(19)
SEX LOCKEROOM
SEX LOCKEROOM
"SHU QI!"
Nama itu spontan ke luar dari mulut David. Pandangan David seperti terhipnosis untuk beberapa saat. Sebuah lampu berwarna kuning menerangi sebuah sofa berbentuk bulat. Seorang gadis bermata sipit duduk dengan anggun di sofa itu. Kakinya menyilang hingga sebagian betis mulusnya terlihat jelas, sementara dua tangan mungilnya bertumpu pada dua pahanya. Gayanya tak kalab dengan model-model yang mengenyam pendidikan attitude.
"Maksud elo Shu Qi yang artis Mandarin itu?" sergah saya coba menebak apa yang ada di kepala David.
"Iya. Elo kan sering nonton film Cina, mestinya tahu dia dong. Gimana sih?" jawab
David, singkat. Sementara, ehm.. .dua mata David menatap lekat, mengamati segala gerak-gerik gadis yang mirip Shu Qi itu.
Well, bisa jadi sih, gadis yang mengenakan baju serba biru itu mirip Shu Qi. Itu lho, salah satu aktris Mandarin yang belakangan sering nongol di layar lebar. Mereka yang doyan nonton film-film Cina, pasti sudah tak asing dengan wajah dan sosok Shu Qi. Tubuh langsing. Rambut panjang mengikal. Bentuk hidung dan bibirnya mungil menggemaskan. Lingkaran dada 32 dengan ukuran "cup C". Alamak, kalau dipikir-pikir, omongan David memang ada benarnya.
Is she a pretty girl? Yup, definitely. Ya iyalah. Kalau ada cewek yang mirip Shu Qi, pastinya cantik. Penilaian itu terasa sempurna ketika dia berjalan mendekati meja bar. Saya dan David tak menyia-nyiakan kesempatan itu, kami mengamati semua gerak-geriknya. Cewek itu mendekati seorang tamu dan saling memberi kecupan di pipi kiri-kanan. Mereka duduk berdekatan, dekat sekali malah. Segelas Long Island terhidang di meja bar. Mereka berbicara dengan wajah berdekatan, nyaris seperti orang yang mau berciuman. Hanya sepuluh menit, lalu si cewek itu pindah lagi ke sofa, bergabung bersama rekan-rekannya.
Beautiful!
"Bukannya elo biasa kelayapan malem, masak nggak pernah ngeliat doi?"
"Ini pasti stok baru. Udah hampir sebulan gue nggak ke sini," jawab David.
"Namanya Paula, Bos," kata bartender yang menuangkan minuman ke gelas saya.
Dari gelas kaca yang kembali diisi cairan minuman, bayangan gadis itu terpantul. David mengangkat gelasnya, lalu menenggak isinya sampai tandas seolah Paula pun berada dalam genggamannya.
Oooo... Paula!
Lesbian Show
NAMUN, saya jadi terheran-heran melihat David begitu terpesona melihat sosok Paula. Why? That's the biggest question mark on that night, swimming in my head. Padahal, di sofa itu ada sekitar dua betas gadis Mandarin yang duduk berdesakan. Rata-rata berwajah cantik dengan dandanan seksi. Bahkan, ada yang cuma membungkus tubuhnya dengan baju tipis tanpa bra. Laki-laki normal, mestinya lebih tertarik dengan gadis yang no bra ini.
Bukan hanya itu saja pemandangan menarik untuk dilihat. Di atas panggung bulat yang dilengkapi besi bulat warna silver, ada dua penari striptease tengah menari-nari dengan begitu hot-nya. Sementara di atas bar, juga ada dua penari yang tak kalah hebohnya. Mereka membiarkan bagian dadanya terbuka. Dengan posisi tubuh saling tindih, mulut mereka berciuman penuh gairah. Di antara mulut mereka, ada gelas kecil yang menjadi bahan rebutan.
Puluhan tamu berteriak. Suasana jadi makin ramai. Apalagi ketika dua penari itu mulai memperlihatkan gerakan-gerakan layaknya
sepasang lesbian yang sedang ber-asmara. Ssst !
Ini kalau ditulis pasti nggak lolos sensor, jadi cukup bayangin sendiri saja. Silakan masuk dunia fantasi!
"Ini soal taste, Man. Striptease gue udah bosen. Biasa banget," jelas David, percaya dm. Masuk akal juga kalau David terlalu biasa dengan tontonan striptease. Dari tahun 1997, zamannya striptease jadi primadona di kelab-kelab malam, terutama karaoke, David sudah jadi pelanggan setia. Di awal tahun 2000, tren striptease perlahan tergusur oleh suguhan entertainment yang lain, seperti sashimi girl, body massage, strip on the bar, dan top-less dance. Strip on public dalam kemasan lesbian show yang saya lihat malam ini, tak lain adalah inovasi baru yang belakangan menghiasi sejumlah kelab malam di Jakarta.
Striptease sekarang ini bukan lagi jadi barang tontonan private yang hanya bisa dinikmati di ruang karaoke, di kamar-kamar hotel, atau apartemen, tetapi sudah jadi tontonan publik yang bisa ditemukan di lounge, bar, diskotek, atau kafe sekalipun. Yang nonton bukan lagi lima hingga sepuluh orang tapi bisa jadi di atas lima puluh bahkan sampai ratusan orang.
Seperti malam ini, detik ini, di tempat saya berada, di antara puluhan laki-laki yang haus hiburan.
Dengan penuh energik, empat penari ber-aksi di atas panggung dan bar itu masih saja mempertontonkan gerakan-gerakan sensual. Sete-lah setengah jam berlalu, keempat penari yang masih membiarkan bagian atasnya terbuka itu mulai membaur bersama tamu. Mereka melakukan show dari meja ke meja. Dari meja-meja tamu inilah, mereka berusaha mengeruk tip sebanyak-banyaknya. Sekadar meladeni atraksi transfer minuman dari mulut ke mulut, lapdance sampai membiarkan tubuh mereka jadi bahan raba-an.
David boleh menganggap tontonan itu biasa-biasa saja. Namun buat saya, penilaiannya jadi lain. Tetap saja tontonan ini jadi suguhan hiburan yang sayang dilewatkan. Tamu-tamu yang memadati kursi bar dan sofa, misalnya sebagian besar sengaja datang untuk melihat lesbian show. Paling tidak, show itu jadi semacam ajang pemanasan sebelum melakukan ini dan itu.
Bukan apa-apa, segala macam pleasure untuk laki-laki ada semua di tempat ini. Dari bar, sauna, massage, karaoke, restoran sampai hotel. One stop shopping! Mau belanja apa saja, ada! Produknya? Segala macam bentuk hiburan yang ada hubungannya dengan pelesir seks.
Afternoon Tea with Model
SEBENARNYA, saya dan David ada di mana sih? Kok tahu-tahu sudah ada di lokasi kejadian. Duduk di bar, terpesona oleh kecantikan Paula, dan nonton lesbian show.
Dua jam sebelumnya, sekitar pukul enam sore, saya dan David janjian ketemu di Coffee Club, Plaza Senayan. Ceritanya, David lagi ngum-pulin beberapa model cantik dari dua agensi besar di Jakarta untuk keperluan pembuatan iklan sabun mandi. Kebetulan, David yang mendapatan proyeknya. Sebagai produsernya, minimal dia mesti ikut screening casting. Cuma liat-liat doang sebagai bahan masukan. David sengaja mengajak saya untuk bantuin ikut milih-milih. Untuk urusan casting yang lebih dalam, sudah jadi pekerjaan casting director.
Enak juga bisa nongkrong di kafe ditemani cewek-cewek cakep. Kalau tidak salah hitung, ada delapan model yang datang. Meskipun cuma ngobrol ala kadarnya, tetapi setidaknya, saya nggak perlu lagi celinguk kiri-kanan. Maklum, hari Sabtu suasana di plaza lumayan ramai. Secara malam gaul itu.
Dalam sejam, ada lima model yang sudah masuk list untuk ikut casting berikutnya. David menyerahkan tahap berikutnya pada casting director.
Dari Plaza Senayan, saya dan David sama-sama malas pulang ke rumah. Saya jomblo, sementara istrinya David kebetulan lagi pulang kampung di Surabaya. Jadilab kami berdua ber-gaul di malam Minggu. Bukan pacaran lho, tetapi keliling-keliling mengitari Jakarta sampai akhirnya masuk Kawasan Monas.
Mau nongkrong di kafe sambil dengerin live music, malas! Pergi nonton bioskop, lebih nggak mungkin lagi. Ngapain juga saya dan David yang sama-sama cowok nonton berduaan. Bisa-bisa ma-lah jadi bahan tertawaan.
Akhirnya, kami memutuskan masuk ke da-erah Pecenongan, Jakarta Barat. Itu juga atas ide David. Katanya, daripada pusing-pusing, men-dingan nongkrong di bar sambil melihat-lihat cewek-cewek cantik. Habis itu, baru sauna dan massage.
Mobil kami sampai di sebuah bangunan hotel berinisial CC. Tak jauh dari pintu, ada neonsign warna-warni dalam ukuran besar. Di situ terdapat informasi beberapa fasilitas yang bisa didapat di hotel. Bar, restoran, sauna, karaoke, dan butik. Dari jalan raya, tulisan di neon sign itu dengan jelas terbaca. Tapi dengan satu catatan, kecepatan mobil jangan lebih dari 60 km/jam.
Setelah melewati petugas security checking, kami mem-valet mobil. Ini sekadar usul, kalau tidak mau valet, mending parkir di halaman depan hotel persis. Meskipun harga per jamnya lebih mahal, tetapi" aman kok. Ada juga, sih, pelataran parkir yang tersedia di lantai empat. Namun, kalau nggak jago nyetir, bisa-bisa nubruk. Maklum, jalannya sempit, dan berputar-putar.
Begitu sampai di lobby hotel, kami melewati anak tangga menuju lantai Bl. Tempat sauna lah yang kami tuju.
"Mau ke langsung bar, apa mau ke sauna dulu?" tanya seorang wanita berbaju rapi yang berjaga di meja resepsionis.
"Ke bar dulu aja deh," jawab David.
Sex Via Locker
RUPANYA, di sinilah pintu utamanya. Setiap tamu yang mau pergi ke sauna, akan diberi satu kunci loker. Tamu yang ingin langsung ke bar akan diberi satu chip kuning yang dilengkapi nomor urut.
Begitu masuk, seorang petugas akan mena-nyakan berapa nomor chip kami. Setelah melewati lorong yang di samping kiri-kanannya terdapat kamar-kamar, kami menaiki anak tangga menuju lantai satu. Suara musik mulai terdengar jelas.
Pukul 21.30 WIB. Kami diantar seorang waiter ke bar berinisial BR. Ya, di bar BR inilah kami menghabiskan malam Minggu. David yang terpesona dengan kecantikan Paula, dan saya yang terus memelototi aksi para striptease di atas panggung dan bar.
David sudah menghabiskan sedikitnya empat gelas Chivas-coke, sementara saya baru tiga gelas bir Corona. Pertunjukan striptease sesi kedua di-mulai pada pukul 22.30 WIB. Sama seperti aksi sebelumnya, dua penari meliuk di atas panggung bulat, sementara dua lainnya menari di atas bar dengan gaya lesbian show.
"Cuma berdua aja, Bos. Nggak mau dite-menin?"
Seorang wanita yang mengenakan stelan blazer hitam mendekati kami.
David menoleh dan tertawa.
"Eh, Mami Kiki. Dari tadi ke mana saja kok baru keliatan?" tanya David.
"Biasalah, muter-muter. Malam ini lumayan banyak booking-an," jawab Mami Kiki.
Yang dipanggil dengan Mami Kiki itu ternyata masih lumayan muda. Umurnya tak lebih dari 30 tahun. Berambut panjang dan berkulit agak kecokelatan. Kata David, Mami Kiki ini berasal dari Medan. Sebelumnya, dia pernah bekerja sebagai mami di dua kelab malam besar di Jakarta.
Sebagai mami, Kiki mendapat tugas mem-bawahi cewek-cewek Rusia dan Uzbekistan. Ooo... jadi di CC juga ada cewek-cewek dari Eropa Timur? Yup, betul sekali!
Begitu menengok ke bagian ruangan yang di dalamnya berisi sofa berwarna hitam, saya menemukan beberapa orang anak didik Mami Kiki. Ada yang lagi bercakap-cakap dengan tamu, ada juga yang cuma duduk bersama teman sekerja sambil menunggu order tamu.
Ternyata, kalau dilihat lebih detail, bar BR selain dilengkapi sarana panggung, juga dikelilingi sofa yang ditata membentuk huruf U. Barnya sendiri persis berada di tengah-tengah.
Di bagian kiri, sofa ditata membentuk kotak-kotak tersendiri. Kotak pertama berisi cewek-cewek Mandarin. Kotak kedua dan ketiga dipenuhi koleksi cewek lokal. Aneka lukisan warna-warni menghiasi seluruh dinding. Pencahayaan di area ini sedikit terang.
Sementara di bagian kanan, disediakan area yang lebih menyerupai lounge. Pencahayaan di area ini agak temaram. Kalau tamu ingin bersantai, minum, makan sambil ditemani pasangan cewek, lebih banyak menggunakan area ini sebagai pilihan yang mengasyikkan.
Saya meneguk bir Corona. Dance show su-dah berakhir. Paula yang sedari tadi tak luput dari incaran David, tahu-tahu menghilang dari pandangan.
"Nyari siapa, Bos? tanya Mami Kiki.
"Paula, Mi. Tadi masih duduk di sofa, kok sekarang udah ngilang."
"Bos kalah cepet. Pasti udah di-booking orang. Dia memang lagi jadi primadona," tukas Mami Kiki.
Primadona? Sebutan yang cocok untuk Paula. Gimana nggak primadona kalau dalam sehari, itu berarti praktik dari pukul dua siang sampai satu malam (kecuali ada booking-out), dia bisa melayani lima hingga sepuluh tamu. Sekali short-time ban-drol harganya Rp 1,5 juta. Kalau booking out di bawah pukul sembilan malam, berlaku hukum tiga kali lipatnya. Kalau di atas pukul sembilan malam cuma dua kali lipatnya. Kalau dihitung-hitung dalam sebulan Paula bisa mengantongi uang sekitar Rp 30 juta.
Yang bisa menandingi pendapatan Paula adalah Yala, gadis asal Rusia yang berbadan molek dengan rambut blonde. Dalam sehari, Yala bisa melakukan transaksi tak jauh beda dengan Paula. Sehari lima hingga sepuluh tamu? Jumlah yang cukup fantastis. Nggak terbayang gimana mereka melakukan prosesi pelayanan seks dengan tetap ramah dan menggairahkan. Dari mulai kenalan, basa-basi sampai masuk ke kamar tidur yang ada di lantai Bl.
Karena penasaran, saya minta Mami Kiki memanggil Yala. Dan apa jawabnya? Alamak, lagi service, katanya.
"Atau mau cobain yang lokal. Mereka ba-nyak juga yang cantikcantik," tawar Mami Kiki.
Ada sekitar lima belas gadis lokal yang masih mejeng di sofa. Kebanyakan masih muda-muda, paling-paling umur mereka tak lebih dari 22 ta-hun. Dandanan menarik dan seksi, tak kalah ka-lau dibandingkan dengan gadis-gadis Mandarin ataupun Rusia, mereka setia menunggu order sambil bersantai.
"Mau coba yang lokal? Ada yang bagus tuh. Cuma 800 ribu rupiah, kok," ledek David sambil menahan ketawa.
Sialan! Sudah tahu saya lagi bingung menen-tukan pilihan, David malah cengar-cengir. Dengan santainya, David memanggil tiga gadis lokal untuk bergabung di bar. Saya berpikir David mau mem-booking tiga-tiganya. Nggak tahunya, dia cuma mengajak mereka ngobrolngobrol sebentar. Tapi nggak gratis lho. Paling nggak, David mesti beliin mereka minum. Kalau kebetulan lagi berbaik hati dan banyak duit, ya ngasih mereka tip.
Ah, saya jadi tambah pusiinnggggg! Begitu banyak pilihan yang ditawarkan sampai-sampai saya mati ide.
"Daripada bingung-bingung mending kita ke bawah sebentar," ajak David.
Jadilah kami turun ke lantai Bl. Ternyata, masih ada satu fasilitas lounge yang dilengkapi bar dan sofa. Di sini pun, tampak ada beberapa tamu laki-laki yang tengah bersantai dengan baju kimono.
"Yang di pojok itu, para gadis "body massage". Tarifnya 650 ribu rupiah. Udah all in," jelas David layaknya seorang papi.
"Nah, kalau mau mijit tinggal pilih nomor yang ada di meja resepsionis. Kalau mau sauna, tinggal ke ruangan sebelah," lanjut David.
Saya jadi tambah pusing. Habis, apa saja ada. Saya seperti disodori daftar menu yang menawar-kan beragam pelayanan yang menggiurkan:
1. 1. 1,5 jam bersama Paula,
2. 2. 1,5 jam bersama Yala,
3. 3. 1,5 jam bersama gadis lokal,
4. 4. 1,5 jam "body massage",
5. 5. Lesbian Striptease Show,
6. 6. basah-basah di kolam sauna,
7. 7. massage tanpa "sex".
"Gue mau mijit saja. Lumayan, buat ngilangin jet-lag."
"Paula sama Yala gimana? Nggak jadi booking mereka nih?" pancing David.
"Next time deh. Lagian udah malam. Udah basi kali. Gue ama elo, mungkin tamu nomor kesembilan buat mereka." Saya mencoba cari-cari alasan.
Ternyata cukup manjur. David untuk kali ini mau mengikuti ide dan saran saya.
"Oke kalau begitu. Kita mijit saja! Tapi next time, jangan sampai nggak jadi booking Paula sama Yala. Awas lo!"
Di meja resepsionis, kami cuma tinggal menunjukkan kunci loker. Ternyata, kunci loker ini menjadi akses untuk masuk ke semua fasilitas yang ada di CC. Dari pesan makanan, minuman, sauna, massage sampai urusan transaksi seks. Begitu semua urusan beres, kami tinggal ke luar dan menyerahkan kunci loker. Semua tagihan akan di-print-out. Tinggal bayar dengan uang tunai atau kartu kredit, transaksi selesai!
(20) Seven Steps to Heaven
MENU seks yang sangat populer di Taiwan, Tujuh langkah menuju petualangan seks yang "rrruuuaar biasa". Seperti apa bentuknya? Bagaimana dengan Jakarta?
Jalan-jalan ke Taiwan, jangan lupa mampir ke Distrik 10. Lirik kiri, lirik kanan. Awas, jangan sampai keblablasan. Apalagi kalau sampai berpetualang mencoba menu Seven Steps to Heaven, bisa-bisa males pulang ke rumah.
Sudah bukan hal aneh, kota-kota besar di belahan dunia, seperti Amsterdam, Camden Town (London), Tashkent (Uzbekistan) Bangkok atau Pusan pasti dipenuhi tempat hiburan yang beraneka ragam, mulai dari diskotek, kelab, bar sampai tempat kebugaran, seperti spa, sauna, dan massage.
Di Camden Town, dari sentral kota London menuju ke North London mendekati kawasan Golders Green misalnya, terdapat salah satu kelab yang sangat kental dengan aroma seks-nya. Dingwalls, begitulah nama tempatnya. Di situ, setiap tamu yang datang akan dimanjakan oleh pemandangan dan aktivitas yang menggugah fantasi. Dinding kelab terbuat dari batu, tak ubahnya seperti bangunan kastil zaman dulu. Bangunannya terdiri dari tiga tingkat. Satu tingkat berada di basement yang difasilitasi kamar-kamar berdekorasi gaya Victoria. Yang menakjubkan, segala peralatan di tempat ini serba modern. Di sinilah, segala jenis layanan seksual, dari softcore sampai hardcore sekalipun (misalnya, sadomasochist dan animal fantasy) bisa didapatkan. Sementara di bangunan lain—di lantai satu dan dua—terdapat Peanut Club dan Headbanger.
Awalnya, tempat ini digunakan untuk kan-dang kuda. Tapi kini disulap menjadi sebuah kelab dengan aneka hiburan yang bisa membuat air liur ke luar setiap detiknya.
Setiap saat, puluhan gadis cantik selalu me-nebarkan pesona sensualitasnya. Di Peanut Club misalnya, kebanyakan gadisnya dalam keadaan "naked". Lantainya dipenuhi kulit kacang. Di beberapa sudut, ada drum besar yang di dalamnya berisikan kacang. Siapa pun boleh memakannya dan membuang kulitnya secara sembarangan. Di Headbanger yang musiknya beraliran "metal", X rated entertainment-nya hanya striptease saja.
Untuk setiap tamu yang datang akan diberi-kan "tag"—semacam tanda pengenal. Sekadar mau hang-out atau memang ingin "menikmati" segala layanan seks yang ada di Dingwalls. Jika mengenakan tanda pengenal "cuma mau hangout?, jangan coba-coba mengajak kencan gadis yang ada di Dingwalls. Bisa-bisa bukan seks yang didapat tapi malah tamparan di pipi.
Di Tashkent, ibukota Uzbekistan punya gaya yang agak beda. Sejumlah tempat hiburan menanti setiap tamu yang datang dengan keceriaan dan kemanjaan yang menggiurkan.
Mampir di Julianos (Bobur Park)—sebuah kelab yang terpanas di Tuskent—lalu singgah sejenak di bar, duduk sepuluh hingga dua puluh menit sambil menenggak segelas-dua gelas bir. Tak perlu sibuk tebar pesona karena empat dari lima gadis yang ada di kelab tersebut adalah call girl. Begitu gampang mencari pasangan one short time dengan tarif $50 - $100. Dengan tarif yang tidak jauh beda, tinggal melewatkan malam di Sky Club. Tempat ini memang terkenal dengan puluhan hostesnya yang seksi dan cantik.
Bukan hanya Julianos dan Sky Club, di Tashkent juga ada beberapa tempat lain yang tak kalah "hot"-nya, seperti Dutch Club dan di sekitar kawasan Chilanzar.
Bagaimana dengan Bangkok (Thailand)? Ai... ai... kota yang satu ini tak perlu diragukan lagi. Wisata seks-nya nyaris bisa ditemukan di setiap sudut kota. Salah satu yang paling populer—untuk kalangan atas— adalah Champ Elysees. Sebuah tempat yang dilengkapi fasilitas resto, hotel, dan lounge. Sambil ber-dinner, setiap tamu bisa berendezvous dengan Thai Girls— banyak di antaranya model betulan—dan begitu cocok dengan pilihannya, tinggal melanjutkan petualangan di private room yang ekslusif. Tentu saja dibutuhkan modal antara 10.000 baht sampai 20.000 bath (sekitar Rp 2,5 juta sampai Rp 5 juta) untuk berkencan 1,5 jam.
Sementara di Taiwan, tepatnya di Distrik 10—sebuah kawasan dengan sebutan center of entertainment—dari sekian puluh tempat hiburan yang tersebar di sejumlah titik, tentu saja ada yang terangterangan menyuguhkan menu-menu seks yang cara penyuguhan dan kemasannya "sangat lain" dan maaf, vulgar. Salah satunya, ya itu tadi, Seven steps to heaven.
Menu yang satu ini, cara penyajiannya sederhana: setiap tamu diberi kesempatan untuk menikmati layanan dan kemanjaan seks dalam tujuh tahapan. Pertama, threesome aromatherapy. Tamu ditempatkan pada sebuah kamar lalu akan mendapatkan layanan kemanjaan dengan aromaterapi dari tiga orang gadis cantik sekaligus. Tamu harus "pasrah" tanpa boleh melakukan gerakan balasan. Kedua, foreplay three in one. Kira-kira terjemahan bebasnya, tamu didudukkan pada sebuah kursi "berlubang" dan akan "dikerubungi" tiga orang gadis sekaligus. What they do? Pokoknya, layanan foreplay seks dari A sampai Z. Berhasil melewati dua tahapan ini, tamu akan melanjutkan sesi petualangan berikutnya: 3,4, 5, dan seterusnya. Tamu yang bisa bertahan sampai pada tahapan kelima, diberikan bonus berupa: bayar satu untuk tujuh pelayanan sekaligus. Harga untuk satu tahapan itu sekitar $ 50.
Bagaimana dengan Jakarta? Apakah menu seks yang serupa dengan seven steps to heaven ini juga bisa ditemukan di sebuah tempat tertentu?
Ehmmm....
Bisa iya, bisa tidak. Maksudnya, belum ada satu tempat pun yang menawarkan menu sejenis. Kalau pun ada, paling-paling konsepnya lebih pada one-stop-sextainment. Di satu tempat, setiap tamu bisa mendapatkan pelayanan seks dengan menu yang berbeda. Misalnya di kelab AS (baca tulisan Seks Kinky Helikopter) di kawasan Ancol yang setiap lantainya punya pelayanan berbeda. Lantai dua ada fasilitas lounge dengan siluet striptease, private room untuk "nude show" dan lady companion yang siap menemani tamu minum dan bergoyang sampai teler. Di lantai 3, 4, 5, 6, dan 7, masing-masing menawarkan menu entertainment berbeda, tiga di antaranya seks helikopter, karaoke, dan mandi sauna bareng "putri duyung" yang mengenakan bikini.
Di tempat lain seperti di kelab B, di sebuah hotel berbintang tiga di Kawasan Krekot yang juga terkenal dengan one-stop-sex-tainment, paling-paling hanya ada tiga atau empat menu. Pertama, kelab dengan fasilitas bar dan lounge sebagai ajang untuk rendezvous antara tamu laki-laki dengan gadis-gadis lokal, Cina, dan Uzbekistan, lalu kamarkamar lux sebagai pelabuhan cinta. Kedua, seks rolling door untuk tamu yang lebih suka privacy. Dari area parkir, menuju ke lantai atas, dan langsung masuk ke kamar yang dilengkapi fasilitas garasi rolling door. Ketiga, ya fasilitas karaoke dengan menu Lady Companion (LC), dan penari stripper.
Di sebuah hotel berbintang dua di Kawasan Mangga Besar,—sebut saja Hotel LT—punya tiga paket menu kesenangan yang ditawarkan kepada setiap tamu laki-laki. Pertama, paket menginap lengkap dengan selimut hidupnya. Kedua, paket "body-massage" + "full body contact" dengan harga Rp 300 ribu. Ketiga, paket karaoke bersama gadis-gadis cantik yang siap berpesta semalam suntuk.
Menu sejenis seven steps to heaven memang tidak bisa didapatkan di satu tempat. Menu ini hanya bisa ditemukan dengan berkeliling— setidaknya—empat atau lima tempat hiburan dan kebugaran di Jakarta.
Sebenarnya, buat saya, apa yang digambarkan dalam menu seven steps to heaven ini lebih menjadi potret bagaimana industri seks di Jakarta melakukan inovasi dalam hal menu dan kemasan. Bisa jadi memang belum ada satu tempat pun di Jakarta yang mempraktikkan menu ini. Namun, jika saya berkeliling dari kelab ke kelab lain, terutama di Jakarta Selatan, Pusat, dan Barat, sejumlah menu yang ditawarkan "beda-beda tipis" dengan apa yang ada dalam layanan seven steps to heaven. Hampir semua tahapan dalam menu itu, rasanya-rasanya di Jakarta pun juga ada. Bahkan, dari sisi inovasi dan kemasan, Jakarta tak kalah di banding kota-kota besar di belahan dunia.
Jadinya?
Dengan berbagai menu seks yang tersedia di sejumlah tempat hiburan kategori X-Rated, Jakarta sepertinya memang jadi kota pilihan un-tuk berwisata. Forbidden sih, tetapi tetap saja seperti sebuah paradise bagi banyak orang.
Tequila Body Kissing, Shower Girls, Gulat Lumpur, Body "V", Latino for Sale, No Hand Service, Libido Massage, dan Sandwich Sex adalah sederet menu yang bisa membawa banyak laki-laki (dalam beberapa kasus bisa juga perempuan) menikmati—tidak saja—tujuh tapi bisa jadi de-lapan atau sepuluh langkah menuju "surga". Let's see the list... !!!
List 1 Tequila Body Kissing
List 2 Shower Girl
List 3 Gulat Lumpur
List 4 Body V
List 5 Libido Massage
List 6 Latino for Sale
List 7 Sandwich Sex
(21)
Epilog: Swing Couple, How come?
BAYANGKAN ada sebuah pesta. Ya, kira-kira sejenis sex party bertema Swing Couple. Pesertanya bukan saja sekadar orang-orang berduit dari kalangan eksekutif muda, atau pengusaha, tetapi juga public figure. Tempatnya di sebuah hotel yang bagus sekali. Bisa berbintang tiga atau malah lima. Lalu, saya menjadi salah satu orang yang diundang. Saratnya harus membawa pasangan perempuan. Bisa pacar, selingkuhan, atau istri betulan. Apa yang harus saya lakukan? Datang atau menolak tawaran itu mentah-mentah dan melupakan sebuah pesta yang mungkin tidak akan saya temui sekali dalam seumur hidup. Sebuah pilihan yang serba susah. Datang berarti saya harus membawa pasangan yang secara teori wajib berwajah cantik dan berbadan bagus. Menolak datang berarti saya harus melupakan jauh-jauh keinginan untuk menyaksikan sebuah peristiwa yang boleh jadi sangat penting untuk data penelitian saya.
Ooo... akhirnya saya memilih untuk datang. Meskipun dengan risiko yang lumayan ribet. Ya iyalah, saya mesti bolak-balik telepon sejumlah gadis yang mau berpura-pura jadi pacar saya. Ughhh... kerja keras, Jo! Monik, sebut saja begitu, gadis yang bekerja sebagai GRO (Guest Relation Officer) di RH—sebuah executive club—yang ada di kawasan Pertama Hijau. Sebutan GRO yang disandang Monik, sebenarnya hanya nama saja. Praktiknya, Monik lebih banyak bertugas sebagai LE (Lady Escort): mengundang, menemani, dan membuat tamu merasa betah lalu ingin kembali.
Bayangkan—sekali lagi—apa rasanya jadi salah satu peserta pesta swing couple?
Masalahnya, ini bukan sekedar pesta senang-senang dalam tanda kutip. Tapi sekaligus sebagai ajang untuk menggali info sebanyakbanyaknya. Artinya, saya punya tugas lain yang tak boleh dilupakan begitu saja: menempatkan diri sebagai seorang jurnalis atau setidaknya sebagai pengamat lepas. Ternyata, dalam pesta itu saya bertemu dengan tiga orang yang saya kenal baik. Dua laki-laki dan satu gadis. Mereka bukan orang asing buat saya.
Pertama, gadis yang saya kenal terlihat sangat seksi, malah ekstra seksi. Gaun yang dikenakannya "terbelah menganga" di bagian punggung bela-kang sampai mendekati G-string-area. Gestur punggungnya yang putih bersih terlihat jelas dan transparan. Hany, 23 tahun, pecinta barang-barang bermerek, fashion-minded, seringkali terlihat di berapa kelab malam yang banyak didatangi para esmud, pengusaha gaul, dan elite society. Satu lagi, ia sangat dekat dengan beberapa seleb cewek, dari foto model, artis sinetron sampai penyanyi. What is she doing? Believe or not, Hany juga menjadi salah satu peserta pesta.
Orang kedua, justru membuat saya makin shock. Laki-laki berbadan agak gempal dan usianya tak lagi muda, hampir mendekati lima puluh tahun. Seorang pengusaha sukses di bidang properti dan obat-obatan. Sebut saja namanya Hendra. Kenal dekat, sudah pasti nggak. Tapi, sekedar say hello dan bercakap-cakap dalam beberapa kesempatan, sudah pasti iya. Yang lebih mengagetkan lagi, Hany justru datang ke pesta karena berpasangan dengan Hendra.
Lalu ada seorang laki-laki berusia sekitar 38 tahun, sebut saja Andre, pengusaha muda yang membuka ladang bisnis di bidang restoran, mal, dan showroom mobil di Jakarta. Selama ini, ia dikenal akrab dengan sejumlah konglomerat, bahkan ada satu atau dua orang yang menjadi partner bisnisnya. Andre datang bersama istrinya. Ini istri betulan, bukan selingkuhan atau piaraan. How come? Banyak orang yang tidak menyangka bahwa dalam urusan seks segala sesuatu bisa jadi mungkin. Pada awalnya saya juga ragu apakah Andre benar-benar membawa istrinya. Tetapi, setelah kroscek kiri-kanan, fakta itu benar adanya. Dan dalam swing couple, target utamanya adalah pasangan suami-istri. Kok bisa? Kan tadi sudah saya bilang, dalam seks, segala sesuatu yang nggak mungkin, bisa jadi mungkin banget. Memang rada nggak asuk akal, kan? Tapi, kenyataanya, tidak hanya Andre yang membawa istrinya. Ada beberapa pasangan melakukan hal yang sama. Edan! Mungkin sebagian orang berpendapat seperti itu. Buat saya? Eit..eit...saya nggak berani menuduh apakah itu edan atau bukan. Buat mereka yang jadi peserta pesta, bisa jadi itu hal yang lumrah dan biasa. Buktinya? Sejumlah grup swing couple bermunculan di Jakarta—mungkin juga di kota-kota lain(?)—dari yang berskala kecil sampai yang besar dengan kelompok lebih dari tiga puluh hingga lima puluh pasangan.
Inside story:
Pesta Swing Couple ini diadakan di sebuah hotel di Kawasan Kemang, Jakarta Selatan. Lokasinya strategis karena berdekatan dengan kafe, bar, dan resto.
Wuuuzzz up, next?
Alurnya mudah ditebak. Sebagian besar pasangan yang datang, sekitar 60-70 %, sudah saling kenal satu sama lain. Sisanya, 30-40 %, adalah pasanga baru yang sengaja diundang untuk melakukan testing atau semacam audisi. Ini menjadi semacam rekruitmen anggota baru. Anggota lama boleh merekomendasikan siapa-siapa yang berminat dan tertarik untuk bergabung dalam kelompok swing couple. Kenapa saya turut diundang? Inilah uniknya. Sebagian besar peserta swing couple itu paham bahwa expose akan terjadi jika saya melihat dan terlibat langsung dalam pesta. Ternyata, ada sejumlah kelompok penyuka "pesta seks aneh-aneh" itu yang menginginkan aktivitasnya terekspos ke publik. Ada semacam kebanggaan tersendiri karena mereka memiliki gaya hidup yang lain dari biasanya. Ekslusif karena tak semua orang bisa melakukannya. Lifestyle yang agak "membingungkan" jika dipikir dengan nalar biasa. But, they do it! Dan saya bisa melihatnya langsung dari Tempat Kejadian Perkara (TKP).
Well, cerita selanjutnya adalah bagaimana para pasangan dalam pesta itu mulai saling berkenalan dan beramah-tamah satu sama lain. Diiringi musik yang melantun, perjamuan yang lebih mirip di-sebut sebagai cocktail-party itu berlangsung santai. Tak ada tontonan X-Rated, seperti striptease atau topless dancing yang mengiringi perjamuan itu. Semua berjalan smooth tapi pasti.
Di sebuah kamar suite yang nyaman dan dilengkapi fasilitas ruang tamu, mini bar, dan dua kamar tidur yang terpisah, sekitar sepuluh pasangan mulai larut dalam pesta. Dirty talk, sebagian orang melakukannya di pesta. Bicara bisnis, ada juga. Dancing dengan kenalan baru, juga terjadi. Bercerita seputar pengalaman dan petualangan seksual, ehmmm...itu juga terdengar di telinga saya. Tentu saja, ini baru tahap opening party. Next....
Uncut:
Explore your animal-insting!
Explore your animal-insting!
It's true. Boleh jadi tagline itu sangat pas untuk menggambarkan apa terjadi. Di dalam pesta itu, setiap orang dilarang jaim. Salah tempat kalau itu terjadi. Artinya, setiap orang—terutama untuk peserta baru— dari awal mesti sadar bahwa berani datang berarti berani coba dan berani gila. That's it!
Bebas, memang iya. Namun, tetap saja ada aturan mainnya, terutama dalam hal memilih lawan main pada saat "tukar pasangan". Di beberapa kelompok lain, ada yang menggunakan aturan semacam "game" untuk menentukan "siapa berpasangan dengan siapa". Ada yang menggunakan cara kocok seperti dalam arisan, ada juga yang menerapkan "key game". Yang satu ini, melalui permainan tukar kunci. Bentuk lainnya menggunakan cara 'tutup mata' dengan kain. Siapa yang jadi korban pertama, matanya akan ditutup, lalu dipersilakan mencari pasangannya.
Nah, dalam pesta yang diprakarsai Hendra dan Andre itu, aturannya lebih pada mengarah "challange game". Bentuknya lebih pada kebera-nian tiap-tiap peserta untuk meng-eksplor dirinya. Seberani apa seorang peserta menerima tantangan?
Misalnya, tantangan untuk ber-swing couple "two in one": dua lawan satu (bisa ceweknya yang dua vs cowok satu, atau sebaliknya). Atau challange-game-nya berbentuk "You play, I watching". Artinya, peserta yang ber-swing couple akan ditonton oleh pasangannya masingmasing.
Sebagai peserta awam, saya lebih banyak mengamati keadaan. Sekali dua kali ikut nim-brung dalam percakapan, begitu saja. Mencoba mengakrabkan diri dengan peserta pesta, tetutama Hendra dan Andre. Beruntung saya membawa Monik. Gadis cantik itu memang jago dalam urusan bersosialisasi. Jam terbangnya tak kalah dibanding Hany. Beda embel-embel status saja. Mereka memang punya potensi untuk menjadi seorang "bintang" di setiap acara. Dalam hitungan menit, mereka hampir bisa mengakrabkan diri dengan peserta pesta. Mereka begitu percaya diri. Cara mereka berbicara dan berjalan saja terlihat menarik. Belum lagi cara mereka memainkan gestur badan atau memainkan mata dan bibir. Sepertinya, untuk urusan pergaulan, mereka sah diberi nilai cumlaude. Pantas, Hendra dan Andre begitu bernafsu untuk menggaetnya sebagai lawan tukar pasangan.
"Berani nggak test drive ama bini gue?" tan-tang Andre.
"Kalo nggak, gue tuker deh sama Hany," sela Hendra tak mau kalah.
Ups! Saya mesti ngomong apa. Apa yang ter-jadi dalam pesta itu, terjadi begitu saja. Namanya juga pesta seks. Kita tak pernah bisa membayang-kan apa yang akan terjadi. Skenario A, bisa ber-ubah menjadi Z. Ini bukan acara dinner di sebuah restoran yang menu makanan dan minumannya bisa kita pilih. Ini pesta seks, Jo!
Inside story:
Swing couple hanya salah satu bentuk "private party" yang masih jadi tren sampai hari ini. Model-model lainnya, bisa bejibun. Komunitas "private party" yang ada di Jakarta dari hari ke hari makin membesar. Sinyalnya? Makin menjamurnya industri seks yang menyediakan menu layanan kemanjaan dengan ino-vasi luar biasa. Di Jakarta saja ada sekitar empat ratus tempat yang menawarkan pariwisata seks. Dari yang menggunakan label kelab, karaoke, spa, sauna sampai tempat pijat. Finally, sebagai epilog, saya cuma bisa bilang: berbagai peristiwa yang saya tulis dalam buku ini takkan pernah ada habisnya. Setiap bulan— bahkan tiap hari—selalu saja ada yang baru. Generasi lama berganti dengan generasi baru. Menu lama di-up-date dengan menu baru yang lebih menggoda, sen-sasional, dan menggiurkan mata. So, pilihan ada di tangan Anda.
Coming Soon
. • JAKARTA UNDERCOVER the movie
. • JAKARTA SENANG-2 (Guide n the City)
. • THREESOME CITY (Surabaya, Bandung, & Jogyakarta)
MOAMMAR EMKA
lahir di Ds. Jetak, Montong -Tuban, Jawa Timur, 13 Februari 1974. Pernah bekerja sebagai wartawan di sejumlah media cetak, seperti Prospek dan Popular. Saat ini, selain menjadi kontributor untuk kolom "Sex in The City"di majalah X Men's Magazine, juqa menggeluti bisnis di bidang penerbitan dan public relations.
Selama rentang waktu 5 tahun, dia telah merilis lebih dari 13 buku, baik fiksi maupun non-fiksi. Karya-karyanya adalah Jakarta Undercover (Sex 'n the city). Red Diary (Catatan Harian Lelaki Malam), Jakarta Undercover 2 (Karnaval Malam), Ade Ape dengan Mak Erot? Beib.. .Aku Sakau, 365 Hari 3 Cinta 2 Selingkuhan, Siti Madonna, 132 KM SMS Cinta Abisss, SMS Lovaholic, Tentang Dia, Gue Kapok Jatuh Cinta, In Bed With Models, dan Kamus Gaul Hare Gene!!!.
Buku pertamanya, Jakarta Undercover (sex 'n the city) edisi bahasa Inggris yang diterbitkan Monsoon Book Singapura telah beredar di Singapura, Malaysia, Thailand, Filipina, dan kini memasuki cetakan ke 4.
Saat ini tengah menggarap sebuah film layar lebar yang ceritanya diangkat dari bukunya: Jakarta Undercover, la juga tengah merampungkan buku JAKARTA SENANG-2 (Guide'n theCity) yang akan dirilis sekitar Mei 2007. Emka masih berstatus "jomblo" dan lagi sibuk mencari pasangan hidup.
Obsesinya? Menikah secepatnya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar