlangsung sekitar dua puluh menitan. Suara air shower ber-campur teriakan-teriakan kecil terdengar jelas dari kamar mandi. Hary keluar lebih bersama Rozana dan dua gadis lainnya. Alamak, tubuh mereka sama sekali tidak mengenakan penutup sehelai benang pun. Mereka bugil semua! 
Dengan menggotong Rozana masuk ke kamar utama diikuti dua gadis lainnya. Pintu kamar itu dibiarkan terbuka. Saya yang sedari tadi memerhatikan dari balik pintu di kamar ekstra, cuma bisa tercengang. Pesta seks rame-rame itu benar-benar terjadi. Hary bersama tiga gadis "bule" itu telah mengajarkan pada saya tentang satu perilaku yang begitu vulgar, begitu liar, begitu gila, dan entah dengan kata apa lagi saya mengekspresikannya.
Sementara Rob bersama Milana dan dua gadis lainnya, belum juga keluar dari kamar mandi. Tampaknya, kamar mandi menjadi pilihan Rob. Entah seperti apa gambaran pesta seks yang tengah terjadi, yang pasti, tidak kalah gila dengan apa yang dilakukan Hary bersama tiga gadisnya. Satu laki-laki dan tiga cewek bermain-main di dalam bath up yang dipenuhi air hangat. Sesekali pindah ke shower dan sekali waktu cukup dengan duduk manis di atas kloset.
Semua bentuk "kegilaan" yang terjadi di kamar suite itu baru selesai dua jam kemudian. Di kamar utama, Hary tidur telentang ditemani tiga gadisnya. Di sofa, Rob duduk santai (juga) diapit tiga gadisnya. Tak lama kemudian, Rob pun menyusul ke kamar utama bergabung bersama Hary. Dua laki-laki dan enam cewek mereguk panasnya birahi yang bergelora secara bersama-sama. 
"Jangan sembunyi di kamar terus. Katanya laki-laki, " teriak Hary. 
Teriakan itu berulang kali terdengar di telinga saya. Lama-lama, saya pun tak tahan. Dengan nekat saya pun keluar. Tiba-tiba sosok Milana menyergap saya. Entah bagaimana skenario yang terjadi, saya hanya bisa pasrah. Semua terjadi begitu cepat, bahkan sangat cepat. 
Byarr!!! Saya seperti baru saja terbangun dari mimpi yang sangat liar. Berulang kali saya hanya bisa menelan ludah. Di dalam mobil, dalam perjalanan pulang, Hary dan Rob tampak kelelahan. Tapi wajah mereka berseri-seri kegirangan. Sepertinya kepuasan dan kenikmatan sesaat telah mereka dapatkan. Walaupun untuk itu, mereka harus mengeluarkan uang tak kurang dari Rp 12 sampai 15 juta. Ya, tinggal hitung saja. Kalau satu gadis Uzbek atau Rusia harga per-one short timenyz (sekitar dua-tiga jam) Rp 1.850.000. Tinggal di-kalikan enam ditambah food & beverage (F&B) dan tip. Kamar suite tidak perlu bayar karena sudah masuk dalam paket. 
"Payah lo!" kata Hary ketika kami sampai di pelataran parkir Plaza Senayan. Mobil saya memang sengaja saya tinggal di pusat perbelanjaan yang terletak di Gatot Subroto ini biar tidak terlalu merepotkan. 
"Next time deh," jawab saya sambil masuk ke mobil. Malam sudah lewat dari pukul dua dini hari. Dengan setengah mengantuk, saya mengendarai mobil menuju paviliun di Kawasan Senopati, Jakarta Selatan.


(6)
HAREM-HAREM
SAUNA BASAH
"Angel Party, everyday, 17.30 WIB s/d 18.30 WIB. Don't miss it!!!"
POSTER besar dengan warm terang itu dipajang tak jauh dari meja resepsionis. Menjadi peman-dangan yang rasanya sayang untuk dilewatkan. Isinya? Informasi seputar fasilitas yang bisa dite-mukan di wilayah sauna dan sekitarnya. Yang membuat saya tertarik, tentu saja soal Angel Party itu. Apakah itu semacam pesta bersama bidadaribidadari cantik dan seksi? Tak ubahnya seorang raja yang sedang mandi bersama para haremnya di kolam besar. Ada yang menggosok bagian punggung, kaki, leher, dan bagian tubuh lainnya. Pikiran itu terlintas begitu saja di benak saya. 
Tapi siapa yang tidak tergoda dengan hal seperti itu? Pesta mandi di kolam ditemani puluhan gadis cantik yang hanya mengenakan underwear bahkan tidak memakai baju sama sekali. Wow! 
Pada awalnya, saya masih berpikir enteng-enteng saja. Namanya juga sauna, paling-paling tidak jauh beda dengan beberapa tempat yang pernah saya kunjungi sebelumnya. Misalnya beberapa sauna yang tidak menjual seks sebagai sajian utama bisa ditemukan di Kawasan Kebayoran Baru atau di Jalan Wijaya, Jakarta Selatan. 
Pelayanan utamanya tidak jauh dari konsep kebugaran. Ada sauna basah yang dilengkapi air hangat dengan ramuan green tea dan rempahrempah. Ada juga sauna kering dengan beberapa pilihan: green air, charcoal, lempung kuning, batu jewel dan jenis lainnya yang tdak bisa saya ingat. Tentu saja, steambath, massage, lulur, body scrub, dan mandi susu juga tersedia.
Atau kalaupun ada unsur seksnya, paling-paling tidak jauh dari layanan Double-Triple di VIP Sauna seperti yang disediakan di CP, Ancol, Jakarta Utara yang kini tampil dengan wajah baru setelah beberapa bulan melakukan renovasi besar-besaran. Menu utama yang terkenal di CP adalah mandi bareng a la bayi di kolam susu. Sedangkan pelayanan paling umum adalah layanan seks yang disediakan di kamar-kamar pribadi ketika terjadi proses massage, lulur, ataupun body scrup. 
Clubbing & Angel Party
KALAU tidak karena Putera, sore itu saya tentunya lagi enak-enak browsing internet di aparteman sambil nonton ESPN. Malam sebelumnya, saya dan Putera memang dugem bareng di Vertigo, di Plaza Semanggi. 
Putera sudah memesan satu meja persis di depan bar. Seperti biasa, Putera datang dengan rombongannya. Saya termasuk salah satu yang ikut nimbrung malam itu. 
Seperti biasa, acaranya cuma minum-minum, ngobrol, joget, dan yang paling utama: tebar pesona. Siapa tahu dapat kenalan cewek baru yang cakep, baik, lagi pula tidak sombong. Komplit deh!
Setelah semalaman berjingkrak dan meneng-gak alkohol, yang paling asyik memang sesi joget di dancefloor ditemani Lina dan Desi. Dua gadis itu, tampak begitu enjoy dan nyaris liar. Mungkin sudah kebanyakan minum alkohol atau memang sudah bawaan. Yang beruntung, tentu saja Putera. Nyaris sepanjang menit, Lina dan Desi selalu bersama Putera.
Untuk pria sekelas Putera, urusan dugem seperti itu, tentunya jadi agenda sehari-hari. Pria berusia 28 tahun yang mengelola bisnis keluarga di bidang bakery dan katering itu sudah terbiasa mengocek dua sampai lima juta dalam semalam untuk urusan senang-senang. Saya mengenalnya di sebuah cocktail party yang diadakan seorang teman di Bedroom, Kemang, Jakarta Selatan. 
Sayang, pesta itu tidak berlanjut setelah pukul tiga dini hari. Kalau saja Putera beruntung, pastinya ia sudah CIA alias check-in-aaah. 
"Kentang nih?" ceplos Putera. "Kentang" maksudnya "kena tanggung" atau "kenceng tang-gung". Kata ini biasa dipakai kalangan anak gaul untuk mengekspresikan satu kegiatan yang tidak tuntas, terhenti di tengah jalan. Awalnya istilah ini sering digunakan kalangan triper yang menenggak ekstasi tapi tidak tuntas.
"Daripada kentang, lanjut aja kalo gitu," usul saya. 
"Males ah. Jam segini, udah basi. Besok sore aja deh, kita hunting, nyari yang bagus-bagus," sergah Putera. Kami pun berpisah di lobby Plaza Semanggi.
Ternyata,ide hunting itu benar-benar kejadian. Putera datang ke apartemen dan langsung menarik saya ke mobil. Saya tidak sempat berganti baju. Masih dengan celana jins dan kaos oblong. 
Putera memang terbiasa dengan urusan yang sifatnya mendadak. Tanpa banyak kata, mobil Putera mulai meluncur ke Jalan Sudirman lalu masuk kawasan Thamrin dan menyusuri sepanjang jalan Gajah Mada, Jakarta Barat. 
Di dalam mobil, saya tak berhenti bertanya mau dibawa ke mana. Bukan apa-apa, Putera sering banget keluar isengnya. Pernah satu waktu, dia mengajak saya ke salah satu karaoke di Kawasan Sudirman, tak tahunya saya "dikerjain" habis oleh tiga penari striptease : dua cewek dan satu cowok.
"Kita mau ke BV. Ada Angel Party," jelas Putera. 
Begitu disebut Angel Party, saya hanya manggut-manggut saja. Maklum, saya sudah mendengar soal Angel Party dalam beberapa minggu terakhir. Pesta itu memang sedang booming dan jadi bahan omongan di kalangan anak gaul terutama kalangan esmud malam. 
Namanya juga anak malam, pasti kalau ada tempat atau pesta baru yang gokil-gokil cepat sekali beredar. Angel Party termasuk salah satu gosip yang cepat sekali jadi bahan obrolan dari mulut ke mulut. Meskipun masih samar, dari info mulut ke mulut itu saya jadi bisa meraba kalau Angel Party berlangsung pada sore hari. Isinya, semua laki-laki yang datang bisa menikmati mandi bareng bersama cewekcewek cantik di kolam sauna. 
Bagi industri seks di Jakarta, itu termasuk salah satu menu terbaru yang muncul belakangan ini. Ternyata, tidak hanya produk mobil atau hanphone saja yang setiap bulan mesti berinovasi. Industri seks pun melakukan hal yang sama. Hari ini ada menu Threesome, bulan depan mestinya ada menu Orgy. Hari ini ada menu cewek-cewek Tasikmalaya, bulan depan mesti ada menu cewek-cewek impor, begitu seterusnya. 
"Kita mau ke Kawasan Ancol, ya?" tanya saya. 
"Nggak. Sok tau lo!" 
"Pasti ke kawasan Mangga Dua." 
"Udah, deh. Lo ikut saja, ntar juga tahu sendiri," jawab Putera. 
Kami sudah sampai di ujung jalan Gajah Mada. Dari sebuah perempatan besar, Putera yang pegang kemudi, mengambil jalan terus. 100 meter kemudian, setelah melewati deretan toko-toko dengan model bangunan ala Belanda, dia belok kanan.
Gedung itu berada di daerah yang setiap menitnya selalu dipenuhi mobil lalu lalang. Tem-patnya diapit beberapa gedung perkantoran dengan bangunan model Belanda. Dari depan, tempat itu tertutup oleh sebuah pohon besar. Beruntung ada papan nama besar bertuliskan BV yang terpampang di pintu masuk. 
Ternyata, sangat gampang untuk menemukan lokasi BV. Tempatnya berada tak jauh dari sebuah museum dengan bangunan tinggi. Begitu masuk ke pelataran parkir, saya baru sadar kalau di sinilah BV berada.
Di pelataran parkir terlihat puluhan mobil dengan merek-merek bagus berjajar rapi. Dua orang pria berseragam sibuk menata keluarmasuknya mobil. Tak lama setelah turun dari mobil, tampak dua mobil lain parkir di samping mobil kami. 
Kaki saya baru saja masuk ke ruang sauna ketika punggung saya ditepuk seseorang. Alamak, rupanya ada seorang laki-laki muda yang wajahnya sudah tak asing lagi. 
"Kemal!"
Waduh, laki-laki yang satu ini, jangan canya soal tempat-tempat "ngeseks". Boleh dibilang, dia-lah "raja"nya. Hampir semua tempat yang ada menu seksnya, pasti sudah ada di memori kepalanya. 
"Ketahuan lo. Diam-diam, nakal juga lo ya!" ledek Kemal sambil tertawa.
"Gue cuma ngikut. Lo sih, nggak pernah ngajak-ngajak." 
"Next time deh. Gue undang elo ke party gue," jawab Kemal. 
Harem-harem Triple X
KAMI sudah ada di depan meja respesionis. Kami diberi kunci loker dan segera berganti baju: celana pendek dan kimono. 
Saya berjalan mengikuti Putera. Sejenak, kami melongok ke kolam sauna yang sudah mulai ramai oleh beberapa tamu laki-laki bertelanjang dada.
Kami melewati lounge bar. Di sini, terlihat beberapa laki-laki yang tengah bersantai. Ada yang cuma duduk duduk di bar dan sofa, ada juga yang terlena di kursi panjang sambil menikmati pijatan refleksi.
Kami berjalan menaiki anak tangga. Dan ternyata, di lantai ini ada sebuah lounge-bar yang tak kalah bagusnya. Bukan desain ruangannya yang menggelitik rasa keingintahuannya saya, tetapi sekelompok gadis cantik dalam balutan baju mini yang tengah duduk berjajar di depan bar dengan pose yang menggoda. 
Di sebuah sofa bulat, saya dan Putera duduk santai sambil terus mengamati satu per satu wajah-wajah cantik yang ada di lounge-bar. Sebagian besar berwajah Chinese dengan kulit putih susu. Hanya beberapa saja yang berwajah pribumi.
"Silakan dipilih-pilih. Kalau ada yang cocok tinggal panggil saya," ujar Lily, seorang wanita berumur sekitar 35 tahun yang menjadi koordinator untuk urusan booking cewek. 
"Yang itu Jessica, 19 tahun. Service oke. Orangnya baik, penyabar, dan ramah," jelas Mami Lily sambil menunjuk ke sosok seorang gadis tinggi berambut panjang dan berkulit kuning langsat. 
Jessica. Sebuah nama yang kebule-bule-an dan sangat berbau perkotaan. Lebih pas untuk sosok gadis berwajah bule atau Indo. Itulah gunanya nama. Wajah boleh Jawa atau Cina, tetapi nama tetap "gaul" dan mudah diingat di kepala. Coba kalau mereka menggunakan nama asli, mungkin lidah orang pribumi rada susah mengejanya: Wang Yi atau Li Chen. Jessica terdengar lebih akrab dan terkesan mahal. 
"Ajak mandi bareng juga boleh. Mau di sauna rame-rame atau di sauna pribadi, sama saja," imbuh Mami Lily. 
Putera hanya tersenyum dan menggangguk pelan. Di meja, dia cuma melihat keadaan seke-liling. Beberapa gadis Cina atau populer dengan sebutan Cungkok itu tersenyum lebar. Dari tempat duduknya, mereka memberikan salam hangat.
Jangan tanya soal baju yang mereka kenakan. Rata-rata mengenakan baju seksi abisss. Kalau tidak underwear dipadu dengan kain transparan, pastinya ya rok mini dengan baju u can see sangat ketat. Bersepatu high-heel dan memoles wajah mereka dengan make-up lumayan tebal. Lentik bulu mata, blush on di pipi kiri kanan, bedak halus di sekujur wajah dan lipstik terang di bibir merekah. "Milihnya ntar aja. Kita liat-liat dulu sambil minum-minum," jelas Putera. 
Karena tidak mengerti dengan urusan prose-dural di BV, saya hanya mengiyakan saja. Lagipula, kenapa juga mesti repot-repot kalau ada pakarnya. Follow the sun saja, begitu pikir saya.
Pukul 17.30 WIB, kami turun dari lantai satu menuju ruangan sauna. Masih dengan kimono di badan, kami segera bergabung dengan puluhan laki-laki di sauna. 
Alamak! Kolam besar yang bisa menampung kira-kira lima puluh orang itu mulai ramai. Sedi-kitnya ada dua puluh laki-laki bercelana pendek, termasuk kami. Ada yang lagi duduk di pinggir 
kolam sambil ngobrol, sebagian lagi berbasah-basahan di dalam air hangat dan dingin. Hanya dua-tiga orang yang masih setia di ruang sauna kering.
Pesta di kolam uap itu tinggal menunggu hitungan detik. Saya dan Putera sudah lebih dulu berendam di kolam hangat, berbaur dengan tamu yang lain.
Dari arah loungebar, muncul puluhan gadis Cungkok dengan baju seksinya. Kalau tidak me-ngenakan bikini atau underwear, mereka paling hanya menutup tubuh dengan kain tipis. Hampir bersamaan, mereka pun ikut berbaur di kolam uap. 
Jadilah kolam besar yang disekat menjadi dua bagian itu (satu berisi air dingin 12 derajat celcius & satu lagi berisi air hangat 42 derajat celcius) menjadi ramai oleh gelak tawa dan kecipak air. Sebagian besar lebih suka berada di kolam hangat. Maklum, jarang ada yang bertahan lama di kolam dingin.
Inilah Angel Party. Puluhan gadis dengan busana nyaris telanjang berpesta bersama tamu laki-laki di kolam besar. Di pesta ini, tamu dipersilakan memilih pasangan masing-masing. Mana yang cocok dan sesuai dengan selera, tinggal tunjuk tangan. Atau langsung saja ajak mandi bersama. Memandikan dan dimandikan, itulah aturan mainnya. 
"Sekarang lo boleh pilih mana yang lo suka. Apa mesti gue yang pilihin?" bisik Putera.
Tanpa banyak kata lagi, Putera mendekati salah seorang gadis. Mereka berdua tampak akrab. Lalu tahu-tahu Jessica muncul dari belakang dan mendekap tubuh saya. Bercampur kaget, saya hanya bisa tertawa.
Bayangan seorang raja tengah dimandikan para selirnya, kini menjadi begitu nyata. Suasana di kolam itu lebih pas disebut "rendezvous party". Tidak ada acara khusus selain "mandi bareng". Selebihnya? Ya apalagi kalau bukan bercanda, ngobrol, dan bermesraan. 
Setelah hampir satu jam berlangsung, pesta itu pun usai. Sebagian yang masih betah, memilih untuk tetap berendam. Sebagian lagi pindah ke lounge untuk bersantai atau bergegas ke kamar di lantai tiga. 
"Tunggu apa lagi. Langsung aja ke kamar. Apa lo lebih suka 'main' di dalam air?" canda Putera yang beranjak dari kolam dengan gadis pilihan-nya. Saya pun mengikuti jejak Putera. 
Kami bersantai sejenak di lounge. Menikmati segelas fresh orange sambil mengeringkan badan. Dari sini, saya bisa dengan bebas mengamati apa yang tengah terjadi di dalam kolam uap. 
Hanya tinggal beberapa pasangan yang masih betah berendam. Kali ini susananya sedikit ber-beda. Mungkin karena sudah agak sepi, beberapa pasangan itu bukan cuma sekedar mandi bareng, tetapi mulai
berani bertingkab "nakal". "Jangan_ jangan, mereka "main" di dalam air?!" pikir saya, penasaran. 
Belum juga rasa penasaran terjawab, Putera mengajak saya naik ke lantai tiga. Di sinilah ter-sedia fasilitas kamar dengan segala tipenya: standart deluxe, VIP sampai suite. 
"Kita pesan kamar suite saja. Biar bisa main bola," canda Putera. 
"Maksudnya kita berempat satu kamar?" tanya saya, terheranheran.
"Memang kenapa?" jawab Putera. Senja mulai berganti malam. Jakarta berubah wajah. Lampu-lampu menghias jalanan. Kamar-kamar di BV tenggelam dalam desahan napas memburu. Selamat malam, Jessica! 


(7)
GADIS-GADIS ES BATU
SEBUAH kelab one stop sex-tainment yang menyajikan aneka "jajanan seks" di setiap lantai. Ada tarian striptease, karaoke dengan LCLC seksi, dan sauna yang dilengkapi menu gadis-gadis impor. Menu utamanya: foreplay seks dengan es batu dan air hangat a la Vietnam. 
Maya meneguk segelas Cranberry-vodka dengan nikmat. Malam baru saja beranjak dari pukul delapan. Suasana lounge yang berada di lantai tiga itu lumayan ramai. Puluhan kursi yang tersedia nyaris terisi. Terdengar suara merdu seorang wanita melantunkan lagu Everytime-nya Britney Spears.
Di sebuah layar putih, di tengah ruangan, terlihat klip yang mempertontonkan geliat seksi Britney Spears. Tepukan meriah terdengar ketika lagu berakhir. Berikutnya, di layar terpampang gambar Beyonce yang menyanyi sambil menari dengan gerakan sensual. 
Malam terus beringsut menit demi menit. Suasana lounge makin gerah. Di atas panggung, muncul empat orang penari dengan pakaian seksi abis mulai menari. Kali ini, musik berubah agak keras. Puluhan tamu segera mengalihkan pandangannya. 
Empat penari itu mengenakan celana pendek dengan kaus ketat transparan tanpa bra. Lekuk tubuh mereka dapat dengan mudah dipelototi, inci demi inci. Bukan apa-apa, kaus ketat yang melilit tubuh empat penari itu tampak basah. 
Tak ubahnya sebuah pertunjukan yang ada di Wet Party, selama hampir setengah jam, para tamu disuguhi tarian erotis. Kadang mereka bergerak layaknya para model yang tengah ber-fasbion-dance. Kadang mereka beraksi dengan sangat liar. 
Maya berulangkali berteriak kegirangan. Dua teman wanita dan tiga laki-laki yang duduk dengannya, tak urung ikut larut dalam suasana pesta.
"Cheers...!" seru Maya sambil mengangkat gelas Cranberry-vodka-nya. Kelima teman Maya pun melakukan hal yang sama. 
"Buka, buka...!!!"
Terdengar teriakan dari arah meja di dekat bar. Tampak dua lakilaki berdiri di sana, mata mereka terfokus pada empat penati di dalam ruangan berbentuk kurungan dengan tiang-tiang berwarna keperakan. Dengan gayanya yang khas, para penari itu mengangkat kausnya. Astaga! Bagian sex appeal yang paling vital di area dada itu pun terbuka. Tapi hanya sebentar, mereka lalu menutupnya kembali. 
Perlahan, empat penari yang wajahnya mulai ditumbuhi butir-butir keringat itu berjalan mengelilingi meja-meja tamu. Satu dari mereka menghampiri tamu laki-laki di bar. Lebih dari sekadar menari, penari berambut ikal dan dikuncir ke belakang itu mulai meraba tubuh salah seorang tamu laki-laki. Ketiga penari lainnya juga melakukan aksi yang sama. Suasana makin riuh. Setelah selesai dengan aksinya, mereka kembali masuk ke dalam kurungan; mempertontonkan tarian penutup. Secara bersamaan mereka melepaskan kaus dan menjadikannya sebagai aksesori menari. Beberapa saat kemudian, mereka menghilang di balik kerumunan para tamu. Musik house masih terus berdentum, menghangatkan suasana lounge. 
Ada yang menonton dengan tatapan tertegun. Ada yang cuma senyum-senyum kecil. Ada juga yang histeris berteriak. Yang unik, ada beberapa tamu laki-laki yang pura-pura sibuk bermain SMS dengan ponselnya tapi sesekali mata mereka melirik aksi liar para penari.  
"Mau ke ruang karaoke sekarang?" lamat-lamat terdengar suara Maya berbicara pada teman-temannya. 
"Ayuk aja!" jawab seorang pria berbaju kasual. Maya Cs itu pun hengkang dari kursinya. 
1, 2, & 3 : Sex Club
MALAM itu, saya ditemani Wisnu (atau lebih tepatnya, saya menemani Wisnu) menyaksikan pertunjukan Sexy & Wild Dancer itu dari sebuah meja, di sudut sebelah kiri, paling belakang. 
Sudah hampir satu jam kami berada di lounge yang berada di sebuah tempat hiburan one stop sex-tainment berinisial EP di sekitar kawasan Pasar Baru. Makanya, pertunjukan sexy dancer itu bisa kami tonton dari awal sampai akhir. Sedari tadi, saya terus mengamati keadaan yang terjadi. Dari polah para tamu sampai atraksi penari. Maya, adalah salah satu perempuan yang malam itu cukup menyita perhatian saya. Begitu dia cabut dari lounge, saya masih menetka-netka siapa gerangan wanita itu. Cantik, modis, lincah, dan menarik perhatian. 
Keberadaan saya di EP malam itu, bermula dari ajakan Wisnu. Sekitar pukul lima sore, dia menyambangi paviliun saya di Kawasan Kebayoran Baru, Jakarta Selatan. Wisnu berkantor di sebuah perusahaan perbankan di Jalan Sudirman. Jadi, secara jarak memang tidak begitu jauh. Katanya, dia lagi pengin makan. Kebetulan, sore sampai malam, saya tidak ada acara. Lagipula, ini kan hari Senin. Kalaupun mau nongkrong di kafe atau restoran, paling mungkin juga ke Pisa Cafe di Kawasan Menteng, Jakarta Pusat. Duduk rame-rame mendengarkan lagu-lagu cinta yang dibawakan band Romantic 4. 
Sebagai tempat hiburan untuk laki-laki, EP punya fasilitas pelayanan yang serba komplit. Lantai satu ada karaoke yang notabene dilengkapi dengan koleksi LC. Di lantai dua, ada fasilitas sauna, massage, dan bar. Sementara di lantai tiga, tersedia ruangan lounge untuk bersantai. Di lantai inilah, saya dan Wisnu tengah menonton sexy dancer. 
"Mau tambah lagi minumnya?" seorang pra-musaji datang ke meja kami.
"Cukup, Mbak," jawab saya setengah kaget. 
Terus terang, perhatian saya masih terfokus pada sosok Maya yang barusan hengkang dari lounge. Siapakah gadis cantik dan sensual itu? Meli-hat dari gerak-gerik dan tingkah lakunya, Maya bisa membuat suasana jadi ramai. Enak diajak ngobrol, murah senyum, dan yang pasti, atraktif
Seorang pria dengan pakaian rapi mendekati Wisnu. Pria bernama Ferdy itu ternyata bekerja sebagai floor manager. Setelah berkenalan dengan saya, Wisnu dan Ferdy berbicara panjang lebar soal gadis-gadis di EP, terutama Maya. 
"Dia salah satu LC (lady companion) favorit di sini. Kalo mau yang impor dari Cina atau Filipina juga ada," jelas Ferdy.
Maya, menurut Ferdy, sudah hampir delapan bulan bekerja di EP. Umurnya baru sekitar 23 tahun. Selain bekerja, dia juga masih berkuliah di sebuah perguruan tinggi swasta di Jakarta. Dia hidup mandiri di Jakarta. Orangtuanya masih tinggal di Semarang, Jawa Tengah. Di EP, Maya termasuk dalam jajaran Top 5 alias LC yang jadi most wanted para tamu.
"Dia punya banyak langganan. Tiap hari se-lalu ada yang waiting list. Udah begitu,
"Bisa booking sekarang nggak?" potong saya sebelum Ferdy menyelesaikan kalimatnya. 
Ternyata, Maya sedang service—istilah yang biasa dipakai para LC ketika sedang bertugas. Ti-dak tanggung-tanggung, tamu yang membooking Maya, langsung membayar untuk dua belas jam. Itu artinya, tamu yang mem-booking Maya mesti membayar empat voucher. Satu voucher senilai Rp 400 ribu. Itu belum termasuk tip ratusan ribu rupiah setelah service selesai. 
"Next time aja, deh. Sekarang kita ke lantai dua aja yuk," ajak Wisnu setelah menghabiskan sisa minumannya. 
Gadis-gadis Es Batu
FERDY mengantarkan kami ke lantai dua. Di meja resepsionis, kami mengambil kunci loker lalu menuju ke bar. Disinilah, saya melihat pemandangan yang lebih menggiurkan. Di sebuah sofa panjang yang ditata memutar tengah berkumpul puluhan gadis cantik dari Cina, Thailand, Vietnam, dan Kolombia dengan dandanan superseksi. Ada yang mengenakan sackdress mini dan transparan, ada juga yang cuma mengenakan underwear. 
Saya dan Wisnu duduk santai sambil terus mengamati puluhan gadis yang ada di depan kami. Sebuah pemandangan yang begitu indah dan menggoda. Tubuh-tubuh seksi dengan dada dan paha terbuka menebar pesona. Memberikan senyuman dan melambaikan tangan pada setiap tamu yang datang.
Di kursi bar, beberapa gadis GRO (Guest Relations Officer) sibuk beramah-tamah dengan sejumlah tamu. Mami Tan, yang menjadi koordinator, memanggil lima orang untuk berkontes. Tiga dari Cina dan dua dari Vietnam. Mereka me-ngenalkan diri satu per satu lalu berpose sebentar di depan kami.
Wisnu memilih satu gadis dari Cina, semen-tara saya lebih suka dengan gadis Vietnam, sebut saja Ann, 22 tahun. Keduanya bergabung di meja. Mami Tan menyerahkan dua lembar voucher untuk kami tanda tangani. Satu voucher untuk gadis Cina atau Vietnam senilai Rp 1,5 juta. 
"Mau kamar standar atau VIP?" tanya Mami Tan yang lancar berbahasa Mandarin, Inggris, dan Indonesia. 
Di kamar VIP tersedia fasilitas whirlpool, TV 29 inci, dan shower. Harga per dua jamnya sekitar Rp 180 ribu. 
Setelah berbasa-basi sebentar, Wisnu beranjak menuju kamar VIP ditemani gadis Cina pilihannya. Saya, Ann, dan Mami Tan masih ngobrol di bar. Biasalah, saya ingin tahu lebih banyak soal kelab EP; dari koleksi para gadisnya sampai menu utama yang ditawarkan.
Foreplay seks dengan es batu dan air hangat menjadi topik utama pembicaraan kami. Menurut Mami Tan, pelayanan ini menjadi menu pembuka sebelum masuk pada tahapan intercourse. Pelayanan ini menjadi menu utama yang wajib diberikan oleh gadis-gadis dari Vietnam maupun Cina. 
Barangkali tidak jauh berbeda dengan menu seks di sejumlah panti pijat plus yang biasanya selalu didahului dengan proses "mandi kucing". Begitu juga dengan model pelayanan yang ada di EP 
"Kalo di sini, service mandi kucingnya dikom-binasi dengan es batu dan air hangat," jelas Mami Tan. 
Seperti apa bentuk pelayanan es batu dan air hangat itu? Ehm...untuk beberapa saat lamanya, saya hanya bisa membayangkan di kepala. Ann hanya senyum-senyum kecil. Gadis asli Vietnam yang batu dua bulan bekerja di EP itu, memang tidak begitu fasih berbahasa Inggris. Tapi tingkah lakunya sangat sopan dan ramah. 
"Ya, udah. Ke kamar aja sekarang. Biar bisa mandi bareng," saran Mami Tan sambil tertawa. 
Saya menggangguk pelan. Dan segera ber-anjak dari kursi. Saya menyempatkan diri me-longok kolam sauna yang mulai sepi. Maklum, sudah hampir pukul sebelas malam. 
"Mau dimandiin di depan umum?" goda Ann. 
"Nggak ah. Di kamar saja," sergah saya. 
Ann membawa saya ke sebuah kamar tipe standar. Lebarnya tak lebih dari 4X5 meter persegi. Selain dilengkapi kasur, juga ada shower di dalamnya. 
"Ini es batunya. Dan ini air hangatnya." 
"Iya, tahu. Terus?" "Kamu diam aja. Biar saya yang bekerja. Oke?" 
"Kok bengong. Gemetar apa bergetar." 
"Ehm....!"
"Santai saja. Saya nggak gigit kok."
Percakapan dengan Ann malam itu, sekitar satu jam setengah. Selama itukah? Pastinya. Selain mendapatkan foreplay seks, pastinya butuh waktu untuk basa-basi, dan membersihkan badan di bawah kucuran air. Ah, segarnya...! Jadi sebenarnya, sebutan gadis-gadis es batu muncul karena service foreplay yang mereka berikan menggunakan es batu, dari A sampai Z. Ada-ada saja. Itu baru es batu. Coba pakai tofu, apa jadinya ya?
(8) Uzbek "V"
NATALIE.
Nama itu meluncur dari bibir seorang gadis berambut pirang asli ketika ia mengenalkan namanya. Sebuah nama yang sangat familiar dan gampang diingat kepala, apalagi untuk lidah orang pribumi yang tinggal di kota-kota besar. Padahal, jelas-jelas mukanya Natalie itu bule banget khas Rusia. Umurnya tak lebih dari 21 tahun. Tinggi badannya 174 cm, dengan bentuk badan nyaris sempurna seperti model profesional. Ini bukan pujian gombal atau sengaja melebih-lebihkan, tapi nyatanya memang begitu. Natalie baru sekitar tiga bulan bekerja di Jakarta, setelah sebelumnya dia bertugas di Cina selama dua bulan. 
Ngakunya sih dari Rusia, tetapi lama-lama akhirnya Natalie keceplosan juga kalau datang dari Uzbekistan. Katanya, dia lebih suka mengenalkan dirinya sebagai gadis Rusia karena alasan sejarah. Rusia lebih bergengsi. Rusia lebih populer dan punya taring lewat agen KGBnya.
Welly itu awalnya. Begitu kena alkohol rada banyak, Natalie mulai bicara terus terang. Lima gelas vodka yang diteguknya, cukup membuat Natalie jadi sosok yang enak diajak bicara. Lagipula, itu sudah jadi rule standar. Bekerja di bisnis jasa, membuat tamu merasa comfort dan enjoy adalah tugas prioritas. Bayangin kalau baru setengah jam saja tamunya bete, wah.. .wah.. .bisa-bisa tamunya pulang cepat. Mestinya minimal order di ruangan karaoke tiga jam, bisa jadi cuma satu jam. 
"Bisa dimulai sekarang?" tanya Natalie dalam bahasa Inggris yang agak kaku. Aksen Rusianya terdengar begitu kental.
Dua orang teman saya, Daniel dan Tata, saling pandang sejenak. Merekalah yang membuat saya berada di sebuah ruangan yang terasa begitu asing. Ini untuk kali pertama saya duduk di sofanya yang empuk. Memandangi interior ruangan yang serba modern. 
"Bentar lagi, kita minum-minum dulu saja," sergah Sophia. 
Ya, ya... Sophia. Siapa pula gadis yang punya wajah tak kalah cantik dari Natalie ini. Sophia duduk di antara Daniel dan Tata sambil mengisap sebatang rokok Marlboro light. Asap tipis mengepul dari selasela bibirnya. Sesekali, Sophia meneguk Blacklabel on the Rock yang terhidang di meja.
Sophia, seorang gadia Rusia tulen. Berumur sekitar 20 tahun. Rambut ikal mengombak ber-warna agak kecokelatan. Matanya agak kebiru-ruan. Entah asli atau bias dari softlens. Tapi yang pasti, Sophia cakep banget. Bahasa Indonesianya terdengar fasih. Inggrisnya pun nggak malu-maluin. Rupanya, gadis yang murah senyum itu sudah cukup lama tahu Jakarta dan Surabaya. 
Ceritanya, Sophia dua tahun lalu pernah ke Indonesia karena ada job khusus. Jauh-jauh dia datang dari Rusia untuk memenuhi undangan seorang pengusaha kaya yang tinggal di Jakarta. Whatever siapa lah nama si pengusaha kaya itu, yang pasti, perusahaannya ada di mana-mana, dari mulai pengeboran minyak sampai sekuritas. Iming-iming US $ 10.000 untuk waktu satu minggu, membuat agen Sophia langsung bilang oke. Biaya transportasi dan akomodasi ditanggung si pemesan. 
Sophia tinggal bawa badan dan selembar kontrak kerja. Beres! 
Tugas Sophia selama seminggu intinya cuma satu: menjadi asisten pribadi yang siap dibawa ke mana saja. Dari mulai menemani dinner, golf sampai perjamuan pribadi di kamar suite hotel. That's it! Rupanya, pengalaman pertama itu berbuah manis. Lantaran puas dengan performance dan pelayanan Sophia, dia dipesan lagi untuk job kedua dan seterusnya.
Berikutnya, Sophia malah dijadikan sebagai "PR". Maaf, maaf, bukan public relations lho tapi piaraan. Dia ditempatkan di sebuah apartemen dilengkapi dengan seorang sopir yang merang-kap sebagai agen Secret Service. Mengantar dan mengawal ke mana pun dia pergi. Selama hampir setahun, Sophia dikontrak sebagai PR. Setelah masa perjanjiannya habis, dia dioper ke Jepang selama tiga bulan. Lalu lanjut ke Singapura dan Malaysia. Dia memang spesialis untuk kalangan Asia. 
Dia kembali dikirim ke Jakarta sekitar tahun 2002 ketika bisnis PSK asing yang melibatkan gadis-gadis Uzbek, Rusia, Cungkok, dan Thailand mulai mewabah. Begitu ceritanya singkatnya. 
Pantes kalau dia terlihat sangat menguasai la-pangan. Bagaimana dia berbicara, menghibur, dan melayani tamunya. 
"Cheers...!" Sophia mengangkat gelas. Natalie meneguk segelas vodka sampai tak bersisa. Daniel dan Tata, menghabiskan dua gelas martel yang dicampur dengan green tea. Mau tak mau, saya ikut-ikutan membasahi kerongkongan dengan segelas Black Russian. Saya sengaja memesan minuman itu karena rasanya manis. Campurannya terdiri dari kahlua, vodka, dan ada buah cherry-nya. 
V-Room
SUASANA mulai panas. Hawa alkohol bereaksi cukup cepat. Ruangan yang awalnya terasa sejuk itu kini jadi agak gerah. Sebut saja ruangan itu dengan nama V. Terserah mau menyebutnya Van Room, Vulcano Room, Vantasi Room, Vip Room, atau Velvet Room. Pokoknya, yang pen-ting enak terdengar di kuping saja lah. Tapi ada apa sebenarnya dengan V Room? Ini yang jadi pertanyaan saya sedari awal. Jujur, saya berada di ruangan V ini sebenarnya lebih karena faktor tersesat. Lho kok? Iya, awalnya saya mikir bakal datang ke sebuah party yang dihadiri ratusan tamu dari anak malam.
Dan, ternyata saya tidak salah duga meski tidak 100 persen benar. Kalau dirunut-runut dari kejadiannya, sore hari saya terima SMS yang isinya menyebutkan malam ini ada party dengan tema Lingerie Dance di sebuah bar BQ di Kawasan Kelapa Gading, Jakarta Utara. Biasalah, setiap Rabu, Jumat, dan Sabtu, puluhan tempat hiburan malam Jakarta memanfaatkan media SMS sebagai jalur untuk berpromosi. Sifatnya lebih personal dan langsung ke pokok sasaran. Daniel dan Tata, termasuk dua orang yang juga menerima SMS tersebut.
Saya tak begitu antusias untuk datang ke pesta itu. Maklum, saya ada acara lain yang lebih menarik. Dan, sorry to say. buat saya kok lebih punyai nilai, begitu.
Come TODAY to the Soft Opening of MU MU Spa & Lounge. Jl. Batu Tulis 35-37 Jakarta from 1PM till 2AM. Feats Sexy Dancers 8 Live DJ. 30% Off Beverage & Spa. Info 351-9988. 
Itu isi SMS yang menggoda saya untuk datang. Kebetulan, Minggu ini saya lagi pengin suasana baru. Bosen juga keliling dari satu diskotek ke diskotek, cafe to cafe. Memanjakan diri di sauna, menyantap buahbuahan segar dan mendengarkan musik-musik syahdu, rasanya kok lebih menyenangkan. Dapat diskon 30% lagi, itu kan jarang-jarang terjadi. Sebulan bisa jadi cuma sekali kecuali buat tamu yang berstatus "member". Tapi planning saya bubar ketika Daniel tele-pon dan mengajak saya pergi ke BQ. Mau nolak saya jadi nggak enak hati. Maklum, Daniel ini yang banyak membantu saya dalam menguak fenomena malem-malem di Jakarta. Muda—umurnya baru 30 tahun, banyak duit, banyak teman, royal pula. Jadi, nggak mungkin banget kalo saya tidak mengiyakan ajakannya.
Saya dan Daniel janjian ketemu di BQ pukul sembilan malam. Dia bilang akan datang bersama Tata, partner bisnisnya di bidang eksporimpor batu bara. Saya terpaksa melupakan agenda bersauna ria. 
Kha-kira pukul sembilan lewat 35 menit saya sampai di bar HQ. Acara belum dimulai. Daniel dan Tata sudah booking satu meja, tak jauh dari bar. Mereka terlihat asyik ngobrol dengan ditemani sebotol martel. Di atas panggung, sekelompok band tengah menyanyikan lagu-lagu RnB. Saya langsung bergabung di meja mereka.
Lingerie Dance yang menjadi tema acara malam itu baru dimulai sekitar pukul 22.30 WIB. Ratusan tamu sudah memadati ruangan. Sebagian memilih duduk, sebagian lagi asyik bersanding di depan bar. Lima orang model cantik dengan busana seksi transparan melenggok-Ienggok di atas panggung. Lalu perlahan turun dan membaur di antara puluhan tamu. 
Daniel dan Tata terlihat tidak terlalu serius menyaksikan aksi para model. Buat cowok seperti mereka, lingerie dance barangkali bukan satu acara yang istimewa, malah masuk kategori sangat biasa. Di sejumlah kafe-diskotek trendsetter hampir setiap minggu pasti ada acara sejenis. Entah temanya Go Go Dancers, Sexy Dancers sampai Wet-Wet Girls. Ini bukan acara private dengan komunitas terbatas tapi terbuka untuk umum. Makanya, saya pun jadi heran kenapa mereka berdua begitu bersemangat datang ke BQ.
"Tumben lo mau dateng ke acaran beginian. 
Cuma lingerie dance, jooo Apa nggak salah?" 
tanya saya, penasaran.
"Ini baru appertizer-nya. Maincourse-nya me-nyusul," jawab Daniel.
Benar dugaan saya. Rupanya, lingerie dance itu hanya sebagai tahapan rendezvous. Santai sejenak, menghabiskan segelas sampai tiga gelas minuman, baru masuk ke pesta yang sebenarnya.
V Room, ya di ruangan inilah akhirnya saya berada. Ruangan itu berada satu gedung dengan BQ. Hanya tinggal berjalan beberapa puluh meter, pintu V Room sudah menanti untuk dibuka. Sebuah ruangan yang desainnya dibuat berdasarkan . gabungan antara bar dan karaoke. 
Natalie dan Sophia. Dua gadis cantik itu mukanya mulai memerah karena pengaruh alko-hol. Daniel dan Tata tak ada bedanya. Mabuk? Tunggu dulu. Muka memerah hanya salah satu efek setelah minum alkohol. Kalau jalan sempoyongan, ngomong ngelantur, jack-pot pula, itu baru na-manya mabuk. Tipsy alias setengah mabuk, mung-kin itu sebutan yang lebih tepat.
V?-Lapdance 
NATALIE mematikan rokoknya. Sophia mengikat rambut ikalnya ke belakang. Mereka berdua saling mengerling. Lalu.... 
"Oke, guys. Sudah bisa dimulai sekarang?" terdengar suara Sophia.
Daniel mengangguk. Tata tertawa. 
Natalie dan Sophia masuk ke restroom dengan menenteng tas mereka. Daniel, Tata, dan saya menunggu di sofa.
"Ini baru maincourse-nya" ceplos Daniel sambil menepuk punggung saya. 
"Emang mereka mau ngapain?" 
"Liat saja sendiri. Nggak usah banyak tanya!" potong Daniel. 
Daripada malu-maluin karena kebanyakan nanya, mendingan saya menunggu apa yang akan terjadi. Coz, yang saya tahu selama ini, gadis Uzbek atau Rusia sebagian besar hanya menjual jasa perjamuan di atas kasur. Kalau pun ada yang menjadi "sexy dancers' jumlahnya tidak seberapa. Di Jakarta sendiri, paling-paling hanya ada dua-tiga tempat hiburan malam yang berani menggunakan Russian Dancers. 
Lima belas menit kemudian. Natalie dan Sophia keluar bersamaan. Muka mereka tampak lebih fresh. Mereka sudah men-touch up riasan di muka. Lipstik di bibir mereka yang sebelumnya mulai pudar kali ini kembali menyala.
Setelah meletakkan tas, mereka mulai berpose lalu menari secara perlahan mengikuti musik yang mengalun. Mereka masih mengenakan baju utuh. Sophia mengenakan sack-dress tak berlengan dengan sepatu berhak tinggi. Sementara Natalie memakai celana jins ketat dengan kaos yang ukurannya nge-pas di badannnya.
Menit demi menit, gerakan Natalie dan Sophia makin menyerupai tarian striptease. Hanya saja, sampai lima belas menit, mereka belum juga melepaskan baju yang melekat di tubuh mereka. Walah, kok lama sekali, itu pikir saya. Bukan apa-apa, biasanya para penari striptease yang banyak ditemui di sejumlah karaoke elit di Jakarta, akan mencopoti satu per satu bajunya setelah lewat 15 menit. Dimulai dari baju atasan, underwear sampai akhinya totally naked. 
Posisi Natalie dan Sophia sudah berada di depan Daniel dan Tata. Mata mereka menatap tajam. Sesekali Sophia meremas rambut ikalnya lalu menjatuhkan tubuhnya di dada Daniel. Natalie mengangkat kakinya dan membiarkan kaki jenjangnya yang masih mengenakan sepatu berhak tinggi menyentuh "danger zone" milik Tata. Bau harum Kenzo tercium enak di hidung. Butir-butir keringat menghias di sebagian tubuhnya.
Pada menit berikutnya, posisi mereka mem-belakangi Daniel dan Tata. Lalu, tanpa permisi, mereka mulai melalukan adegan lapdance. Menari dengan meliuk seksi dan panas di atas pangkuan. Momen ini makin menjadi-jadi ketika Sophia membuka sackdress-nya., dan Sophia mulai menu-runkan kancing celana jins-nya. 
Pesta sebenarnya baru akan terasa ketika mereka mulai melepaskan baju, underwear sampai akhirnya tidak mengenakan sehelai kain pun. Di tahap inilah, V***na lapdance atau biasa juga disingkat V lapdance, mencapai puncaknya.
Mereka sepertinya tahu persis apa yang haras dilakukan ketika Daniel dan Tata mulai bling-satan. Mula-mula metrka sengaja menolak ketika misalnya mulai diraba. Tapi, pada adegan tertentu mereka sengaja membiarkan dirinya menjadi bulan-bulanan. Let's play the game, itulah intinya. Mereka akan terus bermain-main dengan segala adegan dan tarian untuk menggoda tamunya. Makin besar tip yang dikeluarkan, makin pandai mereka memainkan perannya. V lapdance baru akan selesai ketika terjadi adegan "having sex".
Saya menahan napas dan pura-pura nggak liat ketika adegan itu terjadi. Daniel dan Tata berulang kali menenggak minuman untuk menghangatkan tubuhnya. Tata malah langsung minum dari botol untuk beberapa detik lamanya. Sebagian alkohol tumpah membasahi bajunya. Di kalangan anak malam, memang ada tren sendiri ketika minum langsung dari botol. Biasanya, sebelum botol sampai di mulut, mesti ada perjanjian dulu: 5, 10, atau 15 detik!
Saya pikir, pesta sudah usai ketika V lapdance itu berakhir. Daniel dan Tata mengembuskan napas penuh kepuasan, mereka berdua bertoast. Dua gelas bertemu. Merayakan kesuksesan mencapai titik klimaks biologis. Natalie dan Sophia mulai berjalan mendekat ke arah saya.
Secara hampir bersamaan, mereka langsung duduk di pangkuan saya
dan menari sejadi-jadinya. 
"Kerjain dia sampe teler," teriak Daniel.
"Rasain lo," ceplos Tata.
Well, semua berakhir setelah hampir satu se-tengah jam Natalie dan Sophia mempertontonkan V lapdance yang liar dan agresif itu. Saya me-nyalakan sebatang rokok untuk menghilangkan kekagetan yang baru saja saya alami. Inilah sex-entertainment yang sarat permainan. Sex is all about game. Itu intinya. Inovasi baru, barang lama. V lapdance menjadi menu yang diciptakan untuk menarik tamu. Obyeknya? Ya, tetap Uzbekistan atau Rusia. Bagi sebagian orang, menikmati sajian lapdance mungkin bukan lagi satu pertunjukan yang luar biasa. Rata-rata lady companion (LC) yang mangkal di karaoke, sudah tak asing dengan sajian lapdance. Hanya saja, lapdance menjadi menu yang memacu adrenalin dan rasa penasaran ketika diramu dengan racikan bumbu yang "extraconvensional". V lapdance dengan objek gadis-gadis Uzbek atau Rusia adalah salah satunya.
So... setelah pesta usai, Natalie dan Sophia sibuk merapikan tip beberapa lembaran US $ 50 dan US $100 yang tadinya berserakan di meja dan lantai. Mereka balik ke restroom lalu muncul dengan make-up baru seperti saat pertama kali saya bertemu mereka. Cakep banget, swear!!! 


(9)
SANDWICH BODY
MASSAGE
SEBUAH tempat pelesir cinta untuk laki-laki. Layanannya? Seks sandwich ala body massage dengan dayang-dayangcantik asli pribumi, Thailand, Cungkok, dan Uzbekiskan.
Ruangan itu terasa sejuk oleh hawa AC yang berembus. Musik chill-out terdengar lamat-lamat. Suara manja menyeruak dari kerumunan gadis cantik yang duduk di sofa. Di bar, kami duduk santai sambil menyeruput minuman beralkohol. 
Dicky sudali menghabiskan dua gelas Chivas yang dicampur dengan green tea, sementara saya masih menyisakan setengah botol Corona.
"Mau tambah bir Corona-nya?" tanya bartender cewek yang tampak gesit meracik minuman. 
"Ayo dong. Kan baru dua botol." Dicky ikut-ikutan menyemangati saya.
"Oke. Hajar aja! Tapi kalo gue sampai mabuk, lo yang tanggung jawab," jawab saya sambil mengbabiskan sisa bir dengan sekali tenggak. Saya menggunakan istilah "hajar", yang artinya kira-kira sama dengan "oke". Satu kata itu, kini tengah jadi tren di kalangan anak dugem untuk mengungkapkan rasa setuju. Padahal, awalnya istilah itu hanya dipakai kalangan "triper-mania" ketika sedang "on" di diskotek. 
"Tenang. Udah ada kok yang akan bertang-gung jawab," sergahnya sambil melirik ke arah beberapa gadis cantik dengan baju supermini yang duduk di sofa lounge. 
Sore itu, ceritanya saya diajak Dicky "ngupi-ngupi" (bahasa kerennnya: afternoon tea atau coffee) di sebuah kelab yang di dalamnya dilengkapi bar, lounge, dan sauna. Dengan tidak banyak bertanya, saya cuma mengiyakan. Maklum, saya kenal cukup baik dengan Dicky. Pria yang sehari-hari menggeluti usaha di bidang telekomunikasi (khususnya jual-beli ponsel) lumayan sering saya jumpai di sejumlah tempat "dugem". Bahkan, beberapa kali saya sengaja janjian "hang out" bareng. 
Sore itu, Dicky mengundang saya ke kantornya di Kawasan Casablanca. Biasalah, dia ingin ngo-brol-ngobrol sekalian menunjukkan produk ponsel terbaru yang belum dijual di pasar nasional. Tanpa banyak tanya, saya langsung mengiyakan. Ya, hitung-hitung silaturahmi. Sudah cukup lama, saya tidak mendengar celotehan Dicky yang suka asal bicara tapi sarat humor.
Hanya lima belas menit, saya dan Dicky berada di kantor. Usai memperlihatkan produk ponsel terbarunya, Dicky mengajak saya keluar. 
"Kita ngupi-ngupi di luar saja yuk. Udah lama nggak ngeceng," ajak Dicky.
"Pake mobil lo, apa mobil gue?" tanya saya.
"Mobil gue saja. Mobil lo parkir di sini aja. Aman kok!" jawab Dicky 
Saya tidak menyangka kalau cerita "ngupi-ngupi" itu ternyata berubah haluan. Padahal, awalnya saya mengira akan diajak ke Zinc Pool & Lounge, di daerah Bulungan Jakarta Selatan. Kalau tidak ke situ, ya paling ke Hard Rock Cafe di X-tainment, Jakarta Pusat atau ke Romeo Resto & Bar di Automall, Kawasan Tenda Semanggi, Jakarta Selatan. Mentog-mentognya, paling nongkrong di Plaza Senayan atau ke Plaza Semanggi. 
Ah, dugaan saya, ternyata salah 180 derajat. Tahu-tahu, arah mobil yang dikendarai Dicky melaju di sepanjang jalan Kuningan Raya. 
"Kita mo ngupi-ngupi di mana sih?" 
"Udah. Lo ikut aja. Dilarang banyak tanya. Kayak pengacara saja," sergah Dicky.
Sampai di perempatan Monas, saya masih belum juga mafhum mau dibawa ke mana. Kalau ambil arah ke kiri, itu berarti menuju ke Kawasan Kota atau Mangga Besar alias Mabes. Kalau belok ke kanan, berarti masuk Kawasan Pasar Baru. Lalu lintas mulai padat merayap. Tapi Dicky tampak santai-santai saja memegang kemudi.
"Kita mau ke mana sih? Nggak mungkin dong lo mau bawa gue ke Mabes?"
"Nggak! Kita ke Gunung Sahari. Kita nyobain tempat baru yang menurut temen-temen gue, punya pelayanan yang oke banget." 
Begitu Dicky menyebut Kawasan Gunung Sahari, saya langsung teringat sejumlah informasi yang selama ini sering saya dengar dari beberapa anak gaul Jakarta.
Selama beberapa tahun terakhir di kawasan itu, ada beberapa tempat pelesir cinta, mulai dari sauna, salon, KTV, gym sampai hotel yang menawarkan menu seks dengan inovasi baru. Seperti seks instan di private-whirlpool dengan dua atau tiga cewek, sexy-sex-sbow di KTV, pijat seks dengan menu gadis-gadis impor dan Iain-lain. Sejauh ini, saya baru dengar dari mulut ke mulut saja tanpa pernah membuktikannya secara langsung. Makanya, begitu Dicky melajukan mobilnya di sepanjang Jalan Gunung Sahari, saya mulai menebak-nebak. Hotel, sauna, tempat pijat, salon, atau malah di sebuah apartemen.
Tiba di sebuah perempatan besar, traffic light menyembulkan warna merah. Antrean panjang segera terjadi. Kami berada di deretan tengah, kira-kira lima mobil dari depan. "Duh, Jakarta memang tiada hari tanpa macet," gerutu saya dalam hati. 
"Masih jauh, Dick?" tanya saya tak sabar. 
"Nggak. Udah nyampe. Tempatnya udah keliatan tuh," jawab Dicky sambil menunjuk sebuah hotel berinisial G berwarna keemasan dengan tulisan besar. Hotel G tampak mencolok dibanding gedung-gedung lainnya.
Lounge Rendezvous
BAGI saya, Hotel G sebenarnya bukan tempat baru. Beberapa kali, saya pernah melintas di depannya. Tidak ada sesuatu yang membuat saya tertarik untuk singgah. Yang namanya hotel gitu loh, di mana-mana kan biasanya cuma menjadi tempat untuk menginap. Entah dengan membawa pasangan kencan, pesan via germo, atau iseng-iseng bertransaksi dengan salah satu gadis pemijat yang biasanya tersedia di hotel. Model begituan, rasa-rasanya sudah nggak aneh lagi. Modus operandinya terlalu umum dan mudah ditebak. 
Seluruh bangunan Hotel G didominasi warna krem. Ada jalanan menanjak menuju ke lobby. Tapi mobil yang kami tumpangi tidak menuju ke lobby melainkan masuk ke pelataran parkir. Setelah melewati beberapa blok, mobil berhenti tak jauh dari lift. Seorang petugas keamanan, mengantarkan kami ke pintu lift.
Kami naik lift ke lantai tiga. Begitu terbuka, dua resepsionis menyambut kami dengan ramah. Di belakang meja resepsionis, terpampang tulisan CS dengan desain neon sign warna-wami. 
"Ini tempat apaan, Dick?"
"Udah ngikut aja. Lo pura-pura atau sengaja bego?" 
"Sumpeh deh, gue nggak ngerti. Baru sekali ini gue ke sini." 
"Ntar lo juga ngerti. Masuk yuk!" jawab Dick sambil mendorong tubuh saya.
Resepsionis mengantarkan kami sampai di pintu masuk. Kami berada di sebuah ruangan yang bentuknya tak ubahnya lobby hotel. Setelah melewati satu pintu lagi, kami tiba di sebuah lounge yang dilengkapi bar dan sofa berbentuk memutar. Di bar, ada tiga pria yang asyik ditemam tiga cewek. Sementara pemandangan di sofa, tak kalah serunya. Ada dua grup laki-laki yang duduk santai sambil terus bercengkrama.
Tentu saja, bukan pemandangan sejumlah pria yang tengah asyik bercengkrama sembari berpesta bir, tetapi sekelompok gadis-gadis cantik dengan busana yang sangat mini. Sebagian dari mereka, ada yang sesekali ikut nimbrung minum bersama para tamu, sebagiannya lagi ada yang sibuk membenahi make up, "kontes" dengan perantara mami, dan tentu saja, duduk sambil mejeng di sofa menunggu tamu datang. 
Istilah "kontes" sendiri, bagi mereka, itu ber-arti tahapan untuk berkenalan dengan para tamu. Biasanya mami akan memanggil lalu mengenalkan mereka pada para tamu, satu per satu. Kontes bisa dilakukan di launge, bisa juga langsung di dalam kamar. 
Saya jadi mafhum kalau bar dan lounge yang ada di CS, lebih sebagai tempat untuk rendezvous; ajang pertemuan face to face antara tamu dan gadis-gadis di CS. 
Saya dan Dick memilih duduk di depan bar. Mami Nana, begitu para tamu CS menyebutnya, menyambut kami dengan ramah. Biasalah, nama-nya juga mami, pastinya dituntut untuk pandai berbasa-basi. Kalau perlu, selalu tersenyum sepan-jang hari. 
"Kok baru keliatan lagi, Pak Dicky. Ke mana aja?" tanya Mami Nana.
"Cari nafkah, Mam. Masak foya-foya melulu," jawab Dicky dengan cuek.
"Bos, bisa aja." Mami Nana ikut duduk di sebelah kami. 
Saya tak berhenti mengamati keadaan seke-liling. Di setiap dinding lounge, saya melihat foto-foto hitam-putih berpigura besar dipajang. Foto-foto itu berisi gambar perempuan dan laki-laki dalam pose-pose seksi, sensual bahkan nyaris telanjang tapi tidak terlihat seronok. Malah, menurut saya, indah sebagai sebuah karya yang artistik.
"Bengong aja lo. Minum dong Corona-nya," suara Dicky mengagetkan saya. 
"Iya. Gue lagi mengagumi foto-foto yang dipajangdi dinding." Saya masih saja memerhatikan satu foto yang terletak di belakang bar. Seorang perempuan telentang di atas sofa dengan hanya ditutup kain tipis dan membiarkan rambutnya tergerai. Di ruangan tengah, terdapat screen ber-ukuran besar yang tengah melansir acara fashion TV. 
3 or 4-Some Service
"MAU nyobain apa hari ini? Lokal, Cungkok, Thailand, atau Uzbek?" Mami Nana menawarkan beberapa alternatif cewek yang bisa di-booking. 
"Ada stok yang baru nggak, Mam?" sambung Dicky. 
Pembicaraan antara Mami Nana dan Dicky tampaknya mulai menjurus pada inti persoalan. Ya, apalagi kalau bukan seputar menu seks yang bisa didapatkan di kelab CS. Dengan fasihnya, Mami Nana mempromosikan sex service ala body massage yang bisa diberikan anak didiknya. Tidak tanggung-tanggung, Mami Nana langsung menawarkan paket "Threesome" pada kami. Saya lebih banyak menjadi pendengar setia sambil se-sekali melihat ke arah kerumunan anak didik Mami Nana yang masih duduk mejeng di sofa. 
Tiba-tiba, dari belakang kami, muncul dua perempuan Uzbekistan dengan dandanan seksi dan langsung duduk di sofa. Mami Nana memanggil mereka dan mengenalkannya pada kami. 
"Helena." "Sabrina."
Hanya lima menit, mereka lalu kembali ke sofa. Duduk manis sambil mengembuskan asap rokok Marlboro Light dari bibirnya. Dua gelas cocktail Sexy Blue terhidang di meja.
"Gimana? Berminat? Atau mau cewek Thai-land freelance?' tawar Mami Nana. Dari tasnya, dia mengeluarkan dua lembar foto berwarna ukuran 4R.
"Dua jam paketnya Rp 2,5 juta. Mau di hotel boleh, di apartemen juga tidak masalah. Terserah saja mau dibawa ke mana. Gue tinggal telepon mereka kok," jelas Mami Nana.
Untuk beberapa saat lamanya, Dicky terlihat menimbang-nimbang. Melihat dari fotonya, dua gadis Thailand yang ditawarkan Mami Nana cukup menarik. Tinggi di atas 170 cm dengan ukuran bra sekitar 36 B. 
"Gimana? Lo mau lokal, Cungkok, Uzbek, atau Thailand?" tanya Dicky pada saya. 
Saya bungkam, tidak tahu harus menjawab apa. Boro-boro harus menentukan pilihan, mendengar pembicaraan Dicky dan Mami Nana saja, saya sudah gemetar. Belum pernah terbayang di kepala saya melakukan seks threesome. Apalagi dengan cewek-cewek impor. Alamak! 
"Jangan diam saja dong. Tentukan pilihan sekarang. Semua on me" desak Dicky.
Yang dimaksud "on me", artinya semua bia-ya Dicky yang tanggung. Semuanya, tanpa ter-kecuali.
Sejujurnya, saya lagi bingung harus memilih yang mana. Untuk mengelak, bisa-bisa saya men-dapat setumpuk ejekan dari Dicky. Satusatunya jalan, saya coba mengulur-ulur waktu.
"Terserah lo, Dick. Gue ikut saja. Kalo nggak, lo dulu aja yang masuk, gue mikir-mikir bentar."
"Paling bisa lo. Kalo kelamaan, gue masuk dulu nih," balas Dicky. 
"Iya...iya. Gue nggak keberatan. Duluan aja," timpal saya tanpa pilar panjang. 
Dicky tampak tersenyum. Mami Nana spon-tan menyodorkan sex package yang ia punya.
"Jadi, mau body massage biasa atau mau three-some?" tanya Mami Nana.
Dicky memilih paket threesome ala body massage. Tidak tanggung-tanggung, kali ini dia memesan dua gadis Cungkok sekaligus. Rupanya, penawaran Mami Nana cukup membuat Dicky tergoda. 
Tak lama kemudian, Mami Nana memanggil lima gadis Cungkok untuk berkontes di sofa lounge. Satu per satu, mereka diperkenalkan. Ah, agak pusing juga mengingat nama mereka satu per satu, apalagi kalau sampai harus berdialog. Bukan apa-apa, boro-boro ngomong pakai bahasa Indonesia, pengetahuan mereka akan bahasa Inggris sangat terbatas. Alhasil, dialog hanya bisa dilakukan ala kadarnya.
Kontes hanya berlangsung tak lebih dari lima menit. Lima gadis Cungkok itu lalu kembali ke sofa. Terjadi pembicaraan serius antara Dicky dan Mami Nana. Rupanya, Dicky tengah bertanya ihwal kelebihan dan kekurangan dari kelima gadis Cungkok itu.
Dua gadis Cungkok telah dipilih Dicky. Satu bernama Ching, berusia 21 tahun, rambut lurus melintasi bahu, tinggi 170 cm lebih dan tentu saja, berkulit kuning bersih, sedangkan yang satu lagi biasa dipanggil Wei, berusia 19 tahun dengan wajah khas Mandarin dan memiliki tubuh agak sintal dibanding Ching. 
Menurut Mami Nana, mereka berdua terma-suk "top 5" dari sepuluh gadis Cungkok yang tersedia di CS. Selain gadis Cungkok, masih ada 25 gadis lokal, lima gadis Thailand, dan tujuh gadis Uzbekistan yang saban hari "stand by" di CS. 
Dicky memesan kamar Royal Suite yang dilengkapi whirlpool, shower, ranjang berukuran besar, dan TV 29 inci. Kamar tipe ini, di SC menjadi fasilitas nomor satu. Di bawahnya ada tipe Junior Suite dan Standar.
Dicky dan dua gadis Cungkok itu sudah menghilang dari lounge menuju ke kamar Royal Suite. Saya masih ditemani Mami Nana di bar. "Apa gerangan yang akan terjadi dengan Dicky?" tanya otak saya. Ups! Di kamar yang serba nyaman dan enak sambil ditemani gadis cantik.... Hm... sudahlah tidak usah kita bahas. 
Saya jadi teringat dengan Order Orgy Rumah Cinta XXX, di sebuah tempat bernama BO, di se-kitar Pondok Indah, yang pernah saya tulis sebe-lumnya. Pelayanan yang diberikan oleh gadis-gadis di CS tidak jauh berbeda. Hanya saja, di CS koleksi gadisnya lebih variatif dan selalu di Up-Grade.
"Kalo mau foursome juga boleh," jelas Mami Nana dan cukup membuat saya terbengong untuk beberapa detik. 
"Ah, Mami bisa saja. Saya ini masih awam. Jangankan threesome atau foursome, satu saja udah bingung." 
Atas inisiatif sendiri, saya meminta Mami Nana untuk melihat-lihat kamar yang ada di CS. Saya dibawa berjalan ke lorong kamar tak ubahnya seperti yang terdapat di hotel. Perpaduan warna krem dan hijau mendominasi dinding. Mami Nana membawa saya untuk melihat-lihat kamar Royal-Suite. "Ehm...pantas setiap tamu betah berlama-lama di dalam." Kalimat itu yang pertama terlintas di benak saya.
Kamar seluas kira-kira 3X5 meter persegi dilengkapi sebuah ranjang besar, whirlpool, shower, lemari, meja hias, dan TV 29 inci yang meng-gantung persis di atas ranjang. 
"Kita menyediakan film biru, kalo tamu pengen nonton," ujar Mami Nana sambil meng-ambil remote dan menyalakan TV. Beberapa potongon adegan panas segera muncul di layar TV. 
Otak saya segera membayangkan apa yang kini tengah dilakukan Dicky, di kamar sebelah. Dua gadis Cungkok, tahap pertama, akan meman-dikannya di dalam whirlpool dengan air hangat. Sekujur tubuh Dicky, tanpa terkecuali, akan "dira-wat" layaknya seorang bayi. Dan pastinya, sama-sama tidak mengenakan baju selembar pun.
Tahap kedua, Dicky akan mendapat suguhan body massage service dengan dua pilihan: (1) menggunakan busa sabun, dan (2) menggunakan krem pelicin yang dijamin tidak lengket dan aman untuk tubuh. Tahap ketiga, proses body massage yang biasanya selalu dibumbuhi service mandi kucing akan berlangsung seru dan panas. Ya, dalam benak saya, tergambar bagaimana ketika kucing lagi mandi. Tidak jauh dari unsur jilat dan menjilat, begitu seterusnya. 
Tahap selanjutnya, Dicky akan dimandikan di bawah siraman shower. Usai sesi ini, Dicky akan mendapatkan pelayanan terakhir, ya apalagi kalau bukan sex-intercourse alias "bobo-bobo bertiga". 
"Kok bengong. Mulai tertarik atau lagi nge-bayangin dimandiin cewek Uzbek?" seru Mami Nana. 
Seruan itu membuat lamunan saya buyar. "Ah, barusan gue mikirin apa?" Pertanyaan demi pertanyaan terus muncul di benak saya. 
"Apa sih bedanya bercinta dengan satu, dua, atau tiga cewek sekaligus?"
"Apa nggak risih, ya?"
"Bagaimana cara mainnya? Apa nanti konsen-trasi tidak terpecah karena lawan main lebih dari satu?"
"Kalau cuma untuk sensasi dan variasi, apa letak keistimewaannya?"
Belum juga sejumlah pertanyaan itu terjawab, tahu-tahu Mami Nana mengajak saya kembali ke bar-lounge. 
"Udah, jangan bengong terus. Kita ke lounge saja, biar Bos bisa pilih-pilih." Saya mengangguk dan berjalan melintas di lorong kamar yang semua pintunya tertutup rapat. 
Di tengah perjalanan, saya berpapasan dengan seorang pria yang berjalan beriringan dengan gadis Thailand. Pria itu berwajah pribumi, mengenakan baju rapi. Sekilas terlihat baru saja pulang dari kantor. Sementara gadis Thailand-nya, membalut raga langsingnya dengan sack-dress warna biru muda, sepasang sepatu berhak tinggi membuat kaki langsingnya semakin jenjang.
"Met sore, Bos," sapa Mami Nana. Mereka tersenyum lalu sedetik kemudian masuk ke kamar tipe Standar. 
Rp 30 juta / bulan
SUASANA bar-lounge tidak banyak berubah. Ada tiga tamu baru yang tampaknya baru saja datang. Kali ini, saya duduk di sofa dan kembali memesan sebotol Corona. Mami Nana memanggil lima gadis lokal yang duduk bergerombol tak jauh dari saya. 
Begitu melihat mereka dari dekat, yang tak luput dari perhatian saya adalah baju mereka. Rok, misalnya. Kalau cuma mini, barangkali saya sering melihatnya di mal atau plaza. Tapi yang mereka kenakan, jauh di atas mini. Bagaimana tidak? Rok yang melilit di tubuh bagian bawah mereka, tak ada bedanya dengan swimwear. Begitu juga dengan baju penutup bagian atas. Rata-rata nyaris memperlihatkan sex appeal mereka. Transparan!
Julie dan Sally. Dua gadis lokal itu akhirnya menenami saya duduk di sofa. Julie berambut pirang (pastinya hasil olahan salon), berumur 20 tahun, dan berkulit sawo matang. Sementara Sally berusia 21 tahun, dengan rambut warna hitam kecokelat-cokelatan, dan berkulit kuning langsat. Keduanya mengaku sama-sama dari Cirebon, Jawa Barat.
Julie baru empat bulan bekerja di CS. Sebe-lumnya, ia pernah bekerja di beberapa tempat hiburan malam seperti di karaoke BV sebagai LC (lady companion) — gadis pemandu lagu, di kawasan Kota dan sebagai theraphist (pemijat) di SR, sebuah tempat kebugaran di Kawasan Wijaya, Jakarta Selatan. 
Selama menjadi LC dan therapist, Julie mengaku hanya sekali dua kali melakukan tran-saksi seks. Selebihnya, ia lebih banyak melakoni pekerjaannya sesuai aturan. Ya, paling-paling kalau pun harus menjurus pada aktivitas seksuai, itu tak lebih dari seks kecil seperti lapdance (menari di atas pangkuan) atau memberikan pelayanan seks hand-job pada klien. Itu saja!
Sementara, Sally sudah bergabung dengan CS sekitar enam bulan lebih. Sebelumnya, ia me-mulai karir dengan menjadi therapist di tempat pijat ST, di kawasan Pondok Indah, Jakarta Selatan. Tapi hanya berjalan lima bulan, lalu ia memu-tuskan pindah ke CS. 
Tidak berbeda dengan Julie, selama menjabat sebagai massage-girls, Sally lebih banyak berpraktik normal; memberikan pelanan pijatmemijat dalam arti sebenarnya. Kalaupun sekali dua kali harus terlibat pada aktivitas seksual, itu lebih dikarenakan faktor "X". Seperti, diamdiam dia menyukai tamu yang sudah jadi pelanggan tetapnya atau karena kebutuhan keuangan yang mendesak. 
"Pelayanan seks tidak jadi prioritas. Kadang-kadang saja," ungkap Julie yang hanya tamatan SMP itu. 
"Namanya juga kerja beginian. Kalo pas ke-temu tamu yang handsome, masak kita anggurin. Udah enak dapet duit lebih lagi," sergah Sally berterus terang. 
Berbekal pengalaman sebagai LC dan thera-phist itulah, mereka akhirnya memutuskan ber-gabung di CS. Mereka tidak langsung bekerja begi-tu saja tapi mesti menjalani dulu proses trainings?' lama dua sampai tiga minggu. Bukan apa-apa, dari segi pelayanan, masing-mastng tempat kebugaran punya spesialisasi. Treatment di CS misalnya, mengandalkan "body massage" sebagai jualan utama yang berujung pada pelayanan seksual. Meskipun Julie dan Sally menguasai teknik pemijatan secara dasar, tetap saja harus menjalani pelatihan untuk memahami gerakan khususnya. 
"Basic-nya. memang pijat tapi kalau body massage punya rumus gerakan sendiri," jelas Sally. 
"Kalo pijat beneran kan menggunakan ta-ngan sebagai alat utama. Kalo body massage, ya mestinya menggunakan seluruh badan, terutama dada dan perut. Pokoknya semua deh. Ditambah lagi dengan gerakan mulut. Dan semua itu butuh latihan," imbuh Julie, panjang lebar. 
Mereka tahu, bergabung di CS itu berarti mereka harus siap memberikan pelayanan seksual, lain tidak. Body massage, dalam praktiknya, hanya menjadi tahapan foreplay yang akan berlanjut pada "intercourse" dan terakhir, afterplay. Untuk tahapan terakhir ini, mereka biasanya dilatih untuk melakukan pijatan refreshing dan terakhir, memandikan tamu di shower atau di dalam whirlpool. 
"Praktiknya seperti apa ya kira-kira?" Pikiran saya jadi membayangkan adegan yang bukan-bukan.
Obrolan itu makin mengasyikkan. Satu demi satu, sedikit banyak saya mulai tahu tentang gadis-gadis yang menjadi "penghuni" kelab CS. Belum lagi ditambah keterangan panjang lebar dari Mami Nana. Sesekali, wanita berumur sekitar 34 tahun itu ikut bergabung di meja kami. 
"Ngobrol melulu, kapan masuk kamarnya?" sindir Mami Nana.
"Bentar lagi, Mam. Lagi seru nih ngobrolnya," jawab saya sambil melirik ke arah Julie dan Sally secara bergantian. 
Mami Nana kembali berlalu, menyambut dua orang tamu yang baru masuk. Saya melanjutkan obrolan yang sempat terputus. 
Dalam sehari, Julie dan Sally bisa mendapat-kan tamu, minimal satu-dua orang. Kalau kebe-tulan lagi ramai, bisa tiga sampai lima kali dari pukul 11.00 sampai 22.00 WIB (last order). 
Untuk satu kali transaksi all-in (sekitar satu setengah jam), gadis lokal dipatok harga Rp 500 ribu, gadis Uzbek, Cungkok dan Thailand sebesar Rp 1,5 juta. Harga itu belum termasuk food & beverage (F&B) dan tip.
Dari harga itu, gadis-gadis di CS mendapatkan bagian sebesar 5070%. Gadis lokal misalnya, dari transaksi Rp 500 ribu, mereka memperoleh Rp 250 ribu. Sedangkan gadis "impor", dari harga Rp 1,5 juta bisa mengantongi uang sebesar Rp 1 juta. Urusan tip, sepenuhnya menjadi milik gadis-gadis CS.
Yang membuat saya tertarik adalah penda-patan per bulan yang bisa didapatkan anak didik Mami Nana itu. Dalam sebulan, dengan perkiraan terendah, gadis-gadis lokal bisa mengantongi uang Rp 12 hingga 15 juta. Estimasi tertinggi (tiga-empat kali dalam sehari), berarti bisa mendapatkan uang Rp 25 sampai 30 juta.
Sementara untuk gadis-gadis impor, penda-patan mereka per bulan dengan hitungan terendah senilai Rp 25 hingga 30 juta dan hitungan tertinggi bisa di atas Rp 50 sampai 60 juta. Untuk kasus terakhir, biasanya berlaku pada gadis-gadis impor yang menjadi primadona di CS.
"Untuk gadis impor, yang paling laku Cungkok ama Uzbek. Sehari minimal mereka dapet satu tamu," terang Sally. 
"Tapi, gadis lokal tetap paling favorit di sini," imbuh Julie, bangga. 
Jam sudah hampir menunjuk angka tujuh malam ketika Mami Nana kembali muncul di meja kami. 
"Jadi masuk nggak nih? Udah hampir sejam lho ngobrolngobrolnya," kata Mami Nana.
Ups! Rupanya, tanpa terasa hampir satu jam saya ngobrol dengan Julie dan Sally.
Belum juga saya menjawab, dari arah lorong kamar, muncul Dicky dengan rambut masih basah dan wajah sumringah. Dia tersenyum. 
"Lo belum masuk dari tadi?" tanya Dicky sambil menghenyakkan diri di sofa.
"Belum. Gue keasyikan ngobrol dari tadi." "Udah, buruan masuk sekarang. Gue tungguin lo," sambung Dicky, setengah memaksa. 
Saya tidak menjawab. Jam sudah melintasi angka 7. Musik syahdu terus mengalun, memenuhi tiap sudut ruangan. 
"Ayolah, Bos. Minum sudah. Ngobrol sudah. Mau apalagi? Tinggal berlabuh di surga dunia kan...," suara Julie dan Sally terngiang-ngiang di kepala saya. Terdengar begitu manja dan penuh ajakan. Surga dunia? Waduh, seperti apa wujudnya, saya belum berani membayangkannya. Mana tahan!


(10) Club BDSM
"PECUT terus, Sayang!"
See, ini bukan suara yang keluar dari para pemain debus. Tapi suara itu terdengar dari bibir Joyce. Dua tangannya merentang, mencengkeram erat tiang tempat tidur. Hanya mengenakan lingerie tipis warna merah menyala yang terbuka di bagian punggungnya, Joyce terus meronta. Sesekali, tubuhnya yang langsing dan berkulit putih itu bergerak tak ubahnya liukan penari.
Laki-laki yang berdiri di belakang Joyce dan memegang pecut itu tersenyum puas. Beberapa kali ia melecutkan pecut di tangannya. Joyce meringis untuk kesekian kalinya. Mulutnya berdesis seperti ular kepanasan. Punggungnya tampak memerah karena luka pecutan. Tubuh laki-laki itu basah oleh keringat. Ekspresi wajahnya menyiratkan 
kepuasan yang belum maksimal. Ada sesuatu yang mengganjal di kepalanya, sesuatu yang belum terlampiaskan secara sempurna. 
"Stop, stop! Aku ingin istirahat sebentar." Nada suara Joyce mengendor. Dia membalik badannya, mengecup bibir laki-laki itu lalu tutun dari ranjang. Dia mengambil kimono yang tetgantung di dinding lalu berjalan menuju sofa. 
"Danar, sini dong, temenin aku minum." 
Laki-laki yang dipanggil Danar itu tak lama kemudian tutun dati kasut dan duduk di samping Joyce. Keringat membanjiri tubuh setengah telan-jangnya. Secarik handuk putih melingkar di ping-gang Danar. 
Joyce duduk dengan menyilangkan salah satu kakinya. Asap rokok masih mengepul dari bibirnya yang basah. Dua botol wiski Martel terhidang di meja lengkap dengan sepiring buah segat. Uniknya, di meja itu tidak hanya ada makanan dan minuman, tetapi juga ada pecut, borgol, lilin, dan tali yang terbuat dari bahan halus.
"Kenapa berhenti?" tanya Danar. 
"Ada tiga temen yang mau join. Biar lebih seru!"
Joyce membuang abu rokok ke dalam asbak. Diteguknya segelas Martel dengan perlahan. Joyce terlihat begitu excited saat alkohol mengaliri kerongkongnya. Padahal, aroma wiski itu seperti menusuk hidung. Rasanya pahit di lidah dan dengan cepat membuat datah memanas.
"Pesta tanpa minum, kayak makan nggak pakai lauk," guraunya. 
Dari luar pintu kamar, terdengar bunyi ketukan tiga kali. Joyce beranjak meninggalkan sofa, membukakan pintu. Muncul sosok Teddy bersama Ruth dan Meta. Sepasang mata bundar milik Joyce melebar senang.
"Lama amat!" sambutnya antusias pada tiga otang temannya yang juga tak kalah antusias. Danar menatap mereka satu per satu lalu tersenyum sebagai tanda "welcome". Tanpa banyak basa-basi, meteka bergabung di meja, dan langsung menuang minuman. 
"Biar panas, mari bersulang," seru Joyce meng-ajak temantemannya ber-toast. 
Ruangan di apartemen Joyce itu dilengkapi dua kamar tidur, dan satu ruang tamu. Interiornya sarat dengan nuansa serba gothic. Tiraitirai warna gelap menggelantung di ruangan tengah, di kaca jendela, dan menjadi hiasan di ruang tamu. Bau aroma terapi semerbak menerobos ke lubang hidung. Cahaya lilin menghias di ruangan, menyatu dengan lampu warna kebiruan yang membias temaram. Alunan musik berirama melankolis mendayu-dayu menyusup ke telinga. Suasana apartemen Joyce tak ubahnya kamar praktik seorang cenayang atau paranormal. Begitu mistis!
Perpaduan interior, aroma terapi, dan musik lembut seperti menghadirkan nuansa erotis yang siap meledakkan nafsu terpendam. Belum lagi pasokan amunisi alkohol membuat tubuh terus hangat dan perlahan tapi pasti aliran darah berpacu dengan cepat serta jantung berdegup kencang.
"Ready?" tanya Joyce.
Danar, Teddy, Ruth, dan Meta saling tatap sejenak. 
"Oke, siapa takut," sergah Meta.
" Let's go for party!" seru Joyce. 
Pesta pun dimulai. Joyce dan Danar me-lanjutkan adegan liar mereka yang tadi sempat tertunda. Danar mengikat dua tangan Joyce pada tiang ranjang. Dengan pecut di tangannya, Danar melanjutkan segala bentuk "kebringasannya". Ter-lihat sangat kasar dan emosional. 
Di sudut lain, Teddy menjadi pasien dalam posisi terikat. Sebuah borgol membelenggu kedua tanggannya. Ruth dan Meta memainkan lilin yang masih menyala lalu mengeluskannya di tubuh Teddy berulang kali. 
Ada rintihan terdengar. Ada jerit kesakitan terlontar. Ada senyum kepuasan terpancar dari wajah mereka. 
Ada naluri sadisme dan kepasrahan yang saling tarik-menarik satu sama lain. Sadisme yang menghasilkan luka gores dan memar. Kepasrahan yang mengalir tanpa perlawanan. Dua-duanya mewamai pesta malam itu.
Seks Pesakitan (?) 
SEBENARNYA apa yang tengah dilakukan Joyce Cs? Sebuah pertunjukan seks pesakitankah atau cuma sekedar fantasi overdosis yang diidap beberapa orang tanpa mereka sadari? Di bawah alam sadar, mereka sangat menginginkannya. Di alam nyata, mereka mengingkarinya. 
Jawabannya: bisa dua-duanya. Seks bondage sado-masochist atau biasa disebut dengan istilah BDSM, mungkin bukan perilaku baru dalam berhubungan seks. Sejak dulu, perilaku ini sudah ada. Hanya bungkus dan labelnya saja yang kini membuatnya jadi berbeda. Bisa atas nama tren, atau sangat mungkin karena sudah jadi lifestyle. 
Sebagian orang yang cenderung mengguna-kan jalur normal dalam berhubungan seks, menganggap seks BDSM sebagai fantasi belaka. Sebagian orang yang menyukai gaya-gaya aneh dalam bercinta, menyebutnya sebagai perilaku yang biasa-biasa saja. Seperti Joyce dan grupnya yang menganut paham BDSM merupakan segala bentuk ekspresi dan apresiasi dalam berhubungan seks. 
"Aku tidak sedang bermimpi kok. Ini nyata bukan fantasi," sergah Joyce berkilah tentang apa yang telah dia lakukan bersama grupnya. 
Di sini, di hit-lounge berinisial MT di Kawasan Kuningan, Joyce mengungkapkan se-muanya. Sebuah janji temu yang tidak pernah saya duga sebelumnya. Lewat pertemuan ini saya mendapatkan informasi dan gambaran yang detail tentang bagaimana seks BDSM, lengkap dengan lika-likunya.
Pertemuan tanpa disengaja, itu awalnya. Saya bertemu Joyce pertama kali di sebuah acara grand launching sebuah kelab baru berinisial NC di Kawasan Blok M, Jakarta Selatan. 
Kelab NC itu tidak terlalu besar. Paling-paling berkapasitas tiga ratus orang untuk standing party. Di beberapa sudut ruangan dilengkapi sofa berukuran besar untuk bersantai. Ada bar, panggung kecil untuk live band, dan tentunya, DJ yang memainkan lagu-lagu populer. 
Ada pertunjukan spesial malam itu. Di atas panggung, muncul dua cewek dan satu cowok berbaju kulit hitam dan masing-masing mengenakan topeng di bagian wajah. Mereka mempertontonkan atraksi BDSM selama hampir 45 menit. Sambil terus menari dengan gerakan teratur, indah dan sensual, mereka memperagakan adegan memborgol, memecut, dan menyakiti diri sendiri dengan membakar tubuh menggunakan nyala lilin.
Setiap kali satu pecutan mengenai tubuh, terlihat bekas luka memerah. Bekas pembakaran lilin itu pun tampak jelas menempel di kulit. Entah sudah berapa bekas luka pecutan yang menjadi hiasan di punggung selama pertunjukan berlangsung. 
Saya pikir, itu hanya bagian dari show dan entertainment semata. Ternyata, pecut dan lilin yang menyala itu bukan hasil sulap atau tipuan, melainkan adegan yang sebenarnya. Kebetulan, saya kenal baik dengan Vera, public relation di kelab NC. Dari Vera lah, saya diperkenalkan dengan Joyce. 
Joyce inilah yang menjadi "leader" dari pertunjukan BDSM malam itu. Joyce terlihat santai menikmati pertunjukan. Dia duduk di sofa ditemani seorang pria yang mengenalkan dirinya sebagai Danar. 
Menurut Joyce, atraksi BDSM yang diperlihatkan itu nyata, bukan tipuan. Mereka yang menari di atas panggung, memang para pecinta BDSM.
"Kalo nggak percaya, ntar gue panggilin mereka. Lihat saja sendiri bekas luka pecutannya," tukas Joyce. 
"Tuh kan, beneran. Saya nggak bohong," seru Vera sambil melihat ke arah saya.
Sebelum Joyce meninggalkan kelab NC, saya sempat berpapasan dengannya. Tak mau me-lewatkan kesempatan, saya pun bertukar nomor ponsel.
"Nanti gue undang kalo ada acara," janji Joyce. 
Dan di sinilah sekarang, di bar MT, saya dan Joyce akhirnya bertemu untuk kedua kalinya. Joyce datang ditemani Danar. Tampaknya, Joyce dan Danar adalah sepasang kekasih, atau malah suami-istri dalam tanda kutip. Habis, di beberapa kesempatan, mereka terlihat selalu bersama. Tapi masa bodo ah, mau sepasang kekasih atau suami-istri, nggak penting buat saya. Yang paling penting, saya bisa mendapatkan
informasi tentang Club BDSM yang belakangan lagi ramai dibicarakan.
"Kenapa ingin tahu soal DSSM. Tertarik mau coba?" pancing Joyce. 
Saya hanya tertegun. Begitu blak-blakan wanita berumur 31 tahun ini mengungkapkan apa yang di kepalanya. Belum lagi saat dia menceritakan pengalamannya. Tak terlihat sama sekali, dia ber-usaha menutup-nutupi apa yang telah dia jalani selama mi. 
"Buat gue dan Danar, nggak ada yang salah dengan seks BDSM. Ya kan, Sayang?" ujar Joyce sambil menyandarkan kepalanya di bahu Danar.
Tidak ada yang salah memang dengan seks BDSM. Secara orientasi, setiap orang sah menentukan apa yang dia inginkan dalam kehidupan seksualnya. Setidaknya, itu yang dipahami seorang Joyce dan teman-temannya. 
Joyce memesan lagi segelas Cosmopolitan. Dari mulutnya terus saja mengepulkan asap rokok. Setiap kali rokoknya habis, dia menyalakan sebatang rokok lagi, begitu seterusnya. Makin banyak dia berbicara, makin cepat dia menghabiskan rokok yang diisapnya. Makin lama, obrolan Joyce makin menarik dan bikin penasaran. 
Bosan? Bagaimana mungkin saya merasa bosan berada di depan wanita cantik seperti Joyce. Orang mungkin tidak bakal menyangka, Joyce punya orientasi BDSM berkaitan dengan seksualitasnya. Penampilannya seperti wanita-wani-ta yang biasa pergi ke pesta-pesta pejabat. Anggun dan memesona. Orangnya smart. Gaya bicaranya mengalir, dan tidak dibuat-buat. Kalau saya betah mengobrol dengan dia, itu juga harap dimaklumi.
Club BSDM
SIAPA yang menyangka, kalau di balik itu semua, Joyce menyimpan cerita hidup yang istimewa. Selain menggeluti usaha katering dan butik, Joyce juga mengoperasikan usaha event-organizer (EO). Usaha EO milik Joyce sebenarnya lebih cenderung pada praktik agensi. Karena selama ini, dia hanya menerima order untuk mengisi acara tertentu. Itu pun dengan satu catatan, dia hanya mau menyajikan show yang ada hubungannya dengan BDSM. 
Joyce mengoordinir beberapa anak didik, cewek dan cowok, yang sewaktu-waktu siap dipanggil. Mereka ini pun pilihan. Artinya, secara orientasi seks, mereka adalah pecinta BDSM. Ini sengaja dilakukan agar pertunjukan yang disuguhkan benar-benar nyata. 
"Kalo nggak sado, mana tega mecut orang sampai berdarah. Kalo nggak masochist, siapa yang kuat tubuhnya ditempelin lilin," kilah Joyce. 
Wanita blasteran Cina-Sunda itu selama ini lebih banyak menerima order yang sifatnya private atau pesta untuk kelompok tertentu. Pertunjukan di kafe, diskotek atau tempat hiburan umum, dia jarang mau menerima kecuali ada alasan tertentu.
Dalam beberapa kesempatan, Joyce juga kerap diminta menggelar pesta yang berbau BDSM untuk pesta-pesta tertentu. Bachelor adalah salah satunya.
Sudah jadi rahasia umum, dalam bachelor party, biasanya selalu ada unsur perpeloncoan buat yang mau nikah. Perpeloncoan itu bentuknya secara praktikal mengarah pada aktifitas BDSM. Dalam hal ini adalah bondage. Bisa dengan ikatan biasa atau dengan borgol betulan. Kalau calon pengantin pria, berarti Joyce menyediakan gadis-gadis BDSM dan begitu sebaliknya. 
"Tapi dengan satu syarat lho," seru Joyce.
"Korbannya mesti benar-benar siap dikerja-in. Kalo nggak, mending gue nolak job-nya," lanjutnya.
Joyce tidak menyangka, kalau usaha iseng-iseng itu malah menambah jaringan ke orang-orang yang mencintai aliran BDSM. Karena makin lama anggotanya makin banyak, Joyce iseng-iseng membentuk perkumpulan BDSM. Belakangan orang lebih suka menyebutnya sebagai Club.
Tidak ada kegiatan rutin selain merekrut anggota baru yang dengan sukarela bergabung, selebihnya adalah memasok beberapa BDSM dancer ke beberapa acara dan menggelar pesta bareng anggota di Club BDSM. 
Tidak ada iuran resmi yang harus dibayar. Kalau pun ada, biasanya berlaku untuk keperluan pesta. Dari membeli aksesori pecut, borgol, lilin, makanan-minuman sampai menyewa tempat pesta. 
"Kan tidak selalu di apartemen gue. Sekali waktu kita bikin di hotel atau tempat spesial," jelas Joyce.
Malam makin larut. Suasana di bar MT perlahan mulai sepi. Hanya tinggal beberapa tamu, termasuk saya, Joyce dan Danar yang tersisa. 
Joyce meneguk gelas minumannya sampai habis. Saya pun demikian. Danar terlihat mulai gelisah.
"Kenapa, Sayang? Udah nggak sabar ya?" bi-sik Joyce. 
Saya mafhum kalau percakapan harus ber-akhir. Sudah cukup lama saya menghabiskan waktu Joyce dan Danar. 
"Dua minggu Club BDSM bikin pesta di apartemen gue. Kalau mau, ntar datang ya. Coba dulu, siapa tahu ketagihan," canda Joyce. 
Datang ke pesta Club BDSM? Well, well... nanti saya pikir-pikir dulu. Pestanya sih oke, tetapi kalau dipecut dan ditetesin lilin? Nggak janji deh!


(11)
WAXING BIKINI AREA
NGOPI-ngopi di mal, paling enak sore hari. Agak maleman, antara pukul tujuh hingga sebelas, buat mereka yang doyan bergaul, mungkin nongkrong di lounge atau main biliar jadi pilihan kedua. Habis itu, buat mereka yang masih mau "lanjut" tinggal memilah-milah beberapa alternatif: ke diskotek, kafe yang ada live band-nya, berkaraoke, atau mampir ke Strip-Bar yang menyediakan sexy dancer setiap malamnya. 
Itu kalau sore dan malam. Gimana dengan siang? Siang-siang, mestinya buat orang kantoran, ya menyelesaikan pekerjaan. Tapi kalau lagi nggak ada pekerjaan menumpuk, boleh jadi pergi ke salon jadi pilihan yang menarik buat sebagian orang. 
Entah cuma sekedar creambath, potong rambut, pedikur, and bla... bla. ..bla. Siapa tahu bisa seka-lian cuci mata. 
Itu berarti perginya mesti ke salon beneran. Maksudnya? Ya salon yang berfungsi sebagai salon. Lho, kok? Iya, soalnya ada juga salon yang praktiknya ada embel-embel seks. Nah lho? Itu bukan rahasia lagi sebenarnya.
Dulu, ada beberapa salon di Jakarta yang menyediakan layanan Lulur Triple-X bagi para eksekutif laki-laki yang doyan perawatan di salon. Tren lulur Triple-X itu belakangan bergeser ke tempat kebugaran yang di dalamnya ada fasilitas spa & sauna. Di beberapa tempat spa & sauna khusus laki-laki misalnya, ada paket menu special massage yang di dalamnya termasuk mandi susu dan lulur seks. Meski sekarang tidak terlalu favorit, tetapi setidaknya menu itu tetap dipertahankan oleh sejumlah tempat spa dan sauna. Maklum, peminatnya masih cukup banyak.
Nah, tren yang belakangan lagi banyak dibicarakan orang, terutama kalangan esmud laki-laki adalah waxing bikini area. Ini bukan hal yang baru di dunia persalonan, sebenarnya. Waxing bagi cewek yang doyan merawat diri pastinya sudah jadi kebiasaan setiap dua minggu atau satu bulan sekali. Dari waxing bulu kaki, waxing under arm alias bulu ketek sampai waxing bikini area. Itu standar normalnya. 
Kemajuan teknologi membuat sebagian wanita memilih cara laser untuk menghilangkan bulu di bagian tubuh tertentu. Meski ada sebagian laki-laki ada yang suka dengan wanita berbulu, tetapi sebagian besar sangat emoh dengan wanita yang berbulu. 
Tak heran kalau banyak wanita memilih "membunuh" bulu mereka dengan sinar laser. Harganya? Wow, pasti mahal. Jauh di atas harga waxing. Untuk laser di bagian under arm harganya Rp 9 juta, bikini area Up 7,5 juta, dan untuk kaki Rp 25 juta dengan garansi dua tahun. Artinya, selama dua tahun, bulu dijamin tidak tumbuh. Metode laser ini hanya bisa didapatkan di beberapa klinik kecantikan tertentu. Jadi tidak sembarang salon atau klinik kecantikan punya fasilitas laser.
Karena harganya yang relatif mahal itu, ma-kanya banyak wanita yang lebih suka mengguna-kan cara waxing, meskipun hanya bertahan selama dua minggu sampai satu bulan, maksimal. 
Khusus untuk waxing bikini area, tidak hanya sebatas membersihkan bulu doang tapi juga mengurusi bentuk dan potongan rambut di daerah paling vital. Dari potongan berbetuk kumis laki-laki, segi tiga, "gambar love" sampai oval bulat telur. 
Waxing untuk Laki-laki
KIRA-kira begitu prolognya kalau mau ngomongin soal wanita dan waxing. Bagaimana dengan laki-laki? Ehm... sepetti apa ya kita-kira modelnya? Barangkali, laki-laki yang berani mencap dirinya sebagai metroseksual, urusan waxing sangat mungkin jadi bagian perawatan diri. Tampil bersih, klimis, dan tetbebas dari segala sifat berbau Tarzan. 
Atau, laki-laki yang secara penampilan mau-pun orientasi seks cenderung menjadi gay feminin, umumnya sangat jengah dengan bulu. 
Tapi bagi laki-laki kebanyakan, bulu dianggap sebagai salah satu indikasi kejantanan. Mungkin agak berbeda dengan wanita. Makanya, jarang ada laki-laki yang tega mencukur bulu kaki. Paling-paling, kumis, jenggot, dan bulu di sekitar ketiak serta bikini area saja yang mesti dirapikan ketika sudah melampaui batas ukuran normal. 
Cukur kumis, jenggot, dan bulu ketiak, laki-laki lebih melakukannya sendiri. Ada juga sih yang pergi ke salon atau barbershop. Nah, kalau ada laki-laki yang hobi mampir ke salon untuk urusan waxing bikini area, rasa-rasanya sih perlu dicurigai. Pasalnya, belakangan terakhir, jumlah salon seks makin bertaburan di Jakarta. Salon khusus laki-laki dengan tenaga cewek-cewek can-tik, dan pastinya, menyediakan menu seks yang variatif, inovatif, dan eye-catching. Maksudnya, menarik secara nama, menggelitik dan membuat orang penasaran untuk mencoba. Namanya juga pedagang, bikin merek mesti gampang diingat dan secara psikologis memunculkan shock-effect dan pastinya, sensasional.
Makanya, iklan oli saja misalnya, bintangnya mesti wanita yang cantik dan seksi. Kalau dipikir-pikir, apa ya hubungannya wanita cantik dan seksi dengan oli? Jauh kan.... Namanya juga iklan, yuuuuk! 
Salah satu menu yang sekarang lagi in adalah sex waxing. Awalnya, saya berpikir bahwa menu sex waxing itu tidak jauh berbeda dengan layanan Mount Blow—seks oral dengan menggunakan teh ginseng dan air dingin, bisa didapat di beberapa karaoke yang menyediakan cewek-cewek Makao, Cina. Atau setidaknya mirip dengan Handroll Service—layanan mas***basi dengan lubrican atau oil massage di dalam kamar mandi, yang biasanya diberikan para penari striptease.
Dugaan saya, ternyata salah, meski tidak 100%. 
Sex Waxing Bikini Area 
DIDORONG rasa penasaran, saya mulai me-ngumpulkan informasi dan data soal sex waxing. Orang pertama yang saya hubungi adalah Dito
— Sebut saja begitu. Laki-laki yang satu ini, entah sudah berapa kali saya jumpai di sejumlah pesta. Dari pesta yang melibatkan model-model X sebuah tabloid khusus laki-laki di ibukota sampai pesta-pesta berbau unsur sensual dan seksual yang digelar di sejumlah private kelab di Jakarta.
Dito bekerja sebagai general manager di sebuah kelab malam yang notabene punya fasilitas resto, bar, karaoke, dan kamar. Tak tanggungtanggung, di tempat Dito bekerja, sebut saja inisialnya M, di Kawasan Mangga Besar, disediakan puluhan cewek cantik yang siap memberikan pelayanan seksual. Itulah kenapa di Kelab M dilengkapi dengan fasilitas kamar-kamar pribadi. 
Saya bertemu Dito di acara product launching sebuah butik baju yang di dalamnya ada pertun-jukan Wet & Half Naked Dancers sekitar Februari 2006. Di acara itu, Dito menceritakan tengah merintis usaha salon khusus laki-laki.
Begitu saya telepon, dengan antusias, Dito mengundang saya mampir ke salonnya. Tentu kesempatan ini tidak saya sia-siakan. Karena masih buta dengan letak dan lokasi salonnya, saya janjian dengan Dito di Kelab M pada Sabtu siang. Ya, hitung-hitung saya bisa bersantai dulu dan melihat-lihat suasana di kelabnya.
Suasana kelab M di Sabtu siang terlihat sepi. Hanya ada empat orang tamu laki-laki yang duduk di bar ditemani empat cewek cantik. Sepuluh menit kemudian, mereka berjalan menaiki tangga. 
Mudah diduga, mereka akan masuk ke dalam kamar untuk melakukan "private date" yang hanya lebih hardcore. 
"Cabut sekarang aja yuk. Lagian di sini baru ramenya jam tujuhan. Dari salon, ntar kita balik sini lagi," ajak Dito. 
Dito menyuruh saya meninggalkan mobil di parkiran Kelab M. Dengan mengendari mobil Dito, kami segera meluncur ke salon untuk waxing bikini area. Kira-kira di mana tempatnya, ya? tanya saya dalam hati.
"Nggak papa ya. Tempatnya agak jauh dari sini," jelas Dito. 
"It's oke, sob. Emang di mana tempatnya?" 
"Di sekitar Tomang."
Untung hari Sabtu, jadi jalanan tidak begitu macet. Makanya, Dito tidak mengambil arah memutar di perempatan Harmoni tapi langsung menuju Thamrin. Masuk Sudirman, naik ke Jembatan Semanggi lalu menyusuri jalan besar ke arah Slipi. 
Setelah melewati sebuah mal perbelanjaan, sekitar 300 meter ada belokan ke kiri, persisnya sebelum sampai di sebuah bangunan universitas dan apartemen.
Kira-kira 1 km, Dito mengambil arah ke kanan. Ternyata tidak begitu mudah menemukan lokasi salon karena letaknya agak masuk ke gang. Setelah melewati dua belokan, akhirnya kami sampai di lokasi. 
Salon BH, sebut saja begitu. Tulisan itu ter-pampang dengan jelas di pintu masuk. Ada lima hingga tujuh mobil yang lagi parkir persis di depan salon. Ini dia salonnya, pikir saya penuh selidik. 
Pemandangan apa yang dominan ketika Anda masuk ke salon? Cermin. Ya, biasanya setiap salon akan dilengkapi fasilitas cermin besar yang ditata secara berjajar dengan kursi empuk di depannya. 
Mestinya di salon itu ada beberapa peralatan dan perlengkapan yang dipajang di ruang utama. Mulai dari cermin besar yang didesain menyatu dengan meja dan kursi multifungsi. Namun, justru dekorasi utamanya adalah empat set sofa yang dilengkapi meja kaca. Juga ada bar mini di sudut paling kanan. Beberapa perabotan yang macth dengan nuansa salon hanyalah dua meja cermin dan kursi panjang untuk tempat refleksi yang dipisah oleh kaca. Selebihnya, nuansanya lebih pas disebut lounge atau resto dengan konsep modern-minimalis. 
Nuansa boleh beda tapi soal menu pelayanan, beda-beda tipis. Artinya, sama seperti kebanyakan salon kecantikan, di salon ini juga tersedia berbagai pelayanan perawatan untuk rambut dan tubuh. Rate harganya pun sesuai dengan pasaran yang berlaku. Untuk creambath normal misalnya Rp 75 ribu, dan waxing bikini area Rp 150 ribu. 
Itu patokan harga untuk pelayanan standar. Tapi begitu ada embel-embel seks di belakangnya, harganya bisa melonjak dua hingga empat kali lipat.
Begitu melewati meja resepsionis, Dito me-manggil salah seorang staf wanitanya, Jessy—sebut saja begitu.
"Tolong Bapak yang satu ini dilayani dengan baik. Kasih saja apa yang dia mau," ujar Dito.
Jessy menyilakan saya duduk di sofa hitam, di belakang meja resepsionis. Dito pamit sebentar ke ruang belakang. Ada urusan sebentar, katanya.
Suasana di salon sore itu, agak sepi. Terus terang, ini membuat saya bingung. Tidak ada tamu yang lagi di-creambath, pedikur, atau potong rambut. Hanya ada dua tamu yang lagi duduk ditemani dua gadis cantik. Mereka terlihat asyik mengobrol dalam suasana hangat dan akrab.
Lho, tamu-tamunya pada "ngilang" ke mana? Pemandangan yang sangat menarik buat saya, justru terfokus pada lima orang gadis yang duduk di satu meja.
"Mereka para karyawan di salon ini. Cantik-cantik kan?" suara Jessy mengagetkan saya. 
Cantik, boleh jadi. Dan secara dandanan, nggak ketinggalan tren. Tapi jangan punya eks-pektasi berlebihan karena mereka memiliki fisik seperti para model.
Dua gelas red wine pesanan Jessy telah ter-hidang di meja. Sambil melanjutkan pembicaraan, saya membaca daftar menu yang tersedia di meja. Ada dua macam menu. Satu, menu yang berisi makanan dan minuman. Kedua, menu yang ber-tuliskan aneka pelayanan dan perawatan untuk salon. Tapi jangan mengira di daftar menu itu tertampang jenis-jenis pelayanan seks. Tidak ada. Untuk urusan menu yang sifatnya "esek-esek" bisa ditanyakan pada resepsionis atau karyawan salon yang lagi bertugas. 
Jessy. Ah, saya sampai lupa bercerita tentang sosok gadis manis berkulit kuning langsat itu. Dia yang in charge setiap hari. Jabatannya boleh disebut manajer, public relation, atau bisa juga guest relation. Maklum, dia lah yang bertugas menyambut setiap tamu yang datang, menyilakan duduk, menemani ngobrol, dan sebagainya. Dari Jessy juga, segala informasi seputar Salon BH bisa saya ketahui. 
"Ada yang ditaksir nggak?" tanya Jessy sambil melirik ke lima karyawan salon yang masih betah di tempat duduknya. 
Daripada penasaran saya meminta Jessy untuk memanggil dua orang gadis untuk bergabung di meja saya. 
"Ngobrol-ngobrol dulu boleh dong," sergah saya. 
"Yang mana?" tanya Jessy. 
"Yang menurut elu paling oke deh," jawab saya singkat. 
Jessy tersenyum lalu beranjak dari kursi dan berjalan mendekati kelima gadis itu. Kini, dia balik ke meja saya dengan membawa dua gadis.
"Santi."
"Amel."
Dua-duanya terlihat masih muda. Santi me-ngenakan celana jins dengan kaus ketat warna biru muda, sementara Amel rok mini berbahan jins dengan kaus pink berlengan panjang. 
Kedatangan Santi dan Amel menambah obrolan jadi seru. Jessy makin berani bercerita panjang lebar soal menu-menu yang ada di salon. 
"Jadi, gue bisa dapet apa saja di salon sini?" tanya saya polos. 
Jessy mengubah posisi duduknya. Santi menyalakan sebatang rokok. Amel meneguk mi-numannya. 
"Mau lulur bareng saya juga boleh kok," sergah Santi. 
"Atau mau sama saya. Saya jago lho untuk urusan creambath. Bukan sembarang creambath, tapi...?" Amel tak melanjutkan ucapannya. la malah tertawa cekikikan sambil menutupi mulut-nya. 
"Maksudnya Amel, creambath yang pakai bonus spesial gitu," imbuh Jessy.
Lulur bersama Santi atau creambath plus bonus spesial dengan Amel, dua-duanya memang tawaran yang menggiurkan. Meskipun sedikit ba-nyak saya pernah mendengarnya, tetapi tetap saja muncul rasa penasaran.
"Atau mau nyobain sex waxing. Itu sih dijamin bakal puas," kata Jessy.
Sex waxing! Tawaran apalagi ini? Samar-samar, saya cukup mengerti dengan waxing tetapi kalau itu dikaitkan dengan akktivitas seksual, saya belum bisa membayangkan.
"Masih belum ngerti juga... ato emang pura-pura nggak ngerti," canda Jessy.
Tanpa diminta, Jessy langsung nyerocos mem-promosikan paket seks yang memang jadi favorit di salon BH. Mungkin karena naluri PRnya, Jessy dengan fasih dan santai bertutur soal sex waxing.
Sex waxing yang ditawarkan di salon BH itu, ujarnya, mengikuti aturan main yang biasa dilakukan pada waxing bikini area. Mula-mula, tamu yang datang dipersilakan memilih karyawan salon —cewek, tentunya, yang dibiarkan berpose di sofa lounge. 
Basa-basi sebentar, ngobrol sambil minum-minum segelas sampai dua gelas. Lalu? Jessy me-matikan rokoknya.
"Habis itu, ya masuk kamar dong, masak di sofa," canda Jessy. 
Kamar? Oh ya, saya baru ingat kalau ternyata di Salon BH terdapat delapan kamar tertutup. Tadinya, saya berpikir itu ruangan yang berfungsi sebagai kamar ganti dan office. Ternyata bukan. Justru di kamar-kamar itulah, semua layanan dari mulai lulur, creambath sampai waxing berlangsung. Private only dan tertutup. 
"Di dalam kamar, disediain kok peralatan untuk nyalon. Kursi pijat, tempat untuk cuci rambut, dan yang pasti, kamar tidur," lanjut Jessy. 
Sebenarnya, ada dua jenis waxing bikini area yang populer, yakni bikini line dan brazilian. Tapi lambat laun, karena tren terus berkembang, model-model waxing pun ikut berubah. Tidak hanya gaya bikini line dan brazilian tapi mulai muncul gaya potongan berbentuk "heart" sampai "segiempat sama tipis". 
"Keren kan," sela Santi sembari menyilang-kan kaki. Sebentarbentar, dia melirik ke jam tangannya. 
Sudah lebih dari satu jam, saya menghabiskan waktu berbincang dengan Jessy Cs. Selama satu jam itu, Dito juga nggak kelihatan batang hidung-nya. Jangan-jangan, Dito memang sengaja mau "ngerjain", itu pikir saya. 
"Kok malah bengong. Mau nyobain seks waxing nggak? Kita ada lho, potongan ala kumis Charlie Chaplin...," goda Jessy. Bahunya terguncang menahan tawa. Sepasang tangannya menutupi bibirnya agar tak keluar tawa yang lepas.
Muka saya memerah. Bukan jaim atau malu, tetapi salah tingkah. Seumur-umur, saya belum pernah nyobain yang namanya waxing bikini area. Apalagi yang berbau seks. Membayangkannya saja bikin saya merinding.
"Dijamin nggak sakit kok," sela Amel sambil mengedipkan mata kirinya.
"Mau yang 'hot' boleh, yang 'cold juga bo-leh. Tinggal pilih doang," timpal Santi. Jari-jari lentiknya menyusuri garis jahitan di samping celana jinsnya.
"Maksudnya?" tanya saya, spontan.
"Maksudnya, waxing-nya boleh pakai yang panas atau yang dingin, begitu...," jawab Jessy. 
Dito tiba-tiba muncul dan langsung duduk di sebelah saya. Katanya, dia baru saja kelar dengan staf bagian akunting. 
"Sorry, agak lama. Biasa, urusan duit," bisik Dito. 
Madu, Stroberi, & Karamel 
KINI, saya duduk diapit Santi dan Amel. Sementara Dito dan Jessy bergeser ke sofa sebelah. Mereka berdua kelihatannya lagi sibuk membicarakan urusan bisnis. 
Berulang kali Santi mengajak saya untuk segera masuk ke kamar. Begitu juga dengan Amel yang tak kalah gesitnya membeberkan keistimewaan seks waxing yang bisa dia berikan selama dua jam penuh. 
Buat laki-laki, tentu ini sebuah tawaran yang sangat menggoda. Prosedur treatment-nya tidak jauh berbeda dengan waxing bikini area yang bisa ditemukan di sejumlah salon dan klinik kecantikan. Ada lilin, krem, dan beberapa menu pilihan seperti karamel, madu, atau stroberi. 
Hanya saja, karena di salon BH yang di-utamakan adalah seks waxing-nya, maka selama dalam proses perawatan, semua aktivitas yang berlangsung ya ujung-ujungnya tidak jauh dari seks foreplay. Dan terakhir, ditutup dengan sesi intercoursing. 
Kalau dipikir-pikir, seks waxing sebenarnya tak lebih dari soal jualan bungkus atau kemasan.
Kemasannya sih boleh waxing bikini area yang secara nama terdengar begitu seksi, tetapi isinya tidak jauh beda dengan layanan Mount-Blow Service. Bedanya, kalau seks waxing menggunakan karamel, stroberi, atau madu sebagai "alat bantu" untuk seks oral, Mount-Blow memakai gabungan teh ginseng dan air dingin. 
"So, mau masuk sekarang?" tawar Santi.
"Kalo Santi masuk, berarti saya boleh ikutan dong," sergah Amel. 
Bingung hams menjawab apa, saya pamit sebentar untuk menemui Dito dan Jessy yang terlihat masih ngobrol serius.  
"Help me, dong!" 
"Rasain elu. Udah, nggak usah banyak mikir. Masuk sana!" seru Dito.
Jessy tertawa, saya malah masih duduk diam di sebelah Dito. Lho? 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar